Pov : Maya"May, kamu di mana? Aku mau ketemu," ucap Mbak Dewi tiba-tiba setelah sekian minggu tak ada kabar."Mau ngapain sih, Mbak?" tanyaku cepat.Hatiku berdebar-debar, jangan sampai Mbak Dewi merencanakan sesuatu untuk mencelakakan Mbak Lina lagi. Aku nggak mau ikut campur. Mereka bisa benar-benar menjebloskanku ke sel."Rumah tanggaku hancur, May. Mas Indra menceraikanku. Istri tua dan keriputnya itu mengambil semua yang kupunya. Rumah dan mobil itu. Sekarang, aku di rumah ibu," ucap Mbak Dewi panjang.Mulutku ternganga seketika mendengar ceritanya. Aku yakin, Mbak Dewi pasti tak akan rela dan diam begitu saja. Dia pasti akan membalas perlakuan Mbak Lina. Karena masih menganggap Mbak Lina dalang semuanya."Sudahlah, Mbak. Jangan ganggu keluarga Mas Gilang lagi. Bahaya, Mbak. Mbak bisa benar-benar dimasukkan penjara nanti."Aku masih terus berusaha menasehati. Walaupun bagaimana, dia tetap kakakku. Aku sangat menyayanginya, meski kelakuannya seperti itu dan sering membuatku pusin
Althaf Radhika Alfahri.Anak laki-laki pertamaku yang rupawan. Dia adalah pelita yang menyinariku di saat gelap dan rapuh. Dia yang membuatku semakin kuat dan semangat di setiap keadaan dan dia yang membuatku semakin menyadari jika tak akan pernah ada kata sia-sia dari sebuah perjuangan dan kesabaran. Ada harapan dan doa yang kutanamkan dalam nama itu. Aku dan Mas Gilang sangat berharap kelak dia akan tumbuh menjadi anak laki-laki yang berhati lembut, sukses dan memiliki semangat untuk berbagi kebaikan hingga bisa bermanfaat untuk banyak orang.Detik ini, kulihat Mas Gilang yang sedang mengazani anak sulungnya dengan hati berbunga. Senyumnya mengembang. Wajahnya yang tampan memancarkan aura kebahagiaan. Ibu yang dulu seolah tak pernah memberi restu untukku, sekarang justru berbalik 180 derajat.Dia begitu menyayangiku setelah rencana buruk dan sandiwara menantu kesayangannya itu terbongkar semuanya. Cinta dan perhatian ibu padaku semakin bertambah saat anak pertamaku lahir. Ibu terli
"Mungkin memang benar kata Ibu. Weton kita nggak cocok. Makanya, hampir sebelas tahun berumah tangga, kita belum juga dikaruniai momongan. Aku ingin membahagiakan ibu di usia senjanya, Lin. Dia hanya ingin seorang cucu dariku. Pilihanmu sekarang hanya ada dua, cerai atau kamu mau dimadu."Kalimat Mas Gilang detik ini, sungguh bagai petir yang menyambar tiba-tiba, tanpa adanya mendung ataupun hujan. Hatiku berdebar tak karuan. Ada perasaan sedih, kesal dan terluka yang tak bisa kugambarkan. Air mata luruh seketika. Aku tak mampu menjawab sepatah kata pun. Suara seolah tercekat di tenggorokan. Selama sebelas tahun bersama, hampir tak ada pertengkaran hebat terjadi dalam rumah tanggaku. Hanya pertengkaran-pertengkaran kecil yang wajar terjadi, sebagai bumbu dalam rumah tangga.Jika dia marah, aku segera minta maaf. Begitu sebaliknya, bila aku mulai menunjukkan wajah tak enak, Mas Gilang selalu berusaha merayuku dengan caranya. Membuatku kembali tersenyum dan tertawa. Minta maaf atas kek
"Beri aku waktu tiga hari, Mas. Aku ingin istikharah dulu, minta yang terbaik padaNya. Karena baik menurutku belum tentu baik menurutNya. Pun sebaliknya." Ucapanku pada Mas Gilang tiga hari yang lalu. Dia mengangguk pelan, mengiyakan. Dia tampak menyugar rambutnya kasar, frustasi. Lalu membanting tubuhnya di atas sofa.Matanya berkaca-kaca menatapku. Aku sengaja melengos, tak ingin kutunjukkan kepedihanku ini di hadapannya. Meskipun aku yakin, dia tahu aku benar-benar rapuh. Wajah ibu terlihat kesal, karena aku tak memberikan jawaban saat itu juga. Namun aku tak peduli, masuk kamar dan membenamkan wajahku di bantal. Hampir dua malam aku tak bisa memejamkan mata, rasanya terlalu takut menghadapi pagi. Waktu seolah berputar begitu cepat. Biasanya, saat aku gundah gulana seperti ini, Mas Gilang selalu hadir di sisi. Mengusap pelan rambutku dan memberiku bermacam nasehat yang membuatku lebih tenang. Namun, sejak keributan itu dia memilih tidur di kamar tamu. Seolah tak ingin menggangg
"Aku akan mempertemukanmu dengannya besok, Lin. Untuk hari ini, biarlah kita fokus menata hati." Mas Gilang pergi meninggalkanku sendiri. Ibu masih duduk tak jauh dari tempatku. "Kalau kamu memang nggak mau cerai, kamu harus siap Lin, jika nantinya suamimu lebih sering bersama madumu dibandingkan sama kamu."Aku menoleh cepat. Geram rasanya mendengar kata-kata yang keluar dari bibir ibu. Bukannya memberiku semangat justru membuat hatiku makin tak karuan. "Apa maksud ibu? Kalau mau poligami ya harus adil, Bu. Bukan berat sebelah. Memangnya ibu senang kalau anak semata wayang ibu menjadi calon penghuni neraka karena ketidakadilannya pada istri-istrinya?."Kutekankan kata adil di sana, biar ibu paham. Ibu mencibir, terlihat bibirnya melengkung ke bawah. "Wajar to Lin, kalau lebih sayang sama yang baru. Bukannya lebih baik begitu? Biar mereka cepat memberikan ibu cucu."Lagi-lagi itu jawaban ibu. Membuatku muak. "Cucu. Cucu. Cucu lagi yang ibu pikirkan. Ibu tak pernah memikirkan baga
"Dewi? Ngapain kamu di sini?" tanyaku padanya. Seakan tak percaya perempuan itu benar-benar ada di hadapanku detik ini. Dia tersenyum sinis sambil melirik, tanpa menjawab pertanyaanku, duduk begitu saja di sebelah Maya, calon maduku. Pertemuan yang tak pernah kusangka sebelumnya. Dia tak mempedulikanku, menganggap seolah tak ada aku dalam ruangan ini. Benar-benar nggak ada sopan santunnya bertamu di rumah orang. Perempuan seperti itukah yang diidamkan ibu menjadi menantunya?"Ohya Lin, buatin teh buat mereka to. Sekalian bawakan camilannya," perintah ibu padaku. "Kenapa harus Lina, Bu?," jawabku sekenanya. Aku masih kesal dengan sikap Dewi kala itu, apalagi saat ini. Tak pernah ada rasa bersalah di hatinya sudah mempermalukanku waktu itu. Bahkan sekedar kata maaf pun enggan dia ucapkan. "Lantas siapa kalau bukan kamu, Lin? Ibu? Atau mereka kamu suruh bikin teh sendiri?" Ucapan ibu naik beberapa oktaf. Aku melirik sekilas. Beranjak dari tempat duduk, tanpa mengucap sepatah kata. La
Cahaya mentari menembus celah-celah jendela kamar. Kubuka gorden jendela. Wangi mawar semerbak menyambut pagi. Semilir angin membelai wajah seketika. Wajah yang mungkin begitu sembab karena menangis semalaman. Hah! Harusnya memang aku tak terlalu sesedih itu. Bukankah aku sendiri yang memilih jalan ini? Lantas kenapa aku merasa tersakiti karena pilihanku sendiri?! Bodoh! Kuremas kasar lengan piyama. Pagi yang biasanya begitu kunanti dan kunikmati. Namun tidak untuk pagi ini. Pagiku kini terasa begitu berbeda. Tak kulihat senyumnya saat membuka mata. Tak kudengar dengkur lirihnya ataupun lengan kekarnya yang melingkar di perutku saat kubuka jendela. Pagi ini, mungkin adalah pagi yang tak akan pernah kulupakan sepanjang hidupku. Karena akan menjadi saksi pernikahan kedua suamiku. Di sini. Di rumah peninggalan ibuku. Rumah bertingkat dua yang menyimpan banyak kenangan. Kenanganku bersama orang tuaku, sekaligus kenangan indah dan romantis bersamanya. Seandainya ibu masih ada, aku yaki
Acara pernikahan itu sudah selesai. Para tamu mulai keluar dari rumah ini. Sesederhana itu, sekedar ijab qabul tanpa resepsi. Benarkah Maya, gadis 21 tahun itu rela pernikahannya tanpa resepsi? Benarkah dia ikhlas pernikahannya digelar sesederhana itu? Bahkan tanpa mengundang teman-teman sebayanya satu pun? Apakah dia sengaja menyembunyikan status pernikahannya dari kawan-kawannya? Malu karena hanya menjadi istri kedua? Sehingga menerima begitu saja saran Mas Gilang untuk melangsungkan pernikahannya dengan sangat sederhana? Mungkin saja begitu. Terserah, aku tak ingin ikut campur soal itu. "Mas ... nanti kita tinggal di mana? Mas sudah nyiapin rumah kan buat aku?" Pertanyaan gadis itu sok manja dan mendayu-dayu membuatku ingin muntah saja. Seganjen itukah dia? "Mas, sudah siapin rumah baru kan buat aku?," tanyanya lagi. Heh! Rumah baru katanya? Duit darimana, Non. Bahkan untuk memberi nafkah bulanan buatmu saja nanti kerepotan. Aku tersenyum kecut. Makanya sebelum mengambil keputu