Bab 5
Saat Mas Iqbal makan malam, aku lebih memilih untuk mencuci pakaian. Kebetulan perutku belum terasa lapar, mungkin karena tadi sore aku sudah makan di mall.Tempat mencuci pakaian letaknya persis di samping kamar mandi, tidak terlalu jauh dari meja makan di mana Mas Iqbal kini sedang menikmati makan malamnya.Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat Mas Iqbal menyuap makanannya.Eh, tunggu. Sejak kapan Mas Iqbal makan sambil main ponsel? Mungkin karena saking asyiknya chatting dengan seseorang, Mas Iqbal sampai tidak menyadari aku sedang memperhatikannya. Sesekali kulihat laki-laki yang masih bergelar suamiku itu tampak senyum-senyum seperti orang yang sedang kasmaran.Aku baru akan menegurnya, ketika Mas Iqbal bangun dari tempat duduknya pertanda dia sudah selesai makan. Akhirnya aku pun meneruskan aktivitasku, tapi pikiranku berkelana kemana-mana."Pasti Mas Iqbal lagi chattingan sama perempuan itu," batinku.Ya, aku merasa yakin suamiku sedang asyik bertukar pesan dengan perempuan yang bernama Rosa itu. Perempuan yang tadi siang diajaknya nonton bioskop di Metropolitan Mall.Cepat-cepat aku menyelesaikan pekerjaanku. Kemudian mencari keberadaan Mas Iqbal. Ruang keluarga tampak sepi, televisi juga dalam keadaan mati.Karena di ruang keluarga tidak kulihat keberadaan Mas Iqbal, aku berjalan ke kamar. Tapi ternyata di dalam kamar pun dia tidak ada. Kira-kira Mas Iqbal ke mana ya?Aku keluar lagi dari dalam kamar, kemudian berjalan ke arah pintu depan yang ternyata sedikit terbuka. Dari cela pintu dapat kulihat Mas Iqbal sedang duduk di pinggiran teras yang memang didesain bisa sekalian untuk tempat duduk.Ternyata Mas Iqbal sedang menelepon seseorang. Dan entah kenapa, aku yakin Mas Iqbal sedang menelepon perempuan selingkuhannya itu.Kutajamkan indera pendengaran. Meski suara Mas Iqbal tidak terlalu keras, tapi aku masih bisa mendengar dengan jelas ucapan Mas Iqbal kepada lawan bicaranya.Segera kurogoh saku celana dimana aku menyimpan ponsel, kukeluarkan benda pipih itu lalu menghidupkan perekam suara."Jangan lupa sama rencana kita besok ya. Aku beneran udah nggak sabar mau pergi lagi sama kamu." Dari kalimat Mas Iqbal barusan, sepertinya dia memang sedang menghubungi perempuan yang tadi siang diajaknya pergi.Entah jawaban apa yang diberikan perempuan bernama Rosa itu pada Mas Iqbal, tapi Mas Iqbal terus memperdengarkan tawa kecil saat berbincang di telepon. Mas Iqbal benar-benar terlihat seperti remaja yang sedang kasmaran."Jangan lupa juga, besok bawa baju yang udah kita beli tadi ke sekolahan. Pasti nanti banyak yang iri lihat kita pakai baju couplean," ucap Mas Iqbal lagi."Dasar nggak tahu malu! Apa kamu udah lupa kalau kamu masih punya istri? Kamu mau pergi kondangan pakai baju couple sama perempuan lain?" batinku dengan hati yang tersayat-sayat."Besok kamu dandan yang cantik, biar semua orang semakin iri lihat kita berdua. Ya udah, sekarang kamu istirahat, biar besok bangunnya nggak kesiangan. Selamat malam, cantik. Jangan lupa mimpiin aku ya." Kemudian Mas Iqbal memutuskan sambungan telepon.Segera kumatikan perekam suara lalu menyimpan kembali ponsel di saku celana. Kemudian kubuka pintu dan menghampiri Mas Iqbal.Mas Iqbal terlihat gugup dan panik saat aku tiba-tiba muncul di teras. "K-kamu ngapain di sini?" tanya Mas Iqbal tergagap."Mas sendiri ngapain di sini?' tanyaku balik."Kebiasaan banget, kalau ditanya malah balik nanya." Mas Iqbal beranjak dari tempat duduknya kemudian masuk ke dalam rumah. Aku pun akhirnya mengikutinya."Mas, besok kamu ada acara nggak?" tanyaku saat sudah berada di dalam kamar.Aku sengaja memancing Mas Iqbal. Aku juga ingin tahu jawaban apa yang akan diberikan Mas Iqbal padaku."Kenapa tanya-tanya begitu?" Mas Iqbal menatapku sekilas."Ya, pengen tahu aja. Kalau Mas nggak ada acara aku mau ngajakin Mas pergi. Kebetulan besok aku ada janji sama teman," sahutku.Aku tidak bohong, besok aku memang sudah ada janji dengan Mba Miranti dan saudaranya yang akan membuka cabang kafe baru. Orang yang kata Mba Mira ingin mengajakku bekerja sama.Mas Iqbal terdiam. Mungkin dia sedang memikirkan alasan jitu untuk membodohi ku."Sebentar lagi 'kan ujian tengah semester. Aku lagi sibuk bikin soal buat ujian. Kayaknya aku bakal pulang telat terus minggu-minggu ini," ujar Mas Iqbal."Besok juga kemungkinan aku akan pulang telat. Aku nggak bisa nemenin kamu pergi."Aku menatap mata Mas Iqbal dengan lekat."Ternyata kamu sekarang udah pandai berbohong, Mas! Tapi kita lihat saja sejauh mana kamu akan membohongiku!" batinku.Aku memang sengaja masih mengikuti permainan yang telah diciptakan oleh Mas Iqbal. Tunggu saja waktunya sampai aku memiliki bukti yang banyak dan kuat, aku pasti akan menghancurkan kalian berdua!Bab 6Pagi ini Mas Iqbal berangkat kerja seperti biasanya. Kalau dilihat dari penampilan dan gelagatnya memang tidak terlihat sesuatu yang mencurigakan. Dia biasa saja seperti hari-hari sebelumnya.Andai aku tidak mendengar secara langsung, saat dia dua kali menelpon dua orang yang berbeda dan mengatakan tentang rencananya, aku pun tidak akan tahu kalau hari ini sepulang dari mengajar dia akan pergi ke acara pernikahan temannya. Sebenarnya ini bukan karena Mas Iqbal pergi ke acara itu tanpa mengajakku, tapi aku kecewa karena Mas Iqbal berbohong dan perginya pun bersama perempuan lain yang sepertinya juga menaruh hati padanya.Semoga saja Mas Iqbal tidak semakin jauh tersesat. Jangan sampai dia melakukan kesalahan fatal yang tidak bisa termaafkan. Tetapi andaikan itu terjadi, tentu aku harus mempersiapkan diri dari sekarang.**Setelah Mas Iqbal berangkat kerja, aku segera membuat empek-empek pesanan Mba Mira. Rencananya kami akan bertemu jam 11 siang ini, jadi masih ada waktu beberap
Bab 7"Jadi ini acaranya udah selesai 'kan, Mba?" tanya Mba Mita pada kakaknya."Iya, udah kok. Kamu mau pulang duluan, Mit?" "Iya nih, takutnya anak-anak nyariin. Nggak apa-apa kan, Mel, kami pulang duluan?" Mba Mita menatapku."Oh iya, nggak apa-apa, Mba. Terima kasih banyak ya." Mba Mita dan suaminya berdiri dari tempat duduknya."Kami yang seharusnya berterima kasih. Makasih banyak ya, Mel, semua makanan buatan kamu enak banget. Alhamdulillah rasa rindu ini bisa sedikit terobati, karena masakan kamu itu mirip banget sama masakan almarhumah ibu kami." Mba Mita mendekat, kemudian dia memelukku. Sepertinya dia benar-benar sedang rindu pada almarhumah ibunya, sekilas tadi kulihat matanya tampak berkaca-kaca.Aku membalas pelukan Mba Mita. Dalam hal ini sepertinya kami sama, karena aku pun akan melakukan hal serupa bila rasa rindu itu datang. Biasanya aku akan memasak makanan yang dulu sering kubuat bersama almarhumah ibu.Seperti kata Mba Mita, setidaknya rasa rindu bisa sedikit tero
Bab 8"Mel, ayo kita turun," ajak Mba Mira.Walau sempat ragu dan dengan tangan sedikit gemetar akhirnya aku membuka pintu mobil, kemudian menyusul Mba Mira yang sudah turun lebih dulu.Jantungku semakin berdebar saat kami mulai melangkah memasuki gedung balai rakyat, yang meskipun tidak mewah tapi tempatnya cukup luas untuk orang dari kalangan biasa sepertiku.Mba Mira langsung mengisi buku tamu, aku hanya berdiri di sampingnya dengan mata yang mulai memindai keadaan sekitar. Di parkiran tadi mataku sempat mencari keberadaan motor Mas Iqbal, tetapi sejauh mata memandang aku tidak menemukan kendaraan yang setiap hari selalu dipakai oleh suamiku itu.Apa mungkin nama mempelai laki-lakinya hanya kebetulan sama? Atau Mas Iqbal sudah datang dan sekarang dia sudah pulang? Atau, bisa juga Mas Iqbal dan teman-temannya malah belum sempat datang.Ah, memikirkannya malah membuat kepalaku jadi pusing.Setelah Mba Mira memasukkan amplop ke kotak uang, kami berempat pun akhirnya masuk yang langsun
Bab 9Mas Iqbal keluar dari antrian, kemudian berjalan mendekat."M-melati, i-ini benaran kamu?" Mas Iqbal terpana. Dia menatapku dari atas ke bawah, dan dari bawah ke atas lagi.Aku tidak mempedulikan ucapan Mas Iqbal, malah membuang pandangan ke arah lain. "Tega kamu, Mas.""Maksud kamu apa? Terus kamu ngapain di sini?" bisik Mas Iqbal seolah takut ada yang mendengar obrolan kami. Aku yakin sebenarnya hati Mas Iqbal sedang kebat-kebit, tapi ternyata dia sangat lihai bersandiwara. Mas Iqbal begitu cepat menguasai keadaan."Kamu sendiri lagi ngapain di sini, Mas? Bukannya kemarin kamu bilang lagi banyak kerjaan di sekolah?" "Aku memang lagi banyak kerjaan. Ini aku sengaja mampir sebentar sekalian pulang. Cuma sekedar hadir, masa iya teman nikah aku nggak datang. Apa kata teman-temanku nanti," kilah Mas Iqbal."Tapi kamu datang ke acara ini dengan perempuan lain, Mas. Apa itu pantas?" sahutku sambil melirik perempuan yang tadi bersama Mas Iqbal. Perempuan itu bersikap cuek, seolah ta
Bab 10Setelah makan malam, seperti biasanya Mas Iqbal akan masuk ke ruang kerjanya. Entah apa saja sebenarnya yang dia lakukan di dalam sana, aku tidak tahu pasti. Namun akhir-akhir ini aku perhatikan Mas Iqbal semakin betah berada di ruangan itu. Dan biasanya dia baru akan meninggalkan ruangan itu dan masuk ke dalam kamar tidur menjelang tengah malam."Tunggu sampai besok, setelah itu aku akan tahu apa aja yang kamu lakukan di dalam sana, Mas. Mulai besok aku akan mengawasimu, sekarang aku hanya perlu bersabar sedikit lagi," gumamku sesaat setelah Mas Iqbal menghilang di balik pintu ruang kerjanya.Malam ini ada satu misi yang akan aku lakukan. Aku hanya perlu menunggu sampai Mas Iqbal tertidur pulas, setelah itu aku akan mulai beraksi.Waktu terasa begitu lambat, agar tetap terjaga aku sudah minum segelas kopi. Misi ini harus berhasil, dan aku tidak boleh sampai ketiduran.Aku hampir saja putus asa, karena hingga jam 12 malam lewat Mas Iqbal belum juga masuk ke dalam kamar. Atau ja
Bab 11"Kamu lagi ngapain sih, Mel?"Jantungku seakan mau copot rasanya mendengar pertanyaan Mas Iqbal. Dalam hati aku juga merutuki kecerobohanku sendiri, kenapa pula harus pakai menendang tempat sampah segala. Cerobohnya ...."A-aku haus, Mas, mau ambil minum. Tapi karena ngantuk banget, nggak sengaja nabrak tempat sampah. Maaf ya, gara-gara keteledoranku, tidur kamu jadi terganggu." Dengan suara yang dibuat sememelas mungkin kutunjukkan wajah penuh penyesalan. Lalu cepat-cepat kusambar botol air dan menuangkannya ke dalam gelas, kemudian meminumnya sampai habis."Kirain tadi apaan, ganggu orang tidur aja. Udah buruan tidur lagi, ini masih terlalu malam untuk bikin keributan," omelnya seraya merubah posisi tidur dari telentang menjadi menyamping, kini posisi Mas Iqbal jadi memunggungiku.Mas Iqbal tampak begitu kesal, sepertinya dia benar-benar merasa terganggu, apalagi dia memang baru tidur beberapa menit yang lalu."Iya," sahutku sekedarnya. Lalu aku mengeluarkan ponsel Mas Iqbal
Bab 12Setelah pegawai toko elektronik yang memasang CCTV pulang, aku mulai bersiap untuk berangkat ke kafe. Ya, mulai hari ini aku akan membuat empek-empek dan beberapa macam kue khas Palembang di kafe milik Mba Sri."Ini hari pertamaku bekerja, aku harus semangat," gumamku.Sebelum berangkat, aku memastikan sekali lagi semua CCTV sudah terpasang di tempat yang benar. Tak butuh waktu lama untuk bersiap, karena aku hanya memakai riasan yang simpel. Aku memang tidak suka memakai make up yang mencolok. Untuk OOTD hari ini aku hanya memakai one set dan tas selempang kecil.Sekitar tiga puluh menit kemudian, aku sudah sampai di kafe. Khusus hari ini aku memang datang agak siang, karena tadi harus menunggu orang yang akan memasang CCTV terlebih dahulu. Tapi mulai besok aku akan datang lebih pagi. Setidaknya lima belas menit atau dua puluh menit setelah Mas Iqbal berangkat ke tempatnya mengajar. Dan aku harus sudah pulang sebelum Mas Iqbal sampai di rumah. Alhamdulillah semua itu sudah men
Bab 13"Akhirnya sampai juga."Aku membuka pintu rumah dan ternyata ada Mas Iqbal duduk di ruang tamu. Entah sedang apa dia di sana, tumben sekali. Apa iya, Mas Iqbal sengaja menunggu kepulanganku?Setelah mengucapkan salam, aku melenggang masuk walaupun Mas Iqbal tak menjawab salamku. Sempat kulirik jam dinding yang tergantung di salah satu sisi tembok, ternyata sudah jam 6 lewat 10 menit. Berarti sebentar lagi adzan maghrib akan berkumandang.Mas Iqbal menatap ke arahku dengan tatapan tajam. Wajahnya masam dan terlihat kesal."Bagus ya, jam segini baru pulang!" ucap Mas Iqbal tiba-tiba.Aku baru akan melangkah ke kamar, namun langkahku terhenti mendengar ucapan Mas Iqbal."Kenapa, Mas?" tanyaku tanpa rasa bersalah."Kenapa, kamu bilang? Aku nungguin kamu dari tadi. Katanya cuma sebentar, tapi kenapa udah gelap gini baru pulang?" omel Mas Iqbal."Sebenarnya kamu kelayapan ke mana aja, sih? Kamu itu perempuan dan udah nikah. Apa pantas keluyuran sampai malam begini?" sambungnya lagi.