Malam ini, di salah satu sudut jalanan kota metropolitan Surabaya yang gemerlap oleh lampu jalan, Ode sedang berdiri di trotoar bersama sahabat dekatnya, Dido.
“Ode, kita pulang saja, sudah cukup ngamennya,” ajak Dido sambil menyeka keringat di dahinya. Ia juga sudah mulai merasakan haus dan kehabisan air minum, belum sempat membelinya lagi. Terpaksa hanya ditahan saja dan berkali-kali coba menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya. Sedangkan keringat masih terus membasahi kening, bahkan badannya.
Dido menyeka lagi keringatnya. Tubuhnya kurus, tinggi badan hanya seratus enam puluh sembilan sentimeter, warna kulitnya sawo matang, rambut agak kribo brekele dan bicaranya selalu medhok Surabaya. Kadang juga jika bicara sering bercampur antara bahasa Indonesia dan bahasa jawa.
Pakaian khas yang sedang digunakan Dido berupa baju kemeja lengan panjang aneka motif warna, agak press body, dan berpadu dengan celana kain warna krem disertai sepatu pantofel warna hitam mengkilap. Model celananya agak sempit di paha tapi ukuran dari betis hingga kaki makin lebar.
Kegemarannya pada baju model tersebut mulai muncul sejak masuk SMA, ketika pertama kali melihat sebuah tayangan di televisi yang menampilkan konser grup band papan atas yang cukup populer di tanah air sejak era tahun 70-an. Dari situlah ia mengidolakan dan terobsesi meniru gaya berpakaian grup band ternama. Baju model idolanya itu dianggap sebagai baju kebesaran ketika akan bepergian, termasuk juga selalu dipakai saat ke kampus. Meskipun model baju seperti itu sudah lewat masanya, sudah sangat jarang orang yang pakai, tapi Dido tetap menyukainya.
Di kampus hanya Dido saja yang masih memakai baju dengan model dan motif aneka warna seperti itu. Ada dua hal yang ia dapat dari gaya berpakaiannya di kampus. Pertama, ia jadi tampil beda sendiri meski dianggap aneh oleh kebanyakan mahasiswa. Kedua, dengan gaya pakaian itu telah membuatnya mudah dikenali karena hanya ia seorang yang pakai. Gaya yang sama setiap hari dan jadi ciri khasnya.
Di kos juga sama pakaiannya, seperti pakaian bertamu, rapi. Padahal ia hanya duduk santai di kursi bawah pohon depan rumah kos, nongkrong ngobrol bersama teman satu kos yang kadang hanya pakai singlet dan sarungan tanpa celana pendek. Jika sedang sial, kadang kala ada semut pohon yang nyasar sampai ke dalam sarung dan menggigit hingga bikin panik.
Sejenak Ode memandangi Dido yang mukanya tampak mulai lelah, mata mengantuk. Gitar bututnya telah ia gantungkan di pundak. Berbeda dengan penampilan Dido, pakaian yang dikenakan Ode hanyalah kaos oblong leher bundar warna hitam bertuliskan: “Kurir Cinta”. Berpadu dengan celana jeans biru tua yang kedua lututnya sudah sedikit sobek-sobek. Ciri khas kebanyakan mahasiswa pada umumnya.
“Jadi serius nih, ngamen malam ini cukup?” Ode kembali memastikan.
Dido hanya mengangguk dan sempat menguap.
Melihat kondisi Dido, Ode hanya menggeleng kepala sejenak. Ia maklum dengan apa yang dialami sahabat dekatnya.
Tanpa bicara lagi, tangan kanan Ode yang tidak memegang biola bergerak meraih sebuah kantong permen dari genggaman Dido yang baru saja ia keluarkan dari saku celananya. Kantong bungkus permen itu berisi uang receh hasil mengamen mereka di beberapa warung kaki lima tepi trotoar, dekat kawasan kampus.
“Lumayan hasil untuk malam ini” pikir Ode. Dengan sedikit bantuan sinar penerangan lampu jalan, tampak di dalam kantong besar pembungkus permen ada beberapa uang koin lima ratusan, uang kertas seribu rupiah, tapi ada juga uang koin seratusan.
Sebenarnya tujuan utama mereka mengamen, begitu juga dengan kebanyakan mahasiswa lainnya yang suka ngamen, bukan untuk mencari uang. Tapi lebih kepada mengasah mental, mengikis rasa malu. Di benak Ode, kalau pun masih ada rasa malu saat mengamen, itu masih mending dan lebih baik, asalkan tidak bikin malu alias malu-maluin.
Ode bergegas memasukkan biola ke dalam tas kopernya, lalu disampirkan kembali di pundaknya. Mereka berdua kembali berjalan menyusuri trotoar lebar untuk pulang ke kos.
Baru beberapa langkah, Dido menguap lagi. Ode heran, karena Dido tidak seperti biasanya yang setiap malam kuat begadang. Tapi malam ini Dido sudah tidak tahan kantuk. Beberapa kali ia sempat memejamkan mata sejenak sambil tetap berjalan. Tidak peduli dengan ramainya suara hilir mudik kendaraan. Hampir saja ia tersandung di trotoar dan jatuh masuk got jika tidak spontan tangannya ditahan oleh Ode.
Dengan kondisinya yang seperti itu, Ode memang setuju untuk pulang. Itu lebih baik, keputusan yang tepat. Apabila Dido dipaksa untuk tetap lanjut mengamen, suaranya pasti akan terdengar aneh seperti kaset pita kusut atau kepingan VCD yang tergores, akibat menyanyi sambil sesekali menguap. Jika sudah seperti itu suaranya, akan sangat mungkin bukan lagi uang receh yang mereka dapat, melainkan pemberhentian tidak terhormat. Bahkan yang lebih buruk dari itu adalah mendapatkan amarah, umpatan dan diusir para pendengar.
“Uwes ta. Cukup! Masih lebih bagus nyanyian burung Beo aku daripada nyanyianmu.!” Ingatan tentang ucapan lantang bernada protes dari seorang bapak tua beruban yang beberapa bulan lalu pernah mereka dengar di sebuah warung kaki lima kembali terngiang di benak Ode.
“Apaaa..? Masih lebih bagus suara burung beo daripada suara kami, manusia?” protes Ode dalam hati ketika mendengar ocehan bapak tua itu. Ode dan Dido spontan berhenti mendadak sambil ternganga melihat bapak tua tersebut.
Tetapi, belum juga sempat Ode dan Dido berpikir lebih jauh, mereka berdua kembali dikejutkan dengan reaksi dari orang lain yang ada di warung makan kaki lima tersebut. Ode dan Dido spontan beralih melihat ke tempat duduk pengunjung lainnya. Tampaklah beberapa gadis mahasiswi langsung berhenti makan setelah mendengar ocehan Bapak tua beruban. Mereka semua bersamaan menoleh sejenak pada Ode dan Dido dengan ekspresi datar tanpa senyum. Tapi beberapa detik kemudian tawa mereka pecah terbahak-bahak, meski susah payah ditahan.
Oh Tuhan, malunya minta ampun. Muka Ode jadi berubah merah bagaikan udang rebus karena tak kuasa menyembunyikan rasa malu. Sedangkan Dido, ia hanya tersenyum nyengir memerhatikan gadis mahasiswi cantik tersebut.
“Ayo, mau berhenti nyanyi apa nggak? Cari tempat lain saja.” lanjut bapak tua beruban itu tanpa basa basi, tanpa senyum.
Ode dan Dido saling pandang dan, bahkan sempat saling senggol kaki. Dido yang sudah dapat kode dari Ode masih coba tetap memetik gitarnya dan berusaha tegar di tengah rasa malu.
“Kalau ndak berhenti, apa mau saya ambilkan burung beo-nya biar saingan nyanyi dan dengerin bagusan siapa? Kalau perlu nanti biar beo ngajarin nyanyi yang bagus, mau gitu?” lanjutnya lagi dengan sedikit nada penekanan dan raut muka yang terlihat seperti kesal.
Sekejap senyum Dido hilang dan kembali saling pandang dengan Ode.
Semua menunggu apakah Ode dan Dido masih akan tetap lanjut menyanyi meskipun telah kena serangan mental? Menunggu apa reaksi dan keputusan yang akan diambil Dido dan Ode.
۞ ۞ ۞
Keputusan telah diambil oleh Dido dan Ode. Mereka akhirnya berhenti bernyanyi, tidak diteruskan lagi dan pergi meninggalkan warung kaki lima, terutama meninggalkan bapak tua beruban yang tidak memiliki rasa hormat sedikitpun kepada seniman jalanan.“Kelewatan tuh bapak tua, masa kita diadu dengan suara burung beonya?” gerutu Dido masih kesal dan tidak terima. Ia tidak menduga kenapa bisa bertemu dengan orang yang sama sekali tidak punya rasa menghargai atas sebuah karya seni, walau mungkin karya seni tersebut biasa saja atau bahkan tidak enak didengar."Kalau dia tadi ndak suka suaraku, nyanyianku, lebih baik dia tutup telinga saja, daripada bandingkan dengan burung beonya. Sakit hatiku!" keluh Dido masih kesal."Ya lebih bagus dia bilang gitu Do, daripada tutup telinga, malah lebih menyakitkan lagi," sahut Ode masih coba tenangkan Dido sekaligus menghibur dirinya. Bagaimana pun, ia juga merasakan kesal dan malu atas sikap bapak tua te
Keadaan menjadi genting dan penuh ketegangan. Kejar mengejar masih terus terjadi. Segala tenaga dikerahkan Ode dan Dido demi bisa menyelamatkan diri dari waria yang tanpa lelah dan berusaha keras ingin berhasil menangkap mereka berdua, atau minimal salah satu dari keduanya.“Ayo lari yang cepat Doooo.!” teriak Ode karena menyadari Dido melambat.Dido terkejut dan kembali menambah kecepatan larinya dengan penuh semangat meski berat hati untuk meninggalkan gadis yang memikatnya. Ia merasa satu kesempatan langka untuk berkenalan telah terlewatkan begitu saja.Tetapi agaknya tidak hanya sang gadis saja yang terkejut. Ada juga seorang pemuda yang terlihat kaget dan heran. Ia justru jadi begitu bersemangat memperhatikan dari jarak belasan meter di depan Ode dan Dido. Mengamati sambil menunggu makin dekat untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.Perlahan pemuda berbadan kekar itu semakin yakin kalau terjadi sesuatu yang tidak beres, l
Sinar matahari siang tampak begitu terik.“Surabaya oh Surabaya.. panas banget.” keluh Ode dan makin cepat berjalan karena gerah dan haus. Jarak rumah kosnya hanya tinggal beberapa meter lagi dan letaknya tidak jauh dari kampus.Ketika sampai, Ode bergegas buka kunci pintu kamar dan masuk ke dalam. Tidak begitu luas, hanya berukuran tiga setengah kali tiga meter.Ode langsung mengambil minum.“Segaarr..” ucapnya lega dan kembali meneguk beberapa kali.Setelah itu Ode merebahkan badan di kasur. Perlahan rasa kantuk mulai menghampiri. Mata Ode terasa berat dan tidak ingin lagi dibuka meskipun hanya untuk sejenak melirik jam yang ada di meja belajar kecil, tidak jauh dari tempat tidur. Lima menit lagi waktu menunjukkan pukul dua siang.Ode lebih memilih tidur saja daripada harus keluar kamar dan berjalan kaki di bawah terik matahari untuk kembali ke kampus. Ia sudah tidak berminat untuk balik kembali ke kampus hanya kare
Ode diam terpaku di dekat pintu memperhatikan Aryo yang justru tidak peduli padanya.“Ada apa Yo? Kok kelihatan kayak ada masalah gitu?” tanya OdeSesaat kemudian Aryo kembali berdiri dan mondar mandir seperti mandor. Mukanya merah bagaikan udang rebus dan ingin meluapkan amarahnya. Tindakannya telah membuat rasa kantuk Ode hilang seketika.Sejak tadi Aryo belum juga tenang dan sesekali mengosok-gosok rambutnya. Dari cara menggosoknya telah membuat Ode paham jika kepalanya itu tidak gatal. Lebih tepatnya, gosokan itu hanyalah refleksi seketika akibat emosinya. Dasi coklat yang dipakainya langsung dilonggarkan dan kemeja putihnya digulung sampai sebatas siku. Ia mulai merasa kepanasan, bukan hanya sekedar jasmaninya yang panas, tapi hatinya juga ikut panas membara. Keringat tipis mengalir di keningnya.Ode jadi heran dengan sikap Aryo. Kulitnya yang putih terlihat jadi agak merah seh
Melihat sikap sahabatnya, Ode berdiri untuk mengambil segelas air minum dari gallon mineral yang ada di dekat meja.”Minum dulu..” Aryo memandang Ode sejenak. Tanpa pikir panjang lagi dengan tawaran tersebut, Aryo langsung meraih gelas yang ada di tangan Ode dan meminumnya segera. Setelah itu ia menaruh gelas plastik bermotif biola tersebut di atas meja.Ode memperhatikan wajah Aryo, emosinya mulai berkurang.”Kamu kenapa? Ada masalah dengan Dona..?” Aryo mengusap wajahnya seakan ingin meluapkan kekesalannya.”Nggak ngertilah De.. Aku juga mangkel..! Akhir-akhir ini dia juga sering marah. Aku tanya kenapa? Jawabnya selalu nggak jelas..!!” katanya gusarEmosi Aryo mulai naik lagi, bahkan ia bersikap seperti orang yang ingin memukul tapi kedua tangannya hanya mengepal kejang penuh tenaga dan tak terluapkan, sedangkan wajahnya memerah. Ia juga merapatkan rahang atas dan bawah hingga gigi-giginya sa
Motor Aryo berlalu meninggalkan kos Ode. Setelah itu Ode kembali masuk kamar dan menutup pintu. Ia coba rebahkan diri di kasur untuk tidur. Tetapi, Ode masih diliputi rasa heran, menyimpan tanya tentang masalah apakah yang sedang dihadapi Aryo.“Kenapa tadi dia terlihat sangat emosi, lebih emosi dari kebiasaan lamanya di kampus yang memang gampang marah?” pikir Ode.Tapi dibalik sikapnya yang sedikit temprament, Ode mengakui ada sisi lain yang begitu menonjol pada diri Aryo sejak dulu, yaitu selalu berpenampilan keren, terutama bila mengikuti perkuliahan. Apalagi Aryo memang memiliki wajah yang tampan. Ia sudah begitu terkenal dan disenangi di kampus sejak awal masuk kuliah.Beberapa gadis di kampus mereka, bahkan ada juga teman mereka di kampus lainnya di Surabaya, jadi tergila-gila dan menganggap wajah Aryo hampir mirip dengan artis penyanyi top Justin Timberlake. Kadang juga, kebiasaannya yang sering memakai kacamata hitam m
Setelah berusaha menenangkan dirinya agar tidak panik, ibu Ayu akhirnya coba bicara dan tersenyum. Sedikit sikap menggoda secara halus ia lakukan.“Tenang dulu. Ibu ingin kalian tahu bahwa semuanya sama, semuanya spesial. Nggak ada yang dibedakan kok..” jelasnya sembari mengulas senyum manis yang ia miliki. Bahkan sangat manis seperti senyum seseorang kepada pujaannya. Tidak hanya itu, ia juga berjalan mendekati mereka yang protes, menyebut namanya dengan lembut, suara merdu dan seakrab mungkin.Mendengar penjelasan sang dosen, mahasiswa yang protes tadi akhirnya luluh juga dan perlahan mulai tersenyum. Ketika dosen cantik itu mendekati kursi mereka, senyum itu makin terasa manis dan aroma parfumnya tercium wangi.“Oh teman-teman.. ternyata mbak Ayu nggak pilih kasih kok. Kalau gitu kita nggak jadi keluar kelas.” jelas Toni menginfokan pada yang lain. Mereka akhirnya duduk kembali.“Iya dong, mana ada pilih kasih. semua sama,
Jika lagu-lagu perjuangan sering sekali menggema di seluruh Nusantara terutama menjelang hari kemerdekaan atau hari pahlawan, maka di kota Surabaya, atau lebih tepatnya di rumah kos Ode, lagu-lagu tersebut setiap hari terdengar hingga kadang mampu menghadirkan suasana tersendiri dalam hatinya. Ode sering terbawa pada nuansa ketika terjadinya perang di tanah air -meskipun sebenarnya ia tidak hidup di zaman itu- di saat para pahlawan berjuang mati-matian merebut kemerdekaan dari penindasan para penjajah.Hari kian menjelang sore. Seperti pada hari-hari biasanya, secara perlahan telinga Ode kembali mendengar sayup-sayup lagu ’sepasang mata bola’ yang mengalun dari gedung bilik sebelah, yang berada tak jauh dari kamar kosnya. Ia tahu siapa yang menyetel lagu-lagu perjuangan itu, yaitu Pak Tomo, tuan kosnya yang merupakan seorang veteran. Seorang yang masih tetap tampak bugar meskipun usianya sudah hampir tujuh puluh tahun.Kecintaan Pak Tomo pada lagu-