KUCURI UANG SUAMIKU YANG PELIT (4)
PIN ATM : 221222
Setelah capek mencari cari informasi berapa nomor PIN ATM Mas Dicky, akhirnya aku menemukan juga angka tersebut tertulis di buku agenda Mas Dicky yang tersimpan di dalam laci meja kerjanya yang berada di kamar sebelah. Kamar yang selama ini menjadi tempat dia bekerja kala harus lembur akhir bulan. Mendapati nomor PIN ATM tersebut, tanpa ba-bi-bu lagi aku pun langsung menuju keluar rumah dan dengan menggunakan ojek online pesanan, segera menuju Anjungan Tunai Mandiri terdekat. Dengan tak sabar lagi, aku pun segera masuk ke dalam ruang ATM saat sudah sampai, dan gegas memasukkan kartu serta nomor PIN yang aku temukan tadi ke dalam mesin ATM. Sukses. Hanya saja aku terbelalak kaget saat tak menemukan nominal yang aku harapkan di dalam rekening Mas Dicky. ATM Mas Dicky ternyata tak ada isinya. Padahal kalau aku kira kira, gaji Mas Dicky setiap bulannya bisa saja mencapai angka dua puluh juta rupiah, bahkan lebih sebab dalam satu bulan suamiku itu bisa mengirimi ibunya uang sebanyak sepuluh juta rupiah dan memberikan jumlah yang sama juga pada gundiknya. Hmm ... jangan jangan gaji suamiku itu justru lebih besar lagi dari itu, mengingat dia masih bisa menyimpan lima juta rupiah lagi dalam dompetnya yang tadi aku ambil. Ya, bodohnya aku selama ini karena tak pernah berpikir untuk menyelidiki berapa gaji suamiku itu sebenarnya. Aku hanya pasrah dan diam saja saat diberi nafkah tak sampai satu juta rupiah setiap bulannya. Padahal untuk Ibu dan gundiknya, dia bisa jor joran memberi uang belanja. Dengan langkah kaki lesu, aku pun akhirnya keluar dari ruang ATM. Tapi baru saja hendak menelpon kembali ojek online untuk menuju ke pasar, hendak membeli nasi bungkus untuk aku dan Kayla makan nanti, karena kalau tiba tiba aku belanja dan masak, pasti Mas Dicky curiga akulah yang sudah mengambil uang dari dalam dompetnya, aku menemukan sosok suamiku itu tengah berjalan masuk menuju bank yang berada di samping ruang ATM ini. Beruntung laki laki itu tak melihatku, membuatku bertanya-tanya sendiri, ah, apa Mas Dicky akan memblokir kartu ATM yang saat ini ada di tanganku saat ini ya? Ya, kalau secara logika sudah pasti begitu. Mas Dicky pasti hendak segera memblokir kartu ATM-nya yang hilang. Meski saldonya 0 rupiah, tapi uang gajinya pasti ditransfer perusahaan ke nomor rekening ini. Jadi dia buru buru memblokir supaya uang itu tak bisa aku ambil sebagian. Hmm ... kalau begitu, aku harus menyusun rencana lain supaya bisa ikut menikmati gaji suamiku itu seperti yang lainnya, Ibu dan istri mudanya. Aku tak akan diam saja setelah tahu fakta yang sebenarnya terjadi. Aku rasa dibandingkan yang lain, aku lebih punya hak atas gaji Mas Dicky tersebut. Melihat laki laki itu masuk ke dalam bank, aku pun gegas keluar dari ATM dan buru buru memesan ojek online untuk minta diantar menuju pasar. ***** Tok ! Tok ! Tok ! "Assalamualaikum Ibu .... Kayla pulang ... ." Terdengar sapaan dari pintu depan saat aku sudah beberapa lama tiba kembali di rumah. Gegas aku berjalan menuju pintu dan membukanya. Tampak putriku dengan seragam merah putih berdiri di baliknya. "Waalaikum salam. Alhamdulillah kamu sudah pulang, Kayla. Gimana sekolahnya hari ini? Lancar?" tanyaku sambil tersenyum dan membantu putriku itu membawa tas ke dalam kamarnya. "Alhamdulillah lancar, Bu. Kayla dapat nilai seratus. Oh ya, Bu. buku tulis Ila sudah habis. Bisa tidak Ila minta belikan tiga buah saja, Bu untuk menulis? Ada tiga pelajaran yang bukunya sudah habis?" kata putriku sembari mencopot kaos kakinya dan meletakkannya di rak sepatu. Aku tersenyum lalu membelai kepala putriku. Ya, dengan uang yang berhasil aku curi dari dompet Mas Dicky, aku pasti bisa membelikan putriku ini buku baru. Mas Dicky pasti tak akan tahu kalau uangnya aku curi dan aku pergunakan untuk membeli buku Kayla sebab laki laki itu hampir tak pernah peduli pada sekolah putrinya. "Insya Allah bisa. Nanti Ibu belikan ya, Nak. Sekarang makan dulu. Barusan ibu beli nasi bungkus. Yuk, kita makan sama sama. Satu bungkus berdua ya," ujarku pada putriku yang membuat seketika senyum gadis kecil berusia delapan tahun tersebut mengembang. "Alhamdulillah. Tumben Ibu beli nasi bungkus? Ibu dapat uang dari mana?" tanya Kayla dengan nada gembira. Aku kembali tersenyum lalu membuka mulutku. "Ada. Alhamdulillah Ibu dapat rejeki. Cuma ... Kayla nggak usah bilang bilang ayah ya," kataku mengingatkan. Kayla mengangguk lalu tersenyum. "Iya, Bu. Nanti ayah marah marah lagi ya, Bu. Nggak mau kasih Ibu uang belanja lagi kalau Ibu ada uang sendiri?" jawab putriku dengan nada polos yang jujur membuat batinku sakit dan sesak. Bahkan Kayla yang baru berusia delapan tahun saja sudah tahu tabiat ayahnya yang pelit dan perhitungan pada ibunya. Aku menganggukkan kepala meski terpaksa. Keadaan ini memang belum bisa aku rubah dengan tanganku, Kayla yang punya pemikiran buruk soal ayahnya karena Mas Dicky sendiri yang tak mau memberi contoh yang baik pada putriku sehingga Kayla jadi tak simpati dan kagum pada ayahnya sendiri. "Hmm ... iya. Tapi Kayla harus tetap hormat sama ayah ya. Hanya saja soal beli buku ini, Kayla nggak usah bilang ayah dulu kalau ibu yang belikan karena Ibu nggak mau ayah ribut ribut. Pokoknya kalau ayah nggak tanya, Kayla nggak usah ngomong ya, Sayang." Kayla mengangguk lalu kembali tersenyum. "Ya, Bu," jawabnya patuh. "Ya udah kalau gitu kita makan sekarang yuk, mumpung masih hangat nasinya. Kalau sudah dingin nanti nggak enak lagi," kataku sembari menggandeng tangan putriku menuju ke dapur dan menikmati nasi bungkus sama sama dengan perasaan gembira. ***** "Bu, Ibu tahu nggak, tadi Haykal di sekolah pakai sepatu baru lho. Tas juga baru. Katanya kemarin dibelikan ayah. Kok Kayla nggak dibelikan ya, Bu padahal Kayla ini anak ayah kan, Bu?" ujar Kayla tiba tiba di sela sela makan. Mendengar perkataan putriku itu, seketika aku merasa kaget dan tak enak hati. Mas Dicky membelikan sepatu dan tas baru untuk Haykal, keponakannya yang merupakan anak dari adik Mas Dicky yang bernama Tanti, kakaknya Mira itu? Padahal Tanti sudah menikah dan suaminya bukan orang miskin. Mereka berdua sama sama bekerja di perusahaan, tapi Mas Dicky sempat sempatnya membelikan anak mereka sepatu dan tas baru. Sementara untuk Kayla yang merupakan putri kandungnya sendiri, jangankan dibelikan sepatu dan tas baru, berangkat sekolah saja terpaksa tak membawa uang saku karena aku tak lagi punya uang dan Mas Dicky menolak memberi tambahan belanja saat aku minta tadi. Benar benar terlalu suamiku itu. Kalau begini caranya, memang tak ada lagi penyesalan dalam hatiku telah mencuri uang Mas Dicky pagi tadi. Laki laki itu memang sudah sangat keterlaluan. Dengan darah dagingnya sendiri saja dia tak punya perasaan dan kasih sayang. Lalu untuk apa aku lagi aku menyesal sudah mencuri dan mengambil tanpa izin uang di dalam dompetnya itu, bila perilaku Mas Dicky sama sekali tak bisa ditolerir dan diberi ampun? Ya, aku tak akan lagi menyesal telah melakukan perbuatan buruk ini karena kalau tak aku lakukan, maka aku dan Kayla akan menjadi seperti dalam peribahasa, tikus mati di lumbung padi! Sungguh miris sekali!"Nina, ini gaji kamu bulan ini. Alhamdulillah berkat bantuan kamu, warung mbak ini bisa berjalan lancar. Semoga ke depannya makin sukses ya, Nin," ucap Mbak Sari saat aku datang ke warung.Hari ini tepat satu bulan sudah aku bekerja menjadi pelayan di warung ini. Alhamdulillah sesuai janji Mbak Sari, aku pun mendapatkan gaji sebesar tiga juta rupiah setiap bulan. Jumlah yang bagiku sangat besar sebab baru kali ini aku menerima uang sebanyak ini. Biasanya hanya dua ratus ribu rupiah saja jatah perminggu yang diberikan oleh Mas Dicky padaku. Itu sebabnya, menerima gaji pertama ini, hatiku girang bukan main. Setelah ini aku bisa mencari rumah kontrakan baru karena aku sudah tak tahan lagi tinggal serumah dengan Mas Dicky, Mia dan ibunya.Setiap hari mereka selalu menguji mental dan kesabaranku. Jika tak ingat Kayla tak punya siapa-siapa selain aku jika kutinggalkan, mungkin aku sudah membuat perhitungan dengan mereka tak peduli masuk penjara karena hati sudah terlalu sakit rasanya."Aam
"Apa? Kok bisa sih Mas, kamu diturunkan jabatan jadi staf biasa? Gimana ceritanya sih? Terus gaji kamu tinggal berapa dong sekarang? Apa cukup buat memenuhi kebutuhan kami semua! Apa salah kamu sih, Mas, sampai bisa diberhentikan jadi manager gitu?" tanya Mia beruntun dengan nada suara terdengar gundah dan penuh kekecewaan.Mas Dicky menghela nafas lalu mengibaskan tangannya."Ini gara-gara kamu juga! Gara-gara kamu selalu minta uang terus, mas jadi gelap mata dan me-mark-up harga barang-barang! Makanya sekarang nggak usah banyak protes! Terima aja kalau sekarang penghasilan mas pas-pasan. Makanya kamu yang hemat kalau nggak mau kelaparan!" jawab Mas Dicky menghardik.Aku hanya tersenyum simpul dalam hati melihat adegan itu. Akhirnya karma itu datang juga. Selamat menikmatinya, Mas! Mia! Batinku dalam hati."Nina! Lama sekali baru pulang kemana aja sih kamu? Kamu tahu nggak ini sudah jam berapa? Kenapa baru pulang?" hardik Mas Dicky pula tiba-tiba padaku saat akhirnya menyadari jika
"Tapi Amel pengen makan di warung ayam geprek Ibunya Kayla, Pa. Please ... katanya Amel boleh minta apa saja. Tapi kok Papa ingkar janji? Pokoknya Amel cuma pengen ke warungnya Kayla, Pa. Amel masih pengen main sama Kayla soalnya. Boleh ya, Pa. Please ....?" ucap Amelia lagi memaksa sang papa.Lalu sebelum sempat papanya menolak kembali, Amelia sudah teriak gembira pada Kayla."Kayla, boleh kan aku makan di warungnya ibu kamu? Katanya ayam geprek di warung ibu kamu enak banget. Mau dong aku makan di sana. Ya, La?" ucap Amelia sumringah.Kayla pun ikut sumringah."Ya, boleh dong. Tapi Papa kamu nggak bolehin. gimana dong?" sahut Kayla."Papaku bolehin kok. Ya kan, Pa? Yuk, Pa, kita berangkat sekarang. Nanti kehabisan," ucap Amelia lagi memaksa papanya.Akhirnya setelah nego antara anak dan bapak, laki-laki bernama Gerald itu pun terpaksa menyetujui.Giliran aku yang dilanda gundah karena tentu saja aku tak sudi ikut mobil laki-laki tak punya etika itu saat putrinya memintaku dan Kayla
POV DICKY "Pak, apa Bapak tidak bisa menganulir lagi keputusan ini? Saya nggak pernah melakukan mark up, Pak. Bapak pasti salah orang!" ucapku tak terima pada keputusan Pak Gerald. Tak pernah terbayang dalam hidupku akan diturunkan jabatan seperti ini, dari manager perusahaan menjadi staf biasa. Benar-benar mimpi yang teramat sangat buruk.Tidak! Aku tak mau jadi staf biasa! Bagaimana aku bisa memenuhi gaya hidup Mia yang glamor dan ibu yang selalu menuntut banyak uang jika posisiku diturunkan seperti ini?Namun, Pak Gerald hanya mengulas senyum tipis."Maaf, Pak. Keputusan ini sudah bulat. Berdasarkan hasil audit keuangan yang dilakukan beberapa waktu lalu, anda terindikasi melakukan penyimpangan dana di perusahaan ini dengan melakukan mark up. Oleh karena itu direksi memutuskan untuk menurunkan jabatan saudara menjadi staf biasa. Kalau saudara tidak terima dengan keputusan ini, saudara dipersilahkan untuk mengajukan pengunduran diri dengan sukarela!" jawab Pak Gerald lagi dengan n
POV Dicky"Mas, kapan sih kamu belikan aku rumah? Masa selamanya aku mau tinggal di kontrakan begini?" ucap Mia, istri keduaku sembari memanyunkan bibirnya saat aku pulang ke rumahnya sore itu.Ini entah kali ke berapa ia melayangkan protes. Namun, aku tak begitu menanggapinya. Ya, bagaimana caranya bisa membelikan ia rumah jika gajiku sudah habis kuberikan pada ibu dan padanya.Aku bukan suami yang pelit, bahkan sangat royal. Separuh gajiku kuberikan padanya. Jadi kalau tak bisa bangun rumah, aku rasa itu bukan salahku melainkan salah Mia sendiri yang tak bisa memanage keuangan sehingga tak pernah punya tabungan meski setiap bulan aku selalu memberinya nafkah sebesar sepuluh juta rupiah. Sepuluh kali lipat bahkan lebih besarnya dari pada jatah nafkah yang kuberikan pada Nina, istri pertamaku.Kami sudah menikah hampir tiga tahun lamanya dan telah dikaruniai seorang buah hati yang saat ini telah berusia dua tahun setengah, mengingat saat menikah dulu, Mia telah berbadan dua."Ya, habi
KUCURI UANG SUAMIKU YANG PELIT (11)"Nin, kamu jadi mau bantu mbak kalau mbak jadi buka warung nanti?" tanya Mbak Sari saat aku sowan ke rumahnya bersama Kayla usai ia pulang dari sekolah.Aku menganggukkan kepala lalu tersenyum."Jadi dong, Mbak. Kapan memangnya Mbak mau buka warung?" tanyaku antusias. Ya aku memang sudah memutuskan untuk bekerja demi bisa mengumpulkan tabungan untuk masa depanku dan Kayla. Aku tak sudi terus menerus mengemis pada Mas Dicky."Mungkin minggu depan, Nin. Oh ya ... apa kamu sudah dapat izin dari Dicky untuk kerja sama mbak?" tanya Mbak Sari pula ingin tahu.Aku pun kembali menganggukkan kepala."Sudah dong, Mbak! Malah bukan hanya diizinkan tapi justru Mas Dicky lah yang nyuruh Nina kerja supaya nggak minta nafkah lagi dari dia.""Kalau gitu, mulai minggu depan Nina udah bisa kerja ya, Mbak?" sahutku lagi."Iya, Nin. Kamu yang sabar dan tetap semangat ya. Semoga suatu saat Dicky sadar dan berubah. Aamiin," ucap Mbak Sari pula sembari menatapku prihatin.