Keadaan menjadi genting dan penuh ketegangan. Kejar mengejar masih terus terjadi. Segala tenaga dikerahkan Ode dan Dido demi bisa menyelamatkan diri dari waria yang tanpa lelah dan berusaha keras ingin berhasil menangkap mereka berdua, atau minimal salah satu dari keduanya.
“Ayo lari yang cepat Doooo.!” teriak Ode karena menyadari Dido melambat.
Dido terkejut dan kembali menambah kecepatan larinya dengan penuh semangat meski berat hati untuk meninggalkan gadis yang memikatnya. Ia merasa satu kesempatan langka untuk berkenalan telah terlewatkan begitu saja.
Tetapi agaknya tidak hanya sang gadis saja yang terkejut. Ada juga seorang pemuda yang terlihat kaget dan heran. Ia justru jadi begitu bersemangat memperhatikan dari jarak belasan meter di depan Ode dan Dido. Mengamati sambil menunggu makin dekat untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Perlahan pemuda berbadan kekar itu semakin yakin kalau terjadi sesuatu yang tidak beres, lebih tepatnya penjambretan. Itulah yang ada di benak pemuda itu. Ia sudah bertekad untuk tidak berpaling, tetap berdiri di tengah trotoar, di jalur yang akan dilalui Ode dan Dido yang tinggal berjarak belasan meter di depannya. Ia mulai yakin ingin menghentikan aksi yang dianggapnya sebagai penjambretan. Ingin mencegat Ode dan Dido, menghentikan dan mengambil kembali barang yang dijambret. Pemuda itu sangat bersemangat dan yakin ia akan berhasil menghentikan, apalagi melihat Ode dan Dido posturnya tidak sebanding dirinya. Ia anggap sangat mudah untuk menghentikan mereka.
Kakinya berdiri dalam posisi yang telah siaga, seperti layaknya cara berdiri atlet karate yang siap menanti serangan lawan. Ia berdiri memperhatikan dengan cermat pada Ode dan Dido
Berbeda dengan sang gadis yang memberi semangat pada Ode dan Dido, pemuda itu juga justru seakan sedang memberi semangat kepada orang yang mengejar Ode dan Dido. Ia tampak sumringah melihat orang yang mengejar di belakang Ode dan Dido. Mungkin karena kebetulan saat melihatnya di keremangan, terhalang lampu dan dari kejauhan. Jadi, dipikirnya orang yang mengejar Ode dan Dido adalah gadis cantik yang sedang kecopetan dan berusaha lari mengejar pencurinya. Pemuda itu bahkan semakin menyiapkan diri ingin menghadang, berdiri di lintasan yang akan dilalui Ode dan Dido, dan berusaha ingin merebut barang yang dicuri. Ia ingin jadi pahlawan. Lebih tepatnya pahlawan kemaleman.
Ode was-was, dadanya berdetak lebih kencang. Mereka sekarang menghadapi dua masalah. Satu datang dari arah belakang, waria yang mengejarnya, dan satu lagi di depan menanti. Tampak jelas dari jarak dua belas meter di depan mereka, pemuda berotot mulai merentangkan tangannya. Bersiap dengan sigap ingin mencegat Dido dan Ode, berdiri dengan posisi kaki siaga laksana seorang atlet beladiri.
“Bahaya!” pikir Ode.
Tetapi, sebelum Ode dan Dido benar-benar sampai di dekat pemuda yang menghalau, tiba-tiba pemuda itu jadi terlihat kaget, mata melotot dan mendadak balik belakang. Ia justru ikut berlari jauh lebih cepat dari Ode dan Dido setelah menyadari bahwa ternyata orang yang mengejar bukanlah gadis cantik, tapi seorang waria. Wajah pemuda itu pucat pasi dicekam rasa takut seperti melihat hantu menyeramkan.
Ode menahan tawa saat berlari, ia terkejut melihat reaksi pemuda yang tadi ingin mencegatnya. Badan saja yang kekar, atletis, tapi ketakutan juga dengan waria.
Di sisi lain, rasa was-was yang tinggi akibat takut tertangkap waria seakan memaksa tawa mereka terhenti dan membangkitkan kembali energi Ode dan Dido dengan stamina penuh. Ode dongkol, semua berawal dari ulah Dido yang tertawa keras dan membuat waria itu tersinggung.
Kaki Ode mulai lelah karena sejak sore keliling mengamen, ditambah lagi harus berlari dikejar waria. Rasa takut telah melumpuhkan kemampuan otak mereka untuk berpikir agar sebaiknya menahan angkot yang lewat sehingga bisa melaju cepat dan bebas dari kejaran. Tetapi ide itu tidak muncul dan mereka terus berlari di trotoar pada satu sudut sisi kota Surabaya.
Ode menoleh sejenak karena ingin mengetahui kondisi Dido yang tertinggal di belakangnya. Tiba-tiba...
“Awaas di belakangmu Dooo!” teriak Ode panik.
Ternyata waria itu semakin dekat, tinggal tiga langkah di belakang Dido. Bahkan, gitar Dido yang tersampir di pundaknya nyaris saja tergapai oleh genggaman tangan waria. Bahaya kembali mengancam.
“Odeeeeeee! Tolong akuuuuu! Tidaaakk! Lepaskan!” teriak Dido.
Ode panik mendengar teriakan Dido. Ode bergegas mendekatinya, lalu menepuk-nepuk pipinya.
“Do, Didoo ... bangun Do!” Dido terkejut, matanya nanar, takut. Ia juga spontan langsung mendekap Ode dengan erat.
“Eeh, Do, lepasin dong. Apaan sih pakai peluk-peluk segala?” protes Ode karena merasa risih dengan sikap Dido yang main peluk erat dan mesra.
Dido masih diam, sekejap ia kembali melepas pelukannya dan memandang heran sambil berusaha mengumpulkan nyawa dan ingatannya.
“Sudah pagi gini. Masak masih terbawa mimpi aja dengan waria semalam? Kamu kangen dia ya?” jelas Ode sambil tertawa
“Enak aja! Yo ndak lah. Amit-amit kalau bertemu dia lagi,”
sahut Dido yang kaget mendengar celoteh Ode tapi juga masih menahan kantuk.Ode hanya tertawa melihat sahabat dekatnya. Dido mengucek matanya, sesekali ia masih menguap. Pikirannya masih belum tenang karena peristiwa dikejar waria tadi malam telah hadir dalam tidurnya dan menjelma jadi mimpi buruk.
Setelah mendengar penjelasan Ode, spontan saja Dido langsung tersenyum nyengir dan bangun seketika.
“Udah, mimpi nggak usah diambil pusing, jangan masukin hati. Makanya berdoa sebelum tidur biar nggak mimpi buruk,” jelas Ode.
“Iyo. Gara-gara waria semalam nih,” ucapnya kesel, lalu bangun dari tempat tidurnya dan duduk di tepi tempat tidur. Ode hanya tertawa melihat Dido. Untung saja semalam Dido memang tidak sampai tertangkap waria. Jika tertangkap, Dido pasti akan jadi bulan-bulanan sang waria. Statusnya sebagai perjaka akan tamat, tinggal kenangan pahit.
“Yowes minggir, jangan berdiri halangin pintu. Aku mau duluan mandi. Wedhok wuayu arek maba pasti ngenteni aku,” jelasnya sambil tersenyum nyengir.
“Oh, kirain ditunggu waria wuayu, ” goda Ode tertawa puas sambil bergegas ingin kembali ke kamarnya.
“Ode, ingat ya, pokoknya kejadian semalam hanya rahasia kita. Ojo sampe kebongkar rek, malu nanti,” pintanya memohon pada Ode
“Iya iya. Ya udah, buruan mandi. Katanya kamu mau hadiri acara pembukaan OSPEK di kampus. Sebagai panitia harus cepat datang lebih awal dong. Masak jam segini masih di kos?”
“Loh, sekarang jam berapa?” tanya Dido panik sembari meraih HP untuk melihat jam.
“Sudah mau jam 7,” sahut Ode.
“Wah, gawat, telat nih. Kalau gini nanti bisa gantian Maba yang hukum panitia,” jelasnya dan tanpa buang waktu lagi Dido langsung lari ke kamar mandi. Waktunya tinggal lima belas menit menuju pukul tujuh pagi. Ia sendiri khawatir apakah akan bisa tiba tepat waktu atau tidak. Biasanya ia yang sering menghukum mahasiswa baru yang datang terlambat. Tapi kali ini keadaan bisa saja berubah, ia yang akan kena hukuman.
“Nggak boleh terlambat nih,” jelas Dido sambil melepas pakaian. Mandi bebek pun jadi pilihannya. Mandi asal siram tanpa peduli semua terkena air atau tidak, yang penting mandi. Semuanya demi mengejar waktu agar tidak terlambat dan dihukum.
۞ ۞ ۞
Sinar matahari siang tampak begitu terik.“Surabaya oh Surabaya.. panas banget.” keluh Ode dan makin cepat berjalan karena gerah dan haus. Jarak rumah kosnya hanya tinggal beberapa meter lagi dan letaknya tidak jauh dari kampus.Ketika sampai, Ode bergegas buka kunci pintu kamar dan masuk ke dalam. Tidak begitu luas, hanya berukuran tiga setengah kali tiga meter.Ode langsung mengambil minum.“Segaarr..” ucapnya lega dan kembali meneguk beberapa kali.Setelah itu Ode merebahkan badan di kasur. Perlahan rasa kantuk mulai menghampiri. Mata Ode terasa berat dan tidak ingin lagi dibuka meskipun hanya untuk sejenak melirik jam yang ada di meja belajar kecil, tidak jauh dari tempat tidur. Lima menit lagi waktu menunjukkan pukul dua siang.Ode lebih memilih tidur saja daripada harus keluar kamar dan berjalan kaki di bawah terik matahari untuk kembali ke kampus. Ia sudah tidak berminat untuk balik kembali ke kampus hanya kare
Ode diam terpaku di dekat pintu memperhatikan Aryo yang justru tidak peduli padanya.“Ada apa Yo? Kok kelihatan kayak ada masalah gitu?” tanya OdeSesaat kemudian Aryo kembali berdiri dan mondar mandir seperti mandor. Mukanya merah bagaikan udang rebus dan ingin meluapkan amarahnya. Tindakannya telah membuat rasa kantuk Ode hilang seketika.Sejak tadi Aryo belum juga tenang dan sesekali mengosok-gosok rambutnya. Dari cara menggosoknya telah membuat Ode paham jika kepalanya itu tidak gatal. Lebih tepatnya, gosokan itu hanyalah refleksi seketika akibat emosinya. Dasi coklat yang dipakainya langsung dilonggarkan dan kemeja putihnya digulung sampai sebatas siku. Ia mulai merasa kepanasan, bukan hanya sekedar jasmaninya yang panas, tapi hatinya juga ikut panas membara. Keringat tipis mengalir di keningnya.Ode jadi heran dengan sikap Aryo. Kulitnya yang putih terlihat jadi agak merah seh
Melihat sikap sahabatnya, Ode berdiri untuk mengambil segelas air minum dari gallon mineral yang ada di dekat meja.”Minum dulu..” Aryo memandang Ode sejenak. Tanpa pikir panjang lagi dengan tawaran tersebut, Aryo langsung meraih gelas yang ada di tangan Ode dan meminumnya segera. Setelah itu ia menaruh gelas plastik bermotif biola tersebut di atas meja.Ode memperhatikan wajah Aryo, emosinya mulai berkurang.”Kamu kenapa? Ada masalah dengan Dona..?” Aryo mengusap wajahnya seakan ingin meluapkan kekesalannya.”Nggak ngertilah De.. Aku juga mangkel..! Akhir-akhir ini dia juga sering marah. Aku tanya kenapa? Jawabnya selalu nggak jelas..!!” katanya gusarEmosi Aryo mulai naik lagi, bahkan ia bersikap seperti orang yang ingin memukul tapi kedua tangannya hanya mengepal kejang penuh tenaga dan tak terluapkan, sedangkan wajahnya memerah. Ia juga merapatkan rahang atas dan bawah hingga gigi-giginya sa
Motor Aryo berlalu meninggalkan kos Ode. Setelah itu Ode kembali masuk kamar dan menutup pintu. Ia coba rebahkan diri di kasur untuk tidur. Tetapi, Ode masih diliputi rasa heran, menyimpan tanya tentang masalah apakah yang sedang dihadapi Aryo.“Kenapa tadi dia terlihat sangat emosi, lebih emosi dari kebiasaan lamanya di kampus yang memang gampang marah?” pikir Ode.Tapi dibalik sikapnya yang sedikit temprament, Ode mengakui ada sisi lain yang begitu menonjol pada diri Aryo sejak dulu, yaitu selalu berpenampilan keren, terutama bila mengikuti perkuliahan. Apalagi Aryo memang memiliki wajah yang tampan. Ia sudah begitu terkenal dan disenangi di kampus sejak awal masuk kuliah.Beberapa gadis di kampus mereka, bahkan ada juga teman mereka di kampus lainnya di Surabaya, jadi tergila-gila dan menganggap wajah Aryo hampir mirip dengan artis penyanyi top Justin Timberlake. Kadang juga, kebiasaannya yang sering memakai kacamata hitam m
Setelah berusaha menenangkan dirinya agar tidak panik, ibu Ayu akhirnya coba bicara dan tersenyum. Sedikit sikap menggoda secara halus ia lakukan.“Tenang dulu. Ibu ingin kalian tahu bahwa semuanya sama, semuanya spesial. Nggak ada yang dibedakan kok..” jelasnya sembari mengulas senyum manis yang ia miliki. Bahkan sangat manis seperti senyum seseorang kepada pujaannya. Tidak hanya itu, ia juga berjalan mendekati mereka yang protes, menyebut namanya dengan lembut, suara merdu dan seakrab mungkin.Mendengar penjelasan sang dosen, mahasiswa yang protes tadi akhirnya luluh juga dan perlahan mulai tersenyum. Ketika dosen cantik itu mendekati kursi mereka, senyum itu makin terasa manis dan aroma parfumnya tercium wangi.“Oh teman-teman.. ternyata mbak Ayu nggak pilih kasih kok. Kalau gitu kita nggak jadi keluar kelas.” jelas Toni menginfokan pada yang lain. Mereka akhirnya duduk kembali.“Iya dong, mana ada pilih kasih. semua sama,
Jika lagu-lagu perjuangan sering sekali menggema di seluruh Nusantara terutama menjelang hari kemerdekaan atau hari pahlawan, maka di kota Surabaya, atau lebih tepatnya di rumah kos Ode, lagu-lagu tersebut setiap hari terdengar hingga kadang mampu menghadirkan suasana tersendiri dalam hatinya. Ode sering terbawa pada nuansa ketika terjadinya perang di tanah air -meskipun sebenarnya ia tidak hidup di zaman itu- di saat para pahlawan berjuang mati-matian merebut kemerdekaan dari penindasan para penjajah.Hari kian menjelang sore. Seperti pada hari-hari biasanya, secara perlahan telinga Ode kembali mendengar sayup-sayup lagu ’sepasang mata bola’ yang mengalun dari gedung bilik sebelah, yang berada tak jauh dari kamar kosnya. Ia tahu siapa yang menyetel lagu-lagu perjuangan itu, yaitu Pak Tomo, tuan kosnya yang merupakan seorang veteran. Seorang yang masih tetap tampak bugar meskipun usianya sudah hampir tujuh puluh tahun.Kecintaan Pak Tomo pada lagu-
Pada saat Ode balik belakang, ternyata Dido juga terlihat begitu tergesa-gesa. Ia baru saja keluar dari kamarnya dengan bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek dan handuk yang disampirkan di leher. Tangannya satu memegang gayung yang berisi sabun, sampo, pisau cukur, dan sisir.”Aku duluan ya. Soalnya takut terlambat acara temu akrab, jam lima sore ini. Biasa, anak maba nunggu aku. Mereka pasti sudah ndak sabar ingin jumpa aku,” celoteh Dido dari depan pintu kamar dan berjalan ke arah Ode sambil tersenyum, menaik-turunkan alisnya.Ode mengalah dan hanya geleng kepala melihat tingkah Dido yang sok tahu dan sangat percaya diri.”Oya, ojo lali... nanti bawa biolamu,” pinta Dido dengan ekspresi serius. ”Iya... buruan mandi. Tapi cepat. Ada yang ingin aku bicarakan, soal tadi, penting. Tentang Aryo dan Dona..” Dido sempat terkejut dan langkahnya terhenti
Waktu yang sangat dinantikan oleh peserta Ospek, panitia, dan terutama juga Dido, akhirnya tiba juga. Malam ini, di pelataran kampus mulai tampak ramai dan semarak laksana pesta konser musik. Suasana malam penutupan ospek yang diselenggarakan di halaman pelataran depan kampus tampak begitu meriah."Selamat malam semuanya," ucap pak ketua membuka sambutannya."Malam pak..." semua hadirin menjawab serempak."Selamat datang saya ucapkan kepada adik-adik mahasiswa baru, selamat bergabung di kampus tercinta ini," tegas bapak ketua kampus yang disambut tepuk tangan meriah dari semua hadirin.Pak ketua mulai memberikan sambutannya, berbicara menyampaikan pesan dan motivasi kepada mahasiswa baru yang telah memilih kuliah di kampus ternama di Surabaya. Semua hadirin, terutama mahasiswa baru, mendengarkan dan menyambut antusias. Sesekali diselingi tawa akibat candaan bapak ketua, juga tepuk tangan meriah.Selain ketua dan wakil ketua kampus -merupakan