Pak Anwar mengarahkan senter ke sumber suara. Namun, tidak ada jawaban. Kasim dan Fikri mati-matian menahan napas sambil menutup mulut. Ketakutan sedang menguasai hati mereka.
“Semakin hari, setan semakin berani berkeliaran. Kalau kalian setan, jangan pernah ganggu aku. Aku tidak mengusik kalian dan kalian jangan mengusik kehidupanku.”
Kasim dan Fikri melihat Pak Anwar komat-kamit seperti membaca sesuatu. Lalu tanpa terduga, ayah sahabat mereka itu melepehkan ludah dengan kecepatan maksimal.
Sialnya, air liur tersebut menempel di pipi Fikri. Andai tidak sedang bersembunyi, mungkin dia sudah memaki panjang pendek.
Kasim mati-matian menahan gelak tawa. Sungguh dia tidak menyangka kalau Pak Anwar mengira mereka setan yang harus diusir dengan mantra-mantra.
Mereka berdua tetap berdiam diri tanpa bergerak sedikit pun, hanya bisa saling pandang, walau suasana di tempat mereka gelap, terbantu oleh cahaya lampu senter Pak Anwar yang terkadang menyorot ke arah mereka.
“Sebentar lagi Idul Adha, kalian harus tetap sehat dan gemuk. Biar bisa kujual dengan harga mahal. Hmm, tidak sabar aku menunggu pundi-pundi Rupiah memenuhi dompetku. Hahaha.” Pak Anwar mengelus kepala salah satu dari sapinya.
Setelah memastikan sapi-sapinya aman, Pak Anwar segera keluar dari kandang dan memalang pintunya cepat. Saat dia ingin kembali ke rumah, tidak berapa jauh dari kandang dia melihat Khairul berjalan ke arahnya.
Anak lelakinya itu sama terkejutnya dengannya. “Ayah?”
“Mau ke mana wa’ang?”
Khairul merasakan kakinya lemas. Dia merasa sangat takut sekaligus gugup jika Pak Anwar sudah marah.
“Oh—tidak—Yah. Ambo—hanya ingin me—lihat Ayah saja di si—ni.”
Pak Anwar menatap Khairul dengan pandangan menyelidik. Tidak biasanya anaknya ini begitu gugup ketika ditanya. Dia merasa sangat curiga dengan tingkah yang ditunjukkan Khairul. Senternya dia arahkan ke tangan Khairul yang memegang bungkusan plastik berwarna hitam.
“Apa yang wa’ang bawa itu?”
Pertanyaan ayahnya tersebut membuat Khairul kian cemas. Dia jarang berbohong ke Pak Anwar. Jika sampai dia ketahuan berbohong, maka Pak Anwar tidak akan segan-segan menyabetnya dengan ikat pinggang.
“Ini—hanya—sampah, Yah. Rencana mau ambo buang—ke belakang—kandang.”
Khairul merasa lega yang teramat sangat ketika menjawab pertanyaan Pak Anwar. Kalau sampai salah bicara bisa-bisa dia tidur di kandang sapi. Ayahnya itu tidak akan segan-segan menghukumnya seperti itu.
“Ya, sudah. Cepatlah wa’ang buang sana. Selepas itu cepat masuk ke dalam rumah. Sudah larut ini, sakit pula wa’ang nanti.”
Pak Anwar berjalan melewati Khairul sambil tangannya berada di belakang. Walau bicara begitu, dia tidak serta merta percaya dengan apa yang putra semata wayangnya itu sampaikan.
Khairul bergegas ke dekat kandang sapi. Dia memanggil kedua sahabatnya itu dengan setengah berbisik. Ada perasaan bersalah yang menghinggapi karena telah membuat mereka menunggu lama.
“Fikri … Kasim? Kalian masih di sini?”
Khairul menajamkan pandangan karena tempat itu benar-benar sangat gelap. Untunglah tidak berapa lama, kedua temannya itu keluar dari persembunyian.
“Duh, Khairul. Lama sekali wa’ang. Ayahmu tadi di sini. Hampir saja ketahuan.” Fikri menggaruk-garuk kakinya karena serangan nyamuk yang tak kenal jeda.
“Iya. Belum lagi ini nyamuk banyak banget. Ada ubinya, Rul?” Kasim menimpali kata-kata Fikri. Dia melihat bungkusan di tangan Khairul. Segera saja dia rebut kantong tersebut.
“Wah, masih hangat, Rul. Aku semakin tidak sabar melahapnya.” Jakun Kasim bergerak seirama dengan jeritan cacing di perutnya.
Fikri juga tidak sabar dia menerima satu buah ubi jalar yang memang terasa hangat.
Dengan cepat kedua teman Khairul itu mengupas kulit ubi rebus tersebut. Ketika mereka hendak memakannya, tiba-tiba sebuah tangan muncul memukul tangan mereka dengan cepat.
“Ayah?” Khairul langsung pucat pasi.
Di depan mereka sekarang berdiri Pak Anwar dengan wajah penuh aura kemarahan. “Dasar anak setan! Berani-beraninya wa’ang berdusta.”
Khairul langsung meringis kesakitan ketika telapak tangan ayahnya menampar kepalanya kuat. Bocah itu meminta ampun karena telah membuat Pak Anwar marah.
“Ampun, Yah! Ampun ….”
“Siapa yang mengajarkan wa’ang berbohong? Pasti kedua manusia sampah ini, bukan?”
Kasim dan Fikri tidak tahu mesti berbuat apa ketika kerah baju mereka ditarik. Kepala mereka dilagakan satu sama lain, membuat mereka merasa pusing seketika.
“Ayah! Jangan sakiti mereka. Ini salah ambo karena ambo yang mengajak mereka ke sini. Ambo kasihan karena mereka belum makan, Yah. Jangan pukul mereka, Ayah!”
Pak Anwar mengangkat kerah baju Kasim, membuat lidah anak itu terjulur. “Aku tahu wa’ang dari keluarga miskin dan melarat. Tapi bukan macam ini caranya jika wa’ang butuh makan. Ini pasti wa’ang yang mengajari anakku mencuri dan berbohong. Aku akan laporkan wa’ang ke si Uday, biar diajarkannya wa’ang sopan santun!”
Kasim merasa tulang belulang di tubuhnya patah ketika tanpa perasaan Pak Anwar membantingnya ke tanah. Tidak puas menyakiti Kasim, kaki Pak Anwar menyepak perut Fikri kuat, membuat anak itu melenguh dan terduduk di tanah.
“Wa’ang juga! Ayah wa’ang yang pemabuk itu juga tidak becus mengajari wa’ang. Rasakan kakiku ini!”
Teriakan Khairul semakin kuat. Dia tidak menyangka kalau ayahnya akan setega dan sebrutal itu menganiaya anak kecil.
“Ayah! Tolong hentikan! Jangan sakiti mereka, Ayah. Kalau Ayah tidak membolehkan mereka memakan ubi ini, baiklah, ambo akan membawanya kembali ke dalam rumah. Tapi, jangan Ayah sakiti lagi mereka. Ambo mohon, Ayah!”
Di antara tangisan dan rasa takut, Khairul memungut kembali ubi yang tadi terlepas dari genggaman Kasim dan Fikri.
Dia tidak menduga akan sebegitu marahnya Pak Anwar. Hanya gara-gara ubi, lelaki yang dia panggil ayah itu tega menurunkan tangan kasar ke bocah-bocah berusia 12 tahun.
“Siapa yang menyuruh wa’ang memungut sampah itu kembali, Khairul???”
Suara Pak Anwar kembali menggelegar. Tangannya bergerak secepat bayangan setan menampar kantong plastik yang berisi ubi rebus. Kantong itu mental jauh ke dalam rimba di belakang kandang sapi.
“Ayah …?” Khairul menatap Pak Anwar dengan pandangan penuh kekecewaan. Air mata sudah menganak sungai di pipinya. “Teganya Ayah membuang ubi itu, sedangkan ada anak-anak yang kelaparan!”
Pelipis Pak Anwar bergerak-gerak penuh kemarahan. “Masuk!” perintahnya dengan suara besar. Dia tidak peduli sama sekali dengan apa yang Khairul katakan.
“Ambo tidak akan pergi dari sini. Kasim dan Fikri harus makan dulu. Sedari pagi mereka belum makan. Apa salahnya kita berbagi, Ayah?”
Khairul tetap bersikukuh membela teman-temannya. Walau di dalam hati dia begitu ketakutan. Kalau-kalau Pak Anwar tidak bisa mengendalikan kemarahannya.
Benar saja. Amarah Pak Anwar kian tak terbendung. Dia menarik leher Fikri tiba-tiba. “Lihat! Wa’ang mengajari anakku menjadi pembangkang! Mulai hari ini, detik ini, jangan pernah kalian berdua bergaul lagi dengan anakku dan jangan pernah muncul lagi di hadapanku. Paham?”
Fikri merasakan dadanya sesak karena cekikan kuat di lehernya. Lidahnya sampai terjulur. Andai Pak Anwar tidak segera melepaskan tangannya, mungkin saja dia sudah pingsan.
Di sebelah Fikri, Kasim merasakan tubuhnya bergetar penuh kemarahan. “Orang sombong! Kelak, ambo akan balas semua penghinaan ini! Bapak ingat baik-baik sumpah ambo ini!”
Kali ini Pak Anwar benar-benar tidak bisa lagi membendung kemarahannya, tangannya bergerak menampar.
Sebelum telapak tangan orang dewasa itu hinggap di pipi Kasim, Khairul maju menghalangi. Walhasil, tamparan itu hinggap di kuduknya. Seketika Khairul merasakan pandangannya buram. Kepalanya seakan-akan melayang. Tubuhnya sempoyongan.
Kasim dan Fikri menjerit histeris melihat Khairul ambruk ke bumi.
“KHAIRUUUL …!”
Pak Anwar tergagau dari tidurnya ketika mendengar bunyi gedoran di pintu masuk Rumah Gadang. Dia yang tadinya masih terlelap dibuai mimpi, sontak melompat dari tempat tidur.“ANWAR! Ada wa’ang di dalam? KELUARLAH!”Teriakan menggelegar disertai guguhan pintu membuatnya mengernyitkan kening. Hatinya mendadak tidak enak. ‘Mungkinkah jasad si Abdul sudah ditemukan?’Setelah menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang, dia segera keluar dari kamar, berjalan malas menuju sumber suara.“Kalau wa’ang tidak buka, jangan salahkan jika aku hancurkan pintu rumah wa’ang, Anwar!”Semakin dia dekat, suara teriakan di luar semakin nyaring di telinga. Hatinya jadi kesal dan mempercepat langkahnya, ingin tahu siapa manusia kurang etika yang berteriak-teriak di depan pintu.Begitu pintu terbuka, tiga sosok lelaki berdiri dengan wajah penuh kemarahan. Salah satu dari mereka adalah Malin Palito. Lelaki bertubuh k
“Tidak bisa ambo percaya dengan apa yang Mak Datuak katakan. Bukankah mamak-mamak sekalian yang menjodohkan ambo dengan Uda Abdul? Sekarang, kenapa semuanya seolah-olah ambo yang bersikeras menjadi istrinya?”Buk Suna terisak pelan di depan Datuak Gadang Dirajo yang sekarang seperti kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaan keponakannya itu.“Dengar, Suna!” Pakiah Basa yang ada di samping Datuak Gadang Dirajo merasa tidak enak melihat pemimpin tertinggi di kaumnya itu disudutkan. “Maksud Mak Datuak itu baik. Sekian tahun kawu menikah dengan si Abdul, lebih banyak mudharat dari pada manfaatnya. Sudah berapa kali kawu atau si Fikri habis ditanganinya? Kalau bukan karena kebaikan kami sebagai keluarga kawu, sudah jauh-jauh hari dia tidak lagi berada di rumah ini. Lagi pula, ada atau tidak ada pun dia, tidak ada gunanya. Buktinya saja, anaknya sakit seperti ini saja dia tidak mau tahu. Penting baginya memenuhi perutnya itu dengan tuak.”Buk Suna tidak ber
Suasana di luar kamar Fikri terasa mencekam. Ke lima orang yang ada di ruangan itu menunggu dengan perasaan tidak menentu. Belum pernah mereka mendengar auman harimau yang begitu mengerikan. Mengingat namanya saja sudah membuat bulu kuduk meremang.Inyiak Tigo Tampat!Inyiak yang dalam bahasa Minang merupakan sebutan untuk harimau jadi-jadian. Sosok harimau yang ada di alam gaib. Kebiasaan di kampung ini pantang menyebut harimau dengan kata harimau. Konon, jika ada yang berani menyebut harimau, maka binatang buas itu akan mendatangi kediaman orang yang menyebut namanya tadi pada tengah malam, dan bisa mencelakainya dengan mudah.Tigo Tampat merupakan tiga kuburan keramat yang dijaga sampai sekarang. Menurut cerita orang dahulu, jasad yang bersemayam di dalam makam tersebut adalah jasad orang-orang alim dan berilmu tinggi. Baik secara mental atau pun spiritual.Masyarakat di kampung itu percaya kalau ketiga penghuni makam itu ad
Mak Naro sudah sampai di halaman rumah Pak Abdul di saat hujan masih mendera bumi. Hebatnya, tidak setetes pun air hujan yang membuatnya kebasahan.Dari luar dia mendengar ratapan mengiba hati. Secepat kilat dia melesat memasuki pintu rumah yang tidak tertutup. Di dalam rumah ada tiga orang laki-laki separuh baya dan dua orang perempuan.“Mana si Fikri?”Kedatangan Mak Naro dan pertanyaannya yang tiba-tiba mengejutkan orang di dalam rumah. Mereka sontak menoleh ke arah Mak Naro yang berdiri di depan pintu.“Mak Naro?” Buk Suna salah satu perempuan di ruangan itu segera berdiri. Dia mendekati lelaki tua itu dengan terisak-isak. “Di sini dia, Mak. Tolong Fikri, Mak. Tolong ….” Sambil terisak dia memasuki kamar di mana Fikri masih terbaring tidak berdaya. Bocah itu sudah tidak mengeluarkan suara bahkan tidak bergerak sama sekali.Mak Naro segera mendekatkan jemarinya di hidung anak laki-laki Pak Abdul
Pak Anwar menganggap ucapan Pak Abdul hanyalah lelucon belaka dan dia tidak punya waktu untuk meladeninya. Segera dia memutar badan hendak masuk ke dalam rumah. Namun, begitu dia membelakangi Pak Abdul, hal tidak dia sangka-sangka pun terjadi.Lelaki berperawakan jangkung itu terpental ke depan, lalu jatuh terjerembab ke lantai ketika Pak Abdul menendang punggungnya telak. Rasa sakit seketika mendera. Tulangnya terasa patah, dadanya pun sesak untuk sesaat.“Bangsat wa’ang, Abdul! Beraninya wa’ang membokongku. Benar-benar pengecut tidak beradab.” Pak Anwar segera bangkit dan menerjang Pak Abdul yang berdiri berkacak pinggang. Tinju Pak Anwar mengarah ke kepalanya. Ayahnya si Fikri ini pun segera mengelak, lalu membalas dengan menyikut tulang rusuk Pak Anwar.Teriakan kesakitan kembali melompat dari mulut Pak Anwar. Ini jauh lebih sakit dari pada tendangan di punggungnya tadi. Dia megap-megap dan sempoyongan
Hujan yang mengiringi langkah Pak Abdul masih mendera dengan lebatnya. Lelaki bertubuh kecil itu melangkah dengan setengah berlari dan terseok-seok diterpa badai. Badannya yang masih terasa sakit, tidak dia pedulikan. Dia menggertakkan rahang mencoba menghalau rasa dingin yang menyergap.“Aku harus tuntaskan malam ini. Tidak tenang hidupku jika aku tidak berhasil membuat si Anwar meminta maaf dan sujud di kakiku. Apa pun yang terjadi pada malam ini, semoga alam berpihak kepadaku.”Kaki kurusnya terus menderap menyibak jalanan berlubang yang tergenang air. Sesekali dia terperosok dan membuatnya terjatuh. Di sekitarnya sawah menghampar dengan luas. Tidak jelas kelihatan apakah padi sedang berbuah atau sudah siap untuk dipanen.Semakin cepat dia berlari, semakin cepat dia sampai di rumah Pak Anwar. Rumah besar itu berdiri menjulang menggapai langit. Atap yang terbuat dari ijuk sama pekatnya dengan malam yang tanpa bintang. Tidak terlihat pelita sedikit pun da