Bab 4: Tertawa di Pemakaman
--- Pagi di Desa Kalibungkus seharusnya tenang. Tapi pagi kali ini… terasa seperti pagi yang menunggu sesuatu meledak. Setelah kejadian di Bukit Keramat semalam, Raka, Desi, dan Ucup terbangun dengan tubuh remuk dan mental compang-camping. Mereka bertiga tidur di ruang tengah rumah Simbah Raka—masih tak berani kembali ke kamar masing-masing. Yang pertama bangun adalah Ucup. Ia duduk dengan rambut berantakan seperti habis diangkat dari sumur. “Bro… semalam itu nyata, kan?” gumamnya, setengah mimpi setengah trauma. Desi duduk sambil memijat kening. “Nyata. Sangat nyata. Kita barusan bikin kuntilanak tertawa. Itu bukan pencapaian yang bisa ditulis di CV, tapi tetap luar biasa.” Raka bangun dengan mata sembab. Ia langsung mencari buku catatan kuno di bawah bantal. Setelah membuka beberapa halaman, ia menemukan sesuatu yang membuat napasnya tercekat. “Ada satu bagian yang belum kita baca semalam...” katanya pelan. “Kayaknya ini... peringatan terakhir.” Ia membaca keras-keras: > ‘Jika tawa telah terdengar, tapi tak dikunci dengan tanah suci, maka bayangan akan kembali di pemakaman. Ia mencari rumah barunya.’ Ucup langsung berdiri. “JANGAN BILANG... rumah barunya itu... gua?” Desi mencubit lengan Ucup. “Gua harap bukan. Tapi kita belum menutup kutukannya dengan tanah suci. Kita cuma bakar tanah biasa.” Raka menunjuk buku itu. “Dan kata ‘pemakaman’ disebut. Mungkin itu pemakaman umum desa. Atau bisa jadi… tempat di mana tubuh aslinya dikuburkan ulang.” “Kalau begitu kita harus ke makam itu pagi ini juga,” tegas Desi. Ucup meringis. “Gua baru bangun, perut kosong, mental koyak, dan kalian ngajak gua piknik ke tempat kuntilanak ngumpet? Bisa nggak... kita sarapan dulu? Nasi uduk? Minimal bubur?” “Bubur lo simpan buat setelah kita selamat.” — Setelah sarapan seadanya (mie rebus dan teh manis tiga gelas penuh gula), ketiganya langsung berangkat ke pemakaman lama di ujung desa. Lokasi itu disebut “Kuburan Sungsang” oleh warga, karena beberapa kuburan di sana konon menghadap ke arah yang salah. Desi membawa tanah dari halaman belakang masjid tua di desa, yang dipercaya sebagai tanah suci. Sementara Raka membawa salib kecil peninggalan simbah—walau mereka tidak tahu pasti itu untuk perlindungan atau cuma hiasan dinding. Sesampainya di pemakaman, suasana langsung berbeda. Aroma tanah basah, dedaunan gugur, dan nisan tua yang ditumbuhi lumut. Tak ada burung, tak ada angin, bahkan jangkrik pun memilih diam. “Ini tempat... kayak setting film indie horror festival Eropa,” gumam Ucup sambil melihat ke sekeliling. Raka membuka catatan dan mencocokkan nama yang tertulis di buku. “Ini... ini dia. Makamnya. Sri Hartinah. Perempuan muda yang mati bunuh diri karena dipermalukan. Tahun 1982.” Desi berjongkok. Ia menaburkan tanah suci di sekeliling nisan. Tapi baru saja ia menyebar segenggam, tanah itu menolak menempel. Seperti ada angin halus yang menghempasnya mundur. Dan tiba-tiba... terdengar tawa pelan. Bukan dari arah belakang. Tapi dari bawah. Tawa itu lirih, seperti tertahan di dalam tanah. Raka mundur. “Itu... dari dalam kubur?” Ucup sudah bersiap lari. “Bro... ini bukan waktunya main petak umpet dengan hantu yang ber-IPK tinggi!” Tiba-tiba, tanah di atas makam mulai retak. “DESI! TANAHNYA CEPAT!!” Raka berteriak. Desi melempar seluruh isi kantong tanah suci di atas makam. Tapi malah... tanah itu terpental. Sebuah tangan merah menyembul dari dalam tanah. Kukunya panjang, berdarah, dan menggenggam sesuatu... Sebuah boneka badut kecil. Ucup menjerit paling keras. “KENAPA HANTU INI NYELIPIN BADUT?! INI HANTU ATAU BADUT ULANG TAHUN ANAK SETAN?!” Dari lubang tanah yang membesar, kepala kuntilanak merah muncul perlahan. Wajahnya hancur. Setengah tengkorak. Tapi ia tetap... tersenyum. “HA HA HA... kalian pikir aku pergi selamanya?” Desi mundur sambil mengambil minyak kayu putih dari tasnya. “Ini yang paling suci yang kita punya sekarang!” Ucup menarik kabel charger dari sakunya. “Gua punya ini! Bisa kita... ikat pake kabel?” Kuntilanak itu melayang keluar dari lubang makam. Tubuhnya membara, menyebar aura panas dan darah. Tapi ia tidak menyerang. Ia... menari. Ya. Ia berputar di udara. Melayang seperti sedang melakukan tarian balet... versi inferno. Raka terdiam. “Kenapa dia... joget?” Desi membaca kembali buku catatan. “Di sini tertulis... ‘Jika roh tertawa terlalu lama, ia akan gila. Dan tarian adalah cara roh meluapkan kegilaan terakhirnya.’” Ucup melirik. “Jadi... sekarang dia semacam... TikToker supernatural?” Kuntilanak itu menari sambil tertawa semakin kencang. Kepalanya menoleh 360 derajat. Rambutnya membentuk angka delapan di udara. Dan tiba-tiba ia berhenti. “Sekarang... siapa yang ingin aku masuki... dan tinggal di dalamnya?” Raka menjerit, “INI SAATNYA, DEKAP KAWANMU, CUP!” Tanpa aba-aba, Raka dan Desi memeluk Ucup dari kiri dan kanan. Ucup teriak. “JANGAN PELUK! GUA BUKAN SANG JURU SELAMAT!!” Kuntilanak terdiam. Ia melihat mereka bertiga, lalu... tertawa pelan. “Lucu. Kalian saling menyayangi. Bahkan dalam ketakutan.” Ia melayang turun. Wajahnya berubah. Rambut merahnya memudar. Gaunnya membusuk di depan mata. Ia menjadi sosok wanita muda biasa. Wajahnya pucat tapi tidak lagi menyeramkan. “Aku... hanya ingin seseorang tertawa bersamaku. Tapi tak ada yang berani.” Ia memandang nisan di belakangnya. “Aku mati dalam tawa yang palsu. Dilecehkan karena berbeda. Dipermalukan karena cinta. Lalu... aku tertawa dalam air mata. Dan tak pernah berhenti.” Desi mendekat. “Maafkan kami. Tapi kau bisa pergi sekarang. Kami sudah tertawa bersamamu. Bukan karena takut. Tapi karena... konyolnya hidup dan maut yang cuma beda tipis.” Perempuan itu tersenyum pelan. Lalu tubuhnya menghilang dalam tiupan angin. Boneka badut yang tadi digenggamnya jatuh ke tanah. Ucup memungutnya. Boneka itu kini tersenyum damai. Dan dari jauh... lonceng masjid tua berdentang sendiri. Tiga kali. Seakan menandai akhir satu kutukan. — Malam itu, untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun, warga desa tertawa bersama di balai desa. Raka, Desi, dan Ucup jadi semacam pahlawan lokal. Ucup bahkan diundang mengisi acara stand-up lokal bertema “Tertawa dari Kuburan.” Ia naik panggung sambil membawa boneka badut itu. Dan kalimat pembukanya... “Pernah ditertawakan hantu? Gua pernah. Dan gua juga bikin dia ngakak sampe berubah wujud. Jadi kalau ada yang bilang gua nggak lucu... gua sleding pakai sandal jepit gaib!” Suara tawa mengisi malam. Untuk kali pertama, Kalibungkus bukan lagi desa yang sunyi. Tapi desa yang bisa menertawakan kematian... dan tetap hidup. ---Sekolah Dasar Angker – Kapur Terbang dan Penghapus Berdarah.......Sekolah Dasar Negeri Kalibungkus 02 punya reputasi aneh. Murid-muridnya rajin, guru-gurunya sopan, tapi semua orang kampung sepakat: jangan main ke sekolah itu setelah jam lima sore.Bangunannya berdiri sejak zaman Belanda. Plang nama sekolah sudah pudar, papan pengumuman miring, dan lonceng tua di tiang besi hanya dibunyikan manual dengan tali tambang. Dindingnya lembab, dan di salah satu kelas ada tulisan kapur yang tak pernah bisa dihapus: "Saya belum selesai ujian..."Semua berawal dari ruang kelas 4B. Ruangan itu lebih gelap dari yang lain, walau jendelanya besar. Lampu sering berkedip, dan kipas langit-langitnya menimbulkan suara mendengung seperti nyamuk raksasa. Guru-guru menyebutnya 'kelas keramat'.Suatu hari, Bu Kartini, guru Matematika senior yang terkenal disiplin dan anti-mitos, memutuskan mengajar les tambahan sepulang sekolah. Ia menolak semua peringatan murid dan g
Arisan Emak-emak dan Undangan dari Alam Lain.....Hari Sabtu siang di Kalibungkus biasanya hanya diisi suara ayam berkokok telat, anak-anak main layangan, dan suara ibu-ibu menyapu halaman. Tapi hari itu, suara gaduh, tawa cekikikan, dan denting gelas sirup menggema dari rumah Bu Rumi, Ketua RT sekaligus tuan rumah arisan bulanan emak-emak Blok C.“Eh Bu Yayah, masa kamu belum setor bulan kemarin? Mau jadi peserta arisan arwah kayak Lastri?”“Eh jangan asal nuduh! Aku tuh udah setor, cuma belum sempat ditulis. Tanya aja Bu Iis!”Bu Iis yang lagi ngunyah pastel isi bihun keasinan cuma manggut-manggut sambil meletakkan kotak makan plastiknya di atas meja. Kursi plastik oranye berjejer di ruang tamu, sebagian mulai melengkung karena beban emak-emak plus bonus gorengan. Satu kursi di pojok ruangan sengaja dikosongkan, katanya buat 'tamu tidak diundang'.Tradisi arisan Kalibungkus memang aneh. Setiap bulan, selalu ada kejadian ganjil sejak tah
Bab 12: Salon Wiwin – Sisir Hantu, Kursi PanasSalon Wiwin berdiri di pojok Jalan Anggrek, sebuah gang kecil yang penuh tanaman pot dan kabel listrik menggantung seperti akar dari langit. Wiwin, seorang janda muda berusia tiga puluh lima tahun, memutuskan membuka salon setelah frustasi bekerja sebagai kasir toko elektronik yang setiap hari disuruh ganti baterai remote rusak.Salon itu kecil. Hanya dua kursi salon yang catnya sudah mulai mengelupas, satu cermin besar retak di ujung kiri dinding, kipas angin tua yang suaranya seperti orang mendengkur, dan lemari kayu tempat menyimpan semua alat perawatan rambut. Tapi, ada sesuatu yang istimewa: pelanggan selalu ramai. Mungkin karena Wiwin ramah, murah, atau karena dia sering memutar lagu dangdut remix sambil mencatok rambut.Namun sejak malam Jumat Kliwon bulan lalu, salon itu tak pernah sama lagi.Semuanya dimulai saat Wiwin merapikan lemari tua di pojok salon. Ia menemukan sebuah sisir kayu antik
Bab 11: Penunggu Lapangan Voli – Bola Nyasar, Kepala TerbangKalibungkus adalah desa kecil yang punya cara aneh menjaga kekompakan warganya: pertandingan voli antar RT tiap Jumat sore. Meski kelihatannya biasa, pertandingan ini terkenal tidak pernah selesai. Alasannya? Entah karena debat skor, bola nyangkut ke kandang ayam, atau tiba-tiba hujan padahal langit cerah. Tapi Jumat sore itu, pertandingan berhenti bukan karena hal-hal konyol seperti biasanya. Kali ini, pertandingan berhenti karena kepala orang terbang.Sore itu, langit cerah tanpa awan. Angin bertiup pelan, membawa bau tahu goreng dan keringat bapak-bapak yang sudah pemanasan sejak pukul tiga. Anak-anak duduk berderet di pinggir lapangan tanah merah, duduk di atas ban bekas yang disusun seperti tribun. Emak-emak membawa bekal—ada yang bawa singkong goreng, ada yang bawa kerupuk, ada juga yang bawa kipas tradisional dari lidi yang lebih sering dipakai buat ngusir nyamuk daripada buat angin.Pak L
Bab 10: Kuntilanak Penjual Cilok – Dagangan Pedas, Tatapan Sadis---Pukul empat sore di Kalibungkus biasanya adalah waktu sakral bagi anak-anak SD dan SMP. Itu adalah waktu jajan, ketika warung-warung pinggir jalan mulai ramai, dan suara gerobak dorong berdentang lebih nyaring dari azan magrib.Di situlah pertama kali warga melihatnya.Seseorang—orang?—menjual cilok dari balik kabut sore yang menggantung rendah. Gerobaknya tua, terbuat dari kayu cokelat kusam, dengan tulisan “CILOK PEDAS SETAN” yang tampak ditulis dengan darah (atau saus tomat basi).Tapi yang membuat geger bukan gerobaknya, melainkan... penjualnya.Dia tinggi, rambut panjang menjuntai sampai lutut, kulitnya pucat seperti mayat yang kelamaan di kulkas, dan matanya... merah menyala.---“Lu yakin itu orang?” tanya Ucup ke Desi saat mereka ngintip dari balik tembok sekolah.Desi melotot. “Lu kira setan bisa dagang cil
Bab 9: Teror Tisu Toilet yang Bisa Menjerat Jiwa – Misteri Kamar Mandi Sekolah Dasar---Sekolah Dasar Negeri Kalibungkus 1 adalah bangunan peninggalan zaman Belanda yang direnovasi terakhir kali… saat Presiden masih sering tampil di televisi dengan pita leher. Plafon lapuk, meja bolong, dan cat dinding yang mengelupas seperti kulit ular habis ganti musim adalah pemandangan biasa. Tapi yang paling jadi legenda adalah kamar mandi belakang.Letaknya di pojok sekolah, dekat pohon asam tua yang akarnya menjulur seperti jemari monster tua. Ada dua bilik: satu untuk murid laki-laki, satu lagi untuk perempuan. Tapi… sejak tahun 2007, tidak ada yang berani masuk bilik nomor dua.Kenapa?Karena tisu toilet di dalamnya bisa bergerak sendiri.—Desas-desus ini sudah lama terdengar. Tapi tak pernah ada bukti nyata. Sampai suatu hari, Iqbal, murid kelas 5 yang dikenal paling berani dan paling doyan makan lem, memutuskan unt