Bab 3
Suara azan subuh sudah seperti alarm alami yang selalu membangunkanku setiap pagi. Setelah menunaikan kewajiban dua rakaat, aku mulai berkutat di dapur.Biasanya sebelum membuat sarapan, aku akan menyiapkan adonan empek-empek untuk dagangan. Tapi pagi ini sedikit berbeda karena aku sudah memutuskan untuk berhenti berjualan untuk sementara waktu."Aduh Mel, kamu kenapa nggak bangunin aku sih? Ini udah jam berapa?" Mas Iqbal keluar dari dalam kamar sambil menggerutu, dengan tergesa-gesa dia berjalan ke arah kamar mandi yang menyatu dengan dapur."Aku kira Mas udah bangun," sahutku acuh.Tak sampai lima menit Mas Iqbal sudah selesai mandi, dengan cepat dia masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian dan bersiap untuk berangkat kerja."Aku nggak sempat sarapan, udah kesiangan. Ya udah, aku berangkat ya." Setelah meminum teh manis hangat beberapa teguk, Mas Iqbal pun memakai sepatunya."Lho, Mel. Kamu kok tumben nggak jualan?" tanya Mas Iqbal heran. Mungkin karena terburu-buru takut terlambat kerja, dia baru menyadari kalau pagi ini aku tidak berjualan."Aku lagi malas, Mas. Lagian capek juga, pengen istirahat dulu," sahutku sambil membawakan tas kerja Mas Iqbal."Berapa hari kamu liburnya? Jangan lama-lama ya, nanti gimana buat biaya sehari-hari kita kalau kamu nggak ada pemasukan.""Ya nggak tahu, mungkin seminggu atau sebulan, atau mungkin libur terus selamanya," sahutku sekenanya."Ya nggak bisa gitu dong, Mel. Nanti gimana biaya kita sehari-hari?" Mas Iqbal mencoba bernegosiasi."Ya dari kamulah, Mas, 'kan kamu kepala rumah tangga. Lagian sekarang karir kamu udah naik, jadi otomatis gaji kamu juga ikut naik. Aku rasa udah cukup aku bantuin Mas cari uang. Empat tahun loh Mas kamu kuliah, aku yang biayai. Dulu 'kan kata kamu kalau karir kamu udah naik, aku nggak perlu capek-capek jualan empek-empek lagi. Kamu nggak lupa sama ucapan sendiri 'kan, Mas?"Aku sengaja mengingatkan Mas Iqbal akan ucapannya dulu. Aku juga sengaja mengingatkan dia bahwa akulah dulu yang telah bersusah payah membiayai kuliahnya sampai selesai. Bukan apa-apa sebenarnya, hanya ingin dia ingat kembali bahwa karir yang begitu dia banggakan itu adalah hasil jerih payahku juga. Jadi aku harap dia akan berhenti menghina dan menjelek-jelekan aku di depan teman-temannya."Kamu kok jadi ngungkit-ngungkit sih!" seru Mas Iqbal tak senang."Ya nggak apa-apa sih, supaya kamu nggak lupa aja, Mas. Jadi kalau hari ini dan seterusnya aku udah nggak jualan lagi, aku harap kamu ngerti," jawabku lalu menyerahkan tas yang kubawa padanya.Setelah Mas Iqbal berangkat kerja, aku meneruskan sarapan kemudian membereskan rumah. Hari ini rencananya aku ingin sedikit memanjakan diri dengan jalan-jalan ke Mall dan berbelanja. Sudah lama aku tidak membeli baju baru dan memanjakan diri ke salon.Sekitar jam sebelas aku sudah siap, lalu aku meluncur dengan menggunakan taksi online menuju Metropolitan Mall Bekasi.Ah, untung saja dari hasil berjualan aku masih bisa menyisihkan uang sedikit demi sedikit, hingga hari ini aku bisa menggunakan uang itu untuk menyenangkan diri sendiri.Aku memilih berbelanja pakaian terlebih dahulu, setelah mendapatkan apa yang aku cari lalu aku pergi ke salah satu salon untuk merapikan rambut dan serangkaian perawatan lainnya.Usai dari salon, aku memilih makan di salah satu restoran karena cacing-cacing di dalam perut sudah pada demo minta diisi.Setelah selesai makan karena hari sudah semakin sore, aku bermaksud langsung pulang. Tetapi saat itulah mataku tak sengaja melihat seseorang yang sangat kukenal berjalan melintas di depan restoran.Dia adalah Mas Iqbal, suamiku. Saat ini dia sedang bersama seorang perempuan yang juga mengenakan seragam yang sama dengan Mas Iqbal.Aku mengucek mata berkali-kali, tapi ternyata aku tidak salah orang. Laki-laki itu memang benar Mas Iqbal adanya.Tapi siapa perempuan yang sedang bersamanya itu? Sepertinya aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Apakah mungkin perempuan itu yang bernama Rosa? Perempuan yang kemarin sempat disebut Mas Iqbal saat sedang menelepon temannya.Lekas aku bangun dari tempat duduk, dan menyambar belanjaanku.Ini tidak bisa dibiarkan, aku harus menghampirinya mereka. Apalagi tadi kulihat mereka tampak bergandengan tangan.Awas kamu ya, Mas. Kemarin kamu menghina dan menjelek-jelekkan aku. Hari ini aku malah mendapati kamu sedang jalan dengan perempuan lain.Sepertinya kamu memang harus diberi pelajaran, Mas!Bab 4Dengan tergesa-gesa aku berjalan hendak menghampiri Mas Iqbal dan perempuan itu, baru saja aku akan keluar dari restoran ketika tiba-tiba ...."Lho, Mel, di sini juga?" Seseorang yang baru masuk restoran menyebut namaku."Eh, Mba Mira. Iya Mba." Mau tak mau aku menghentikan langkah, padahal aku sedang terburu-buru takut kehilangan jejak suamiku."Pantesan aja tadi waktu Mba lewat warung kamu tutup, rupanya kamu lagi shopping. Kamu sama siapa? Sendirian?"Aku menggaruk kepala yang sebenarnya tak gatal. Sebenarnya aku ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini, tapi aku tidak enak dengan Mba Miranti. Pasalnya perempuan ini adalah pelanggan tetapku, bahkan Mba Mira ini adalah pelanggan lama dan paling royal. Seperti kemarin, dia langsung memborong semua daganganku, bahkan memberiku uang lebih alias tips yang cukup besar."Iya, Mba, aku sendirian. Hari ini warung tutup, kemungkinan masih lama buka lagi. Soal aku mau istirahat dulu," jawabku dengan resah. Sesekali aku menoleh ke luar re
Bab 5Saat Mas Iqbal makan malam, aku lebih memilih untuk mencuci pakaian. Kebetulan perutku belum terasa lapar, mungkin karena tadi sore aku sudah makan di mall.Tempat mencuci pakaian letaknya persis di samping kamar mandi, tidak terlalu jauh dari meja makan di mana Mas Iqbal kini sedang menikmati makan malamnya.Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat Mas Iqbal menyuap makanannya.Eh, tunggu. Sejak kapan Mas Iqbal makan sambil main ponsel? Mungkin karena saking asyiknya chatting dengan seseorang, Mas Iqbal sampai tidak menyadari aku sedang memperhatikannya. Sesekali kulihat laki-laki yang masih bergelar suamiku itu tampak senyum-senyum seperti orang yang sedang kasmaran.Aku baru akan menegurnya, ketika Mas Iqbal bangun dari tempat duduknya pertanda dia sudah selesai makan. Akhirnya aku pun meneruskan aktivitasku, tapi pikiranku berkelana kemana-mana."Pasti Mas Iqbal lagi chattingan sama perempuan itu," batinku.Ya, aku merasa yakin suamiku sedang asyik bertukar pesan dengan perem
Bab 6Pagi ini Mas Iqbal berangkat kerja seperti biasanya. Kalau dilihat dari penampilan dan gelagatnya memang tidak terlihat sesuatu yang mencurigakan. Dia biasa saja seperti hari-hari sebelumnya.Andai aku tidak mendengar secara langsung, saat dia dua kali menelpon dua orang yang berbeda dan mengatakan tentang rencananya, aku pun tidak akan tahu kalau hari ini sepulang dari mengajar dia akan pergi ke acara pernikahan temannya. Sebenarnya ini bukan karena Mas Iqbal pergi ke acara itu tanpa mengajakku, tapi aku kecewa karena Mas Iqbal berbohong dan perginya pun bersama perempuan lain yang sepertinya juga menaruh hati padanya.Semoga saja Mas Iqbal tidak semakin jauh tersesat. Jangan sampai dia melakukan kesalahan fatal yang tidak bisa termaafkan. Tetapi andaikan itu terjadi, tentu aku harus mempersiapkan diri dari sekarang.**Setelah Mas Iqbal berangkat kerja, aku segera membuat empek-empek pesanan Mba Mira. Rencananya kami akan bertemu jam 11 siang ini, jadi masih ada waktu beberap
Bab 7"Jadi ini acaranya udah selesai 'kan, Mba?" tanya Mba Mita pada kakaknya."Iya, udah kok. Kamu mau pulang duluan, Mit?" "Iya nih, takutnya anak-anak nyariin. Nggak apa-apa kan, Mel, kami pulang duluan?" Mba Mita menatapku."Oh iya, nggak apa-apa, Mba. Terima kasih banyak ya." Mba Mita dan suaminya berdiri dari tempat duduknya."Kami yang seharusnya berterima kasih. Makasih banyak ya, Mel, semua makanan buatan kamu enak banget. Alhamdulillah rasa rindu ini bisa sedikit terobati, karena masakan kamu itu mirip banget sama masakan almarhumah ibu kami." Mba Mita mendekat, kemudian dia memelukku. Sepertinya dia benar-benar sedang rindu pada almarhumah ibunya, sekilas tadi kulihat matanya tampak berkaca-kaca.Aku membalas pelukan Mba Mita. Dalam hal ini sepertinya kami sama, karena aku pun akan melakukan hal serupa bila rasa rindu itu datang. Biasanya aku akan memasak makanan yang dulu sering kubuat bersama almarhumah ibu.Seperti kata Mba Mita, setidaknya rasa rindu bisa sedikit tero
Bab 8"Mel, ayo kita turun," ajak Mba Mira.Walau sempat ragu dan dengan tangan sedikit gemetar akhirnya aku membuka pintu mobil, kemudian menyusul Mba Mira yang sudah turun lebih dulu.Jantungku semakin berdebar saat kami mulai melangkah memasuki gedung balai rakyat, yang meskipun tidak mewah tapi tempatnya cukup luas untuk orang dari kalangan biasa sepertiku.Mba Mira langsung mengisi buku tamu, aku hanya berdiri di sampingnya dengan mata yang mulai memindai keadaan sekitar. Di parkiran tadi mataku sempat mencari keberadaan motor Mas Iqbal, tetapi sejauh mata memandang aku tidak menemukan kendaraan yang setiap hari selalu dipakai oleh suamiku itu.Apa mungkin nama mempelai laki-lakinya hanya kebetulan sama? Atau Mas Iqbal sudah datang dan sekarang dia sudah pulang? Atau, bisa juga Mas Iqbal dan teman-temannya malah belum sempat datang.Ah, memikirkannya malah membuat kepalaku jadi pusing.Setelah Mba Mira memasukkan amplop ke kotak uang, kami berempat pun akhirnya masuk yang langsun
Bab 9Mas Iqbal keluar dari antrian, kemudian berjalan mendekat."M-melati, i-ini benaran kamu?" Mas Iqbal terpana. Dia menatapku dari atas ke bawah, dan dari bawah ke atas lagi.Aku tidak mempedulikan ucapan Mas Iqbal, malah membuang pandangan ke arah lain. "Tega kamu, Mas.""Maksud kamu apa? Terus kamu ngapain di sini?" bisik Mas Iqbal seolah takut ada yang mendengar obrolan kami. Aku yakin sebenarnya hati Mas Iqbal sedang kebat-kebit, tapi ternyata dia sangat lihai bersandiwara. Mas Iqbal begitu cepat menguasai keadaan."Kamu sendiri lagi ngapain di sini, Mas? Bukannya kemarin kamu bilang lagi banyak kerjaan di sekolah?" "Aku memang lagi banyak kerjaan. Ini aku sengaja mampir sebentar sekalian pulang. Cuma sekedar hadir, masa iya teman nikah aku nggak datang. Apa kata teman-temanku nanti," kilah Mas Iqbal."Tapi kamu datang ke acara ini dengan perempuan lain, Mas. Apa itu pantas?" sahutku sambil melirik perempuan yang tadi bersama Mas Iqbal. Perempuan itu bersikap cuek, seolah ta
Bab 10Setelah makan malam, seperti biasanya Mas Iqbal akan masuk ke ruang kerjanya. Entah apa saja sebenarnya yang dia lakukan di dalam sana, aku tidak tahu pasti. Namun akhir-akhir ini aku perhatikan Mas Iqbal semakin betah berada di ruangan itu. Dan biasanya dia baru akan meninggalkan ruangan itu dan masuk ke dalam kamar tidur menjelang tengah malam."Tunggu sampai besok, setelah itu aku akan tahu apa aja yang kamu lakukan di dalam sana, Mas. Mulai besok aku akan mengawasimu, sekarang aku hanya perlu bersabar sedikit lagi," gumamku sesaat setelah Mas Iqbal menghilang di balik pintu ruang kerjanya.Malam ini ada satu misi yang akan aku lakukan. Aku hanya perlu menunggu sampai Mas Iqbal tertidur pulas, setelah itu aku akan mulai beraksi.Waktu terasa begitu lambat, agar tetap terjaga aku sudah minum segelas kopi. Misi ini harus berhasil, dan aku tidak boleh sampai ketiduran.Aku hampir saja putus asa, karena hingga jam 12 malam lewat Mas Iqbal belum juga masuk ke dalam kamar. Atau ja
Bab 11"Kamu lagi ngapain sih, Mel?"Jantungku seakan mau copot rasanya mendengar pertanyaan Mas Iqbal. Dalam hati aku juga merutuki kecerobohanku sendiri, kenapa pula harus pakai menendang tempat sampah segala. Cerobohnya ...."A-aku haus, Mas, mau ambil minum. Tapi karena ngantuk banget, nggak sengaja nabrak tempat sampah. Maaf ya, gara-gara keteledoranku, tidur kamu jadi terganggu." Dengan suara yang dibuat sememelas mungkin kutunjukkan wajah penuh penyesalan. Lalu cepat-cepat kusambar botol air dan menuangkannya ke dalam gelas, kemudian meminumnya sampai habis."Kirain tadi apaan, ganggu orang tidur aja. Udah buruan tidur lagi, ini masih terlalu malam untuk bikin keributan," omelnya seraya merubah posisi tidur dari telentang menjadi menyamping, kini posisi Mas Iqbal jadi memunggungiku.Mas Iqbal tampak begitu kesal, sepertinya dia benar-benar merasa terganggu, apalagi dia memang baru tidur beberapa menit yang lalu."Iya," sahutku sekedarnya. Lalu aku mengeluarkan ponsel Mas Iqbal