Share

KURIR CINTA
KURIR CINTA
Author: Laode Insan

1. Nyanyian Beo

Malam ini, di salah satu sudut jalanan kota metropolitan Surabaya yang gemerlap oleh lampu jalan, Ode sedang berdiri di trotoar bersama sahabat dekatnya, Dido.

“Ode, kita pulang saja, sudah cukup ngamennya,” ajak Dido sambil menyeka keringat di dahinya. Ia juga sudah mulai merasakan haus dan kehabisan air minum, belum sempat membelinya lagi. Terpaksa hanya ditahan saja dan berkali-kali coba menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya. Sedangkan keringat masih terus membasahi kening, bahkan badannya.

Dido menyeka lagi keringatnya. Tubuhnya kurus, tinggi badan hanya seratus enam puluh sembilan sentimeter, warna kulitnya sawo matang, rambut agak kribo brekele dan bicaranya selalu medhok Surabaya. Kadang juga jika bicara sering bercampur antara bahasa Indonesia dan bahasa jawa.

Pakaian khas yang sedang digunakan Dido berupa baju kemeja lengan panjang aneka motif warna, agak press body, dan berpadu dengan celana kain warna krem disertai sepatu pantofel warna hitam mengkilap. Model celananya agak sempit di paha tapi ukuran dari betis hingga kaki makin lebar.

Kegemarannya pada baju model tersebut mulai muncul sejak masuk SMA, ketika pertama kali melihat sebuah tayangan di televisi yang menampilkan konser grup band papan atas yang cukup populer di tanah air sejak era tahun 70-an. Dari situlah ia mengidolakan dan terobsesi meniru gaya berpakaian grup band ternama. Baju model idolanya itu dianggap sebagai baju kebesaran ketika akan bepergian, termasuk juga selalu dipakai saat ke kampus. Meskipun model baju seperti itu sudah lewat masanya, sudah sangat jarang orang yang pakai, tapi Dido tetap menyukainya.

Di kampus hanya Dido saja yang masih memakai baju dengan model dan motif aneka warna seperti itu. Ada dua hal yang ia dapat dari gaya berpakaiannya di kampus. Pertama, ia jadi tampil beda sendiri meski dianggap aneh oleh kebanyakan mahasiswa. Kedua, dengan gaya pakaian itu telah membuatnya mudah dikenali karena hanya ia seorang yang pakai. Gaya yang sama setiap hari dan jadi ciri khasnya.

Di kos juga sama pakaiannya, seperti pakaian bertamu, rapi. Padahal ia hanya duduk santai di kursi bawah pohon depan rumah kos, nongkrong ngobrol bersama teman satu kos yang kadang hanya pakai singlet dan sarungan tanpa celana pendek. Jika sedang sial, kadang kala ada semut pohon yang nyasar sampai ke dalam sarung dan menggigit hingga bikin panik.

Sejenak Ode memandangi Dido yang mukanya tampak mulai lelah, mata mengantuk. Gitar bututnya telah ia gantungkan di pundak. Berbeda dengan penampilan Dido, pakaian yang dikenakan Ode hanyalah kaos oblong leher bundar warna hitam bertuliskan: “Kurir Cinta”. Berpadu dengan celana jeans biru tua yang kedua lututnya sudah sedikit sobek-sobek. Ciri khas kebanyakan mahasiswa pada umumnya.

“Jadi serius nih, ngamen malam ini cukup?” Ode kembali memastikan.

Dido hanya mengangguk dan sempat menguap.

Melihat kondisi Dido, Ode hanya menggeleng kepala sejenak. Ia maklum dengan apa yang dialami sahabat dekatnya.

Tanpa bicara lagi, tangan kanan Ode yang tidak memegang biola bergerak meraih sebuah kantong permen dari genggaman Dido yang baru saja ia keluarkan dari saku celananya. Kantong bungkus permen itu berisi uang receh hasil mengamen mereka di beberapa warung kaki lima tepi trotoar, dekat kawasan kampus.

“Lumayan hasil untuk malam ini” pikir Ode. Dengan sedikit bantuan sinar penerangan lampu jalan, tampak di dalam kantong besar pembungkus permen ada beberapa uang koin lima ratusan, uang kertas seribu rupiah, tapi ada juga uang koin seratusan.

Sebenarnya tujuan utama mereka mengamen, begitu juga dengan kebanyakan mahasiswa lainnya yang suka ngamen, bukan untuk mencari uang. Tapi lebih kepada mengasah mental, mengikis rasa malu. Di benak Ode, kalau pun masih ada rasa malu saat mengamen, itu masih mending dan lebih baik, asalkan tidak bikin malu alias malu-maluin.

Ode bergegas memasukkan biola ke dalam tas kopernya, lalu disampirkan kembali di pundaknya. Mereka berdua kembali berjalan menyusuri trotoar lebar untuk pulang ke kos.

Baru beberapa langkah, Dido menguap lagi. Ode heran, karena Dido tidak seperti biasanya yang setiap malam kuat begadang. Tapi malam ini Dido sudah tidak tahan kantuk. Beberapa kali ia sempat memejamkan mata sejenak sambil tetap berjalan. Tidak peduli dengan ramainya suara hilir mudik kendaraan. Hampir saja ia tersandung di trotoar dan jatuh masuk got jika tidak spontan tangannya ditahan oleh Ode.

Dengan kondisinya yang seperti itu, Ode memang setuju untuk pulang. Itu lebih baik, keputusan yang tepat. Apabila Dido dipaksa untuk tetap lanjut mengamen, suaranya pasti akan terdengar aneh seperti kaset pita kusut atau kepingan VCD yang tergores, akibat menyanyi sambil sesekali menguap. Jika sudah seperti itu suaranya, akan sangat mungkin bukan lagi uang receh yang mereka dapat, melainkan pemberhentian tidak terhormat. Bahkan yang lebih buruk dari itu adalah mendapatkan amarah, umpatan dan diusir para pendengar.

Uwes ta. Cukup! Masih lebih bagus nyanyian burung Beo aku daripada nyanyianmu.!” Ingatan tentang ucapan lantang bernada protes dari seorang bapak tua beruban yang beberapa bulan lalu pernah mereka dengar di sebuah warung kaki lima kembali terngiang di benak Ode.

“Apaaa..? Masih lebih bagus suara burung beo daripada suara kami, manusia?” protes Ode dalam hati ketika mendengar ocehan bapak tua itu. Ode dan Dido spontan berhenti mendadak sambil ternganga melihat bapak tua tersebut.

Tetapi, belum juga sempat Ode dan Dido berpikir lebih jauh, mereka berdua kembali dikejutkan dengan reaksi dari orang lain yang ada di warung makan kaki lima tersebut. Ode dan Dido spontan beralih melihat ke tempat duduk pengunjung lainnya. Tampaklah beberapa gadis mahasiswi langsung berhenti makan setelah mendengar ocehan Bapak tua beruban. Mereka semua bersamaan menoleh sejenak pada Ode dan Dido dengan ekspresi datar tanpa senyum. Tapi beberapa detik kemudian tawa mereka pecah terbahak-bahak, meski susah payah ditahan.

Oh Tuhan, malunya minta ampun. Muka Ode jadi berubah merah bagaikan udang rebus karena tak kuasa menyembunyikan rasa malu. Sedangkan Dido, ia hanya tersenyum nyengir memerhatikan gadis mahasiswi cantik tersebut.           

“Ayo, mau berhenti nyanyi apa nggak? Cari tempat lain saja.” lanjut bapak tua beruban itu tanpa basa basi, tanpa senyum.

Ode dan Dido saling pandang dan, bahkan sempat saling senggol kaki. Dido yang sudah dapat kode dari Ode masih coba tetap memetik gitarnya dan berusaha tegar di tengah rasa malu.

“Kalau ndak berhenti, apa mau saya ambilkan burung beo-nya biar saingan nyanyi dan dengerin bagusan siapa? Kalau perlu nanti biar beo ngajarin nyanyi yang bagus, mau gitu?” lanjutnya lagi dengan sedikit nada penekanan dan raut muka yang terlihat seperti kesal.

Sekejap senyum Dido hilang dan kembali saling pandang dengan Ode.

Semua menunggu apakah Ode dan Dido masih akan tetap lanjut menyanyi meskipun telah kena serangan mental? Menunggu apa reaksi dan keputusan yang akan diambil Dido dan Ode.

                                                      ۞        ۞       ۞

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status