Hari Minggu ini rencanaku ingin menemui Mira. Ingin mendatangi rumah istriku dan mengajaknya untuk membahas tentang hubungan kami lagi secara baik-baik. "Hadi masih pagi kamu sudah rapi saja?" Ibu tiba-tiba sudah berada di depan pintu kamarku."Hadi ada acara sebentar di luar, Bu.""Oh kebetulan. Kamu sekalian ajak Yuni biar kalian bisa tambah dekat dan kenal satu sama lain. Tu sudah bilang sama ibu kalau hari ini mau datang ke rumah. Kamu jangan pergi dulu. Tinggi Yuni datang dulu biar sekalian jalan bareng." Apa-apaan ibuku ini. Bisa-bisa gagal rencanaku untuk bertemu dengan Mira. Sudahlah ponsel ku disita. Ini lagi, ibu mengundang orang lain tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan dari aku."Tapi Hadi sudah telat, Bu. Ini sudah buru-buru juga mau berangkat," ucapku beralasan."Kamu kok ngeyel banget suruh nunggu sebentar juga. Apa jangan-jangan kamu mau ketemu lagi sama si Mira. Awas saja kalau kamu diam-diam menemui perempuan itu tanpa izin dan sepengetahuan dari ibu. Ibu nggak
Sia-sia kedatangan ku menemui Amira. Ternyata istriku tersebut memang kekeh dengan keinginannya tanpa mau mendengarkan pendapat orang lain.Aku kembali ke rumah ibuku dengan membawa kekecewaan. Harapku besar ia memaksa ku agar terus berasa di sisinya. Nyatanya ia sama sekali tidak bisa memikirkan bagaimana dengan perasaan suaminya ini."Kamu dari masa saja, Hadi jam segini baru pulang ke rumah tidak biasanya." Sampai di rumah ibu sudah menungguku di depan teras.Aku mematikan mesin motor dan segera menuntunnya masuk ke dalam ruang tamu setelah terlebih dahulu mengucapkan salam."Hadi ada urusan di luar, Bu. Hadi juga sudah dewasa bukan anak-anak lagi harusnya ibu paham itu, bukannya mengintrogasi setiap gerak-gerik Hadi. Jadi juga butuh kebebasan.""Kamu itu, ya! Ibu cuma tanya kamu dari mana saja. Atau Jangan-jangan kamu memang habis menemui si Mira?" Ibu sudah mulai curiga. Apa boleh buat lebih baik aku katakan terus terang saja."Iya, Hadi habis dari sana. Hadi masih mencoba member
"Mir apa kamu serius dengan ucapan mu?" Mbak Siti mempertanyakan kesungguhan ku. Iya, Aku sengaja berbagi cerita dengannya perihal masalah yang kini telah aku hadapi."Mau bagaimana lagi, Mbak, mas Hadi sendiri yang sudah menjatuhkan talaknya kepada ku bahkan disaksikan oleh banyak orang.""Dasar suamimu itu. Ngakunya seorang guru tapi kelakuannya tidak mencerminkan seperti orang yang berpendidikan saja. Pasti itu hasutan dari ibunya juga.""Aku juga nggak mau tahu, Mbak. Yang jelas setelah ini aku harus siap dan menata kembali kehidupanku. Aku harus terbiasa dan mulai membiasakan diri untuk hidup mandiri.""Kamu yang optimis, Mira. Semoga ini petunjuk buat kamu dan semoga ini adalah jalan yang terbaik untuk kamu."***Sudah bulat keputusan ku. Iya, aku berencana akan mengajukan gugatan pada mas Hadi pada pengadilan agama. Sudah ku niat i dan persiapan segala persyaratannya. Dan untungnya saja buku nikah ada di tanganku sehingga aku tidak perlu lagi mencari atau mengambilnya di rumah
Aku mengikuti apa kata ibuku. Akhirnya aku, ibu dan juga mobil bak terbuka sampailah tepat di depan halaman rumah orang tua Amira yang sedang dalam tahap pembangunan. Sampai di sana, kami tidak langsung mengeksekusi bahan bangunan untuk dipindahkan ke atas mobil bak terbuka yang telah kami sewa. Aku, ibu dan juga pengawas yang memborong pembangunan rumah Amira beradu mulut hingga akhirnya berujung pihak tukang bangunan yang kalah dengan kami karena aku adalah suami Amira yang sekaligus menjadi kepala keluarga.Hingga tanpa sepengetahuan dan diluar dugaan kami."Hei! Apa yang kalian lakukan!" teriak ku dan aku masih berada di atas motor yang aku kendarai. Aku baru saja sampai di depan rumah. Dari jalan depan rumah aku melihat ibu mertua sedang mengomando beberapa orang untuk mengangkut material bangunan bahkan sebagian sudah tertata di atas mobil bak terbuka. Mungkin mas Hadi dan ibunya yang sudah sengaja menyewa mobil tersebut. Tidak tahu malu sekali.Aku segera mematikan mesin motor
Hingga suatu ketika tiba-tiba aku mendapati surat panggilan dari pengadilan agama. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba hati dan hariku berubah mendung. Apakah Mira benar-benar sudah nekat melakukan semuanya ini. Mira nekat mengajukan gugatan cerainya pada pengadilan agama? Apa mungkin Mira menganggap serius ucapan talak ku itu? Aku tidak ada niat untuk melakukan itu padanya semua di luar kendali ku karena emosi yang menguasai."Kamu kenapa Hadi? Emangnya itu surat apa yang kamu baca?" Ibu baru saja keluar dari kamarnya langsung menghampiri aku yang terduduk di ruang tamu dengan kertas yang baru aku terima dari pengadilan agama yang masih ada digenggaman ku. Ibu memposisikan diri tepat disebelah ku."Ini surat panggilan dari pengadilan agama." Ibu menautkan kedua alisnya menatap ke arahku."Maksud kamu surat panggilan dari pengadilan agama yang bagaimana?" Ibu masih belum paham dengan kondisi saat ini."Surat panggilan dari pengadilan agama untuk sudah pertama Hadi dan Mira. Mir
"Hadi, kamu kok pulang cepat? Apa kamu nggak enak badan?" Seperti biasanya. Aku akan terlebih dulu pulang ke rumah ibuku sendiri dan setelah itu baru pulang ke rumah istri keduaku, Yuni. Semenjak kami dinikahkan paksa oleh warga. Malam itu juga dan sampai detik ini aku tinggal di sana. Antara nyaman dan juga tidak nyaman karena aku tinggal satu atap bersama dengan orang yang tidak atau belum bisa aku cintai.Aku menyandarkan punggungku pada sandaran sofa yang ada di ruang tamu. Aku ingat, sofa yang empuk dan nyaman ini adalah salah peninggalan dari Mira yang sengaja ia hadiahkan pada ibuku. Aku tahu sebenarnya Mira ada istri sekaligus menantu yang perhatian akan keadaan dari ibu mertuanya. Karena demi mencukupi kebutuhan hidup dan biaya untuk menyekolahkan anak-anaknya hingga membuat orang tuaku tidak fokus pada keadaan rumah mereka termasuk perabotan yang ada di rumah ini. Kursi tua peninggalan dari orang tua ibuku yang selama belum kedatangan Mira yang menghiasai ruang tamu ini. Kur
Waktu yang di nanti akhirnya datang juga. Dua Minggu setelah persidangan pertama ku. Akhirnya sidang kedua akan aku jalani. Aku segera bersiap agar tidak telat sampai di pengadilan. Jika sebelumnya aku datang hanya seorang diri, maka kali ini aku datang dengan membawa serta kawan. Ada Desi yang tidak lain tetangga dekat rumah yang sekaligus teman sepermainan ku yang baru kembali dari kota dan ingin menetap di kampung halaman. Desi menawarkan jasa pengacara padaku yang awalnya aku tolak karena tidak ada bujet untuk membayar jasa dari seorang pengacara yang tentu saja tidak murah."Des, Aku benar nggak enak sama saudara, Kamu," bisik ku pada Desi ketika kami sudah berada di perjalanan menuju kantor pengadilan agama."Sudah biasa saja hitung-hitung mas Fahmi sedekah membantu seorang janda," seloroh Desi yang akhirnya aku hadiahi cubitan di lengannya.Malu? Tentu saja. Bagaimana tidak, aku sengaja berbicara dengan ku buat se-lirih mungkin agar tidak terdengar oleh pria yang sedang konsent
Akhirnya sudah kedua pun berjalan sesuai dengan agenda. Tetapi pada sidang kali ini masih belum bisa diambil keputusan dan kesimpulan. Aku berharap sidang bisa berjalan dengan lancar namun kenyataan tidak sesuai dengan harapan karena keluarga dari mas Hadi sengaja ingin membuat masalah dengan permintaan mereka atas harta gono-gini. Aku ingin tertawa juga ingin muntah karena ulah mereka. Kenapa mereka tidak habis pikir. Bukannya selama ini justru aku yang menghidupi mereka, bukan aku yang menjadi beban hidup untuk mereka. Lantas harta gono-gini mana yang mereka ungkit untuk dibagi. Atas anjuran dari mas Fahmi. Aku disarankan agar tidak gegabah dalam bersikap di depan dewan hakim. Aku harus berpikir tenang dan mengalah untuk mencari sela. "Barbar banget keluarga mantan kamu itu, Mir. Kamu kok bisa tahan. Kalau aku tahu dari awal sudah seperti itu. Sudah dari awal aku tinggal cari gantinya. Nggak cakep-cakep amat masih cakep an juga orang yang ada di depan kita ini," celetuk Desi saat k