Akash Zimraan punya segalanya—wajah tampan, kekayaan berlimpah, jabatan CEO, dan deretan wanita cantik yang rela mengantri hanya untuk sekadar dilirik. Tapi di tengah gemerlap dunia, hatinya terasa kosong. Ada suara masa lalu yang terus memanggilnya—lantunan merdu ayat suci yang dulu dibacakan sang ibu, sebelum ia pergi untuk selamanya. Di bulan Ramadhan yang suci, takdir mempertemukannya dengan Ahmed, seorang pengusaha dermawan yang memintanya membangun pesantren. Dari sanalah pertemuan itu terjadi—dengan Innara, gadis berhijab lembut yang suaranya mengaji mirip sang ibu. Untuk pertama kalinya, Akash jatuh cinta. Bukan pada rupa, tapi pada cahaya keimanan. Namun, jalan menuju perubahan tak pernah mudah. Akash harus menghadapi keluarga angkat yang menolak keputusannya, ujian keimanan yang berat, dan pria lain yang berusaha merebut hati Innara dengan cara licik. Saat semuanya nyaris hancur, hanya kesungguhan hati dan keikhlasan yang mampu menyatukan cinta dalam ridha Ilahi. Apakah cinta yang lahir dalam sujud dan air mata itu akan menemukan takdirnya? Sebuah kisah tentang hidayah, cinta, dan perjuangan menjadi hamba yang lebih baik.
View MoreDengan kecepatan mobil sportnya, Akash tiba di rumah hanya dalam setengah waktu dari biasanya—jauh lebih cepat dibandingkan saat ia menggunakan mobil biasa miliknya yang lain.
Begitu memasuki rumah, kedua orang tuanya langsung memintanya duduk. Rupanya mereka sudah menunggunya sejak tadi.
“Papa mau tanya, kapan kamu menikah?” tanya Fauzan dengan wajah serius. Tatapannya tajam, menunggu jawaban pasti dari sang putra.
Alis Akash mengernyit dalam. Ia sempat mengira ada kabar penting hingga kedua orang tuanya memintanya segera pulang. Namun nyatanya, ia hanya mendapatkan pertanyaan klise dari ayahnya—pertanyaan yang terlalu sering ia dengar.
“Enggak ada pertanyaan yang lebih berbobot dari ini?” sahut Akash, kesal. Ia sudah ngebut dari kota sebelah demi memenuhi permintaan ayahnya, dan sekarang justru mendapat pertanyaan yang menurutnya tak masuk akal.
“Ini sangat penting untuk kami, Nak,” jawab Anya, ibu angkatnya, dengan nada lembut namun tegas.
“Ma, aku akan menikah kalau memang sudah bertemu dengan gadis yang sesuai dengan kriteria yang aku mau,” ujar Akash, kini dengan nada lebih tenang kepada ibunya.
“Tapi kriteria kamu itu aneh, Akash! Mana ada sekarang gadis salihah seperti yang kamu cari? Zaman sekarang udah beda,” tukas Fauzan dengan nada sarkastik. Bukan karena ia tak percaya, tapi pergaulan Akash terlalu bebas untuk berharap pada sosok perempuan ideal seperti itu.
“Ada, Pa. Barusan aku ketemu dia. Tapi karena Papa kirim pesan menyuruhku segera pulang, gadis itu malah hilang lagi,” ucapnya jujur.
Ucapan Akash membuat Fauzan dan Anya saling berpandangan heran. Mereka masih tidak menyangka bahwa Akash masih menyimpan harapan terhadap sosok perempuan yang sesuai keinginannya. Selama ini, wanita-wanita yang mereka kenal hanyalah perempuan cantik yang jauh dari nilai kesalehan.
“Jangan ngarang, kamu,” ujar Fauzan, masih sulit percaya. Baginya, terlalu mustahil membayangkan putranya bisa bertemu dengan perempuan salihah, apalagi melihat gaya hidup Akash yang bebas.
“Ck! Seperti biasa, enggak pernah percaya sama anak sendiri,” balas Akash kesal.
“Bukan begitu, Nak. Mama dan Papa sebagai orang tua juga ingin melihat kamu menikah, dan kami ingin segera menimang cucu dari kamu. Kalau kamu belum punya calon, Mama dan Papa ingin menjodohkan kamu dengan anak dari klien Papa,” jelas Anya lembut. Ia paham betul cara menghadapi keras kepala putranya itu.
“Sudah kayak Siti Nurbaya, dijodohin segala. Maaf ya, Ma. Bukannya aku menolak niat baik Mama dan Papa, tapi aku ingin mencari istriku sendiri. Tolong, jangan paksa aku,” tolak Akash tegas.
Fauzan dan Anya sangat memahami bagaimana kerasnya karakter putra mereka. Semakin ditekan, Akash akan semakin memberontak. Percakapan mereka pun tak berlanjut hingga Anya menggamit lengan suaminya dan mengajaknya ke ruang makan untuk menikmati makan siang yang telah disiapkan.
Akash langsung masuk ke dalam ruang kerjanya yang berada di rumah itu, menolak ajakan makan siang sang Mama dengan alasan bahwa dirinya sudah makan sebelum pulang.
Di dalam ruang kerja, ia meletakkan ponsel dan kunci mobil di atas meja, lalu menjatuhkan dirinya ke atas sofa yang berada di tengah ruangan. Sambil memijat pangkal hidungnya, Akash menggeleng pelan. Ia masih tidak habis pikir, di zaman sekarang masih ada orang tua yang berpikir untuk menjodohkan anaknya—seolah-olah anaknya itu tidak menarik dan kesulitan mencari pasangan. Padahal, memilih hidup sendiri bukan berarti jelek atau kurang pergaulan. Bisa jadi, seperti dirinya, seseorang terlalu selektif atau terlalu fokus pada karier hingga lupa waktu.
Pikirannya terus berputar, berusaha mencari cara untuk menemukan kembali gadis yang tadi sempat ia lihat di masjid. Ia lantas meraih ponsel yang tergeletak di meja, berdampingan dengan kunci mobil, dan segera menghubungi seseorang.
Ajudan yang menerima telepon dari Akash terdengar kebingungan. Bagaimana mungkin ia bisa mencari gadis yang bahkan belum pernah ia lihat? Saat itu, ia tidak mendampingi sang atasan, jadi ia benar-benar tidak tahu seperti apa gadis yang dimaksud. Namun, perintah adalah perintah. Mau tak mau, ia harus patuh dan berusaha sebisa mungkin mencari jejak sang gadis misterius.
Karena suasana hatinya sudah tidak mendukung untuk kembali ke kantor, Akash masuk ke kamarnya dan berganti pakaian. Ia melepas setelan kerja formalnya dan mengenakan pakaian santai: celana pendek dan kaus putih polos—busana yang selalu ia pilih saat bersantai di rumah.
Ketika keluar dari kamarnya, ia berpapasan dengan salah satu pelayan di rumah. Akash menanyakan keberadaan kedua orang tuanya, dan pelayan itu menjawab bahwa Tuan dan Nyonya Besar telah pergi setelah makan siang. Akash hanya mengangguk pelan. Ia paham betul betapa sibuknya kedua orang tuanya itu.
***
"Bagaimana?" tanya Akash melalui telepon dengan nada penuh harap. Ia baru saja tiba di taman belakang rumahnya dan langsung menghubungi kembali ajudannya, berharap ada kabar baik.
"Be-belum, Pak Bos ...," jawab suara di seberang dengan nada gugup. Ia jelas merasa cemas akan reaksi Akash, mengingat waktu yang diberikan baru dua jam—waktu yang mustahil untuk mendapatkan informasi lengkap soal gadis misterius itu.
"Ck! Dasar nggak berguna! Cepat cari dan kabari saya. Info sekecil apa pun, saya mau tahu!" bentak Akash tajam. Suara baritonnya yang dingin dan tegas langsung membuat ajudannya gemetaran. Ia takut bukan main—bukan hanya soal dimarahi, tapi juga kemungkinan dipecat jika tidak menunjukkan hasil.
"Siap, Pak Bos!" jawabnya cepat, berusaha terdengar tegas walau napasnya terasa sesak.
Tanpa ucapan penutup, Akash langsung mematikan telepon. Ia mendesah panjang sambil menatap layar ponselnya.
"Apa besok aku harus kembali ke sana, di jam yang sama? Siapa tahu bisa bertemu lagi dengannya ...," gumamnya pelan, seolah bertanya pada diri sendiri. Tangannya sibuk memutar-mutar ponsel di sela-sela jemarinya, menggambarkan kegelisahan yang tak bisa ia sembunyikan.
Waktu terus berlalu tanpa terasa. Langit mulai gelap, dan tak lama kemudian suara azan Maghrib berkumandang dari masjid terdekat, memanggil umat muslim untuk menunaikan ibadah.
Hati Akash mencelos mendengar lantunan panggilan itu. Ada sesuatu dalam dirinya yang terasa tersentuh. Hati kecilnya berbisik, "Salatlah." Tapi pikirannya membantah, "Nanti saja, aku malas." Sebuah pergulatan yang tidak asing bagi banyak orang—antara keinginan hati dan kenyamanan ego.
Drrrttt ... Drrrttt ...
Tiba-tiba ponsel Akash bergetar keras. Ia buru-buru merogoh saku celananya dan melihat layar—sebuah nomor asing muncul di sana. Tanpa pikir panjang, ia menjawab panggilan itu.
"Pak Bos, ini saya." Suara ajudan Akash terdengar dari seberang sana.
"Iya, ada apa?" balas Akash singkat, nada suaranya masih terdengar menahan emosi.
"Saya dapat info tentang gadis yang Anda maksud, Pak. Ternyata dia hanya pengunjung masjid saja. Dia sempat salat di sana, lalu pergi begitu saja," lapor sang ajudan, berusaha memberikan penjelasan sedetail mungkin meski masih jauh dari akurat. Kenyataannya, gadis yang dimaksud bukan sekadar pengunjung, melainkan anak dari pemilik masjid megah itu.
"Sudah tahu namanya? Atau di mana dia tinggal?" tanya Akash, mencoba menahan ketidaksabarannya.
"Maaf, Pak Bos. Saya belum dapat info lebih lanjut. Tak ada satu pun orang di sana yang mengenalnya. Sepertinya dia hanya kebetulan lewat dan mampir untuk salat saja," jawab ajudannya, terdengar canggung dan tidak yakin.
Tanpa berkata apa pun lagi, Akash langsung memutus panggilan telepon dengan wajah kesal. Napasnya memburu pelan saat ia meletakkan ponsel ke meja kecil di samping kursinya.
Ia memijit pelipisnya sambil berpikir ulang soal rencananya besok. Jika benar gadis itu hanya mampir salat dan bukan orang yang sering ke sana, untuk apa ia kembali dan menunggu? Peluang bertemu kembali sangat kecil, dan Akash bukan tipe pria yang suka membuang waktu pada sesuatu yang tidak pasti.
Perasaannya yang awalnya hangat berubah dingin seketika. Nada kesal dan kecewa mencuat dari sorot matanya yang tajam. Untuk meredakan emosinya, ia pun menghubungi salah satu temannya, seseorang yang biasa menemaninya saat ingin melupakan sesuatu.
"Bro, lu di mana?" tanya Akash cepat saat sambungan telepon terhubung.
"Masih di rumah. Kenapa?" jawab temannya di seberang.
"Temani gue ke klub malam. Malam ini," ucapnya dingin. Tak perlu alasan, tak perlu penjelasan panjang. Ia hanya ingin melepaskan semua kekesalan yang kini menyesakkan dadanya.
"Oke, jemput gue setengah jam lagi."
Tanpa banyak kata, Akash bangkit dari sofa dan berjalan ke kamar untuk mengganti pakaiannya. Malam ini, ia memilih melarikan diri—bukan dari dunia, tapi dari pikirannya sendiri.
“Ganti baju dulu ya, Mas. Aku mandi sebentar,” bisik Innara dengan senyum malu-malu.Akash mengangguk. “Aku tunggu di sini. Tapi jangan terlalu lama. Aku sudah sangat menanti kamu …”***Innara keluar dari kamar mandi sekitar lima belas menit kemudian. Rambutnya kini terurai lembut, hanya disisir jari. Ia mengenakan lingerie tipis satin warna putih tulang, panjang hingga paha, dengan renda halus di bagian dada. Gaun tidur itu membentuk lekuk tubuhnya dengan indah, memperlihatkan kulit seputih susu dan bahu jenjangnya yang kini tanpa penutup.Akash menatap tanpa suara. Dada pria itu naik turun perlahan, mencoba mengatur napas yang mulai tak beraturan.“Ya Allah … kamu benar-benar bidadari,” gumamnya.“Aku nervous, Mas .…”Akash bangkit, berjalan mendekat, lalu mengusap lengan Innara dengan lembut.“Gak perlu nervous. Aku gak akan menyentuh kamu dengan kasar. Aku akan menyentuh kamu dengan cinta .…”Innara memejamkan mata sejenak saat jari Akash menyusuri garis rahangnya, turun ke leher,
Innara tersentak pelan saat tiba-tiba Akash menarik pinggangnya dan menepis jarak di antara mereka. Tubuh mereka kini nyaris tanpa sela.“Mas ... masih banyak orang di luar sana,” ucap Innara dengan nada lirih, wajahnya langsung merona. Ia mencoba mendorong dada Akash, tapi pelukan pria itu justru mengencang.“Ssst ... biarkan aku menatap istriku dulu. Sebentar saja,” balas Akash, matanya menatap lembut, namun dalam.Mata mereka saling bertaut. Tatapan yang mengunci napas dan menyulut debar jantung.“Selama seminggu ini ... apa saja yang kamu lakukan?” tanya Akash tiba-tiba, nadanya ambigu dan menggoda.Kening Innara mengernyit pelan. “Maksudnya?”Akash tersenyum miring. “Aku rasa, kamu nggak butuh waktu selama itu hanya untuk tampil secantik ini.”Innara terkekeh, lalu membalas dengan nada tak mau kalah, “Aku harus tampil cantik maksimal, Mas. Karena hari ini hari istimewa untukku.”“Benarkah?” Akash menggoda. “Seberapa istimewa?”“Sangat ... sangat istimewa. Karena hari ini aku menj
Tatapan Innara langsung tertuju pada ayahnya. Napasnya tercekat ketika menyadari betapa pucat wajah sang ayah. Panik kecil mulai merayap di hatinya."Ya Allah ... Pa, kita ke kamar, yuk," ucap Innara segera, dengan sigap memapah Ahmed dari sisi kanan sementara Akash menopang dari kiri.Langkah mereka perlahan namun pasti menuju kamar utama di lantai bawah. Para tamu yang masih tersisa di ruang tamu otomatis memperhatikan mereka dengan tatapan khawatir.“Ada apa ya?”“Pak Ahmed kenapa?”Beberapa bisik-bisik mulai terdengar. Namun Ayden, yang menyadari kepanikan mulai menyebar, langsung melangkah ke tengah ruangan dan menenangkan semua yang hadir."Tenang saja, semua. Pak Ahmed hanya kelelahan. Dari pagi belum sempat istirahat. Kita doakan saja beliau sehat selalu," ucap Ayden meyakinkan.Ucapan Ayden seolah menurunkan ketegangan. Para tamu pun mengangguk, dan beberapa dari mereka mulai berpamitan pulang dengan sopan.Di dalam kamar, Innara segera membantu ayahnya berbaring di tempat ti
"Siapa sih yang pertama kali bikin aturan itu?" tanya Akash dengan wajah masam saat mereka berdua sedang duduk santai di balkon lantai dua rumah Ahmed. Sinar matahari sore menyinari wajahnya, membuat raut kesalnya semakin terlihat jelas."Aturan apa?" tanya Innara sambil menyuapkan sesendok puding cokelat ke mulutnya. Matanya menyipit menahan silau, tapi wajahnya tetap kalem. Ia tidak langsung paham arah pertanyaan sang calon suami."Ya itu, peraturan pingitan!" sahut Akash sambil melipat tangan di dada. Ekspresi wajahnya seperti anak kecil yang tidak mendapatkan jatah mainan.Mendengar jawaban itu, Innara langsung terkikik geli. Ia sudah menduga cepat atau lambat Akash akan meluapkan unek-uneknya soal tradisi satu ini."Kan kamu sudah setuju kalau kita pakai adat dari Mama. Ya, pingitan ini bagian dari rangkaian adat pernikahan Jawa," jelas Innara, masih dengan senyum geli yang belum hilang dari wajahnya.Tradisi pingitan—sebuah kebiasaan dalam adat Jawa di mana calon pengantin wanit
Suara bedug dan takbir menggema sejak malam terakhir Ramadan hingga pagi menjelang. Anak-anak berlarian di gang kecil sambil membawa bedug kecil dan petasan mainan, sementara orang dewasa bersiap menuju masjid untuk melaksanakan salat Ied. Suasana penuh suka cita memenuhi udara, menggetarkan hati siapa pun yang menyaksikan kebersamaan dan semangat kemenangan ini.Hari Raya Idul Fitri adalah momen kemenangan besar bagi seluruh umat Muslim. Setelah sebulan penuh menahan lapar, haus, amarah, dan berbagai bentuk hawa nafsu, tibalah saatnya untuk menyambut hari yang fitri. Hari yang bukan hanya tentang baju baru dan hidangan khas lebaran, tetapi juga tentang hati yang kembali bersih dan jernih, serta saling memaafkan dalam kehangatan keluarga.Pagi-pagi sekali, keluarga Akash sudah mendatangi rumah Ahmed untuk kembali bersama-sama melaksanakan salat Ied di masjid yang sama seperti malam sebelumnya. Semua tampil rapi dan menawan. Innara terpana melihat penampilan Akash yang mengenakan baju
Setelah dari makam, Akash mengantar Innara kembali ke rumah. Beruntung, jalanan ibu kota sedang sangat lengang. Aura Lebaran memang sudah terasa. Kebanyakan warga sudah mudik ke kampung halaman, membuat jalanan yang biasanya padat kini terasa lapang dan sunyi.Mobil Akash melaju mulus, dan mereka tiba di rumah tepat sebelum waktu berbuka.Sore itu, suasana rumah Ahmed terlihat lebih hidup. Beliau memang sengaja mengundang Anya dan Ayden—orang tua Akash—untuk berbuka puasa dan melaksanakan salat tarawih bersama. Sebagai hari terakhir di bulan suci, Ahmed ingin menciptakan kenangan yang hangat dan penuh kebersamaan.Akash sedikit terkejut saat melihat kedua orang tuanya sudah duduk santai di ruang tamu, tampak akrab berbincang dengan Ahmed sambil menunggu azan berkumandang.“Assalamualaikum,” sapa Akash sopan sambil membungkuk hormat.“Waalaikumsalam,” jawab mereka serempak, senyuman menghiasi wajah masing-masing.Innara turut memberi salam, lalu berpamitan sebentar untuk berganti pakai
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments