공유

KUKEMBALIKAN SUAMI PADA CINTA PERTAMANYA
KUKEMBALIKAN SUAMI PADA CINTA PERTAMANYA
작가: Besse Suriana

BAB 1

"Papa ingin ke rumah Tante Juwita, ikut?" tanya Mas Rian pada Abram, anak semata wayang kami.

Selama kedatangan Juwita dari luar negeri, teman seprofesi sekaligus mantan Mas Rian itu, kerap mengajak Abram bepergian bertiga.

"Nggak, Pa. Di sini saja nemenin mamah." Abram menggeleng, wajahnya menatap penuh kasih nan peduli ke arahku. Sungguh berbanding terbalik dengan papanya yang begitu datar dan dingin.

Ya! Kami memang menikah tanpa pacaran, ta'aruf, apalagi cinta.

Saat lelaki itu sedang frustasi di level tertinggi karena ditinggal kekasihnya -Dokter Juwita- dia mengajakku menikah dengan berjanji menanggung biaya keluargaku.

Aku yang memang butuh banyak dana untuk pengobatan penyakit jantung bapak, biaya hidup keluarga, dan sekolah kedua adikku, menganggap itu Malaikat kiriman Allah, sebagai bantuan pada kami yang berada di puncak kesulitan.

Tentu tak punya alasan untuk menolak. Selain keluargaku membutuhkan yang ditawarkannya, lelaki berprofesi dokter umum itu memiliki segalanya. Mapan, perawakan bak pemain film-film action box offix, plus wajah memesona, membuatku tak perlu berfikir dua kali.

Tentang cinta? Nanti lah belakangan dipikir. Kalau pun misalkan tak akan pernah hadir dalam rumah tangga kelak, yang penting tujuan kami sama-sama tercapai.

Adil, kan? Tak ada yang dirugikan. Kami sama-sama ikhlas menjalaninya.

Jangan bahas tentang matre, cinta harta atau semacamnya! Nyatanya, selama nafas dikandung badan, kita butuh penunjang untuk tetap melanjutkan hidup. Dan aku fikir, sebagai anak sulung yang secara otomatis beban diletakkan di pundak, cara ini tak membuat diri terjerumus dosa dalam mencari rezeki di muka bumi.

Setelah pesta meriah pernikahan kami, Mas Rian menunai janjinya. Rumah keluargaku yang dulu sangat sederhana kini terlihat bagus, bahkan tampak mewah. 

Bagian depan direnov model toko, bapak dan ibu diberi modal membuka warung sembako. Sementara ke dua adikku melanjutkan sekolah.

Sebagai kriteria suami, Mas Rian begitu sempurna di mata siapapun, sampai orang-orang yang melihatku, sangat iri dibuatnya.

Tapi tahukah kalian? Hanya Allahlah pemilik kesempurnaan yang sejati.

Mas Rian tak seelok orang nilai. Hampir enam tahun kami bersama, dia cuma menganggapku pelarian, tak lebih. 

Dia tak pernah mencintaiku sedikitpun, di hatinya hanya ada Juwita, Juwita, dan Juwita lagi, meski wanita itu telah menorehkan luka dalam.

Bukankah cinta memang tak bermata? Makanya, tak perduli sesakit apapun goresannya, tetap buta tuk berpaling ke yang lain. Seperti itulah aku menilai lelaki yang berstatus suamiku itu.

Tak memungkiri, Mas Rian tipe pria setia, mungkin bucin lebih tepatnya. Bayangkan! Dia baru menyentuhku setelah enam bulan pernikahan kami, itupun sambii menyebut nama Juwita. Dan dari situ, setiap mendatangiku nama itu tak pernah absen diejanya. 

Sedih? Awalnya tentu saja tidak, karena memang bukan cinta tujuan. Namun seiring dengan waktu, hati ini mulai menghianati tujuan itu.

Entah kapan awalnya, pelan tapi pasti, hati ini mulai memiliki harap berlebih. Apalagi saat benihnya tertanam di rahim, pun semakin menancapkan rasa indah yang kian tersemai subur, sungguh tak mampu kubendung.

Duh, hati. Kini kau benar-benar menjadi penghianat tujuan.

Meski lelaki halal itu bersikap sedingin salju, tapi dia pria bertanggung jawab, tidak kasar, tidak banyak bicara, pun tidak banyak protes. Selain semua kebutuhan keluargaku dipenuhi, juga keperluan diri ini tak terkecuali, jatah bulanan di rekeningku tak tersentuh biaya mana pun. Malahan ketika melahirkan Abram, dia menghadiaku cincin, berlian lagi

Wanita mana tidak luluh dengan semua pemberian yang bertubi-tubi? 

"Papa hanya sebentar, Sayang. Pulang sebelum jam sebelas." Lelaki itu mengusap kepala Abram setelah memakai jaket, lalu berlalu tanpa bertanya keadaanku.

Tak terasa, ada bening jatuh di sudut netra melihat bayangnya menghilang di balik pintu.

Ah, seharusnya perasaan sakit ini tak perlu ada. Toh dari awal, alasan menikahiku karena hanya butuh tempat pelapiasan kewarasan dari kisah cintanya yang tragis.

Huft ...

Aku tak paham mengapa rasa yang dulu selalu mampu kutekan, tiba-tiba mencuat nyeri saat mengetahui lelaki yang telah membersamai hampir enam tahun itu, sering bertemu lagi dengan wanita terkasihnya yang telah menjanda.

Bukankah sejatinya hati mereka memang saling terpaut?

Dada kembali sesak memikirkan kedepannya, apalagi ketika terang-terangan mereka mengajak serta Abram seperti yang Mas Rian baru saja lakukan.

Apakah itu artinya? Mereka akan melanjutkan rencana awal dengan mengikutkan Abram? Aku?

Tuhan ....

Khilafkah kalbu ini mendamba lelaki yang telah Engkau pilihkan?

Dosakah bila hati ini menghianati tujuan awal?

Salahkah menyimpan cemburu melihatnya bersama wanita pujaannya?

"Mamah gak usah sedih. kan Abram selalu ada untuk mamah." Putraku yang memiliki wajah dan perangkat tubuh nyaris mirip papanya itu  menyeka pipiku dengan tissu. Semakin membuat diri tergugu.

*

"Papa mau pergi beberapa hari. Abram diantar-jemput sama mamah dulu, ya?" ujar Mas Rian di tengah sarapan dan diangguki Abram. Sejak dipromosikan menjadi kepala rumah sakit, dia memang sering keluar kota.

Mas Rian golongan ayah idaman, meski hubungan kami tak semanis rumah tangga lain, darah dagingnya tetap menjadi prioritas. 

Hampir setiap pergi dan pulang sekolah, selalu diluangkan waktu menjemput Abram. Kecuali saat sibuk, misalnya ada rapat atau sedang menangani pasien darurat. Itu karena dia dari keluarga bercerai, jadi tahu rasanya tak diperhatikan orang tua. 

"Kamu boleh menyetir sekarang," ucap Mas Rian sambil mengunyah roti bakar kesukaannya, lalu meletakkan kunci mobil.

Mendengar itu seketika mataku membola. Dulu dia memberikanku ijin kursus mengemudi, tapi anehnya tak pernah dibolehkan menyetir sendiri. Sekarang merasa amazin karena ijin itu terbit setelah menunggu sekian lama.

"Trima kasih, Mas. I lope yu so much." Ingin sekali kukatakan kalimat itu sambil bergelayut manja di lehernya seperti di drama-drama korea, tapi rasa sungkan menjadi tembok. 

Aneh bin ajaib! Bertahun hubungan terjalin, perilaku romantis itu hanya dalam angan. Ini lah efek pernikahan yang diawali bukan karena cinta apalagi ibadah.

"Abram dan mamah boleh ke rumah nenek dong, Pa?" Abram menyela, mewakili tanya dalam hatiku. Bocah itu tampak sumringah, lagi-lagi mewakili perasaanku. 

Dari fisik Abram, memang warisan sempurna Mas Rian. Tapi sifat, watak, dan pedulinya, lebih condong ke aku.

"Boleh. Tapi harus ada Mamang -supir pribadi- jika jarak jauh." Tangan kekar lelaki rajin olahraga itu memencet pelan hidung putranya.

"Hore .... Kita lets go, Mah." Aku menggeleng sambil tersenyum melihat tingkah Abram yang gemes.

"Oh, ya, koper kecil diganti yang lebih besar, sekalian ditambahin pakaian juga, mungkin aku tinggal sekitar dua mingguan," titah Mas Rian. Gegas aku ke kamar mengemasi barang bawaannya.

"Baik-baik di rumah, ya, jagoan? Jangan cengeng!" Begitu selalu pesannya ke pada Abram sebelum pergi. 

Entah apa maksudnya, padahal anak itu tidak manja, malah terlihat sabar, dan lebih cepat paham dari usinya. Mungkin kepribadian Abram terbentuk dari didikan seorang ibu yang tanpa lelah menanti cinta papanya.

Selepas menjemput Abram di TK-nya, aku berinisiatif berjalan-jalan, sekaligus menguji kemampuan menyetirku tanpa Mamang yang biasanya mendampingi.

"Kayaknya enak sekali-kali antar papa, ya, Mah."Celoteh Abram saat mobil melaju tanpa tujuan. Benar juga idenya, mengingat kami tak pernah melakukan itu.

"Usul diterima, Komandan. Kita OTW sekarang." Abram langsung terbahak mendengar candaanku.

Empat puluh menit sampailah ke bandara. Kalau tidak salah, sejam lagi penerbangan berikutnya, aku fikir Mas Rian belum tiba. Tak apalah menunggu, sekalian menikmati pengalaman baru jalan sendiri.

"Papa datang, Mah," tunjuk Abram saat aku hendak meluruskan kursi depan, agar lebih santai berbaring sambil makan cemilan, yang sempat Abram beli di warung pinggir jalan tadi.

Dengan hati berbunga, aku mengajak Abram turun.

Namun pergerakan membuka pintu segera terhenti saat melihat Mas Rian keluat dari roda empat sporty disusul dokter Juwita. Biasanya naik mobil kantor bila star di rumah? Kenapa jadi ...?

Tiba-tiba niatku terhenti, bersamaan hati ikut mencelos.

Apakah kedua dokter itu berpergian dalam rangka dinas? Atau bulan madu?

***

댓글 (1)
goodnovel comment avatar
Aniek Oktari Keman
sy udh lama cari cerita ini eh ketemu jg di GN
댓글 모두 보기

관련 챕터

최신 챕터

DMCA.com Protection Status