Share

BAB 2

"Ayo turun, Mah." Pikiran yang tiba-tiba blank, diselingi nyali menciut, membuatku tak terlalu menanggapi ajakan Abram. 

Entah kenapa pandanganku tak bisa teralih dari dua dokter itu. Meski hati tak ingin melakukannya, tapi netra seakan enggan berpaling. 

Sudah mencoba menyisihkan perhatian ke tempat lain atau menutup mata sekalian, tetap saja sosok mereka bak magnet. Ada ngilu yang seakan menusuk benda lunak bernama hati dalam dada menyaksikan keakraban keduanya. Perih!

Huft, silakan kalian mencapku apa, lebay, kurang tahu diri, atau apalah, tersebab telah menghianati tujuan awal. Tapi sungguh, rasa ini muncul dengan sendirinya. 

Bila ingin diibaratkan, cinta ini bagai Jailangkung, yang datang tanpa diundang, tapi anehnya, ogah pergi walau sudah diantar, bahkan sudah diusir tapi masih bertahan. Betapa tak tahu malu! 

Sebagian orang melabeliku arogan, tak tahu terima kasih, pun serakah. 

Tapi tahukah kalian? Dialah lelaki pertama kali menyentuh kulit dan hatiku. Dia yang mengenalkan arti merindu, mengharap, serta mengukir kebahagiaan di usia senja kedua orang tuaku.

Apa alasan diri untuk tak menyiram benih-benih cinta di hati? Jika keluarga yang kukasihi dibuatnya sumringah? Bahkan hampir seluruh keluarga besarku berbangga? 

Ah, sudahlah. Entah sampai kapan kusimpan rasa yang mulai membunuh secara perlahan ini. 

Mas Rian berjalan penuh kharisma. Tampak sangat rupawan dalam balutan kemeja warna biru, dipadu dengan celana hitam berbahan kain halus, yang berukuran tidak terlalu longgar pun tak terlalu ketat. Itu favoritnya, banyak warna sama dari berbagai model dan bahan di lemarinya.

Padahal, pakai apa saja tetap pas, bahkan dengan bervariasi warna malah akan menambah poin ketampanannya. 

Lihatlah! Bahkan tentang warna saja dia tak bisa berpindah, apalagi soal cinta. Bagaimana dia bisa move on ke lain hati? Hiks ...

Saat ini, tak sadar tangan mencengkeram stir mobil untuk meredam nyeri di dada, tapi tetap saja dia begitu memesona di pandanganku.

Tolong, adakah yang bisa menyadarkanku dari gelapnya kebucinan yang hakiki ini? 

Sedangkan Dokter Juwita tak jauh beda. Cantik, anggun, nan elegant.  Bodi semampai dengan rambut lurus tergerai dihembus angin, membuatku semakin kerdil memosisikan diri. 

Jangankan untuk menyaingi kesempurnaan fisik dan pekerjaannya, mengambil hati lelaki yang telah dihempasnya saja, pun diri tak akan pernah mampu. Buktinya! Enam tahun pernikahan terjalin, aku hanya tetap jadi alat penyeimbang kewarasan Mas Rian sahaja. 

Siapa, sih, aku? Wanita yang berhenti kuliah di semester tiga karena kekurangan biaya. Wanita penjaga toko kue, yang merangkap menjual barang-barang online apa saja lagi viral, asal bisa menghasilkan pundi-pundi halal.

Dibanding dengan dokter Juwita, aku seperti Upik Abu yang khusus membawa sandal Sang Ratu. Betapa kontras, kan? 

Sangat jujur kuakui, Mas Rian dan wanita tercintanya itu sangat serasi, sepadan, dan sederajat. Tapi entah .., meski sudah tahu dan koreksi diri berulang, rasa cinta yang terlanjur subur di kalbu, sungguh tak mampu kutepis. 

Siapa yang harus disalahkan? 

"Ayo turun, Mah." Suara Abram menyadarkanku dari terpakuan. Kedua alis bocah jelang lima tahun itu terangkat melihatku yang buru-buru menghapus bening di pipi. Ah, bagaimana aku tak selalu terpedaya, jika putranya mewarisi kesempurnaan wajahnya. 

Meski usia Abram masih bocah, dia sangat peka dengan situasi, apalagi dengan mamahnya yang hampir selalu bersama dua puluh empat jam. 

"Mamah nangis karena hanya Tante Juwita saja yang diajak papah? Aku juga sedih, Mah. Padahal kemarin Abram minta diikutkan Mamah waktu papa dan tante ngajakin." Kalimat Abram membuat pernafasanku kian sesak. 

Jadi dugaanku mereka pergi bulan madu semakin mengerucut. 

Siapa yang tahu rencana mereka? Bisa saja di sana akan meresmikan kesejatian cinta dua sejoli yang sempat terputus, lalu berbulan ...?

Arght, aku benci dengan rasa ini! Aku benci air tanda kelemahan yang keluar dari mata tanpa bisa diajak berkompromi.

Bukan bulan madu saja yang sekarang membuntukan otak, penjelasan Abram membuatku semakin yakin, kalau kemarin-kemarin mereka mengajak Malaikat kecil itu,  memang untuk membuatku sendiri. Benar-benar akan ditinggalkan sendiri.

Duh ...

Ada yang patah tapi bukan ranting.

Ada yang merembes tapi bukan darah.

Sebegitu sakitnya mencintai dalam pengabaian? 

Sebegitu perihnya berharap dalam ketidak perdulian?

Namun, tak mampu untuk melangkah pergi menjauh. 

Ya, Rabb ...

Beri hamba stok sabar lebih dan jagalah kewarasan ini agar tetap stabil.

"Kenapa Abram nggak ikut?" tanyaku setelah jeda lama, pun setelah menetralisir hati agar tenang.

Sementara kedua sejoli itu tak terlihat lagi di parkiran. 

"Abram hanya mau bersama Mamah saja, selamanya!" jawab Abram tegas sambil menghapus tanda kelemahanku dengan kedua tangan mungilnya, lalu memeluk leherku erat. 

Sebenarnya pertanyaan ini tak perlu kulontarkan ke Malaikat kecil yang dititip Allah lewat rahimku. Namun, dengan selalu mendengar jawabannya yang menenangkan, sungguh membuat aku sangat dihargai. 

Ya, penghargaan tulus yang tak pernah kudapat dari papanya 

Rasa sakit yang tadi memenuhi pori-pori, langsung terganti dengan kehangatan yang mendamaikan. 

Andai papamu memiliki rasa seperti dirimu, Nak? Gulana ini tak perlu menekan dada.

"Jadi? Kita tetap turun ngantar papa atau gimana? tanyaku berusaha menarik senyum mencairkan suasana. Cukuplah mamahnya yang menderita, tak ingin melarutkan Malaikat titipan Allah itu ke dalam pusaran sesak yang tak bertepi.

Abram tak langsung menjawab, mimiknya terlihat sangat lucu saat berfikir. Aku tahu kebimbangan mendera otaknya yang masih sangat kecil. Dalam kedinian, dia sudah peka situasi. 

"Ayo kita lets go antar papa." Aku sadar betul, kalimat yang meluncur di bibir ini sangat bertentangan keinginan. Namun, tetap berusaha berfikir logis, biar bagaimanapun ayah dan anak tetap saling terikat dalam segala hal. Ya, tentu beda dengan istri yang tak diharap, bisa saja hanya pelengkap penderita dalam sebuah kalimat. 

Bukankah istri hanya orang lain yang kebetulan dihalalkan untuk memberi keturunan dan ditanggung jawabi? Mengingat sikap Mas 

Rian selama ini, rasa ngilu seketika berdobel-dobel, memikirkan lelaki bergelar suami itu, memiliki prinsip demikian.

"Mamah nggak apa-apa, kok, suwer!" Aku menaikkann jari telunjuk dan tengah, sebagai pelengkap kata tidak apa-apaku tadi.

Terkadang kita meminta anak untuk selalu jujur, tapi tak diberi teladan yang baik.

Dan tekadang pula demi kebahagiaan dan kenyamanan seseorang, apalagi itu jelas keluarga, kita mengesampingkan luka. 

Aku rasa berada di dua posisi itu. 

"Nanti kita telpon papa aja kalau sampai di rumah," jawab Abram ceria, lalu menaikkan jari seperti yang kulakukan tadi saat mencari keseriusan di netra bening nan polosnya. 

Lagi-lagi yang kutemui, rasa tulus yang tak dibuat-buat. Aku yakin pergolakan batinnya telah menemukan solusi.

"Kalau begitu, sambil nunggu waktu Duhur, sekalian kita tungguin pesawat yang ditumpangi papa lewat, ya, Sayang?!" usulku saat mendengar pengumuman pengeras suara, pesawat sebentar lagi landas.

Abram mengangguk, lalu melanjutkan aktifitas makan cemilannya yang sempat teertunda. 

Sepuluh menit kemudian, mesin burung besi itu menderu.

'"Selamat jalan, Mas! Semoga dalam bahagiamu di sana, engkau tak pernah lupa, ada dua keping hati di sini, yang selalu menanti kabar dan kepulanganmu," lirihku pesimis, sambil mendongak ke atas, menatap pesawat yang membawa Mas Rian dan wanita terkasihnya semakin mengecil.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
egoisnya laki"
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status