KUCURI UANG SUAMIKU YANG PELIT (2)
Setelah membuka buka pesan ibu mertua yang ternyata dipenuhi permintaan uang yang dilakukan hampir tiap minggunya itu, aku kemudian membuka pesan dari kontak W******p yang lain. Dan mataku seketika membulat saat melihat pesan yang dikirimkan oleh sebuah kontak W******p dengan profil seorang wanita cantik dengan anak perempuan berusia sekitar dua atau tiga tahun di sisinya.
Penasaran, aku pun segera membuka pesan dari kontak W******p tersebut. [Makasih ya, Mas. Transferannya udah Mia terima barusan. Lima juta kan? Tapi minggu depan tambahin lagi ya, Mas soalnya Mia pengen beli cincin lagi, seperti yang kemarin Mas kasih itu. Cantik banget. Makanya Mia pengen nambah satu atau dua lagi biar nggak malu kalau kumpul kumpul sama temen arisan. Ya, Mas?] Begitulah isi pesan tersebut. Deg! Jantungku seolah hendak lepas dari tempatnya. Kalau tadi aku hanya terkejut saja membaca pesan dari ibu mertua, tapi sekarang selain kaget luar biasa aku juga merasa shock membaca pesan tersebut. Ternyata Mas Dicky benar benar laki laki yang tak punya perasaan. Kalau membaca dari gaya bahasanya, sepertinya perempuan itu memiliki hubungan spesial dan tidak biasa dengan suamiku. Kalau tidak, tak mungkin Mas Dicky memberikan uang dalam jumlah yang tidak sedikit pada perempuan itu dan memberikan cincin seperti yang diakui perempuan itu barusan. Ah, apa jangan jangan diam diam Mas Dicky sudah menikah lagi dengannya dan perempuan itu adalah istri simpanannya? Kurang ajar sekali kalau begitu. Aku saja sebagai istri pertama dan Kayla sebagai anak kandung saja harus sering sering menahan lapar demi rumah tangga ini tetap utuh dan aku mendapatkan ridho sebagai seorang istri, tapi perempuan yang hadir setelah Mas Dicky menikahiku ini malah panen transferan tanpa perlu kesusahan buat makan. Tidak! Kalau begini caranya, aku tak bisa diam lagi seperti yang selama ini aku lakukan. Aku harus segera bertindak cepat menolong diriku sendiri dan Kayla, karena kalau mengharapkan Mas Dicky akan berubah lebih baik lagi padaku dan putrinya, entah kapan hal itu bisa terkabul. Jadi, aku memang harus bertindak cepat. Sebagai istri pertama yang sah di mata hukum dan di mata agama, tentu saja aku lebih punya hak atas harta kekayaan dan penghasilan Mas Dicky dari pekerjaannya. Tapi karena berharap rumah tangga ini baik baik saja dan dia ridho padaku, aku terpaksa harus diam dan terus mengalah meski hati terasa sakit dan perut lapar karena kebutuhan dapur yang terus membengkak seperti yang sekarang ini terjadi. Ya, mulai saat ini aku harus bisa mencari cara supaya bisa mendapatkan hak-ku sebagai seorang istri dengan baik agar tak perlu lagi kelaparan seperti yang sekarang ini terjadi. Aku tak boleh diam saja karena kalau begini terus menerus, aku sendiri yang akan rugi dan terus menerus hidup didera kesulitan. Tiba tiba tanpa sengaja, mataku menangkap benda segi empat berwarna coklat yang tampak menyembul dari bawah bantal kursi di tempat mana Mas Dicky duduk tadi. Meski masih terlipat dua, akan tetapi tampak sekali benda itu tak bisa memuat dengan baik isinya sehingga dari sela sela benda tersebut aku bisa melihat isinya yang sepertinya cukup banyak tersebut. Ya, benda tersebut ternyata adalah sebuah dompet kulit yang sepertinya tak sengaja Mas Dicky tinggalkan di sana. Saat kuambil dengan tangan gemetar, tampak segepok uang senilai lima juta rupiah yang terselip dengan rapi di dalamnya berikut kartu ATM dan kartu identitas lainnya. Dengan jantung zig-zag tak karuan karena jujur, ini adalah kali pertama aku menemukan ponsel dan dompet Mas Dicky ketinggalan, aku pun mengambil uang tersebut dan menyimpannya di dalam bajuku. Aku kemudian menutup kembali dompet tersebut dan berlari ke depan rumah untuk membuang ke dua benda tersebut. Aku yakin tak lama lagi suamiku itu pasti akan kembali lagi karena sadar ponsel dan dompetnya tertinggal di rumah. Aku akan berpura pura kalau kedua benda tersebut tak sengaja dia jatuhkan di depan rumah dari saku celananya saat dia buru buru pergi tadi karena kalau kedua benda ini masih tetap berada di dalam rumah ini, Mas Dicky pasti akan tahu dan curiga kalau akulah yang telah mengambil uang dari dalam dompetnya dan membuka pesan W******p yang dikirim ibu dan wanita yang kemungkinan besar adalah istri simpanannya tersebut padanya. Sekarang ini aku harus bermain pelan tapi cerdas dulu, mengumpulkan uang lebih dulu sebelum mengambil keputusan jika rumah tangga dengan Mas Dicky tak bisa dipertahankan lagi karena sikapnya yang zolim terhadapku dan Kayla. Sampai di depan rumah, aku lantas membuang ponsel dan dompet Mas Dicky ke halaman yang berbatu. Sengaja ponsel laki laki itu aku lempar dengan keras supaya layar LCD nya rusak. Siapa suruh jadi suami pelitnya kelewatan. Sementara dengan yang lainnya dia justru jor joran. Biar dia rasakan akibatnya jadi suami kejam seperti itu. Kalau layarnya rusak, otomatis Mas Dicky tak akan tahu kalau aku sudah membuka dan membaca pesan W******p dari ibu dan gundiknya itu. Kalau uang yang hilang dari dompetnya, tinggal aku bilang saja mungkin uang tersebut diambil orang yang kebetulan lewat dan menemukan dompet tersebut. Tak lupa aku mengambil kartu ATM, dengan pemikiran siapa tahu nanti aku bisa mencari cari berapa nomor PIN-nya dan mengambil uang dari dalam rekeningnya. Ya, mungkin aku jahat, tapi yang pasti dia lebih jahat lagi padaku. Kalau dia berbuat baik dan bertanggung jawab padaku, tak mungkin aku akan membalasnya dengan cara seperti ini. Kali ini aku sudah sangat nekad. Apa yang terjadi terjadilah. Dari pada aku dan Kayla harus terus menahan lapar, lebih baik aku ribut dan bertengkar dengannya yang ternyata tak bisa menjadi imam dan suami yang baik ini. Denganku yang tak banyak protes dan selalu patuh serta menuruti semua kata katanya saja dia bisa bertindak sewenang-wenang seperti ini, tapi dengan istri muda yang entah punya jasa apa padanya, dia justru jor joran memberikan uang belanja jauh lebih banyak dan berlipat lipat jumlahnya dari pada denganku, istri pertamanya sendiri. Jadi jangan salahkan aku kalau mulai saat ini aku akan menjadi musang berbulu domba dan musuh dalam selimut baginya karena dia tak bisa berlaku adil dan bertanggung jawab padaku sebagai istri sahnya dan pada Kayla, putri kandungnya sendiri!"Nina, ini gaji kamu bulan ini. Alhamdulillah berkat bantuan kamu, warung mbak ini bisa berjalan lancar. Semoga ke depannya makin sukses ya, Nin," ucap Mbak Sari saat aku datang ke warung.Hari ini tepat satu bulan sudah aku bekerja menjadi pelayan di warung ini. Alhamdulillah sesuai janji Mbak Sari, aku pun mendapatkan gaji sebesar tiga juta rupiah setiap bulan. Jumlah yang bagiku sangat besar sebab baru kali ini aku menerima uang sebanyak ini. Biasanya hanya dua ratus ribu rupiah saja jatah perminggu yang diberikan oleh Mas Dicky padaku. Itu sebabnya, menerima gaji pertama ini, hatiku girang bukan main. Setelah ini aku bisa mencari rumah kontrakan baru karena aku sudah tak tahan lagi tinggal serumah dengan Mas Dicky, Mia dan ibunya.Setiap hari mereka selalu menguji mental dan kesabaranku. Jika tak ingat Kayla tak punya siapa-siapa selain aku jika kutinggalkan, mungkin aku sudah membuat perhitungan dengan mereka tak peduli masuk penjara karena hati sudah terlalu sakit rasanya."Aam
"Apa? Kok bisa sih Mas, kamu diturunkan jabatan jadi staf biasa? Gimana ceritanya sih? Terus gaji kamu tinggal berapa dong sekarang? Apa cukup buat memenuhi kebutuhan kami semua! Apa salah kamu sih, Mas, sampai bisa diberhentikan jadi manager gitu?" tanya Mia beruntun dengan nada suara terdengar gundah dan penuh kekecewaan.Mas Dicky menghela nafas lalu mengibaskan tangannya."Ini gara-gara kamu juga! Gara-gara kamu selalu minta uang terus, mas jadi gelap mata dan me-mark-up harga barang-barang! Makanya sekarang nggak usah banyak protes! Terima aja kalau sekarang penghasilan mas pas-pasan. Makanya kamu yang hemat kalau nggak mau kelaparan!" jawab Mas Dicky menghardik.Aku hanya tersenyum simpul dalam hati melihat adegan itu. Akhirnya karma itu datang juga. Selamat menikmatinya, Mas! Mia! Batinku dalam hati."Nina! Lama sekali baru pulang kemana aja sih kamu? Kamu tahu nggak ini sudah jam berapa? Kenapa baru pulang?" hardik Mas Dicky pula tiba-tiba padaku saat akhirnya menyadari jika
"Tapi Amel pengen makan di warung ayam geprek Ibunya Kayla, Pa. Please ... katanya Amel boleh minta apa saja. Tapi kok Papa ingkar janji? Pokoknya Amel cuma pengen ke warungnya Kayla, Pa. Amel masih pengen main sama Kayla soalnya. Boleh ya, Pa. Please ....?" ucap Amelia lagi memaksa sang papa.Lalu sebelum sempat papanya menolak kembali, Amelia sudah teriak gembira pada Kayla."Kayla, boleh kan aku makan di warungnya ibu kamu? Katanya ayam geprek di warung ibu kamu enak banget. Mau dong aku makan di sana. Ya, La?" ucap Amelia sumringah.Kayla pun ikut sumringah."Ya, boleh dong. Tapi Papa kamu nggak bolehin. gimana dong?" sahut Kayla."Papaku bolehin kok. Ya kan, Pa? Yuk, Pa, kita berangkat sekarang. Nanti kehabisan," ucap Amelia lagi memaksa papanya.Akhirnya setelah nego antara anak dan bapak, laki-laki bernama Gerald itu pun terpaksa menyetujui.Giliran aku yang dilanda gundah karena tentu saja aku tak sudi ikut mobil laki-laki tak punya etika itu saat putrinya memintaku dan Kayla
POV DICKY "Pak, apa Bapak tidak bisa menganulir lagi keputusan ini? Saya nggak pernah melakukan mark up, Pak. Bapak pasti salah orang!" ucapku tak terima pada keputusan Pak Gerald. Tak pernah terbayang dalam hidupku akan diturunkan jabatan seperti ini, dari manager perusahaan menjadi staf biasa. Benar-benar mimpi yang teramat sangat buruk.Tidak! Aku tak mau jadi staf biasa! Bagaimana aku bisa memenuhi gaya hidup Mia yang glamor dan ibu yang selalu menuntut banyak uang jika posisiku diturunkan seperti ini?Namun, Pak Gerald hanya mengulas senyum tipis."Maaf, Pak. Keputusan ini sudah bulat. Berdasarkan hasil audit keuangan yang dilakukan beberapa waktu lalu, anda terindikasi melakukan penyimpangan dana di perusahaan ini dengan melakukan mark up. Oleh karena itu direksi memutuskan untuk menurunkan jabatan saudara menjadi staf biasa. Kalau saudara tidak terima dengan keputusan ini, saudara dipersilahkan untuk mengajukan pengunduran diri dengan sukarela!" jawab Pak Gerald lagi dengan n
POV Dicky"Mas, kapan sih kamu belikan aku rumah? Masa selamanya aku mau tinggal di kontrakan begini?" ucap Mia, istri keduaku sembari memanyunkan bibirnya saat aku pulang ke rumahnya sore itu.Ini entah kali ke berapa ia melayangkan protes. Namun, aku tak begitu menanggapinya. Ya, bagaimana caranya bisa membelikan ia rumah jika gajiku sudah habis kuberikan pada ibu dan padanya.Aku bukan suami yang pelit, bahkan sangat royal. Separuh gajiku kuberikan padanya. Jadi kalau tak bisa bangun rumah, aku rasa itu bukan salahku melainkan salah Mia sendiri yang tak bisa memanage keuangan sehingga tak pernah punya tabungan meski setiap bulan aku selalu memberinya nafkah sebesar sepuluh juta rupiah. Sepuluh kali lipat bahkan lebih besarnya dari pada jatah nafkah yang kuberikan pada Nina, istri pertamaku.Kami sudah menikah hampir tiga tahun lamanya dan telah dikaruniai seorang buah hati yang saat ini telah berusia dua tahun setengah, mengingat saat menikah dulu, Mia telah berbadan dua."Ya, habi
KUCURI UANG SUAMIKU YANG PELIT (11)"Nin, kamu jadi mau bantu mbak kalau mbak jadi buka warung nanti?" tanya Mbak Sari saat aku sowan ke rumahnya bersama Kayla usai ia pulang dari sekolah.Aku menganggukkan kepala lalu tersenyum."Jadi dong, Mbak. Kapan memangnya Mbak mau buka warung?" tanyaku antusias. Ya aku memang sudah memutuskan untuk bekerja demi bisa mengumpulkan tabungan untuk masa depanku dan Kayla. Aku tak sudi terus menerus mengemis pada Mas Dicky."Mungkin minggu depan, Nin. Oh ya ... apa kamu sudah dapat izin dari Dicky untuk kerja sama mbak?" tanya Mbak Sari pula ingin tahu.Aku pun kembali menganggukkan kepala."Sudah dong, Mbak! Malah bukan hanya diizinkan tapi justru Mas Dicky lah yang nyuruh Nina kerja supaya nggak minta nafkah lagi dari dia.""Kalau gitu, mulai minggu depan Nina udah bisa kerja ya, Mbak?" sahutku lagi."Iya, Nin. Kamu yang sabar dan tetap semangat ya. Semoga suatu saat Dicky sadar dan berubah. Aamiin," ucap Mbak Sari pula sembari menatapku prihatin.