Share

BAB 4

Bab 4

Dengan tergesa-gesa aku berjalan hendak menghampiri Mas Iqbal dan perempuan itu, baru saja aku akan keluar dari restoran ketika tiba-tiba ....

"Lho, Mel, di sini juga?" Seseorang yang baru masuk restoran menyebut namaku.

"Eh, Mba Mira. Iya Mba." Mau tak mau aku menghentikan langkah, padahal aku sedang terburu-buru takut kehilangan jejak suamiku.

"Pantesan aja tadi waktu Mba lewat warung kamu tutup, rupanya kamu lagi shopping. Kamu sama siapa? Sendirian?"

Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tak gatal. Sebenarnya aku ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini, tapi aku tidak enak dengan Mba Miranti. Pasalnya perempuan ini adalah pelanggan tetapku, bahkan Mba Mira ini adalah pelanggan lama dan paling royal. Seperti kemarin, dia langsung memborong semua daganganku, bahkan memberiku uang lebih alias tips yang cukup besar.

"Iya, Mba, aku sendirian. Hari ini warung tutup, kemungkinan masih lama buka lagi. Soal aku mau istirahat dulu," jawabku dengan resah. Sesekali aku menoleh ke luar restoran mencari keberadaan Mas Iqbal dan perempuan itu.

"Kenapa tutup, Mel? Sayang banget lho, 'kan warung kamu udah banyak pelanggannya. Mba aja tadi sengaja mampir mau beli banyak lagi, buat dibawa ke rumah Mita," ujar Mba Miranti dengan raut kecewa.

Sebenarnya aku paham dengan kekecewaan Mba Mira, karena dia juga sama sepertiku. Lidah Sumatera kami memang tidak bisa berubah meskipun kami sudah menjadi orang Bekasi. Selalu saja rindu dengan aneka makanan dan jajanan khas kampung halaman.

"Aduh kok kita jadi ngobrol sambil berdiri sih. Yuk duduk dulu di situ, Mba juga ada yang mau dibicarakan." Aku tak kuasa menolak ajakan Mba Mira, mau tak mau akhirnya aku mengikutinya berjalan kembali ke dalam restoran dan memilih tempat duduk yang tidak terlalu jauh dari tempat kami berdiri tadi.

Ah, hilang sudah kesempatanku untuk memergoki Mas Iqbal dengan perempuan itu. Mereka pasti sudah jauh, mungkin mereka sudah turun ke lantai bawah atau malah sudah pulang.

"Begini lho, Mel. Saudara Mba 'kan buka cabang kafe baru. Rencananya sih dia maunya, menu yang disajikan sedikit berbeda dari kafe-kafe dia yang lain. Nah, Mba ada kasih dia ide buat ngajak kamu kerja sama. Kemarin dia juga udah cobain semua masakan kamu, empek-empek, tekwan, model. Dia suka dan memuji semua masakan kamu, dan dia setuju mau menjalin kerjasama. Kalau Melati nggak keberatan dan ada waktu, gimana kalau besok kalian ketemuan dulu untuk membicarakan lagi masalah ini."

Ucapan Mba Miranti sukses membuat pikiranku yang tadi sempat galau merana tiba-tiba seperti orang yang ketiban durian runtuh.

Masya Allah, mimpi apa aku semalam? Aku yakin kerjasama yang ditawarkan Mba Miranti pasti bukan kaleng-kaleng. Karena aku tahu betul siapa dia dan keluarganya yang notabene adalah orang-orang kaya raya.

"Oke Mba, nanti kabari aja mau ketemuan di mana dan jam berapa. Kalau begitu aku pamit pulang duluan, soalnya udah sore."

"Oh iya, Mel, duluan aja nggak apa-apa. Mba masih mau beli makanan dulu pesanan Clarissa. Nanti kita kabar-kabaran lagi di whatshapp ya."

Setelah ber cipika-cipiki aku keluar dari restoran lalu turun ke lantai bawah. Aku sempat berkeliling sebentar barangkali akan menemukan Mas Iqbal dan perempuan itu, tapi ternyata mereka sudah tidak ada, kemungkinan besar mereka sudah pulang.

Akhirnya setelah merasa cukup lelah mencari, aku memilih untuk pulang. Karena jalanan cukup macet aku sampai di rumah menjelang magrib.

"Dari mana saja kamu, keluyuran nggak tahu waktu." Baru masuk rumah aku sudah disambut omelan Mas Iqbal.

"Mas, kamu tadi habis dari Metropolitan Mall ya?" tanyaku langsung.

"Bukannya menjawab pertanyaan suami, malah balik nanya. Aku 'kan kerja, mana ada waktu keluyuran kayak kamu. Udah warung tutup, nggak ada pemasukan, kamu malah jalan-jalan dan menghamburkan uang." Omel Mas Iqbal lagi sambil memindai barang belanjaanku.

"Ya nggak apa-apa dong, ini kan uangku. Sekali-kali aku juga mau menikmati hasil kerja kerasku," ujarku sewot lalu melenggang masuk ke dalam kamar meninggalkan laki-laki menyebalkan itu.

"Apa sih sebenernya maunya dia? Aku udah capek-capek kerja, masak sesekali nggak boleh menyenangkan diri sendiri," gerutuku lalu memilih untuk segera mandi.

Usai mandi, aku baru melihat pakaian yang sudah menumpuk di keranjang baju kotor. Di bagian paling atas ada seragam kerja yang tadi dipakai oleh Mas Iqbal.

Teringat kembali waktu di Mall tadi, aku yakin tidak salah lihat bahwa orang itu adalah suamiku dengan perempuan lain, dan dia mengenakan pakaian ini. Segera kuambil pakaian itu, lalu mendekatkan ke hidung. Tak salah lagi, ada aroma parfum perempuan menempel di sana.

Kini kuambil celana panjang yang merupakan setelan baju yang masih di tanganku, lalu aku merogoh saku sebelah kanan. Seketika jari tanganku menyentuh sesuatu, seperti sebuah kertas.

Setelah benda itu kukeluarkan dan kuteliti, ternyata itu adalah tiket bioskop.

"Jadi kamu mau main-main sama aku, Mas. Oke, aku akan ikuti sampai di mana permainanmu," gumamku sambil meremas kertas yang ada di tanganku.

**

Yang belum tahu siapa Miranti bisa baca kisahnya dalam cerbung saya yang berjudul PELAKOR ITU KAKAK IPARKU (Tamat 33 bab)🙏🙏

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
ok thoer siap baca miranti
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status