Keputusan telah diambil oleh Dido dan Ode. Mereka akhirnya berhenti bernyanyi, tidak diteruskan lagi dan pergi meninggalkan warung kaki lima, terutama meninggalkan bapak tua beruban yang tidak memiliki rasa hormat sedikitpun kepada seniman jalanan.
“Kelewatan tuh bapak tua, masa kita diadu dengan suara burung beonya?” gerutu Dido masih kesal dan tidak terima. Ia tidak menduga kenapa bisa bertemu dengan orang yang sama sekali tidak punya rasa menghargai atas sebuah karya seni, walau mungkin karya seni tersebut biasa saja atau bahkan tidak enak didengar.
"Kalau dia tadi ndak suka suaraku, nyanyianku, lebih baik dia tutup telinga saja, daripada bandingkan dengan burung beonya. Sakit hatiku!" keluh Dido masih kesal.
"Ya lebih bagus dia bilang gitu Do, daripada tutup telinga, malah lebih menyakitkan lagi," sahut Ode masih coba tenangkan Dido sekaligus menghibur dirinya. Bagaimana pun, ia juga merasakan kesal dan malu atas sikap bapak tua tersebut.
Di awal mula mengamen justru mendapatkan hal tidak menyenangkan. Tapi akhirnya Ode sadari dan anggap sebagai hal biasa untuk menguji mental. Malam itu mereka mengalah dan berusaha tidak ambil hati atas perlakuan tidak menyenangkan.
Malam ini, sudah kesekian puluh kalinya mereka mengamen. Justru peristiwa pertama mengamen dan dapat insiden tidak mengenakan membuat mental mereka kuat dan tahan banting. Tidak ada lagi rasa malu sedikitpun.
Sekitar dua puluh meter Ode dan Dido melangkah, tibalah di sebuah perempatan lampu merah. Beberapa kendaraan sedang berhenti, mobil dan motor masih ramai menunggu antrian untuk lampu hijau.
Hilir mudik kendaraan dari arah lain yang mendapat giliran untuk jalan tidak luput dari pandangan Ode. Lalu lintas malam ini sangat ramai. Tidak heran, untuk kota sebesar Surabaya, pemandangan ramai seperti malam ini menjadi hal yang biasa.
Ketika sedang asyik memperhatikan keramaian kendaraan, tiba-tiba samar terdengar suara orang, tidak jauh dari tempat Ode dan Dido berdiri.
Ode menoleh ke arah datangnya suara. Tampaklah seseorang yang dari cara penampilan dan dandanannya terlihat berbeda. Dido juga sempat menoleh dan memperhatikan orang itu.
“Permisi kakaaa ...” ucapnya dengan nada lembut pada seorang supir mobil pribadi yang kacanya terbuka. Bapak supir itu cuma menoleh sejenak, cuek.
Tetapi, pria yang mencoba menunjukkan gerak geriknya seperti gerakan gemulai wanita, tanpa malu langsung beraksi. Ia membunyikan alat musik gemericik kumpulan penutup botol, berusaha melakukan improviasi nada pembuka disertai goyangan badan sedikit meliuk-liuk.
“Anggur meraaahh ...” mulai terdengar suaranya yang berusaha dilembutkan meskipun tetap terdengar bass. Satu kalimat lirik lagu dari salah satu lagu dangdut telah mulai ia nyanyikan.
Baru dua kata yang ia ucapkan, tiba-tiba ...
“Eeeeehh ... sudah hijaaauu,” lanjutnya lagi sambil menahan tawa, geli sendiri. Gerak gemulai dan suaranya terhenti. Pria itu tidak lagi membunyikan gemerincingnya karena baru menyadari kalau lampu merah telah berganti jadi lampu hijau.
Bapak Sopir itu tertawa, tapi ia mulai bersiap memajukan mobil yang dikemudinya, untuk bergerak bersama kendaraan lain. Sedangkan waria itu tidak lagi melanjutkan nyanyiannya.
“Kakaaa ... duitnya mana? Kan udah nyanyi,” jelasnya percaya diri, berusaha merayu sambil menyodorkan telapak tangannya.
“Ndak ada duit kecil,” sahut Bapak sopir sekenanya.
“Duit besar juga boleh, ada kembaliannya kok,” jawabnya, agak genit. Tapi bapak Sopir itu terus cuek dan kendaraannya mulai melaju.
Dido yang sebelumnya terlihat sangat mengantuk, tiba-tiba seperti orang kesetanan. Tanpa angin tanpa hujan, ia langsung tertawa terbahak-bahak. Bahkan ia tertawa hingga matanya sempat terpejam, tidak kuasa menahan tawa setelah mendengar sepenggal lirik lagu yang dinyanyikan pria itu. Termasuk juga tertawa karena melihat pria yang berdandan menor itu ngotot meminta duit dengan menyediakan uang kembalian.
Sebenarnya Ode juga ingin tertawa, tapi agak ditahan dan perutnya jadi sedikit tegang. Ode heran karena baru kali ini ia melihat ada waria di lampu merah tempat mereka berada. Pada malam-malam sebelumnya mereka tidak pernah menemukan.
“Mungkin dia nyasar, bukan hanya kesasar arah jalan, tapi juga kesasar arah pendirian jati dirinya,” pikir Ode.
“Wooii!” terdengar suara teriakan lelaki dengan lantang.
Keduanya terkejut. Tawa Dido tiba-tiba terhenti karena baru menyadari sesuatu. Ternyata pria yang menirukan gaya wanita tersebut marah dan merasa tersinggung oleh tawa keras Dido. Suaranya yang tadi terdengar lembut, berubah jadi garang. Tidak ada lagi suara lembutnya.
“Siapa yang kalian tertawakan?! Kenapa ngamen di lampu merah ini?! Ini kan wilayahku!” teriaknya dengan lantang melawan deru hilir mudik kendaraan, tegas, dan berkacak pinggang. Wajahnya berubah jadi sangar, menunjukkan amarah. Ia merasa tidak terima dan bergegas menghampiri Ode dan Dido yang jaraknya cuma sekitar sebelas meter darinya.
Ode melihat tanpa berkedip pada waria yang hampir sama tinggi dengannya, seketika rasa gugup menghampiri. Ingin rasanya Ode menjelaskan bahwa mereka berdua tidak mengamen di wilayah tersebut, tapi niat itu diurungkannya.
“Doo? Didoo … gimana nih, Do,” pinta Ode pelan, mulai panik dan matanya tetap serius melihat gugup pada waria yang mulai mendekat.
Tapi apa yang terjadi ...
Dalam kondisi panik dan gugup, Dido sama sekali tidak menjawab. Ode penasaran dan ia palingkan wajah sejenak untuk melihat reaksi Dido yang berdiri di sampingnya.
Astaga, Ode sangat terkejut. Matanya semakin terbelalak melihat apa yang terjadi pada Dido.
Di sana, sekitar sepuluh meter, Ode melihat Dido telah lari lebih dulu, terbirit-birit seperti orang kebelet pipis dikejar hantu. Dido seperti sudah tidak peduli lagi pada Ode karena yang ada di benaknya hanyalah pikiran untuk lari sejauh mungkin. Rasa kantuk yang tadi menderanya, musnah seketika.
“Didooooo! Tungguuuu!” teriak Ode semakin panik dan bergegas ikut lari, menyusuri trotoar, memburu Dido. Sedangkan sang waria, tidak juga mengalah. Ia semakin emosi dan penasaran mengejar Ode dan Dido.
Malam ini, seperti adegan drama ibukota di saat petugas dinas sosial melakukan razia penertiban. Kejar-mengejar terjadi. Ode mengejar Dido yang lari ketakutan, sedangkan Waria juga mengejar Ode dan Dido dengan penuh semangat. Tetapi waria juga tampak dipenuhi rasa takut dan was-was jangan sampai juga ia sedang dikejar petugas trantib satpol PP.
Seorang gadis yang sempat mereka lalui terkejut melihat Ode dan Dido berlari ketakutan. Bukannya menghindar, gadis itu justru tetap diam berdiri di tepi trotoar dan seperti jadi sangat tertarik menyaksikan. Seolah-olah ingin memberi semangat laksana para cheerleaders yang memberi semangat para pemain basket. Memberi semangat idola pujaan mereka sambil teriak histeris: “Ayo sayang... lari yang cepat...”
Dido sempat terpana melihat gadis cantik yang ikut menyaksikan kejar-kejaran. Larinya melambat, nalurinya seperti ingin mengajak kenalan gadis itu.
“Wooooiii! Ojo mlayu. Awas yoo! Nakal deh!” terdengar lagi suara teriakan tapi bernada gemas dari mulut waria tadi, ia masih tetap mengejar Ode dan Dido.
Keadaan semakin genting. Dada Ode dan Dido berdebar makin cepat. Pikiran Ode dan Dido dihantui ketakutan jika tertangkap akan seperti apa nanti nasib mereka. Jarak antara mereka juga makin dekat. Waria itu tidak menyerah dan terus berlari cepat laksana singa yang menerjam mangsanya.
"Bahaya! Kalau begini bisa ketangkap," batin Ode semakin dihantui rasa takut dan tanda tanya apakah akan berhasil lolos atau malah tertangkap.
۞ ۞ ۞
Keadaan menjadi genting dan penuh ketegangan. Kejar mengejar masih terus terjadi. Segala tenaga dikerahkan Ode dan Dido demi bisa menyelamatkan diri dari waria yang tanpa lelah dan berusaha keras ingin berhasil menangkap mereka berdua, atau minimal salah satu dari keduanya.“Ayo lari yang cepat Doooo.!” teriak Ode karena menyadari Dido melambat.Dido terkejut dan kembali menambah kecepatan larinya dengan penuh semangat meski berat hati untuk meninggalkan gadis yang memikatnya. Ia merasa satu kesempatan langka untuk berkenalan telah terlewatkan begitu saja.Tetapi agaknya tidak hanya sang gadis saja yang terkejut. Ada juga seorang pemuda yang terlihat kaget dan heran. Ia justru jadi begitu bersemangat memperhatikan dari jarak belasan meter di depan Ode dan Dido. Mengamati sambil menunggu makin dekat untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.Perlahan pemuda berbadan kekar itu semakin yakin kalau terjadi sesuatu yang tidak beres, l
Sinar matahari siang tampak begitu terik.“Surabaya oh Surabaya.. panas banget.” keluh Ode dan makin cepat berjalan karena gerah dan haus. Jarak rumah kosnya hanya tinggal beberapa meter lagi dan letaknya tidak jauh dari kampus.Ketika sampai, Ode bergegas buka kunci pintu kamar dan masuk ke dalam. Tidak begitu luas, hanya berukuran tiga setengah kali tiga meter.Ode langsung mengambil minum.“Segaarr..” ucapnya lega dan kembali meneguk beberapa kali.Setelah itu Ode merebahkan badan di kasur. Perlahan rasa kantuk mulai menghampiri. Mata Ode terasa berat dan tidak ingin lagi dibuka meskipun hanya untuk sejenak melirik jam yang ada di meja belajar kecil, tidak jauh dari tempat tidur. Lima menit lagi waktu menunjukkan pukul dua siang.Ode lebih memilih tidur saja daripada harus keluar kamar dan berjalan kaki di bawah terik matahari untuk kembali ke kampus. Ia sudah tidak berminat untuk balik kembali ke kampus hanya kare
Ode diam terpaku di dekat pintu memperhatikan Aryo yang justru tidak peduli padanya.“Ada apa Yo? Kok kelihatan kayak ada masalah gitu?” tanya OdeSesaat kemudian Aryo kembali berdiri dan mondar mandir seperti mandor. Mukanya merah bagaikan udang rebus dan ingin meluapkan amarahnya. Tindakannya telah membuat rasa kantuk Ode hilang seketika.Sejak tadi Aryo belum juga tenang dan sesekali mengosok-gosok rambutnya. Dari cara menggosoknya telah membuat Ode paham jika kepalanya itu tidak gatal. Lebih tepatnya, gosokan itu hanyalah refleksi seketika akibat emosinya. Dasi coklat yang dipakainya langsung dilonggarkan dan kemeja putihnya digulung sampai sebatas siku. Ia mulai merasa kepanasan, bukan hanya sekedar jasmaninya yang panas, tapi hatinya juga ikut panas membara. Keringat tipis mengalir di keningnya.Ode jadi heran dengan sikap Aryo. Kulitnya yang putih terlihat jadi agak merah seh
Melihat sikap sahabatnya, Ode berdiri untuk mengambil segelas air minum dari gallon mineral yang ada di dekat meja.”Minum dulu..” Aryo memandang Ode sejenak. Tanpa pikir panjang lagi dengan tawaran tersebut, Aryo langsung meraih gelas yang ada di tangan Ode dan meminumnya segera. Setelah itu ia menaruh gelas plastik bermotif biola tersebut di atas meja.Ode memperhatikan wajah Aryo, emosinya mulai berkurang.”Kamu kenapa? Ada masalah dengan Dona..?” Aryo mengusap wajahnya seakan ingin meluapkan kekesalannya.”Nggak ngertilah De.. Aku juga mangkel..! Akhir-akhir ini dia juga sering marah. Aku tanya kenapa? Jawabnya selalu nggak jelas..!!” katanya gusarEmosi Aryo mulai naik lagi, bahkan ia bersikap seperti orang yang ingin memukul tapi kedua tangannya hanya mengepal kejang penuh tenaga dan tak terluapkan, sedangkan wajahnya memerah. Ia juga merapatkan rahang atas dan bawah hingga gigi-giginya sa
Motor Aryo berlalu meninggalkan kos Ode. Setelah itu Ode kembali masuk kamar dan menutup pintu. Ia coba rebahkan diri di kasur untuk tidur. Tetapi, Ode masih diliputi rasa heran, menyimpan tanya tentang masalah apakah yang sedang dihadapi Aryo.“Kenapa tadi dia terlihat sangat emosi, lebih emosi dari kebiasaan lamanya di kampus yang memang gampang marah?” pikir Ode.Tapi dibalik sikapnya yang sedikit temprament, Ode mengakui ada sisi lain yang begitu menonjol pada diri Aryo sejak dulu, yaitu selalu berpenampilan keren, terutama bila mengikuti perkuliahan. Apalagi Aryo memang memiliki wajah yang tampan. Ia sudah begitu terkenal dan disenangi di kampus sejak awal masuk kuliah.Beberapa gadis di kampus mereka, bahkan ada juga teman mereka di kampus lainnya di Surabaya, jadi tergila-gila dan menganggap wajah Aryo hampir mirip dengan artis penyanyi top Justin Timberlake. Kadang juga, kebiasaannya yang sering memakai kacamata hitam m
Setelah berusaha menenangkan dirinya agar tidak panik, ibu Ayu akhirnya coba bicara dan tersenyum. Sedikit sikap menggoda secara halus ia lakukan.“Tenang dulu. Ibu ingin kalian tahu bahwa semuanya sama, semuanya spesial. Nggak ada yang dibedakan kok..” jelasnya sembari mengulas senyum manis yang ia miliki. Bahkan sangat manis seperti senyum seseorang kepada pujaannya. Tidak hanya itu, ia juga berjalan mendekati mereka yang protes, menyebut namanya dengan lembut, suara merdu dan seakrab mungkin.Mendengar penjelasan sang dosen, mahasiswa yang protes tadi akhirnya luluh juga dan perlahan mulai tersenyum. Ketika dosen cantik itu mendekati kursi mereka, senyum itu makin terasa manis dan aroma parfumnya tercium wangi.“Oh teman-teman.. ternyata mbak Ayu nggak pilih kasih kok. Kalau gitu kita nggak jadi keluar kelas.” jelas Toni menginfokan pada yang lain. Mereka akhirnya duduk kembali.“Iya dong, mana ada pilih kasih. semua sama,
Jika lagu-lagu perjuangan sering sekali menggema di seluruh Nusantara terutama menjelang hari kemerdekaan atau hari pahlawan, maka di kota Surabaya, atau lebih tepatnya di rumah kos Ode, lagu-lagu tersebut setiap hari terdengar hingga kadang mampu menghadirkan suasana tersendiri dalam hatinya. Ode sering terbawa pada nuansa ketika terjadinya perang di tanah air -meskipun sebenarnya ia tidak hidup di zaman itu- di saat para pahlawan berjuang mati-matian merebut kemerdekaan dari penindasan para penjajah.Hari kian menjelang sore. Seperti pada hari-hari biasanya, secara perlahan telinga Ode kembali mendengar sayup-sayup lagu ’sepasang mata bola’ yang mengalun dari gedung bilik sebelah, yang berada tak jauh dari kamar kosnya. Ia tahu siapa yang menyetel lagu-lagu perjuangan itu, yaitu Pak Tomo, tuan kosnya yang merupakan seorang veteran. Seorang yang masih tetap tampak bugar meskipun usianya sudah hampir tujuh puluh tahun.Kecintaan Pak Tomo pada lagu-
Pada saat Ode balik belakang, ternyata Dido juga terlihat begitu tergesa-gesa. Ia baru saja keluar dari kamarnya dengan bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek dan handuk yang disampirkan di leher. Tangannya satu memegang gayung yang berisi sabun, sampo, pisau cukur, dan sisir.”Aku duluan ya. Soalnya takut terlambat acara temu akrab, jam lima sore ini. Biasa, anak maba nunggu aku. Mereka pasti sudah ndak sabar ingin jumpa aku,” celoteh Dido dari depan pintu kamar dan berjalan ke arah Ode sambil tersenyum, menaik-turunkan alisnya.Ode mengalah dan hanya geleng kepala melihat tingkah Dido yang sok tahu dan sangat percaya diri.”Oya, ojo lali... nanti bawa biolamu,” pinta Dido dengan ekspresi serius. ”Iya... buruan mandi. Tapi cepat. Ada yang ingin aku bicarakan, soal tadi, penting. Tentang Aryo dan Dona..” Dido sempat terkejut dan langkahnya terhenti