Share

2. Anggur Merah

Keputusan telah diambil oleh Dido dan Ode. Mereka akhirnya berhenti bernyanyi, tidak diteruskan lagi dan pergi meninggalkan warung kaki lima, terutama meninggalkan bapak tua beruban yang tidak memiliki rasa hormat sedikitpun kepada seniman jalanan.

“Kelewatan tuh bapak tua, masa kita diadu dengan suara burung beonya?” gerutu Dido masih kesal dan tidak terima. Ia tidak menduga kenapa bisa bertemu dengan orang yang sama sekali tidak punya rasa menghargai atas sebuah karya seni, walau mungkin karya seni tersebut biasa saja atau bahkan tidak enak didengar. 

"Kalau dia tadi ndak suka suaraku, nyanyianku, lebih baik dia tutup telinga saja, daripada bandingkan dengan burung beonya. Sakit hatiku!" keluh Dido masih kesal.

"Ya lebih bagus dia bilang gitu Do, daripada tutup telinga, malah lebih menyakitkan lagi," sahut Ode masih coba tenangkan Dido sekaligus menghibur dirinya. Bagaimana pun, ia juga merasakan kesal dan malu atas sikap bapak tua tersebut.

Di awal mula mengamen justru mendapatkan hal tidak menyenangkan. Tapi akhirnya Ode sadari dan anggap sebagai hal biasa untuk menguji mental. Malam itu mereka mengalah dan berusaha tidak ambil hati atas perlakuan tidak menyenangkan.

Malam ini, sudah kesekian puluh kalinya mereka mengamen. Justru peristiwa pertama mengamen dan dapat insiden tidak mengenakan membuat mental mereka kuat dan tahan banting. Tidak ada lagi rasa malu sedikitpun.

Sekitar dua puluh meter Ode dan Dido melangkah, tibalah di sebuah perempatan lampu merah. Beberapa kendaraan sedang berhenti, mobil dan motor masih ramai menunggu antrian untuk lampu hijau.

Hilir mudik kendaraan dari arah lain yang mendapat giliran untuk jalan tidak luput dari pandangan Ode. Lalu lintas malam ini sangat ramai. Tidak heran, untuk kota sebesar Surabaya, pemandangan ramai seperti malam ini menjadi hal yang biasa.

Ketika sedang asyik memperhatikan keramaian kendaraan, tiba-tiba samar terdengar suara orang, tidak jauh dari tempat Ode dan Dido berdiri.

Ode menoleh ke arah datangnya suara. Tampaklah seseorang yang dari cara penampilan dan dandanannya terlihat berbeda. Dido juga sempat menoleh dan memperhatikan orang itu.

“Permisi kakaaa ...” ucapnya dengan nada lembut pada seorang supir mobil pribadi yang kacanya terbuka. Bapak supir itu cuma menoleh sejenak, cuek.

Tetapi, pria yang mencoba menunjukkan gerak geriknya seperti gerakan gemulai wanita, tanpa malu langsung beraksi. Ia membunyikan alat musik gemericik kumpulan penutup botol, berusaha melakukan improviasi nada pembuka disertai goyangan badan sedikit meliuk-liuk.

“Anggur meraaahh ...” mulai terdengar suaranya yang berusaha dilembutkan meskipun tetap terdengar bass. Satu kalimat lirik lagu dari salah satu lagu dangdut telah mulai ia nyanyikan.

Baru dua kata yang ia ucapkan, tiba-tiba ...

“Eeeeehh ... sudah hijaaauu,” lanjutnya lagi sambil menahan tawa, geli sendiri. Gerak gemulai dan suaranya terhenti. Pria itu tidak lagi membunyikan gemerincingnya karena baru menyadari kalau lampu merah telah berganti jadi lampu hijau.

Bapak Sopir itu tertawa, tapi ia mulai bersiap memajukan mobil yang dikemudinya, untuk bergerak bersama kendaraan lain. Sedangkan waria itu tidak lagi melanjutkan nyanyiannya.

“Kakaaa ... duitnya mana? Kan udah nyanyi,” jelasnya percaya diri, berusaha merayu sambil menyodorkan telapak tangannya.

Ndak ada duit kecil,” sahut Bapak sopir sekenanya.

“Duit besar juga boleh, ada kembaliannya kok,” jawabnya, agak genit.  Tapi bapak Sopir itu terus cuek dan kendaraannya mulai melaju.

Dido yang sebelumnya terlihat sangat mengantuk, tiba-tiba seperti orang kesetanan. Tanpa angin tanpa hujan, ia langsung tertawa terbahak-bahak. Bahkan ia tertawa hingga matanya sempat terpejam, tidak kuasa menahan tawa setelah mendengar sepenggal lirik lagu yang dinyanyikan pria itu. Termasuk juga tertawa karena melihat pria yang berdandan menor itu ngotot meminta duit dengan menyediakan uang kembalian.

Sebenarnya Ode juga ingin tertawa, tapi agak ditahan dan perutnya jadi sedikit tegang. Ode heran karena baru kali ini ia melihat ada waria di lampu merah tempat mereka berada. Pada malam-malam sebelumnya mereka tidak pernah menemukan.

“Mungkin dia nyasar, bukan hanya kesasar arah jalan, tapi juga kesasar arah pendirian jati dirinya,” pikir Ode.

“Wooii!” terdengar suara teriakan lelaki dengan lantang.

Keduanya terkejut. Tawa Dido tiba-tiba terhenti karena baru menyadari sesuatu. Ternyata pria yang menirukan gaya wanita tersebut marah dan merasa tersinggung oleh tawa keras Dido. Suaranya yang tadi terdengar lembut, berubah jadi garang. Tidak ada lagi suara lembutnya.

“Siapa yang kalian tertawakan?! Kenapa ngamen di lampu merah ini?! Ini kan wilayahku!” teriaknya dengan lantang melawan deru hilir mudik kendaraan, tegas, dan berkacak pinggang. Wajahnya berubah jadi sangar, menunjukkan amarah. Ia merasa tidak terima dan bergegas menghampiri Ode dan Dido yang jaraknya cuma sekitar sebelas meter darinya.

Ode melihat tanpa berkedip pada waria yang hampir sama tinggi dengannya, seketika rasa gugup menghampiri. Ingin rasanya Ode menjelaskan bahwa mereka berdua tidak mengamen di wilayah tersebut, tapi niat itu diurungkannya.

“Doo? Didoo … gimana nih, Do,” pinta Ode pelan, mulai panik dan matanya tetap serius melihat gugup pada waria yang mulai mendekat.

Tapi apa yang terjadi ...

Dalam kondisi panik dan gugup, Dido sama sekali tidak menjawab. Ode penasaran dan ia palingkan wajah sejenak untuk melihat reaksi Dido yang berdiri di sampingnya.

Astaga, Ode sangat terkejut. Matanya semakin terbelalak melihat apa yang terjadi pada Dido.

Di sana, sekitar sepuluh meter, Ode melihat Dido telah lari lebih dulu, terbirit-birit seperti orang kebelet pipis dikejar hantu. Dido seperti sudah tidak peduli lagi pada Ode karena yang ada di benaknya hanyalah pikiran untuk lari sejauh mungkin. Rasa kantuk yang tadi menderanya, musnah seketika.

“Didooooo! Tungguuuu!” teriak Ode semakin panik dan bergegas ikut lari, menyusuri trotoar, memburu Dido. Sedangkan sang waria, tidak juga mengalah. Ia semakin emosi dan penasaran mengejar Ode dan Dido.

Malam ini, seperti adegan drama ibukota di saat petugas dinas sosial melakukan razia penertiban. Kejar-mengejar terjadi. Ode mengejar Dido yang lari ketakutan, sedangkan Waria juga mengejar Ode dan Dido dengan penuh semangat. Tetapi waria juga tampak dipenuhi rasa takut dan was-was jangan sampai juga ia sedang dikejar petugas trantib satpol PP.

Seorang gadis yang sempat mereka lalui terkejut melihat Ode dan Dido berlari ketakutan. Bukannya menghindar, gadis itu justru tetap diam berdiri di tepi trotoar dan seperti jadi sangat tertarik menyaksikan. Seolah-olah ingin memberi semangat laksana para cheerleaders yang memberi semangat para pemain basket. Memberi semangat idola pujaan mereka sambil teriak histeris: “Ayo sayang... lari yang cepat...”

Dido sempat terpana melihat gadis cantik yang ikut menyaksikan kejar-kejaran. Larinya melambat, nalurinya seperti ingin mengajak kenalan gadis itu.

“Wooooiii! Ojo mlayu. Awas yoo! Nakal deh!” terdengar lagi suara teriakan tapi bernada gemas dari mulut waria tadi, ia masih tetap mengejar Ode dan Dido.

Keadaan semakin genting. Dada Ode dan Dido berdebar makin cepat. Pikiran Ode dan Dido dihantui ketakutan jika tertangkap akan seperti apa nanti nasib mereka. Jarak antara mereka juga makin dekat. Waria itu tidak menyerah dan terus berlari cepat laksana singa yang menerjam mangsanya.

"Bahaya! Kalau begini bisa ketangkap," batin Ode semakin dihantui rasa takut dan tanda tanya apakah akan berhasil lolos atau malah tertangkap.

                                                                ۞        ۞       ۞

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status