KUCURI UANG SUAMIKU YANG PELIT (3)
"Nina! Nin! Kamu lihat nggak hape dan dompetku! Kok Mas cari cari nggak ada!"
Baru saja aku masuk ke dalam rumah dan pura pura sedang mencuci pakaian, Mas Dicky masuk dengan wajah terlihat gusar. Melihat itu aku pura pura bengong dan tak mengerti. "Hape dan dompet? Maksudnya? Mana aku tahu. Dari tadi aku nyuci baju, Mas," sahutku pura pura tenang padahal dalam hati merasa bersalah tak karuan dan berdosa karena harus membohongi suami sendiri seperti ini. Hal yang baru kali ini aku lakukan tentu saja dengan sangat terpaksa dan berat hati. "Hape dan dompet Mas nggak ada! Mungkin ketinggalan! Coba tolong carikan!" ujar Mas Dicky lagi dengan nada gusar dan intonasi suara yang tak juga berkurang dari sebelumnya. Aku kembali menggelengkan kepala. "Tapi aku benar benar nggak tahu, Mas. Coba Mas cari di depan. Kali aja ketinggalan di kursi karena Mas kan tadi duduk di sana. Atau kalau nggak ada mungkin jatuh di jalan nggak? Soalnya aku lihat Mas suka naruh dompet dan hape sembarangan. Suka Mas taruh di saku celana. Padahal kan rawan jatuh kalau nggak hati hati, Mas," ujarku mencoba memberikan analisa meski sekali lagi dadaku terasa pedih karena harus berdusta pada suami sendiri seperti ini. Tak menjawab perkataanku, Mas Dicky gegas kembali ke ruang tengah dan segera mencari cari kedua benda tersebut di atas meja dan kursi ruang tengah. Tapi tentu saja nihil, sebab aku sudah membuang kedua benda tersebut di depan teras setelah menggasak isinya lebih dulu dan melemparnya sekuat mungkin ke atas hamparan batu kerikil yang pasti dia lewati sebelum menuju mobilnya yang terparkir di halaman depan. Benar saja. Tak menemukan kedua benda tersebut di atas meja dan kursi ruang tengah serta ruang tamu, suamiku lantas bergegas menuju teras depan dan terbelalak kaget saat menemukan ponsel dan dompet miliknya ternyata berada di atas kerikil di depan rumah dengan kondisi telah rusak. Wajah Mas Dicky langsung kelihatan panik dan gusar. "Ya ampun! Kok bisa sih jatuh di sini? Hancur lagi hape ini! Duh, sial! Gara gara kamu ini pasti, makanya aku bisa sial begini!" gerutunya kesal. Seperti biasanya, laki laki itu pasti akan mencari kambing hitam akan kesalahan yang sudah dia perbuat sendiri. Aku tak heran mendengarnya sebab bukan kali ini dia menyalahkan aku setiap kali menemui nasib buruk atau tak sesuai dengan keinginannya. Namun seperti yang sudah sudah, aku pun memilih diam karena kalau aku lawan dengan kata kata pun pasti akan percuma dan tak akan ada gunanya Jadi lebih baik aku diam dan bermain halus saja tapi menghasilkan daripada bermain kasar, ribut dan bertengkar tapi tak ada hasil. Tentu saja kalau masih bisa dibawa halus. Kalau tidak, ya terpaksa aku juga akan menempuh jalan kasar. Aku tak akan pasrah begitu saja. Tidak kali ini! Aku sudah berjanji dalam hati akan membela diriku mati matian dari pada terus ditindas dan direndahkan seperti ini. "Ini juga dompet kok isinya nggak ada lagi! ATM juga hilang! Kurang ajar! Siapa sih yang sudah ngambil semuanya? Kamu bener bener nggak tahu, Nin? Soalnya perasaan Mas, Mas nggak menjatuhkan benda ini di sini!" "Ayo ngaku, Nin! Kamu kan yang ngambil duit dan ATM Mas di dalam dompet ini? Kalau bukan kamu siapa lagi?" hardiknya sambil membuka buka isi dompetnya dan menatapku dengan tajam saat tak menemukan uang dan kartu ATM dari dalamnya. Sejujurnya aku kaget mendengar dia menuduhku seperti ini. Ternyata feeling-nya kuat juga. Tapi karena sudah kepalang tanggung bersandiwara, aku pun tak boleh kalah dan mengaku salah begitu saja. Aku harus tetap meneruskan sandiwara pura pura ini. "Ngambil dompet Mas? Emang Mas punya uang? Katanya tadi nggak ada lagi? Aku minta untuk beli kebutuhan dapur aja Mas tolak. Mana tahu aku kalau Mas ternyata punya uang. Introspeksi diri aja, Mas. Kali aja ini balasan dari Tuhan untuk suami pelit dan zolim seperti Mas. Makanya dompet dan hape Mas bisa jatuh dan rusak begini!" "Coba Mas kasih istri baik baik, mungkin nggak begini juga kejadiannya. Allah pasti nggak akan menyia-nyiakan suami yang baik pada anak dan istrinya, Mas. Suami itu kan pengayom keluarga. Bertugas mencari nafkah buat anak dan istrinya, tapi kalau anak dan istrinya saja nggak bisa makan, padahal dia ada duit, buat apa Tuhan kasih rejeki lagi?" "Udah! Aku mau lanjut cuci baju lagi! Kalau Mas masih mau nuduh aku yang enggak enggak, aku sumpahin Mas bakalan ngalamin nasib sial yang lebih buruk dari ini. Dengar?" "Doa orang yang dizolimi itu makbul, Mas. Barusan aku mbatin dalam hati Mas dapat sial karena pelit sama anak dan istri, eh ternyata benar kan? Makanya jangan pelit pelit, Mas. Aku ini istri Mas, Kayla anak kandung Mas. Kok bisa-bisanya Mas perhitungan setinggi langit begini? Heran aku!" jawabku menumpahkan kekesalan yang menumpuk di dalam hati. Rasanya capek punya suami seperti Mas Dicky. Tapi kalau mau minta talak sekarang juga, aku masih punya pertimbangan lain. Aku belum punya apa apa saat ini. Kalau nekad minta cerai dan hidup sendiri, untuk menghidupi dan meneruskan sekolah Kayla nanti bagaimana? Makanya aku harus berpikir panjang dan mempersiapkan segala sesuatunya lebih dulu sebelum mengambil keputusan besar, meminta cerai. Aku tak mau gara gara ketidaksabaranku menghadapi Mas Dicky, nasib putriku jadi tak jelas nanti. Jadi biar saja untuk sementara waktu ini aku menahan hati dan mengalah lebih dulu demi mencapai tujuan sebenarnya yang ada dalam benakku saat ini. Mendengar jawabanku, Mas Dicky tampak marah tapi tak bisa berbuat apa apa karena sadar mungkin dia tak punya bukti kuat untuk menuduhku mencuri uangnya. Laki laki itu pun melangkah gontai menuju mobilnya yang diparkir sembarangan lalu kembali pergi tanpa berkata sepatah pun lagi."Nina, ini gaji kamu bulan ini. Alhamdulillah berkat bantuan kamu, warung mbak ini bisa berjalan lancar. Semoga ke depannya makin sukses ya, Nin," ucap Mbak Sari saat aku datang ke warung.Hari ini tepat satu bulan sudah aku bekerja menjadi pelayan di warung ini. Alhamdulillah sesuai janji Mbak Sari, aku pun mendapatkan gaji sebesar tiga juta rupiah setiap bulan. Jumlah yang bagiku sangat besar sebab baru kali ini aku menerima uang sebanyak ini. Biasanya hanya dua ratus ribu rupiah saja jatah perminggu yang diberikan oleh Mas Dicky padaku. Itu sebabnya, menerima gaji pertama ini, hatiku girang bukan main. Setelah ini aku bisa mencari rumah kontrakan baru karena aku sudah tak tahan lagi tinggal serumah dengan Mas Dicky, Mia dan ibunya.Setiap hari mereka selalu menguji mental dan kesabaranku. Jika tak ingat Kayla tak punya siapa-siapa selain aku jika kutinggalkan, mungkin aku sudah membuat perhitungan dengan mereka tak peduli masuk penjara karena hati sudah terlalu sakit rasanya."Aam
"Apa? Kok bisa sih Mas, kamu diturunkan jabatan jadi staf biasa? Gimana ceritanya sih? Terus gaji kamu tinggal berapa dong sekarang? Apa cukup buat memenuhi kebutuhan kami semua! Apa salah kamu sih, Mas, sampai bisa diberhentikan jadi manager gitu?" tanya Mia beruntun dengan nada suara terdengar gundah dan penuh kekecewaan.Mas Dicky menghela nafas lalu mengibaskan tangannya."Ini gara-gara kamu juga! Gara-gara kamu selalu minta uang terus, mas jadi gelap mata dan me-mark-up harga barang-barang! Makanya sekarang nggak usah banyak protes! Terima aja kalau sekarang penghasilan mas pas-pasan. Makanya kamu yang hemat kalau nggak mau kelaparan!" jawab Mas Dicky menghardik.Aku hanya tersenyum simpul dalam hati melihat adegan itu. Akhirnya karma itu datang juga. Selamat menikmatinya, Mas! Mia! Batinku dalam hati."Nina! Lama sekali baru pulang kemana aja sih kamu? Kamu tahu nggak ini sudah jam berapa? Kenapa baru pulang?" hardik Mas Dicky pula tiba-tiba padaku saat akhirnya menyadari jika
"Tapi Amel pengen makan di warung ayam geprek Ibunya Kayla, Pa. Please ... katanya Amel boleh minta apa saja. Tapi kok Papa ingkar janji? Pokoknya Amel cuma pengen ke warungnya Kayla, Pa. Amel masih pengen main sama Kayla soalnya. Boleh ya, Pa. Please ....?" ucap Amelia lagi memaksa sang papa.Lalu sebelum sempat papanya menolak kembali, Amelia sudah teriak gembira pada Kayla."Kayla, boleh kan aku makan di warungnya ibu kamu? Katanya ayam geprek di warung ibu kamu enak banget. Mau dong aku makan di sana. Ya, La?" ucap Amelia sumringah.Kayla pun ikut sumringah."Ya, boleh dong. Tapi Papa kamu nggak bolehin. gimana dong?" sahut Kayla."Papaku bolehin kok. Ya kan, Pa? Yuk, Pa, kita berangkat sekarang. Nanti kehabisan," ucap Amelia lagi memaksa papanya.Akhirnya setelah nego antara anak dan bapak, laki-laki bernama Gerald itu pun terpaksa menyetujui.Giliran aku yang dilanda gundah karena tentu saja aku tak sudi ikut mobil laki-laki tak punya etika itu saat putrinya memintaku dan Kayla
POV DICKY "Pak, apa Bapak tidak bisa menganulir lagi keputusan ini? Saya nggak pernah melakukan mark up, Pak. Bapak pasti salah orang!" ucapku tak terima pada keputusan Pak Gerald. Tak pernah terbayang dalam hidupku akan diturunkan jabatan seperti ini, dari manager perusahaan menjadi staf biasa. Benar-benar mimpi yang teramat sangat buruk.Tidak! Aku tak mau jadi staf biasa! Bagaimana aku bisa memenuhi gaya hidup Mia yang glamor dan ibu yang selalu menuntut banyak uang jika posisiku diturunkan seperti ini?Namun, Pak Gerald hanya mengulas senyum tipis."Maaf, Pak. Keputusan ini sudah bulat. Berdasarkan hasil audit keuangan yang dilakukan beberapa waktu lalu, anda terindikasi melakukan penyimpangan dana di perusahaan ini dengan melakukan mark up. Oleh karena itu direksi memutuskan untuk menurunkan jabatan saudara menjadi staf biasa. Kalau saudara tidak terima dengan keputusan ini, saudara dipersilahkan untuk mengajukan pengunduran diri dengan sukarela!" jawab Pak Gerald lagi dengan n
POV Dicky"Mas, kapan sih kamu belikan aku rumah? Masa selamanya aku mau tinggal di kontrakan begini?" ucap Mia, istri keduaku sembari memanyunkan bibirnya saat aku pulang ke rumahnya sore itu.Ini entah kali ke berapa ia melayangkan protes. Namun, aku tak begitu menanggapinya. Ya, bagaimana caranya bisa membelikan ia rumah jika gajiku sudah habis kuberikan pada ibu dan padanya.Aku bukan suami yang pelit, bahkan sangat royal. Separuh gajiku kuberikan padanya. Jadi kalau tak bisa bangun rumah, aku rasa itu bukan salahku melainkan salah Mia sendiri yang tak bisa memanage keuangan sehingga tak pernah punya tabungan meski setiap bulan aku selalu memberinya nafkah sebesar sepuluh juta rupiah. Sepuluh kali lipat bahkan lebih besarnya dari pada jatah nafkah yang kuberikan pada Nina, istri pertamaku.Kami sudah menikah hampir tiga tahun lamanya dan telah dikaruniai seorang buah hati yang saat ini telah berusia dua tahun setengah, mengingat saat menikah dulu, Mia telah berbadan dua."Ya, habi
KUCURI UANG SUAMIKU YANG PELIT (11)"Nin, kamu jadi mau bantu mbak kalau mbak jadi buka warung nanti?" tanya Mbak Sari saat aku sowan ke rumahnya bersama Kayla usai ia pulang dari sekolah.Aku menganggukkan kepala lalu tersenyum."Jadi dong, Mbak. Kapan memangnya Mbak mau buka warung?" tanyaku antusias. Ya aku memang sudah memutuskan untuk bekerja demi bisa mengumpulkan tabungan untuk masa depanku dan Kayla. Aku tak sudi terus menerus mengemis pada Mas Dicky."Mungkin minggu depan, Nin. Oh ya ... apa kamu sudah dapat izin dari Dicky untuk kerja sama mbak?" tanya Mbak Sari pula ingin tahu.Aku pun kembali menganggukkan kepala."Sudah dong, Mbak! Malah bukan hanya diizinkan tapi justru Mas Dicky lah yang nyuruh Nina kerja supaya nggak minta nafkah lagi dari dia.""Kalau gitu, mulai minggu depan Nina udah bisa kerja ya, Mbak?" sahutku lagi."Iya, Nin. Kamu yang sabar dan tetap semangat ya. Semoga suatu saat Dicky sadar dan berubah. Aamiin," ucap Mbak Sari pula sembari menatapku prihatin.