Bab 33
Aku masih bersembunyi di sekitar rumah Bu Dahlia dan menyaksikan pertengkaran keluarga itu. Aku masih ingin mengetahui kelanjutan pertikaian keluarga mereka."A-aku udah bilang sama Om Rizal, t-tapi dia bilang dia nggak mau tanggung jawab," ungkap Indri membuat kemarahan Mas Iqbal makin memuncak.Aku tak menyangka Mas Iqbal selicik itu, dia tega meminta adiknya untuk memeras laki-laki yang sudah menghamilinya. Namun sayangnya Indri memberi jawaban yang sangat mengejutkan."Kamu bilang apa? Jadi tua bangka itu nggak mau tanggung jawab?" geram Mas Iqbal."Aku udah coba minta pertanggung jawaban Om Rizal, tapi dia malah nggak mau mengakui kalau ini anaknya. Om Rizal udah ninggalin aku, Mas," ucap Indri diiringi isak tangis."Dasar perempuan nggak berguna! Bod*h banget sih kamu, Indri! Harusnya kamu minta sesuatu dari dia buat jaminan!" omel Mas Iqbal. "Kalau dia nggak mau tanggung jawab dan nggak mau memberi uang, kita laporBab 34Aku duduk di kamar seraya menatap beberapa lembar kertas yang berserakan di meja. Aku sedang mengumpulkan berkas untuk pendaftaran perceraian. Meskipun aku belum bicara pada Mas Iqbal kalau aku ingin segera berpisah, tapi aku sudah mulai bersiap dari sekarang. Setelah aku bertemu dengan Mas Iqbal nanti, aku akan langsung mendaftarkan perceraian kami."Bismillahirrahmanirrahim. Aku ingin memulai dan membuka lembaran baru."Kumasukkan berkas-berkas pernikahanku ke dalam amplop besar dan kusimpan baik-baik di laci meja. Aku harus segera mencari momen yang tepat untuk mengajak Mas Iqbal bertemu."Kamarnya jadi longgar banget sekarang," gumamku seraya menatap ke sekeliling. Tak ada lagi barang milik Mas Iqbal yang tersisa di dalam kamar ini.Kemarin aku langsung meninggalkan rumah Mas Iqbal tanpa berpamitan. Kutinggalkan begitu saja tas besar dan kardus-kardus yang berisi barang-barang Mas Iqbal di depan rumahnya.Saat aku perg
Bab 35"Kamu ngapain di sini, Mas?" tanyaku pada Mas Iqbal yang saat ini sudah berdiri di depanku dan menghalangi jalanku."Kalau aku nggak ke sini, mungkin aku nggak akan tahu kelakuan kamu selama ini!" sahut Mas Iqbal.Dahiku berkerut. Kata-kata Mas Iqbal membuatku bingung."Maksud kamu apa, Mas?""Jujur aja, Mel! Kamu punya hubungan sama laki-laki lain, 'kan?" tuduh Mas Iqbal.Mas Iqbal tiba-tiba datang dan mengoceh tidak jelas. Tak ada angin tak ada hujan, Mas Iqbal menudingku telah main serong dan berkhianat."Kamu ngomong apa sih, Mas?""Aku lihat semuanya. Dari tadi kamu duduk sama laki-laki yang pernah nganterin kamu pulang. Laki-laki itu pasti sering ketemu sama kamu di sini, 'kan? Setiap hari kamu ke kafe bukan untuk kerja, tapi untuk ketemuan sama selingkuhan kamu itu, iya 'kan?"Tanganku tiba-tiba bergerak sendiri dan mengarah ke wajah Mas Iqbal. Aku menampar pipi Mas Iqbal dengan sangat ker
Bab 36Aku dan Mas Iqbal masih berdiri di depan kafe. Kami masih terlibat perdebatan mengenai ke perceraian.Tampaknya permintaanku untuk berpisah membuat Mas Iqbal tidak senang. Kupikir Mas Iqbal memang sudah lama ingin bercerai denganku, tapi Mas Iqbal justru marah saat aku membahas tentang perceraian."Kamu jangan ngomong ngawur, Mel! Kamu mau cerai sama aku?" sungut Mas Iqbal."Bukannya itu yang kamu mau dari dulu? Adik sama ibu kamu pengen menantu baru. Mereka udah nggak mau lagi mengakui aku sebagai menantu, 'kan? Kamu juga udah cari perempuan lain. Buat apa lagi kita mempertahankan rumah tangga yang cuma sekedar status?" sahutku. "Aku nggak mau cerai sama kamu!" ucap Mas Iqbal tiba-tiba."Aku tetap mau cerai!" tegasku."Kamu jangan jadi istri matre yang mau enaknya aja, Mel! Setelah aku dipecat, jadi pengangguran, jadi bahan ejekan orang, kamu mau ninggalin aku?" omel Mas Iqbal. "Istri macam apa kamu, hah? Harusn
Bab 37Hari ini aku benar-benar pergi ke pengadilan untuk mengajukan gugatan. Setelah mendaftar, aku akan langsung membuat surat gugatan. Tanganku berkeringat dingin saat aku menyerahkan dokumen yang sudah aku kumpulkan. Aku masih tak percaya, aku berani datang ke sini untuk mengakhiri rumah tanggaku."Tinggal nunggu jadwal sidang keluar," gumamku gugup.Setelah menyelesaikan urusan di pengadilan, aku bergegas pergi ke kafe dan bekerja seperti biasa. Untungnya Mas Iqbal hari ini tidak datang ke kafe. Mas Iqbal pasti kesal kalau dia tahu aku sudah mendaftarkan perceraian kami."Aku nggak boleh takut. Aku harus berani melawan Mas Iqbal."**Minggu ini aku akan mulai membuat pesanan kue-kue khas Palembang untuk hotel-hotel Alfarizi grup. Dapur sudah diperluas dan semua peralatan sudah siap. Juru masak baru juga sudah mulai datang untuk membantuku."Ini daftar kue dan resepnya. Tolong bikin percobaan dulu beberapa
Bab 38Akhirnya karena alasan keselamatan, aku menerima tawaran Hendra untuk mengantarku pulang. Sekarang aku sudah duduk di dalam mobil Hendra yang diparkir di pelataran kafe."Udah siap?"Karena merasa sungkan jika harus duduk di samping Hendra, aku sengaja memilih duduk di kursi penumpang."Udah, Mas," jawabku.Mobil mulai melaju perlahan. Selama perjalanan, Hendra mengajakku berbincang ringan.Sesekali aku mencuri pandang pada Hendra melalui kaca spion mobil. Sebenarnya aku sangat penasaran mengenai pekerjaan Hendra. Tapi untuk bertanya, tentu aku merasa sungkan. Jangankan bertanya langsung pada Hendra, bertanya melalui Mba Mira saja aku tidak berani. Takut dikira terlalu kepo dan ingin ikut campur urusan orang. Karena aku sadar, aku bukan siapa-siapa.Mengingat Hendra masih sepupu Pak Rayhan, mungkin saja dia mengelola salah satu hotel milik keluarga, sama seperti Pak Rayhan. Atau bisa jadi Hendra mengelola perusaha
Bab 39Mataku berkunang-kunang. Mas Iqbal melepaskan cengkeraman tangannya di kerah bajuku. Kemudian Hendra langsung menyeret Mas Iqbal ke luar rumah. Kejadiannya begitu cepat, hingga aku tak begitu jelas melihat pergerakan Hendra.Hanya dalam hitungan detik, kulihat Mas Iqbal sudah terkapar di halaman rumah, sedangkan pisau yang dibawa oleh Mas Iqbal sudah jatuh ke tangan Hendra."Mel, kamu nggak apa-apa, 'kan? Apa ada yang luka?" tanya Hendra cemas.Tubuhku lemas. Aku langsung jatuh terkulai ke lantai. "M-mas Hendra?""Kamu nggak usah takut, Mel. Aku akan bawa laki-laki br*ngsek itu ke kantor polisi!" seru Hendra.Hendra masih berusaha menenangkanku. Tetangga ikut berkumpul dan melihat Mas Iqbal yang sudah babak belur."Ada apa, nih?""Itu bukannya si guru m*sum, ya?""Ngapain dia ke sini lagi?""Pasti dia cari gara-gara lagi sama Mba Melati."Rumahku makin riuh. Aku tak bisa menenan
Bab 40POV IndriAku tak henti-hentinya menatap layar ponsel dengan wajah sumringah. Foto-foto tas model terbaru yang terpampang di layar ponsel membuatku bersemangat. Tak lama lagi, benda-benda cantik ini akan menjadi milikku.[Buruan ke sini! Orangnya udah mau datang!]Satu pesan dari temanku membuatku langsung melompat dari kasur. Hari ini aku ada janji penting. Aku akan bertemu dengan seseorang yang mau mengabulkan semua keinginanku. [Tunggu sebentar!]Aku memilih pakaian terbaik dan semua aksesoris terbaik yang aku miliki. Aku harus tampil cantik hari ini. "Ndri, kamu mau ke mana?" tanya ibu padaku."Aku mau pergi sama teman, Bu," sahutku."Kamu kok dandan heboh banget?" cibir Mas Iqbal."Kamu ngapain di sini, Mas? Sana pulang ke rumah istrimu!" usirku pada kakakku.Aku segera pergi menuju tempat di mana aku membuat janji temu dengan seorang teman. Tak lupa, aku terus memeriksa
Bab 41POV Iqbal Jantungku seakan berhenti berdetak. Dadaku terasa sesak dan langkahku juga terasa berat. Suara salah satu kerabat di seberang sana membuat pikiranku kacau."Indri ... kenapa?" tanyaku dengan suara bergetar. Mataku membulat lebar. Ponsel yang ada di telingaku langsung jatuh ke lantai. Aku tak peduli meski ada banyak polisi di sekelilingku. Aku segera berlari menuju pintu keluar tanpa menghiraukan para laki-laki berseragam yang mengejarku."Jangan kabur! Tangkap dia sekarang!"Para polisi itu mencengkram tanganku dan menghadang jalanku. Aku mengamuk dan berteriak di kantor polisi. Aku harus segera pulang untuk melihat kondisi adikku. Aku harus memastikan keadaan Indri. Aku harus melihat wajah Indri untuk yang terakhir kalinya.Pagi tadi, kulihat Indri masih baik-baik saja. Hubunganku dengan Indri memang merenggang sejak masalah bertubi-tubi menghantam keluargaku. Aku memang marah dan kesal pada Indri yan