Share

KUBURAN YANG TIDAK DIRINDUKAN
KUBURAN YANG TIDAK DIRINDUKAN
Penulis: Triyuki Boyasithe

1. Tiga Sahabat

Galogandang, tahun 1963

“Lekaslah wa’ang* ke surau, Buyuang! Atau kusepak pantatmu itu nanti.”

Bocah laki-laki bernama Kasim dan berusia 12 tahun itu baru saja selesai mandi ketika tiba-tiba ayahnya—Pak Uday—berdiri di depannya dengan wajah tidak ramah. Kasim melewati sang ayah dan bergegas masuk ke dalam bilik bambu.

Dia merungut sambil mengenakan pakaian. “Baru juga selesai mandi. Perut lapar pula. Ayah ini tega sekali sama anak sendiri.”

Di luar kamar, Pak Uday mendengar gerutuan anaknya itu. “Apa yang wa’ang katai-kataikan*, Kasim? Sebentar lagi maghrib. Pergilah wa’ang salat dan mengaji di surau. Habis tu baru wa’ang bisa makan.”

Kasim dengan cepat mengenakan pakaian. Tidak lupa dia mengalungkan kain sarung di lehernya dan memakai kopiah hitam yang sudah kusam di kepalanya. Dia segera keluar dari kamar dan mendapati Pak Uday sedang bersandar sambil melinting rokok daun enau.

“Ayah ini menyuruh saja bisanya. Memangnya Ayah tidak wajib salat? Kok, ambo* saja yang harus beribadah, sedang Ayah enak-enak di rumah.” 

Mendengar ucapan Kasim, amarah Pak Uday langsung naik ke ubun-ubun. “Anak setan! Tidak perlu pula wa’ang ajari ayahmu ini. Wa’ang salatlah yang benar, mengaji yang benar. Awas saja kalau kudapati wa’ang main-main, aku pukul wa’ang nanti.”

Pak Uday menendang pantat Kasim yang membuat bocah kecil itu meringis sambil memegang pinggulnya. 

“Coba saja ada Amak di rumah, mana sanggup Ayah marah-marah ke ambo.” Kasim menuruni tangga rumah kayu sambil mulutnya mengeluarkan protes dan kritikan perihal Pak Uday.

“Protes saja wa’ang terus. Anak durhaka!”

Kasim mempercepat langkah karena azan maghrib sudah mulai terdengar dari surau yang berjarak sekitar lima ratus meter dari rumahnya. Di jalan dia bertemu dengan Fikri dan Khairul. 

“Tumben mandi wa’ang, Kasim?” Fikri merangkulkan tangannya di pundak Kasim, “Pakai sampo wa’ang, yo? Harum rambut wa’ang!”

“Ya iyalah aku

mandi. Emang wa’ang, mandi sekali seabad. Jauhkan tangan wa’ang, ha. Ketiak wa’ang amis sekali. Tak jadi wa’ang oleskan kapur sirih ke ketiak wa’ang, tu?”

Kasim segera mendorong tubuh Fikri menjauh. 

“Halah, lagak wa’ang lagi, Buyuang! Baru mandi sekali saja sudah kayak tuan muda saja. Sinilah, wa’ang cium ketiakku ini.”

Kasim segera ambil langkah seribu begitu Fikri kembali hendak merangkul pundaknya. Sementara itu Khairul hanya bisa menertawakan lelucon kedua sahabatnya tersebut.

Wa’ang sudah wudhu, Rul?” Kasim bertanya ke Khairul begitu mereka bertiga sampai di halaman surau.

“Belum. Wa’ang sudah?”

“Sama! Kalau gitu mari kita ke luak*.”

Wa’ang tidak bertanya ke aku, Sim?” Fikri mengedumel di belakang Kasim.

“Ah, dari wujud wa’ang saja sudah tahu aku kalau wa’ang belum suci dari hadas besar dan kecil! Hahaha.”  Kasim kembali berlari menjauh ketika tangan Fikri hendak menabok kepalanya.

“Dasar anak setan!” teriak Fikri murka.

“Kalian ini kayak kucing dan anjing. Ribut saja! Haha.” Khairul hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah kedua temannya itu.

Senja kian menghitam ditelan kegelapan. Semburat jingga di langit sudah berubah warna. Angin berembus cukup kencang, seperti berusaha menghalau gerombolan awan hitam yang tadi berkumpul menutupi rembulan.

“Tadi seperti mau hujan, Fik. Tapi kayaknya tidak jadi. Apa rencana kita malam ini?”

Di surau yang ada sekarang hanya Kasim, Fikri, dan Khairul. Mereka sedang bergolek-golek di atas tikar di dalam surau. Hembusan angin terasaa menelusup menembus kulit. Mereka segera membungkus tubuh dengan kain sarung.

“Rencanaku malam ini—makan, Sim! Aku lapar sekali. Di rumahku tidak ada makanan. Beras habis, uang pun tak punya. Kasihan aku sama amakku itu. Menangis saja kerjanya seharian ini. Sedang ayahku yang tidak berguna itu, dia memilih duduk di lepau, ber-haha-hihi dengan kawan-kawannya. Lupa dia dengan anak dan bininya sedang kelaparan di rumah.”

Curahan hati Fikri ini tidak sekali dua kali didengar oleh Kasim. Dia ingin sekali membantu, tetapi hidupnya dan hidup Fikri sebelas dua belas. Sama saja. 

Mereka menatap Khairul yang sedari tadi diam saja. Biasanya Khairul adalah penyelamat mereka. Temannya yang satu ini termasuk orang berada. Tidak pernah merasakan kelaparan. Kasim dan Fikri sering sekali dia traktir makan.

“Apa?”

Khairul merasa risih ditatap kedua orang temannya itu.

“Tidakkah wa’ang mendengar jeritan cacing di dalam perut kami ini, Khairul?”

“Aku tidak dengar dan tidak mau mendengar.”

“Jahat kali wa’ang! Cepatlah ajak kami ke rumah wa’ang, ha. Makan ubi pun tak apa, yang penting perut berisi.” Kasim menarik tangan Khairul.

“Onde mande. Kebetulan sekali, amakku merebus ubi jalar di rumah. Ayoklah, semoga masih ada tersisa di rumah.”

“Nah, begitu seharusnya! Itu baru namanya teman!”

Khairul mengabaikan ucapan Fikri dia segera mengajak kedua bocah itu berlari ke rumahnya. Di kampung ini, rumah Khairul adalah yang paling besar dan paling luas halamannya. Ayah dan Ibunya itu seorang toke beras. Sayangnya, mereka terkenal pelit. Makanya, Khairul selalu sembunyi-sembunyi jika ingin memberi makanan kedua temannya itu.

“Seperti biasa, kalian tunggu aku di dekat kandang sapi. Jangan bersuara sedikit pun. Aku tidak ingin ayah dan amakku mengetahui aku mengambil makanan untuk kalian. Jika sampai ketahuan, bisa-bisa dipukulnya kita nanti.”

Keduanya mengangguk setuju.

Di belakang rumah Khairul, ada kandang yang memuat tiga ekor sapi. Bau tidak sedap menguar dari tempat tersebut. Namun, demi perut yang lapar, Kasim dan Fikri mengabaikan bau tersebut dan menunggu Khairul membawa ubi rebus yang dijanjikan.

Nyamuk-nyamuk nakal mulai mengigiti kaki kedua bocah tersebut.

“Lama sekali si Khairul. Bisa mati kita digigit nyamuk, Kasim!” Fikri menepuk nyamuk yang menghinggapi kakinya. Rasanya benar-benar tidak nyaman.

“Ah, wa’ang sabarlah sedikit, Fik. Pelankan suara wa’ang tu. Jangan sampai terdengar orang tua si Khairul. Bisa disambitnya kita nanti.” Kasim memegang bahu Fikri sembari menenangkan sahabatnya yang mulai rusuh karena nyamuk.

“Nyamuk ini membuat darahku panas, Kasim! Kalau bukan karena aku lapar, tidak akan aku mau menginjakkan kaki di rumah si Khairul ini!”

Kasim hendak menjawab, tetapi dia segera menarik tubuh Fikri dengan cepat. “Ada orang datang!”

“Mungkin si Khairul!”

“Bukan! Kayaknya itu Pak Anwar.”

“Astaghfirullah. Benar! Itu ayahnya si Khairul. Jangan-jangan kita ketahuan.”

Tubuh kedua bocah itu pun mengigigil ketakutan. Mereka segera bersembunyi di belakang kandang sapi. Sementara itu sesosok tubuh tinggi, jangkung, kurus, dan memegang senter di tangannya sudah berdiri di depan pintu kandang sapi. Dia segera membuka pintu tersebut.

“Benar, itu Pak Anwar,” bisik Fikri ke telinga Kasim. Mereka mengintip melalui dinding kandang yang terbuat dari bambu.

“Iya. Jangan bicara lagi. Nanti dia mendengar ….” Kasim memberi kode sambil menyuruh Fikri waspada.

Di dalam kandang melalui cahaya senter, Pak Anwar menyoroti tiga ekor sapinya yang sedang berbaring di lantai betung. Bau pesing menyengat tajam. “Kalian besok harus dimandikan. Sudah kotor sekali tubuh kalian.”

Lelaki yang berusia sekitar 35 tahun itu pun mengeluarkan rumput dari karung dan memasukkan ke dalam lawak-lawak. * Ketiga sapi itu segera berdiri ketika Pak Anwar menarik kekang tali di hidungnya. Mereka kemudian melahap rumput segar yang tadi dituangkan Pak Anwar ke dalam tempat makan yang disebut lawak-lawak.

Keasyikan Pak Anwar terganggu ketika telinganya menangkap suara mengaduh dari luar.

“Siapa?”

Jantung Kasim dan Fikri terasa putus sekarang begitu cahaya senter mengarah ke arah mereka.

Catt:

1. Wa'ang : kamu

2. Ambo : aku

3. Lawak-lawak : tempat makan sapi

4. Mangatai-ngatai : ngomel-ngomel

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Triyuki Boyasithe
mampir dan jangan lupa ninggalin komentar yaaa
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status