"Ayo, Mir, jadi apa tidak jalan-jalannya?" Aku masih tertegun atas kejadian yang baru saja aku alami dan belum bisa aku terima seutuhnya. Aku dipermalukan oleh ibu mertuaku sendiri di depan tetanggaku yang mana semuanya adalah orang-orang yang baru aku kenal."Kamu masih marah atas sikap ibuku tadi? Aku minta maaf untuk perlakuan ibu tadi karena sudah membuat malu kita terutama kamu." Mas Hadi duduk di sebelahku."Kamu kenapa juga ngeyel ngajak nikah aku, Mas? Kenapa kamu itu nggak nurut saja sama ibu kamu. Kalau kamu mau nurut sama ibu kamu dan menikah dengan perempuan pilihan ibu kamu atau yang lebih cocok dengan kriteria ibu kamu pasti hidup kamu dan juga aku nggak akan seperti ini.""Kamu kok ngomong gitu, Mir. Aku nikah sama kamu karena cintaku itu cuma kamu bukan perempuan lain seperti yang disebutkan oleh ibuku. Aku yang ngejalani semua ini bukan ibuku.""Tapi kenapa ibumu itu sangat benci sekali sama aku, Mas. Aku juga merasa nggak pernah menyakiti ibu kamu. Sejak awal. Sejak
"Mir, Mas bicara." Aku baru saja selesai merapikan tempat tidur kami sedangkan mas Hadi baru saja masuk ke dalam kamar karena tadi aku tahu dia sedang berbicara dengan seseorang di ponsel miliknya.Aku membenahi posisi ku di atas tempat tidur karena jam sudah tunjukkan waktu biasa kami istirahat malam.Aku merapikan banyak milik suamiku. "Mau bicara apa, Mas?" ucapku sambil menepuk bantal tersebut.Mas Hadi memposisikan diri di sampingku. Ia menatapku ragu. Apa mungkin ia mau membicarakan perihal permintaan dari ibunya itu."Mir, ibu minta kita menunda dulu untuk merenovasi rumah ini. Mas sebenarnya juga sudah pikir-pikir sih kalau rumah ini masih nyaman dan layak untuk ditempati." Sementara mas Hadi mulai mengeluarkan maksudnya. Aku berusaha untuk menguasai diri. Mengatur napas dan juga emosi. Aku masih memilih untuk diam biar saja ia melanjutkan ucapannya."Terus maksud kamu yang jelasnya mau bagaimana, Mas?" Sedikit aku menekan suaraku agar tidak terdengar tinggi dan terkesan ngeh
Braaakkk ....Braaakkk ....Braaakkk ....Aku kaget dan terlonjak. Bagaimana tidak? Baru saja aku selesai salam saat melaksanakan ibadah salat magrib. Tiba-tiba aku dikagetkan akan suara gedoran dari pintu rumahku ini. Aku kebetulan sendiri di rumah karena sore tadi mas Hadi pamit mau keluar ada urusan dan salahku karena tidak bertanya ada urusan apa dan di mana.Buru-buru aku merapikan peralatan salat dan kemudian segera menuju ke arah arah pintu."Dasar menantu kurang ajar! Gara-gara kelakuan keras kepalamu itu Manda jadi kabur ke rumah orang tuanya!" Aku kaget dan terjatuh ke atas lantai karena tanpa aba-aba ibu mertua datang tanpa salam dan permisi ia langsung mendorong ku begitu saja.Aku melotot ke arahnya. Tentu saja aku geram dengan tingkah perempuan yang usianya sudah tidak muda lagi ini.Andai saja tidak ada rasa hormat. Sudah aku pastikan ia merasakan apa yang aku rasakan karena aku pasti akan membalas perbuatannya itu."Ibu ada apa ini?" tanyaku sambil menahan emosi."Ib
[Mir, ini kan si Hadi. Itu perempuan yang dibonceng sepertinya si Yuni, anaknya teman ibu mertua kamu.] Aku baru saja membuka ponsel yang baru aku isi daya sepulang dari tempat kerja tadi. Sebuah pesan masuk beberapa menit yang lalu yang mana pengirimnya adalah mbak Siti, tetangga ibu mertuaku. Sebuah pesan gambar yang disertai dengan kalimat penjabaran atas gambar yang menyertainya.Mata ku memanas. Bagaimana tidak? Suamiku memilih pulang ke rumah ibunya atas perintah dari perempuan yang telah melahirkannya. Tidak lupa pesan terakhir yang diucapkan oleh mas Hadi sesaat sebelum ia pergi beberapa waktu yang lalu. Mas Hadi pergi dengan alasan untuk saling introspeksi diri dan ternyata ini yang dia maksud untuk introspeksi diri. Sungguh tega dia. Ia memilih ibunya dan meninggalkan aku begitu saja. Sakit, sungguh sangat sangat terlebih perempuan yang dekat dengan dirinya itu adalah perempuan yang diinginkan oleh ibunya.Aku tidak ingin membalas pesan dari mbak Siti ini. Otakku rasanya s
"Ibu, apa-apaan, sih?" Karena mendengar keributan. Aku yang baru saja keluar dari kamar mandi segera menuju ke ruangan depan. Dan benar saja. Di depan pintu aku mendapati ibuku sudah berada di depan sana dengan raut wajah yang tidak bersahabat. Aku juga melihat Mira yang terduduk di atas lantai. Apa ini karena ulah ibuku?Ibuku tidak henti-hentinya mengumpat di depan istriku. Aku tahu masalah Manda yang kabur dari rumah yang mendasari emosi ibuku juga karena desakan adik bungsuku tentunya.Ibu terus menyalahkan Mira tanpa sebab. Ibu mengklaim jika perginya Manda dari rumah itu karena disebabkan oleh Mira yang tidak mau mengalah. Mengalah mempergunakan uang tabungannya untuk terlebih dahulu dipergunakan merenovasi rumah yang saat ini di tempati oleh ibu dan juga adikku. Aku seperti berada di tengah tebing. Mundur jurang, maju pun jurang. Tidak ada pilihan yang bisa menyatukan istriku dan juga ibuku. Alasan tidak masuk akal yang aku kira yang membuat ibuku tidak menyukai kehadiran ist
Kamu yang sabar, Mir. Aku tahu, kamu pasti sakit karena ini. Kamu sudah banyak berkorban tapi apa yang kamu dapatkan? Justru mereka berbuat untuk menusuk kami dari belakang." Di penghujung desa aku tidak sengaja bertemu dengan mbak Siti yang sepertinya ia baru pulang dari tempat kerjanya. Sore ini kami berpapasan sedang kan mbak Siti yang membawa sepeda angin sengaja menghentikan aku. "Ini, Kamu minum dulu biar tenang." Segelas es teh manis ia sodorkan di depanku. Kami sengaja berhenti dan menepi di kedai es teh yang menjamur akhir-akhir ini.Karena menang haus, tidak terasa hampir setengah bagian minuman berwarna sedikit kecoklatan itu sudah berpindah tempat di tenggorokan ku.Aku mengusap jejak air mataku dengan tisu yang sengaja aku bawa di dalam tas selempang yang aku kenakan."Aku kecewa, Mbak. Aku juga nggak nyangka banget sama mas Hadi. Tenyata ucapan pria itu lain di mulut dan lain juga di hati. Sewaktu ibunya belum menyambangi rumah orang tuaku, hubungan kami baik-baik saja
Aku akhirnya memutuskan pulang kembali ke rumah ibuku. Tapi tujuan ku tetap satu, yakni tidak lain agar hati Mira berubah luluh. Aku berharap ia menyusul ku dan memintaku agar kembali bersamanya dengan apa pun syaratnya. Dan tentu saja syarat tersebut tidak lain adalah ia harus merelakan uang tabungannya terlebih dahulu untuk perbaikan rumah ibu."Bagus, Hadi. Akhirnya kamu mau mendengarkan ibumu ini juga. Ibu melakukan ini juga demi kalian." Kepulangan ku disambut dengan raut bahagia oleh wanita yang sudah melahirkan ku ini."Kamu harus mengikuti rencana ibumu ini. Jangan biarkan istrimu itu egois. Perempuan kok mau menangnya sendiri. Istrimu itu belum pernah hamil jadi belum tahu bagaimana rasanya hamil dan ngidam. Ibu itu jadi curiga apa jangan-jangan si Mira itu mandul. Tapi nggak apa-apa, beneran kalau dia mandul. Kamu bisa punya kesempatan cari istri baru. Si Yuni juga masih sendiri. Kamu cocok malah lebih cocok sama Yuni dari pada sama Mira. Kamu guru si Yuni bidan." Aku pusing
Setelah maa Hadi beberapa waktu lalu mendatangi rumahku ini, hingga saat ini sudah tidak aku dapati lagi kabar darinya. Mungkin pria itu sudah menemukan tambatan hatinya yang baru. Mulai luluh hatinya dan mau menerima permintaan dari Ibunya.'Kamu harus kuat Mira. Tidak boleh cengeng. Sudah tidak ada lagi orang terdekat yang bisa kamu andalkan bahkan suami sebagai pendamping hidup sudah tidak peduli lagi'. Aku menyemangati diriku sendiri. Aku tidak boleh lemah karena perjalanan hidup ku ini masih panjang.Iya, sudah dua hari ini adalah hari di mana pembangunan rumah ku sudah mulai di kerjakan. Untuk sementara waktu aku balik kembali mencari tempat kontrakan untuk sementara waktu. Seluruh pengerjaan aku serahkan pada kontraktor yang memborong pembangunan rumah peninggalan orang tuaku ini.[Mbak Mira maaf, ada beberapa orang yang datang ke rumah mbak Mira dan memaksa untuk mengangkut bahan bangunan.]Dari tadi ponselku bergetar. Iya, karena sedang bekerja ponsel milikku sengaja hanya ak