"Papa ingin ke rumah Tante Juwita, ikut?" tanya Mas Rian pada Abram, anak semata wayang kami.
Selama kedatangan Juwita dari luar negeri, teman seprofesi sekaligus mantan Mas Rian itu, kerap mengajak Abram bepergian bertiga."Nggak, Pa. Di sini saja nemenin mamah." Abram menggeleng, wajahnya menatap penuh kasih nan peduli ke arahku. Sungguh berbanding terbalik dengan papanya yang begitu datar dan dingin.Ya! Kami memang menikah tanpa pacaran, ta'aruf, apalagi cinta.Saat lelaki itu sedang frustasi di level tertinggi karena ditinggal kekasihnya -Dokter Juwita- dia mengajakku menikah dengan berjanji menanggung biaya keluargaku.Aku yang memang butuh banyak dana untuk pengobatan penyakit jantung bapak, biaya hidup keluarga, dan sekolah kedua adikku, menganggap itu Malaikat kiriman Allah, sebagai bantuan pada kami yang berada di puncak kesulitan.Tentu tak punya alasan untuk menolak. Selain keluargaku membutuhkan yang ditawarkannya, lelaki berprofesi dokter umum itu memiliki segalanya. Mapan, perawakan bak pemain film-film action box offix, plus wajah memesona, membuatku tak perlu berfikir dua kali.Tentang cinta? Nanti lah belakangan dipikir. Kalau pun misalkan tak akan pernah hadir dalam rumah tangga kelak, yang penting tujuan kami sama-sama tercapai.Adil, kan? Tak ada yang dirugikan. Kami sama-sama ikhlas menjalaninya.Jangan bahas tentang matre, cinta harta atau semacamnya! Nyatanya, selama nafas dikandung badan, kita butuh penunjang untuk tetap melanjutkan hidup. Dan aku fikir, sebagai anak sulung yang secara otomatis beban diletakkan di pundak, cara ini tak membuat diri terjerumus dosa dalam mencari rezeki di muka bumi.Setelah pesta meriah pernikahan kami, Mas Rian menunai janjinya. Rumah keluargaku yang dulu sangat sederhana kini terlihat bagus, bahkan tampak mewah. Bagian depan direnov model toko, bapak dan ibu diberi modal membuka warung sembako. Sementara ke dua adikku melanjutkan sekolah.Sebagai kriteria suami, Mas Rian begitu sempurna di mata siapapun, sampai orang-orang yang melihatku, sangat iri dibuatnya.Tapi tahukah kalian? Hanya Allahlah pemilik kesempurnaan yang sejati.Mas Rian tak seelok orang nilai. Hampir enam tahun kami bersama, dia cuma menganggapku pelarian, tak lebih. Dia tak pernah mencintaiku sedikitpun, di hatinya hanya ada Juwita, Juwita, dan Juwita lagi, meski wanita itu telah menorehkan luka dalam.Bukankah cinta memang tak bermata? Makanya, tak perduli sesakit apapun goresannya, tetap buta tuk berpaling ke yang lain. Seperti itulah aku menilai lelaki yang berstatus suamiku itu.Tak memungkiri, Mas Rian tipe pria setia, mungkin bucin lebih tepatnya. Bayangkan! Dia baru menyentuhku setelah enam bulan pernikahan kami, itupun sambii menyebut nama Juwita. Dan dari situ, setiap mendatangiku nama itu tak pernah absen diejanya. Sedih? Awalnya tentu saja tidak, karena memang bukan cinta tujuan. Namun seiring dengan waktu, hati ini mulai menghianati tujuan itu.Entah kapan awalnya, pelan tapi pasti, hati ini mulai memiliki harap berlebih. Apalagi saat benihnya tertanam di rahim, pun semakin menancapkan rasa indah yang kian tersemai subur, sungguh tak mampu kubendung.Duh, hati. Kini kau benar-benar menjadi penghianat tujuan.Meski lelaki halal itu bersikap sedingin salju, tapi dia pria bertanggung jawab, tidak kasar, tidak banyak bicara, pun tidak banyak protes. Selain semua kebutuhan keluargaku dipenuhi, juga keperluan diri ini tak terkecuali, jatah bulanan di rekeningku tak tersentuh biaya mana pun. Malahan ketika melahirkan Abram, dia menghadiaku cincin, berlian lagiWanita mana tidak luluh dengan semua pemberian yang bertubi-tubi? "Papa hanya sebentar, Sayang. Pulang sebelum jam sebelas." Lelaki itu mengusap kepala Abram setelah memakai jaket, lalu berlalu tanpa bertanya keadaanku.Tak terasa, ada bening jatuh di sudut netra melihat bayangnya menghilang di balik pintu.Ah, seharusnya perasaan sakit ini tak perlu ada. Toh dari awal, alasan menikahiku karena hanya butuh tempat pelapiasan kewarasan dari kisah cintanya yang tragis.Huft ...Aku tak paham mengapa rasa yang dulu selalu mampu kutekan, tiba-tiba mencuat nyeri saat mengetahui lelaki yang telah membersamai hampir enam tahun itu, sering bertemu lagi dengan wanita terkasihnya yang telah menjanda.Bukankah sejatinya hati mereka memang saling terpaut?Dada kembali sesak memikirkan kedepannya, apalagi ketika terang-terangan mereka mengajak serta Abram seperti yang Mas Rian baru saja lakukan.Apakah itu artinya? Mereka akan melanjutkan rencana awal dengan mengikutkan Abram? Aku?Tuhan ....Khilafkah kalbu ini mendamba lelaki yang telah Engkau pilihkan?Dosakah bila hati ini menghianati tujuan awal?Salahkah menyimpan cemburu melihatnya bersama wanita pujaannya?"Mamah gak usah sedih. kan Abram selalu ada untuk mamah." Putraku yang memiliki wajah dan perangkat tubuh nyaris mirip papanya itu menyeka pipiku dengan tissu. Semakin membuat diri tergugu.*"Papa mau pergi beberapa hari. Abram diantar-jemput sama mamah dulu, ya?" ujar Mas Rian di tengah sarapan dan diangguki Abram. Sejak dipromosikan menjadi kepala rumah sakit, dia memang sering keluar kota.Mas Rian golongan ayah idaman, meski hubungan kami tak semanis rumah tangga lain, darah dagingnya tetap menjadi prioritas. Hampir setiap pergi dan pulang sekolah, selalu diluangkan waktu menjemput Abram. Kecuali saat sibuk, misalnya ada rapat atau sedang menangani pasien darurat. Itu karena dia dari keluarga bercerai, jadi tahu rasanya tak diperhatikan orang tua. "Kamu boleh menyetir sekarang," ucap Mas Rian sambil mengunyah roti bakar kesukaannya, lalu meletakkan kunci mobil.Mendengar itu seketika mataku membola. Dulu dia memberikanku ijin kursus mengemudi, tapi anehnya tak pernah dibolehkan menyetir sendiri. Sekarang merasa amazin karena ijin itu terbit setelah menunggu sekian lama."Trima kasih, Mas. I lope yu so much." Ingin sekali kukatakan kalimat itu sambil bergelayut manja di lehernya seperti di drama-drama korea, tapi rasa sungkan menjadi tembok. Aneh bin ajaib! Bertahun hubungan terjalin, perilaku romantis itu hanya dalam angan. Ini lah efek pernikahan yang diawali bukan karena cinta apalagi ibadah."Abram dan mamah boleh ke rumah nenek dong, Pa?" Abram menyela, mewakili tanya dalam hatiku. Bocah itu tampak sumringah, lagi-lagi mewakili perasaanku. Dari fisik Abram, memang warisan sempurna Mas Rian. Tapi sifat, watak, dan pedulinya, lebih condong ke aku."Boleh. Tapi harus ada Mamang -supir pribadi- jika jarak jauh." Tangan kekar lelaki rajin olahraga itu memencet pelan hidung putranya."Hore .... Kita lets go, Mah." Aku menggeleng sambil tersenyum melihat tingkah Abram yang gemes."Oh, ya, koper kecil diganti yang lebih besar, sekalian ditambahin pakaian juga, mungkin aku tinggal sekitar dua mingguan," titah Mas Rian. Gegas aku ke kamar mengemasi barang bawaannya."Baik-baik di rumah, ya, jagoan? Jangan cengeng!" Begitu selalu pesannya ke pada Abram sebelum pergi. Entah apa maksudnya, padahal anak itu tidak manja, malah terlihat sabar, dan lebih cepat paham dari usinya. Mungkin kepribadian Abram terbentuk dari didikan seorang ibu yang tanpa lelah menanti cinta papanya.Selepas menjemput Abram di TK-nya, aku berinisiatif berjalan-jalan, sekaligus menguji kemampuan menyetirku tanpa Mamang yang biasanya mendampingi."Kayaknya enak sekali-kali antar papa, ya, Mah."Celoteh Abram saat mobil melaju tanpa tujuan. Benar juga idenya, mengingat kami tak pernah melakukan itu."Usul diterima, Komandan. Kita OTW sekarang." Abram langsung terbahak mendengar candaanku.Empat puluh menit sampailah ke bandara. Kalau tidak salah, sejam lagi penerbangan berikutnya, aku fikir Mas Rian belum tiba. Tak apalah menunggu, sekalian menikmati pengalaman baru jalan sendiri."Papa datang, Mah," tunjuk Abram saat aku hendak meluruskan kursi depan, agar lebih santai berbaring sambil makan cemilan, yang sempat Abram beli di warung pinggir jalan tadi.Dengan hati berbunga, aku mengajak Abram turun.Namun pergerakan membuka pintu segera terhenti saat melihat Mas Rian keluat dari roda empat sporty disusul dokter Juwita. Biasanya naik mobil kantor bila star di rumah? Kenapa jadi ...?Tiba-tiba niatku terhenti, bersamaan hati ikut mencelos.Apakah kedua dokter itu berpergian dalam rangka dinas? Atau bulan madu?***"Ayo turun, Mah." Pikiran yang tiba-tiba blank, diselingi nyali menciut, membuatku tak terlalu menanggapi ajakan Abram. Entah kenapa pandanganku tak bisa teralih dari dua dokter itu. Meski hati tak ingin melakukannya, tapi netra seakan enggan berpaling. Sudah mencoba menyisihkan perhatian ke tempat lain atau menutup mata sekalian, tetap saja sosok mereka bak magnet. Ada ngilu yang seakan menusuk benda lunak bernama hati dalam dada menyaksikan keakraban keduanya. Perih!Huft, silakan kalian mencapku apa, lebay, kurang tahu diri, atau apalah, tersebab telah menghianati tujuan awal. Tapi sungguh, rasa ini muncul dengan sendirinya. Bila ingin diibaratkan, cinta ini bagai Jailangkung, yang datang tanpa diundang, tapi anehnya, ogah pergi walau sudah diantar, bahkan sudah diusir tapi masih bertahan. Betapa tak tahu malu! Sebagian orang melabeliku arogan, tak tahu terima kasih, pun serakah. Tapi tahukah kalian? Dialah lelaki pertama kali menyentuh kulit dan hatiku. Dia yang mengenalkan a
Setelah berganti baju, makan, dan melaksanakan salat Duhur, Abram melanjutkan jadwal tidur siangnya.Diri ini memang tidak berpendidikan tinggi. Namun, penanaman soal ibadah, aku terapkan kepada Abram sejak dini. Begitu didikan ibu-bapak pada anak-anaknya, yang kuturunkan pada Abram. Ya, mungkin hanya nilai itulah yang menjadi satu-satunya warisan dari mamahnya kelak, sebab wanita tak berharta dan tak berijazah ini memang sejatinya tak memiliki apa-apa. Bukan! Bukan soal sok alim atau kecanduan bahasa liberalisnya. Berusaha menjalankan ibadah di kala suka dan duka, di kala kekurangan atau berlebih, adalah bentuk terima kasih ke pada Sang Khalik, atas banyaknya nikmat yang dicurahkan secara gratis.Coba bayangkan andai oksigen yang kita hirup setiap saat, Allah minta bayarannya? Semua perangkat tubuh yang masih berfungsi Allah tagih sewanya? Maka selayak, lah, kita meyakini dan menjalankan perintahNya, walau belum bisa sempurna, pun dalam kondisi yang kadang tak bersahabat dengan ha
Gegas aku membasuh wajah dengan punggung tangan saat mendengar langkah kecil Abram. Seberat apapun masalah yang kuhadapi, akan berusaha terlihat baik-baik di depan Malaikat kecil itu. Karena sejatinya, hanya dia penguat sekaligus harta yang kupunya satu-satunya. Selalu saja dada begitu sesak, ketika memikir Mas Rian akan pergi dan menyertakan Abram bersamanya. Apa kira-kira diri mampu menolak? Kuyakin tak bisa. Toh, faktanya, wanita fakir harta dan pendidikan ini, tak punya alasan untuk diberi amanah meski menanggung jawabi darah daging sendiri. Hiks ...."Kok papa belum nelpon, sih, Mah?" Abram bergelayut manja dengan suara khas orang bangun tidur. Tuh, kan? Bagaimana harus menjelaskan tentang informasi papanya yang tak bisa menghubungi seperti dulu.Sepertinya benar kata sebagian orang, kalau seorang istri, harus belajar menjadi ayah dan ibu dalam waktu bersamaan. Mungkin, hal beginilah yang menjadi pertimbangan. Saat hubungan suci dua insan yang berbeda, harus kandas di tengah j
Jika mencintai dan menunggu hati seseorang yang telah berjodoh, dengan mengesampingkan luka dan batas kesabaran, masih salah? Lalu dI mana letak kebenaran cinta dan penantian itu yang sesungguhnya? -----"Papa, kok, belum nelpon, Mah?" tanya Abram dengan wajah berkabut. Andai anak itu manja kupastikan dia telah merajuk atau paling tidak menangis diam-diam di kamarnya, bisa juga di balik pintu. Sepekan sudah Mas Rian tak memberi kabar, hal ini sudah sangat luar biasa bagi Abram yang telah terbiasa berkomunikasi papanya setiap hari, bahkan biasa dua kali sehari. Ah, seperti minum obat saja. Sekarang? Papa yang banyak menyembuhkan orang itu, kini lupa, ada darah daging yang mendung pelupuknya menunggu kabar. Lupakah dokter itu, jika rindu bisa menimbulkan penyakit? Ataukah buncahan bahagianya di sana? Tak ingat lagi apa-apa?Aku tahu pasti, Malaikat kecil itu nelangsa memendam rindu, karena hati ini merasakan hal sama."Papa mungkin masih sibuk, Sayang. Nanti bakal nelpon, kok," jawabk
Terlihat Abram terpaku, matanya fokus ke mobil sporty warna merah gelap bermerek pajero yang terpakir cantik di garasi, lalu sedetik kemudian menatapku penuh tanya."Papa?" tanyanya. Aku mengangguk "Kok, Mamah nggak turun?" tanya Abram lagi menautkan alis. Sebelum menjawab, aku menarik napas pelan, kemudian membuangnya gelisah. Sangat gelisah. "Abram saja duluan, mamah beresin barang-barang di mobil sebentar," kilahku sambil mengeluarkan perlengkapan pribadi dari tempat penyimpanan di depan tempat duduk Abram sekarang.Aku rasa tidak berbohong, hanya sedang menetralkan hati dan kesiapanku untuk berhadapan dengan kenyataan. Ya, aku takut menyaksikan dua sejoli itu ...?"Kita sama-sama, Mah," ujar Abram masih dalam posisi semula. Kenapa juga anak ini bersikap begitu? Bukannya dulu paling heboh jika menyambut papanya? Apa dia merasakan apa yang kurasakan? Ataukah rindunya telah tersulap jadi kecewa?Sengaia memperlambat pergerakan, selain menunggu irama jantung normal dan persendian r
"Mobinya rusak, Mah?" Pertanyaan Abram tak langsung kutanggapi. Anak itu pasti heran melihatku hanya memegang stir lama tapi tak memutar kunci kontak.Tubuhku benar-benar seperti tak bisa difungsikan. Jangankan menginjak gas, memutar stir, apalagi untuk fokus ke jalanan, menstarter mobil saja tak mampu. Percakapan dua sejoli yang baru saja melewati gendang telinga, membuat otak dan perangkat-perangkat tubuh lainnya seketika vakum. Aku rasa inilah yang disebut syok.Entah kenapa tubuh bereaksi terlalu. Sedang enam tahun silam, hal ini sudah terprediksi dari alam bawah sadar pun sebaliknya. Mungkinkah itu disebabkan oleh rasa berlebih yang begitu dalam mengharap? Atau memang cinta telah mengakar kuat di tubuh?Sepertinya aku harus percaya pada pendapat sebagain orang, kalau mencintai lebih tanpa berbalas meski pada pasangan halal, bisa mengundang penyakit, atau bahasa kasarnya, sama dengan bunuh diri. Entah, walau tahu, tapi rasa ini sungguh tak mampu kutepis."Mamah ...." Sentuhan ta
“Abram di sini aja sama mamah, Pa.” Bocah jelang enam tahun itu berujar dalam gendongan, saat sang papa selangkah lagi mencapai ambang pintu. Sementara tubuh masih mematung tak memercayai kalau lelaki yang selalu memesona di mataku, akan benar-benar memisahkan aku dengan darah dagingku juga.“Abram hanya pengen sama Mamah aja, Pa. Kasian mamah sendiri,” protes Abram tak dihiraukan Mas Rian. Lelaki bertubuh proporsional itu terus melangkah menuju tangga. Refleks kaki mengikuti Abram yang menengadah tangan ke arahku. Aku seperti sedang menyaksikan drama korea perpisahan antara ibu dan anak, tersebab kalah di persidangan dalam perebutan hak asuh. Cuman bedanya, di sini aku tak jadi penonton atau penikmat, melainkan pemeran utama. Ternyata berdobel-dobel sesak yang ditimbulkannya. Andai tak punya malu, mungkin aku akan histeris juga selayak sang aktris menghayati skenario.”Jangan pikirkan mamah, Sayang. Besok mamah akan membawakan bekal Abram sebelum ke sekolah,’ ujarku menenangkanny
"Kalau Mas ingin membawa Abram jalan-jalan, ntar aku ijinin ke gurunya," kataku setelah berfikir. Buat apa meruncingkan masalah, kalau bisa diselesaikan dengan aman. Perdebatan menurutku hanya tambah mengeraskan hati saja, pun semakin menggemukkan nafsu yang memang tak pernah kenyang. Ya, benarlah kata ibu dan bapak, kalau anaknya ini memiliki jiwa lebih banyak mengalah. Aku rasa itu tak salah, karena merekalah yang mendidik seperti itu. Bukankah anak seperti kertas kosong? Orang tualah yang menulis pertama, juga terakhir, hingga kertas itu penuh. Apa yang dicoret orang tua, terlihat dari kepribadian anak itu nantinya.Mungkinkah Abram akan memperlakukan seorang wanita kelak seperti papanya memperlakukanku? Ya, Rabb ....Aku tahu buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kumohon jatuhkan buah pohon kami ke sungai, agar ada seseorang yang menemukannya, hingga menjadi pelepas dahaga yang sangat bermanfaat.Jadikan juga putraku demikian. Hanya Engkau tempat memohon paling tepat.Lelaki berp