Menunggu pengumuman hasil interview sudah seperti nunggu yang ngapel di malam minggu. Meskipun itu dulu,. Berulang kali lihat jam, lihat tanggal, bahkan bolak-balik check email.
Huh … tiga hari berasa tiga bulan.Hari ketiga sudah terlewati, tetapi kabar belum juga kudapatkan. Aku, hanya bisa pasrah dan mengirim lamaran lain lagi. Mungkin belum rejekiku di sana.Sementara itu, yang sibuk persiapan pernikahan sudah mulai sebar undangan. Tiap hari sampai bosan lihat wajah-wajah manusia tanpa dosa berkeliaran di rumah. Bahkan, hampir setiap saat pamer kemesraan.Sabaar, Diva! Setelah mereka resmi nikah, mereka akan tinggal di rumah barunya. Setidaknya, kamu bisa menghirup udara bebas.Sore itu, sepulang kerja. Aku diminta Ibu mengantar Bu Minah---tukang pijat yang habis mijat Bapak. Sekalian aku bawa kue untuk dikirim ke salah satu pelanggan Ibu. Ponselku berdering dan menampilkan nomor baru. Bu Minah sudah naik ke atas boncengan, terpaksa aku minta dia turun lagi.“Hallo, Selamat Siang!” sapaku. Waktu masih menunjukkan jam lima sore.“Siang!” Suara seseorang dari seberang sana terdengar menjawabku.“Dengan Mbak Diva Wulandari? Kami dari Kenzo Distribution & Skin Care Center.”“Betul, Mbak! Saya Diva.”Kumatikan dulu sepeda motor. Hati penuh debar menunggu kalimat berikutnya yang dia akan sampaikan. Harap-harap cemas, soalnya sudah sekitar satu minggu berlalu, baru mendapat telepon. Kemarin waktu interview, Bu Anne bilang mungkin dua tiga hari baru dapatkan pengumuman. Padahal aku sudah ikhlas dan gak berharap lagi. Aku juga sudah kirim beberapa lamaran ke tempat lainnya.“Mbak Diva, saya mau ngasih kabar. Mbak Diva sudah terpilih sebagai Marketing Communication di tempat kami. Mohon konfirmasinya, kapan Mbak Diva bisa join?” tanyanya lagi.“Alhamdulilaaah … makasih banyak, Mbak. Satu minggu dari tanda tangan kontrak kerja, saya bisa.” Aku menjawab cepat. Sudah kukomunikasikan jauh-jauh hari dengan Mbak Ana. Dia akan bantu back up kalau nanti penggantiku di tempat lama belum dapat.“Oke, Mbak Diva. Kontrak kerja sudah saya siapkan! Segera saya kirim by email, ya! Aslinya nanti bisa ttd pas hari pertama masuk biar gak bolak-balik, gimana?”“Baik, Mbak! Bisa, bisa.”Panggilan pun ditutup. Seminggu lagi aku bekerja di sini. Akhirnya luka yang setiap hari tersiram air garam ini akan perlahan sembuh. Menjauh adalah cara terbaikku saat ini. Aku mau fokus pada Ibu, Bapak dan diri sendiri. Sepertinya aku juga akan daftar kuliah lagi. Gak apa umur sudah kelewat, toh sekarang semua urusan tentang Putri sudah bukan lagi tanggung jawabku, Ibu maupun Bapak.Aku melakukan semua pekerjaan dengan lebih riang dan ringan. Senyum tulus beberapa kali terkembang. Bahkan, aku sudah mulai terbiasa dengan muka Mas Imam yang bolak-balik dengan Putri. Saling tertawa lepas, saling suap menyuap, bahkan kadang saling rangkul, padahal mereka belum halal. Ya, sudahlah. Sekarang aku bisa menatap hidup dan mimpiku sendiri. Tak perlu lagi menggantungkan harapan pada orang lain karena aku tak siap kecewa untuk yang kedua kali.Semua pekerjaan rumah, kini sudah Putri yang pegang. Aku lebih fokus pada pekerjaan, bantu Ibu dan urus Bapak. Sebagian uangku memang masih buat nafkah Putri, gak apa, sampai dia ada penanggung jawab halalnya.Sore itu, langit cerah. Hari ini terakhir kerjaku di tempat lama. Hari ini kudengar adalah hari terakhir Mas Imam kerja, karena besok sudah cuti nikah. Pelukan Mbak Ana dan ucapan terima kasih dari Bu Ratna membuatku mau tak mau menitikkan air mata. Kebaikan mereka pasti tak akan pernah kulupa.Aku menyalami semua staff yang ada, termasuk Mas Imam. Dia menatapku dengan pandangan yang tak bisa kuartikan.“Selamat, ya, semoga betah di tempat baru!” bisik Bu Ratna seraya menjabat erat tanganku.“Makasih juga, Bu! Terima kasih sudah memberikan saya kesempatan untuk berkembang.” Aku tersenyum. Rasanya dunia begitu luas sekarang. Kupandang wajah-wajah mereka dan sebuah anggukan mengakhiri pertemuan sore ini.“Diva!” Aku baru hendak menyalakan sepeda motor ketika Mas Imam mengejarku.Aku menoleh, kali ini, mentalku yang ditempa setiap hari sudah semakin kuat. Kutatap wajah Mas Imam dengan tenang.“Ya ada apa?” tanyaku.“Kamu pindah kerja ke mana?” tanyanya lagi.“Panggil saya, Mbak! Besok kamu nikah sama Putri. Saya ini calon kakak ipar kamu.” Aku mengulas senyum dan menjawab pertanyaannya dengan datar.Mas Imam tampak kikuk. Dia berdehem lalu mengulangi lagi pertanyaannya.“Mbak pindah kerja ke mana?” tanyanya. Rasa penasaran tampak terlihat jelas dari raut mukanya.“Pindah kerja ke mana, itu bukan urusan kamu, kok! Saya pulang dulu, ya! Permisi!” Aku kenakan helm. Lantas kuputar kunci kontak sepeda motor dan melaju begitu saja.Jika Mas Imam saja bisa melupakanku dengan mudah, kenapa aku harus terus meratap dan terpaku dengan masa lalu? Hidup bukan berjalan ke belakang, tetapi melaju ke depan.Aku pulang, lalu melanjutkan hidup seperti biasa. Hanya saja bedanya, sekarang sudah bisa melangkah lebih ringan, walau luka itu kadang masih menelusup pada relung hati paling dalam. Namun, selalu kubawa dalam tiap alunan doa agar Allah sembuhkan, angkat sakitnya dan meminta berganti dengan indah. Sepertiga malam terakhir adalah obat paling mujarab atas setiap masalah.Sudah sejak dua hari lalu di rumah banyak yang rewang. Tenda sudah terpasang, pelaminan sedang ditata oleh WO yang dulu sempat Mas Imam kenalkan. Besok nikahan Putri dan Mas Imam. Hanya saja besok adalah hari pertamaku kerja di tempat baru. Beruntung momentnya pas, aku jadi bisa ada alasan untuk tak menyaksikan akad.Aku tak peduli lagi apa kata orang, yang kupikirkan sekarang kenyamananku sendiri. Kusapa beberapa tetangga yang sedang rewang, lantas masuk ke kamar. Keesokan harinya, suasana rumah lebih ramai. Putri sudah sejak shubuh tadi bangun, dipaksa Ibu mandi lantas di make up oleh orang MUA. Sesekali tawa riang terdengar ketika para tetangga menggodanya.Aku berpamitan pada Ibu. Pakaian hitam putih sudah kukenakan sebagai tanda pegawai yang masih training. Aku berpamitan pada Ibu dan Bapak, yang tak kulihat garis bahagia tergurat di wajahnya.“Maafin Diva gak bisa hadiri akad Putri. Hari ini, Diva pertama kerja, Bu, Pak!” Aku mencium tangan mereka.“Iya gak apa-apa. Hati-hati, Va.” Ibu, dia menatapku dengan tatapan iba.Aku pun lekas berangkat, sengaja lebih pagi, sebelum keluarga mempelai pria datang. Kusapa beberapa orang yang kulewati. Bisik-bisik di belakang kadang masih terdengar, ada yang menaruh iba padaku, tapi ada juga yang membanding-bandingkan.“Kasihan, ya! Gimana rasanya ditikung adik sendiri?”“Ya, pantas saja kecantol sama adiknya. Adiknya lebih cantik, sih.”“Iya, adiknya putih, tinggi, cantik. Kakaknya mah iteman juga.”Sakit hati?Maaf, aku tak lagi peduli. Hidupku tak hanya sebatas pandangan dan omongan orang. Lekas aku melajukan sepeda motor dan meninggalkan hingar bingar.Jalanan yang macet, akhirnya kulalui. Ketika tiba di depan kantor baruku. Tampak sebuah mobil yang familiar. Aku menautkan alis. Rasa-rasanya hapal plat nomor mobil tersebut."Rasanya aku pernah lihat mobil itu, tapi di mana ya?"Maaf, aku tak lagi peduli. Lekas aku melajukan sepeda motor dan meninggalkan hingar bingar. Jalanan yang macet, akhirnya kulalui. Ketika tiba di depan tempat kerja baruku. Tampak sebuah mobil yang familiar. Aku menautkan alis. Rasa-rasanya hapal plat nomor mobil tersebut. Lekas aku masuk dan menuju lobi. Benar saja dugaanku, sosok perempuan berparas lembut yang tak lain adalah Bu Faridah---Ibunya Kenzo ada di dalam. Sepertinya dia salah satu pelanggan dari klinik kecantikan di sini. “Pagi, Mbak Intan!” “Pagi, Mbak Diva!” Aku menyapa resepsionis sekaligus kasir yang baru kutahu namanya Intan ketika kemarin mengirimkan email kontrak untukku. Sosok berkerudung warna salem yang tengah memilih produk skincare tersebut menoleh. “Eh ada Diva?” Perempuan yang tak lain adalah Bu Faridah itu menatapku. “Ibu lagi apa di sini? Langganan juga, ya?” Aku menghampirinya lalu menyalaminya dengan khidmat.“Ahm, Mbak Diva!” Aku menoleh pada Intan yang memanggilku. Namun, dari sudut matanya dia ta
“Hey, kamu! Tolong kerja samanya, ya! Tolong buat wajah aku secantik bidadari.” Aku menepuk benda mati itu, seolah dia bisa mendengar apa yang kuucapkan. Lantas aku mengambil sabun mukanya dan gegas membersihkan wajah. Kuabaikan hiruk pikuk dan hingar bingar para tetangga yang sedang rewang dan para kerabat yang juga ikut membantu-bantu. “Eh, Diva, kok baru kelihatan, sih?” Pertanyaan dari Bi Asih terlontar ketika aku kembali ke kamar mandi untuk wudhu dan sekaligus cuci muka. Kalau dulu, aku cuci muka hanya dengan facial wash yang harganya lima belas ribuan. Kali ini, beda. Aku cuci muka dengan facial wash bagus, tapi gratisan. Ah, andai bisa gratis tiap hari. “Iya, Bi! Habis kerja, hari pertama masa mau izin.” Aku tersenyum. “Oh kamu pindah kerja. Iya, kalau ada kerjaan, mending kerja, lagian di sini sudah banyak yang bantu juga.” “Iya, Bi.” Ah, malas berlama-lama. Gegas wudhu dan mencuci muka. Lalu aku kembali masuk ke kamar dan mengunci pintu dari dalam. Kuapplikasikan skin
Dia tampak duduk dan memainkan gawai. Aku hanya meliriknya sesekali lantas asik makan dan menyuap dengan semangat hingga sebuah chat masuk dari akun bernama pangeran. [Lagi apa?] tulisnya.[Makan. Kamu?] balasku.[Lagi bete. Punya pegawai songong kelewatan.] tulisnya lagi.[Dih, kok, bisa? Yang sabar, ya?] Aku menghiburnya. [Mentang-mentang jam istirahat, gak mau diganggu. Padahal paling mereka juga sempat-sempatnya nyuri waktu kalau lagi kerja. Si*lan memang.] [Sabar, ya. Lagian datangnya jam istirahat.] Aku menanggapinya.[Biasa pesanan nyokap, gak bisa di entar-entar. Tuh, ‘kan bener sudah nelpon. Dah dulu, ya!] Kolom pesan tertutup. “Hallo, Ma! Iya sudah di sini. Lagi pada istirahat! Gak ada orang!” Itulah penggalan kalimat yang kudengar dari Kenzo sebelum dia pergi keluar. Aku menautkan alis, kok bisa nyambung, ya? Baru saja Pangeran bilang ada telepon, eh lelaki menyebalkan itu juga mengangkat telepon, Hmmm … lalu si Kenzo juga panggil Mama, Pangeran bilang nyokap. Hmm, s
“Jodoh dan kematian itu rahasia Allah, Va. Ibu juga harap Bapak panjang umur. Hanya saja, Bapak ingin jaga-jaga, takutnya umurnya di ambil dalam waktu dekat. Dia ingin melihat kamu menikah. Hmmm … andai kamu setuju, Bapak akan terima pinangan untukmu. Insya Allah besok orang tuanya datang ke rumah. Orangnya mapan, tampan dan pastinya bisnisannya banyak. Usianya juga sudah matang dan keluarganya sangat mendukungnya untuk meminang kamu, Va.” Aku menelan saliva. Kini yang hadir adalah dilemma. Kutatap wajah Ibu, lantas kulontarkan tanya, “Apakah Diva kenal siapa dia, Bu? Apa boleh penjajakkan dulu dan gak usah nikah dulu?” tanyaku. Anggukan kepala dari Ibu akhirnya membuatku sedikit lega. Setidaknya, kami hanya saling berkenalan. Jika cocok lanjutkan, tetapi jika tidak maka gak akan dipaksakan. Lagi pula, aku masih baru daftar kuliah. Bahkan perkuliahannya pun belum di mulai. Obrolan yang tengah serius ini, terganggu oleh kedatangan Putri. Wajahnya yang tampak lelah menatap Ibu. “Bu,
“Ahm, siapa mereka, Va?” Kudengar Mas Imam bertanya.Aku belum menjawab ketika suara Pak Rafael mengucap salam, membuatku lebih memilih menjawab salam Pak Rafael dari pada menjawab pertanyaan Mas Imam.“Tumbenan pada rombongan Bu Ida? Mau ada perlu sama Ibu, ya?” tukasku seraya menyalami mereka. Bukan hanya basa-basi, tetapi memang heran juga atas kedatangannya yang tak biasa.“Iya, Va. Sama kamu juga. Ibunya ada?” Bu Faridah tersenyum lembut dan menepuk-nepuk bahuku.“Ibu lagi ke depan bentar, tunggu di dalam saja. Mari masuk!” Aku mempersilakan mereka.Mas Imam pun tak tinggal diam. Dia mengekor di belakangku, setelah berbasa-basi juga dan menyalami mereka satu per satu. “Pak Rafael dan keluarga ada perlu sama Ibu dan Bapak, ya? Mari duduk dulu saja, Ibu baru keluar, kalau Bapak sih ada, tapi paling masih tiduran.” Mas Imam tampak SKSD. Dia sibuk menggelar tikar yang tadi sudah aku siapkan untuk tamu Ibu nanti siang. Eh, ternyata pagi juga ada tamu yang datang.“Makasih, Mas Imam.”
Aku termangu. Chat dari akun Pangeran masuk beruntun. Lalu apa ini? Kenapa dia baru beinisiatif sekarang ngajak ketemuan, sedangkan aku baru saja mengambil sebuah pilihan. Aku memijat pelipis, rasanya, kepala tiba-tiba berdenyut memikirkan hal ini. Bugh!“Aku gak mau!” Suara teriakan disertai debuman daun pintu dari ruang tengah mengejutkanku. Lekas kusimpan gawai dan membuka daun pintu. “Kamu itu istriku, Put! Kita sudah punya rumah, ayo pulang!” Kulihat Mas Imam sudah berdiri di depan pintu kamar Putri yang sepertinya tadi terbuka. Hanya saja kini tertutup kembali. “Aku mau pulang, asal gaji kamu aku yang atur semuanya! Enak aja status doang istri, duitnya sisaan!” Suara Putri memekik kencang. Ibu yang tengah berada di dapur pun menghampiri ke ruang tengah. “Ada apa, Imam? Kenapa Putri?” Ibu menatap menantunya yang tampak mengusap wajah berkali-kali. Mas Imam menoleh pada Ibu dengan wajah lesu. “Tadi Putri keluar, Bu. Aku ajak dia pulang. Hanya saja gak mau.” Suaranya terde
Pov Kenzo Diva Wulandari, entah kenapa tak pernah habis permasalahanku dengannya. Sejak duduk di bangku sekolah menengah, aku dan dia selalu berseteru. Hidupnya itu terlalu lurus dan hitam putih. Padahal kan hidup tuh harusnya dinikmati, berwarna warni. Aku dan dia ibarat dua kutub yang sama, selalu saling bertolak belakang. Kukira setelah lulus, semua akan selesai. Aku dan dia sudah memiliki jalan hidup yang berbeda. Meskipun tak menampik, jika selentingan tentang kehidupan dia masih sempat-sempatnya aku ikuti. Apakah mungkin karena rasa benci terdahulu memang belum pergi?Namun ternyata anggapanku salah. Jalan hidup kamu yang berbeda dan sudah masing-masing tak serta merta membuat hidupku terbebas dari namanya. Permasalahan ini dimulai dari Mama. Mama yang sejak dulu begitu mendamba hadirnya anak perempuan, terlalu over padanya. Dia selalu melibatkan Diva dalam kehidupan kami, termasuk beli kue dari ibunya, minta tolong ini dan itu atau sekadar datang menjenguk Bapaknya yang stro
Pov DivaMenunggu adalah hal yang paling membosankan. Itulah yang aku rasakan sekarang. Kukira Pangeran tadi memanggil karena dia sudah sampai. Hanya saja ternyata tidak, bahkan panggilan pun dia matikan. Mungkin kegesek kali, ya ponselnya, dia sedang di jalan dan ponselnya disimpan di saku celana. [Pangeran, sudah di mana? Aku pesenin dulu jangan?] Kukirim lagi pesan. Nyesel juga gak punya nomor teleponnya. Jadi masih ribet tukar pesan di applikasi messenger. Dia tampak sedang online tetapi belum ada balasan. “Va, haus!” Nurlaela melirik ke arahku. “Ya sudah, pesen duluan saja, La.” “Ditraktir kan, Va?” “Hmmm. “Aku menjawab tanpa menoleh, jemariku sibuk mengetik dan mengirim pesan lagi pada Pangeran. Hanya saja, balasan belum juga kuterima.Nurlaela melambaikan tangan ke arah waitress. Lalu memesan dua minuman yang aku gak nyimak entah mesan apa. Minuman sudah datang, ternyata dia memesan dua es kopi dengan jelly. Aku pun meneguknya sambil sesekali memperhatikan ke arah pintu