Share

3. Mandi Bebek

Keadaan menjadi genting dan penuh ketegangan. Kejar mengejar masih terus terjadi. Segala tenaga dikerahkan Ode dan Dido demi bisa menyelamatkan diri dari waria yang tanpa lelah dan berusaha keras ingin berhasil menangkap mereka berdua, atau minimal salah satu dari keduanya.

“Ayo lari yang cepat Doooo.!” teriak Ode karena menyadari Dido melambat.

Dido terkejut dan kembali menambah kecepatan larinya dengan penuh semangat meski berat hati untuk meninggalkan gadis yang memikatnya. Ia merasa satu kesempatan langka untuk berkenalan telah terlewatkan begitu saja.

Tetapi agaknya tidak hanya sang gadis saja yang terkejut. Ada juga seorang pemuda yang terlihat kaget dan heran. Ia justru jadi begitu bersemangat memperhatikan dari jarak belasan meter di depan Ode dan Dido. Mengamati sambil menunggu makin dekat untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.

Perlahan pemuda berbadan kekar itu semakin yakin kalau terjadi sesuatu yang tidak beres, lebih tepatnya penjambretan. Itulah yang ada di benak pemuda itu. Ia sudah bertekad untuk tidak berpaling, tetap berdiri di tengah trotoar, di jalur yang akan dilalui Ode dan Dido yang tinggal berjarak belasan meter di depannya. Ia mulai yakin ingin menghentikan aksi yang dianggapnya sebagai penjambretan. Ingin mencegat Ode dan Dido, menghentikan dan mengambil kembali barang yang dijambret. Pemuda itu sangat bersemangat dan yakin ia akan berhasil menghentikan, apalagi melihat Ode dan Dido posturnya tidak sebanding dirinya. Ia anggap sangat mudah untuk menghentikan mereka.

Kakinya berdiri dalam posisi yang telah siaga, seperti layaknya cara berdiri atlet karate yang siap menanti serangan lawan. Ia berdiri memperhatikan dengan cermat pada Ode dan Dido

Berbeda dengan sang gadis yang memberi semangat pada Ode dan Dido, pemuda itu juga justru seakan sedang memberi semangat kepada orang yang mengejar Ode dan Dido. Ia tampak sumringah melihat orang yang mengejar di belakang Ode dan Dido. Mungkin karena kebetulan saat melihatnya di keremangan, terhalang lampu dan dari kejauhan. Jadi, dipikirnya orang yang mengejar Ode dan Dido adalah gadis cantik yang sedang kecopetan dan berusaha lari mengejar pencurinya. Pemuda itu bahkan semakin menyiapkan diri ingin menghadang, berdiri di lintasan yang akan dilalui Ode dan Dido, dan berusaha ingin merebut barang yang dicuri. Ia ingin jadi pahlawan. Lebih tepatnya pahlawan kemaleman.

Ode was-was, dadanya berdetak lebih kencang. Mereka sekarang menghadapi dua masalah. Satu datang dari arah belakang, waria yang mengejarnya, dan satu lagi di depan menanti. Tampak jelas dari jarak dua belas meter di depan mereka, pemuda berotot mulai merentangkan tangannya. Bersiap dengan sigap ingin mencegat Dido dan Ode, berdiri dengan posisi kaki siaga laksana seorang atlet beladiri.

“Bahaya!” pikir Ode.

Tetapi, sebelum Ode dan Dido benar-benar sampai di dekat pemuda yang menghalau, tiba-tiba pemuda itu jadi terlihat kaget, mata melotot dan mendadak balik belakang. Ia justru ikut berlari jauh lebih cepat dari Ode dan Dido setelah menyadari bahwa ternyata orang yang mengejar bukanlah gadis cantik, tapi seorang waria. Wajah pemuda itu pucat pasi dicekam rasa takut seperti melihat hantu menyeramkan.

Ode menahan tawa saat berlari, ia terkejut melihat reaksi pemuda yang tadi ingin mencegatnya. Badan saja yang kekar, atletis, tapi ketakutan juga dengan waria.

Di sisi lain, rasa was-was yang tinggi akibat takut tertangkap waria seakan memaksa tawa mereka terhenti dan membangkitkan kembali energi Ode dan Dido dengan stamina penuh. Ode dongkol, semua berawal dari ulah Dido yang tertawa keras dan membuat waria itu tersinggung.

Kaki Ode mulai lelah karena sejak sore keliling mengamen, ditambah lagi harus berlari dikejar waria. Rasa takut telah melumpuhkan kemampuan otak mereka untuk berpikir agar sebaiknya menahan angkot yang lewat sehingga bisa melaju cepat dan bebas dari kejaran. Tetapi ide itu tidak muncul dan mereka terus berlari di trotoar pada satu sudut sisi kota Surabaya.

Ode menoleh sejenak karena ingin mengetahui kondisi Dido yang tertinggal di belakangnya. Tiba-tiba...

“Awaas di belakangmu Dooo!” teriak Ode panik.

Ternyata waria itu semakin dekat, tinggal tiga langkah di belakang Dido. Bahkan, gitar Dido yang tersampir di pundaknya nyaris saja tergapai oleh genggaman tangan waria. Bahaya kembali mengancam.

“Odeeeeeee! Tolong akuuuuu! Tidaaakk! Lepaskan!” teriak Dido.

Ode panik mendengar teriakan Dido. Ode bergegas mendekatinya, lalu menepuk-nepuk pipinya.

“Do, Didoo ... bangun Do!” Dido terkejut, matanya nanar, takut. Ia juga spontan langsung mendekap Ode dengan erat.

“Eeh, Do, lepasin dong. Apaan sih pakai peluk-peluk segala?” protes Ode karena merasa risih dengan sikap Dido yang main peluk erat dan mesra.

Dido masih diam, sekejap ia kembali melepas pelukannya dan memandang heran sambil berusaha mengumpulkan nyawa dan ingatannya.

“Sudah pagi gini. Masak masih terbawa mimpi aja dengan waria semalam? Kamu kangen dia ya?” jelas Ode sambil tertawa

“Enak aja! Yo ndak lah. Amit-amit kalau bertemu dia lagi,”

 sahut Dido yang kaget mendengar celoteh Ode tapi juga masih menahan kantuk.

Ode hanya tertawa melihat sahabat dekatnya. Dido mengucek matanya, sesekali ia masih menguap. Pikirannya masih belum tenang karena peristiwa dikejar waria tadi malam telah hadir dalam tidurnya dan menjelma jadi mimpi buruk.

Setelah mendengar penjelasan Ode, spontan saja Dido langsung tersenyum nyengir dan bangun seketika.

“Udah, mimpi nggak usah diambil pusing, jangan masukin hati. Makanya berdoa sebelum tidur biar nggak mimpi buruk,” jelas Ode.

“Iyo. Gara-gara waria semalam nih,” ucapnya kesel, lalu bangun dari tempat tidurnya dan duduk di tepi tempat tidur. Ode hanya tertawa melihat Dido. Untung saja semalam Dido memang tidak sampai tertangkap waria. Jika tertangkap, Dido pasti akan jadi bulan-bulanan sang waria. Statusnya sebagai perjaka akan tamat, tinggal kenangan pahit.

Yowes minggir, jangan berdiri halangin pintu. Aku mau duluan mandi. Wedhok wuayu arek maba pasti ngenteni aku,” jelasnya sambil tersenyum nyengir.

“Oh, kirain ditunggu waria wuayu, ” goda Ode tertawa puas sambil bergegas ingin kembali ke kamarnya.

“Ode, ingat ya, pokoknya kejadian semalam hanya rahasia kita. Ojo sampe kebongkar rek, malu nanti,” pintanya memohon pada Ode

“Iya iya. Ya udah, buruan mandi. Katanya kamu mau hadiri acara pembukaan OSPEK di kampus. Sebagai panitia harus cepat datang lebih awal dong. Masak jam segini masih di kos?”

“Loh, sekarang jam berapa?” tanya Dido panik sembari meraih HP untuk melihat jam.

“Sudah mau jam 7,” sahut Ode.

“Wah, gawat, telat nih. Kalau gini nanti bisa gantian Maba yang hukum panitia,” jelasnya dan tanpa buang waktu lagi Dido langsung lari ke kamar mandi. Waktunya tinggal lima belas menit menuju pukul tujuh pagi. Ia sendiri khawatir apakah akan bisa tiba tepat waktu atau tidak. Biasanya ia yang sering menghukum mahasiswa baru yang datang terlambat. Tapi kali ini keadaan bisa saja berubah, ia yang akan kena hukuman.

“Nggak boleh terlambat nih,” jelas Dido sambil melepas pakaian. Mandi bebek pun jadi pilihannya. Mandi asal siram tanpa peduli semua terkena air atau tidak, yang penting mandi. Semuanya demi mengejar waktu agar tidak terlambat dan dihukum.

                                                    ۞        ۞       ۞

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status