Tahu rasanya bertahun dalam ikatan halal tapi tak dicintai? Dia menikahiku karena pelarian, kemudian meninggalkanku begitu saja saat kekasihnya telah menjanda, pun saat bertahun diri ini menunggu cintanya. Aku Mentari, istri seorang dokter jenius dan ternama, Mas Rian. Kalau ada yang bertanya siapa yang dicintai Mas Rian? Jawabannya sudah pasti, tentu bukan aku. Dia menikahiku karena kekasihnya yang seprofesi memilih meninggalkannya demi karir dan lelaki lain. Setelah enam bulan pernikahan, Mas Rian baru menyentuhku, itupun sambil menyebut nama wanita pujaannya. Dan mulai dari situ, setiap dia mendatatangiku nama Dokter Juwita tanpa pernah absen diejanya. Sungguh sesak luar biasa. Meski demikian, aku tetap menyimpan harap untuknya. Karena selain Mas Rian memenuhi semua kebutuhanku secara berlebih, juga ada anak yang membuat kian subur rasa ini. "Ini bukan salahku, tapi takdir yang memang harus berlaku," ucap Mas Rian tanpa dosa apalagi meminta maaf sebagai kata perpisahan. Duh ... Ada yang patah tapi bukan ranting. Ada yang merembes tapi bukan darah. Sebegitu sakitnya mencintai dalam pengabaian? Sebegitu perihnya berharap dalam ketidak perdulian? Namun, tak mampu untuk berpaling. Hiks .... Belum genap sebulan kepergian Mas Rian, Bapak menghadap ke Ilahi karena stres mengetahui kehancuran rumah tanggaku. Lengkaplah sudah penderitaan ini. Entah kenapa suatu hari, Mas Rian memaksa mengambil putra semata wayang kami, Abram. Padahal dia tahu pasti hanya anak itu penemang sepi dan pengobat laraku. Aku seperti sedang menyaksikan drama korea perpisahan antara ibu dan anak, tersebab kalah di persidangan dalam perebutan hak asuh. Cuman bedanya, di sini aku tak jadi penonton atau penikmat, melainkan pemeran utama. Ternyata berdobel-dobel sesak yang ditimbulkannya. Andai tak punya malu, mungkin aku akan histeris juga selayak sang aktris menghayati skenario. Melihat air mata tanpa dosa putraku berjatuhan akibat keegoisan papanya, perlindungan seorang ibu berontak di jiwaku. Ya, aku harus berjuang, meski sampai titik darah penghabisan dan berakhir tumbang tak dikenang.
Lihat lebih banyak"Papa ingin ke rumah Tante Juwita, ikut?" tanya Mas Rian pada Abram, anak semata wayang kami.
Selama kedatangan Juwita dari luar negeri, teman seprofesi sekaligus mantan Mas Rian itu, kerap mengajak Abram bepergian bertiga."Nggak, Pa. Di sini saja nemenin mamah." Abram menggeleng, wajahnya menatap penuh kasih nan peduli ke arahku. Sungguh berbanding terbalik dengan papanya yang begitu datar dan dingin.Ya! Kami memang menikah tanpa pacaran, ta'aruf, apalagi cinta.Saat lelaki itu sedang frustasi di level tertinggi karena ditinggal kekasihnya -Dokter Juwita- dia mengajakku menikah dengan berjanji menanggung biaya keluargaku.Aku yang memang butuh banyak dana untuk pengobatan penyakit jantung bapak, biaya hidup keluarga, dan sekolah kedua adikku, menganggap itu Malaikat kiriman Allah, sebagai bantuan pada kami yang berada di puncak kesulitan.Tentu tak punya alasan untuk menolak. Selain keluargaku membutuhkan yang ditawarkannya, lelaki berprofesi dokter umum itu memiliki segalanya. Mapan, perawakan bak pemain film-film action box offix, plus wajah memesona, membuatku tak perlu berfikir dua kali.Tentang cinta? Nanti lah belakangan dipikir. Kalau pun misalkan tak akan pernah hadir dalam rumah tangga kelak, yang penting tujuan kami sama-sama tercapai.Adil, kan? Tak ada yang dirugikan. Kami sama-sama ikhlas menjalaninya.Jangan bahas tentang matre, cinta harta atau semacamnya! Nyatanya, selama nafas dikandung badan, kita butuh penunjang untuk tetap melanjutkan hidup. Dan aku fikir, sebagai anak sulung yang secara otomatis beban diletakkan di pundak, cara ini tak membuat diri terjerumus dosa dalam mencari rezeki di muka bumi.Setelah pesta meriah pernikahan kami, Mas Rian menunai janjinya. Rumah keluargaku yang dulu sangat sederhana kini terlihat bagus, bahkan tampak mewah. Bagian depan direnov model toko, bapak dan ibu diberi modal membuka warung sembako. Sementara ke dua adikku melanjutkan sekolah.Sebagai kriteria suami, Mas Rian begitu sempurna di mata siapapun, sampai orang-orang yang melihatku, sangat iri dibuatnya.Tapi tahukah kalian? Hanya Allahlah pemilik kesempurnaan yang sejati.Mas Rian tak seelok orang nilai. Hampir enam tahun kami bersama, dia cuma menganggapku pelarian, tak lebih. Dia tak pernah mencintaiku sedikitpun, di hatinya hanya ada Juwita, Juwita, dan Juwita lagi, meski wanita itu telah menorehkan luka dalam.Bukankah cinta memang tak bermata? Makanya, tak perduli sesakit apapun goresannya, tetap buta tuk berpaling ke yang lain. Seperti itulah aku menilai lelaki yang berstatus suamiku itu.Tak memungkiri, Mas Rian tipe pria setia, mungkin bucin lebih tepatnya. Bayangkan! Dia baru menyentuhku setelah enam bulan pernikahan kami, itupun sambii menyebut nama Juwita. Dan dari situ, setiap mendatangiku nama itu tak pernah absen diejanya. Sedih? Awalnya tentu saja tidak, karena memang bukan cinta tujuan. Namun seiring dengan waktu, hati ini mulai menghianati tujuan itu.Entah kapan awalnya, pelan tapi pasti, hati ini mulai memiliki harap berlebih. Apalagi saat benihnya tertanam di rahim, pun semakin menancapkan rasa indah yang kian tersemai subur, sungguh tak mampu kubendung.Duh, hati. Kini kau benar-benar menjadi penghianat tujuan.Meski lelaki halal itu bersikap sedingin salju, tapi dia pria bertanggung jawab, tidak kasar, tidak banyak bicara, pun tidak banyak protes. Selain semua kebutuhan keluargaku dipenuhi, juga keperluan diri ini tak terkecuali, jatah bulanan di rekeningku tak tersentuh biaya mana pun. Malahan ketika melahirkan Abram, dia menghadiaku cincin, berlian lagiWanita mana tidak luluh dengan semua pemberian yang bertubi-tubi? "Papa hanya sebentar, Sayang. Pulang sebelum jam sebelas." Lelaki itu mengusap kepala Abram setelah memakai jaket, lalu berlalu tanpa bertanya keadaanku.Tak terasa, ada bening jatuh di sudut netra melihat bayangnya menghilang di balik pintu.Ah, seharusnya perasaan sakit ini tak perlu ada. Toh dari awal, alasan menikahiku karena hanya butuh tempat pelapiasan kewarasan dari kisah cintanya yang tragis.Huft ...Aku tak paham mengapa rasa yang dulu selalu mampu kutekan, tiba-tiba mencuat nyeri saat mengetahui lelaki yang telah membersamai hampir enam tahun itu, sering bertemu lagi dengan wanita terkasihnya yang telah menjanda.Bukankah sejatinya hati mereka memang saling terpaut?Dada kembali sesak memikirkan kedepannya, apalagi ketika terang-terangan mereka mengajak serta Abram seperti yang Mas Rian baru saja lakukan.Apakah itu artinya? Mereka akan melanjutkan rencana awal dengan mengikutkan Abram? Aku?Tuhan ....Khilafkah kalbu ini mendamba lelaki yang telah Engkau pilihkan?Dosakah bila hati ini menghianati tujuan awal?Salahkah menyimpan cemburu melihatnya bersama wanita pujaannya?"Mamah gak usah sedih. kan Abram selalu ada untuk mamah." Putraku yang memiliki wajah dan perangkat tubuh nyaris mirip papanya itu menyeka pipiku dengan tissu. Semakin membuat diri tergugu.*"Papa mau pergi beberapa hari. Abram diantar-jemput sama mamah dulu, ya?" ujar Mas Rian di tengah sarapan dan diangguki Abram. Sejak dipromosikan menjadi kepala rumah sakit, dia memang sering keluar kota.Mas Rian golongan ayah idaman, meski hubungan kami tak semanis rumah tangga lain, darah dagingnya tetap menjadi prioritas. Hampir setiap pergi dan pulang sekolah, selalu diluangkan waktu menjemput Abram. Kecuali saat sibuk, misalnya ada rapat atau sedang menangani pasien darurat. Itu karena dia dari keluarga bercerai, jadi tahu rasanya tak diperhatikan orang tua. "Kamu boleh menyetir sekarang," ucap Mas Rian sambil mengunyah roti bakar kesukaannya, lalu meletakkan kunci mobil.Mendengar itu seketika mataku membola. Dulu dia memberikanku ijin kursus mengemudi, tapi anehnya tak pernah dibolehkan menyetir sendiri. Sekarang merasa amazin karena ijin itu terbit setelah menunggu sekian lama."Trima kasih, Mas. I lope yu so much." Ingin sekali kukatakan kalimat itu sambil bergelayut manja di lehernya seperti di drama-drama korea, tapi rasa sungkan menjadi tembok. Aneh bin ajaib! Bertahun hubungan terjalin, perilaku romantis itu hanya dalam angan. Ini lah efek pernikahan yang diawali bukan karena cinta apalagi ibadah."Abram dan mamah boleh ke rumah nenek dong, Pa?" Abram menyela, mewakili tanya dalam hatiku. Bocah itu tampak sumringah, lagi-lagi mewakili perasaanku. Dari fisik Abram, memang warisan sempurna Mas Rian. Tapi sifat, watak, dan pedulinya, lebih condong ke aku."Boleh. Tapi harus ada Mamang -supir pribadi- jika jarak jauh." Tangan kekar lelaki rajin olahraga itu memencet pelan hidung putranya."Hore .... Kita lets go, Mah." Aku menggeleng sambil tersenyum melihat tingkah Abram yang gemes."Oh, ya, koper kecil diganti yang lebih besar, sekalian ditambahin pakaian juga, mungkin aku tinggal sekitar dua mingguan," titah Mas Rian. Gegas aku ke kamar mengemasi barang bawaannya."Baik-baik di rumah, ya, jagoan? Jangan cengeng!" Begitu selalu pesannya ke pada Abram sebelum pergi. Entah apa maksudnya, padahal anak itu tidak manja, malah terlihat sabar, dan lebih cepat paham dari usinya. Mungkin kepribadian Abram terbentuk dari didikan seorang ibu yang tanpa lelah menanti cinta papanya.Selepas menjemput Abram di TK-nya, aku berinisiatif berjalan-jalan, sekaligus menguji kemampuan menyetirku tanpa Mamang yang biasanya mendampingi."Kayaknya enak sekali-kali antar papa, ya, Mah."Celoteh Abram saat mobil melaju tanpa tujuan. Benar juga idenya, mengingat kami tak pernah melakukan itu."Usul diterima, Komandan. Kita OTW sekarang." Abram langsung terbahak mendengar candaanku.Empat puluh menit sampailah ke bandara. Kalau tidak salah, sejam lagi penerbangan berikutnya, aku fikir Mas Rian belum tiba. Tak apalah menunggu, sekalian menikmati pengalaman baru jalan sendiri."Papa datang, Mah," tunjuk Abram saat aku hendak meluruskan kursi depan, agar lebih santai berbaring sambil makan cemilan, yang sempat Abram beli di warung pinggir jalan tadi.Dengan hati berbunga, aku mengajak Abram turun.Namun pergerakan membuka pintu segera terhenti saat melihat Mas Rian keluat dari roda empat sporty disusul dokter Juwita. Biasanya naik mobil kantor bila star di rumah? Kenapa jadi ...?Tiba-tiba niatku terhenti, bersamaan hati ikut mencelos.Apakah kedua dokter itu berpergian dalam rangka dinas? Atau bulan madu?***"Cepatan dong, Tari. Ntar Abram ngambek." Mas Langit menarikku menuju mobil. Ini hari penerimaan hadiah Abram ikut lomba hafalan surah-surah pendek. Tentu saja lelaki dingin tapi sudah hangat itu paling senang, karena dialah pembimbingnya di rumah. "Dikit lagi, Mas. Tinggal warnain bibir aja, kok," protesku tetap melangkah.Tak lama berselang, Mas Langit segera melajukan kendaraan sambil berkali-kali melihat jam yang melingkar di tangannya setelah kami duduk dan menutup pintu mobil. Dia memang seperti itu kalau menyangkut masalah Abram. Kadang aku menganggap sikapnya terlalu berlebihan, itukan sama saja membiasakan anak terlalu bergantung."Mandiri tidak terbentuk dengan sendirinya saja, Tari. Tapi harus disertai dengan tanggung jawab, jujur, optimis, dan contoh dari orang terdekatnya," ujar Mas Langit seakan tahu isi hatiku dan entah keberapa sekian kali dia mengulang kalimat semacam ini. Ah, sudahlah ... Aku tak ingin mendebatkan perbedaan prinsip. Apalagi dia tidak sekedar bicar
Entah kenapa aku tak merasa kram dalam posisi berjongkok sambil kedua tangan menutup wajah. Untung tak ada Abram. Tidak bisa membayangkan andai anak itu melihat aku sebegitu terpuruk seperti sekarang, atau mengetahui ayahnya pergi lagi. Mungkin ....Mamah dan anak ini akan menangis bersama di sini."Apa kamu nggak malu diliatin?" Suara yang tiba-tiba sangat merdu terdengar diantara bisik-bisik. Aku tahu sedari tadi orang-orang memperhatikan, tapi diri tak perduli. Sedih ini harus segera dituntaskan.Cepat aku mengangkat wajah lalu berkali-kali mengusap mata untuk memastikan penglihatan.Ya, lelaki pembuat gulana itu berdiri di sana, betul, bukan mimpi atau halusinasi. Sementara Anggi di belakang tersenyum sambil menyeka sudut netranya. Sejak kepergian suami adik dan kedua orang tuanya, lelaki itu bertanggung jawab penuh sebagai kakak, jadi wajarlah memaksa Anggi ikut bila pindah kota seperti yang dilakukan sekarang. Dari pembicaraan Mbak Rima dan Anggi tadi pagi itulah, aku tahu peremp
Gegas aku turun dari mobil bermaksud mendahului Mas Langit. Seketika terlintas keinginan kuat untuk mencegah pamitnya ke Emak. Aku akan meminta dengan segala cara agar tak jujur ke wanita terbaikku itu. Meski dengan berbagai alasan dan kedustaan, biarlah diri yang dzolim ini menanggug semua dosanya, asalkan malaikat tak bersayapku tetap bahagia. Aku rasa semua anak akan melakukan sama jika berada di posisiku.Sepertinya niatku telah terlambat. Suara tangisan Emak terdengar saat aku memasuki pintu utama. Secepat itu lelaki dingin mengutarakan maksudnya, hingga tak melihat kondisi Emak yang masih dalam pemulihan. Benar-benar tak berperasaan! Emosi dan sedih, entah yang mana kudahulukan sekarang.Dengan menyeret kaki aki memasuki kamar Emak, suasana hatiku benar-benar down sekarang. Akulah satu-satunya anak yang menjadi penyebab utama kepergian kedua orang tuanya. Menyadari itu, tungkai seketika tak bisa menahan bobot tubuh."Ke sini, Nduk." Gontai aku mendekat ke beliau. Mas Langit meng
Setelah salat Subuh, Abram telah siap dengan jaket, biasanya pagi-pagi sekali Mas Langit sudah datang menjenguk Emak lantas membawa Abram jalan-jalan dan sepulangnya membawa aneka makanan yang masih hangat. Tiga hari lalu Emak diijinkan pulang dan sekarang sedang proses pemulihan di rumah."Kok, lama, ya, Mah," keluh Abram mulai tak sabar. Ufuk timur mulai terang, menandakan pagi telah menjelang. Tak biasanya Mas Langit datang terlambat."Coba cek ke rumahnya, Tari. Katanya dia gak bermalam di sini karena lagi pembenahan barang," kata Emak yang tampaknya menunggu seperti Abram. Lelaki itu memang tipe pembuat rindu."Emak dan Abram mau makan apa, biar aku bikinin," tawarku hendak ke dapur. Melihat sikap dinginnya ke aku menciptkan canggung dan malu yang teramat bila harus nyusul ke rumahnya. Kecuali kalau dia sendiri yang datang.Emak dan Abram tak ada jawaban. Itu menandakan mereka tak menyetujui saranku. Huft ... Sungguh dilema diri ini. Haruskah memaksa Mas Langit tetap bertahan d
Ruang ICUAku mengenggam erat tangan Emak yang terbaring tak berdaya. Banyak alat medis tidak kutahu nama dan fungsi tepasang di tubuh rentanya.Mataku pasti sangat bengkak sekarang, hanya menangis yang mampu kukakukan, hampir dua belas jam berlalu, tapi beliau belum siuman. Dadanya saja terlihat naik turun menandakan masih ada ruh di jasad, itupun sangat lemah dibanding biasanya.Ya, Tuhan ... Cobaan apa lagi ini? "Sudah tahu penyebab Emak pinsang?" tanyaku ke Gilang, dia yang menemani Emak. Adikku itu baru saja kutugaskan mencari informasi di hajatan tetangga yang kemarin Emak datangi."A-anu, Mbak," jawab gilang gagap. Tuh, tak salah lagi, di sana sumbernya. "Apa orang membicarakanku?" ujarku to the point. Aku pikir tak perlu lagi berbasa-basi. Situasinya darurat."I-iya, Mbak." Aku mengangguk cepat agar Gilang bercerita tanpa sungkan. "Ada yang melihat Mas Langit di kota seberang. Dan tetangga menyimpulkan Mbak sekarang menjanda lagi," lanjut Gilang menatapku sedih. Inilah yang
"Pintu rumah selalu terbuka lebar, jika Mas ingin menjumpai Abram." Selesai berucap, aku segera bergegas ke luar. Sementara Abram masih menunggu papanya bereaksi. Dokter itu masih setia menekuri lantai saat aku melaluinya.Sebelum mencapai ambang, aku sempatkan melihat ke belakang. Mas Rian menarik putranya dalam pelukan, lama sekali, sambil menangis lirih. Ya, perpisahan memang menyakitkan. Namun, bertahan dalam gerogotan luka yang tak pernah hilang, sama saja bunuh diri secara perlahan.[Kupinta maafmu dari prilaku dosa, salah, dan khilaf selama hidup bersamaku, Mas. Meski hubungan kita telah usai, tak ada niat sama sekali untuk menjauhkanmu dengan Abram ke depannya. Tetaplah jadi papa yang terbaik, pun suami yang bertanggung jawab. Semoga kita semua dalam lindungan Allah sampai maut memanggil]Tak memungkiri, air mata jatuh jua mengiring pesan singkatku. Baru kali aku sempat dan sepenuh hati meluangkan waktu menulis kata maaf dan perpisahan setelah hampir setahun jatuh talak. Seras
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen