Share

Bab 6

Acara pernikahan itu sudah selesai. Para tamu mulai keluar dari rumah ini. Sesederhana itu, sekedar ijab qabul tanpa resepsi. Benarkah Maya, gadis 21 tahun itu rela pernikahannya tanpa resepsi? Benarkah dia ikhlas pernikahannya digelar sesederhana itu? Bahkan tanpa mengundang teman-teman sebayanya satu pun? 

Apakah dia sengaja menyembunyikan status pernikahannya dari kawan-kawannya? Malu karena hanya menjadi istri kedua? Sehingga menerima begitu saja saran Mas Gilang untuk melangsungkan pernikahannya dengan sangat sederhana? Mungkin saja begitu. Terserah, aku tak ingin ikut campur soal itu. 

 

"Mas ... nanti kita tinggal di mana? Mas sudah nyiapin rumah kan buat aku?" Pertanyaan gadis itu sok manja dan mendayu-dayu membuatku ingin muntah saja. Seganjen itukah dia? 

 

"Mas, sudah siapin rumah baru kan buat aku?," tanyanya lagi. 

 

Heh! Rumah baru katanya? Duit darimana, Non. Bahkan untuk memberi nafkah bulanan buatmu saja nanti kerepotan. Aku tersenyum kecut. Makanya sebelum mengambil keputusan, cari tahu dulu bagaimana keadaan calon suamimu. Bukan hanya manggut-manggut mengiyakan, merasa lebih cantik, lebih baik dan lebih diharapkan! 

 

Mas Gilang bergeming. Menoleh ke arahku yang akan masuk ke kamar. 

 

"Lin ...."

 

"Sudahlah, Mas. Kalian honeymoon saja sana. Aku baik-baik saja," jawabku singkat. Masuk kamar dan menutup pintu perlahan. Tak kuberi kesempatan Mas Gilang untuk bicara apapun. Aku malas. 

 

"Tiga hari ke depan, aku nggak di rumah ya Lin," izin Mas Gilang lagi. 

 

Aku diam saja. Ternyata perih juga rasanya, ya? Kukira aku bisa melewati semuanya dengan cukup mudah ternyata dugaanku salah. Sulit. Sangat sulit! 

 

"Kamu baik-baik di rumah ya, Lin."

 

Tak kujawab ucapannya. Rasanya masih setengah percaya setengah tidak, kalau Mas Gilang memang benar-benar sudah memiliki cinta yang lain. 

***

Malam ini kulewati dengan sepi. Jarum jam menunjuk pukul satu dini hari. Namun mataku juga belum mampu terpejam. Entah apa yang kupikirkan. Bayangan-bayangan masa lalu tak pernah berhenti mondar-mandir di otakku. 

Berulang kali kutepis namun selalu saja memenuhi benak, membuat dadaku terasa semakin sesak. 

 

Apakah aku kuat jika harus terus-menerus berbagi suami? Bahkan baru semalam ditinggalkannya aku merasa sesakit ini. Terlalu cintakah aku padanya?

 

Mungkin ... karena selama sebelas tahun bersama, tak pernah sekalipun dia mengkhianati cintaku. Tak pernah sekalipun dia membuatku begitu terluka. Namun sekalinya dia berbuat, ternyata rasanya sesakit ini. 

 

Hahh! Kuhembuskan napas kasar. Kudengar suara seseorang ngobrol di luar kamar. Sepertinya ibu masih terjaga. Lampu ruang tengah mendadak menyala, mungkin dia ada di sana. 

 

"Kenapa lagi kamu, Lang?" Samar-samar kudengar suara ibu. Entah kenapa aku begitu penasaran dengan percakapan mereka lewat henfon itu. 

 

Kudekatkan telinga ke daun pintu. Berharap masih bisa mendengarkan obrolan mereka. Apalagi malam ini begitu hening, suara sepelan apapun masih cukup terdengar di telingaku yang normal.

 

"Semua sudah terjadi, Lang. Mau tidak mau kamu harus bisa mencintai istri barumu. Lagian apa sih yang kamu andalkan dari istri mandulmu itu?" 

 

Mulut sama hati ibu mertuaku memang sama kotornya. Ngomong seenaknya tanpa pernah peduli perasaan orang lain. 

 

"Ibu nggak mau tahu ya, Lang. Pokoknya nanti setelah Maya selesai datang bulan, kamu harus bisa menunaikan kewajibanmu. Berikan ibu cucu!" Ucapan ibu semakin keras terdengar. 

 

"Halah sudah. Kamu anak satu-satunya ibu, Lang. Cuma kamu yang bisa kasih ibu cucu. Nggak ada yang lain lagi." Sepertinya ibu menutup sambungan telfonnya. 

 

"Bukannya seneng dicarikan istri baru yang masih gadis, cantik, muda pula malah bikin tensiku makin naik saja. Mungkin si Lina itu pakai susuk, makanya Gilang nggak mau lepas dari jeratnya!" 

 

Ibu kembali mengomel, makin ngelantur kemana-mana. Seambisius itukah dia untuk mendapatkan seorang cucu? Sampai tega mengorbankan perasaan menantunya atau mungkin mengesampingkan perasaan anaknya sendiri? 

 

Kepalaku mendadak pusing memikirkan semuanya. Cekut-cekut tak karuan. Apalagi aku belum jua bisa memejamkan mata sampai selarut ini. Mungkin aku memang harus memaksa netraku untuk terlelap. Mencoba untuk tidur meskipun pikiran masih tak tentu arah. Berharap pagi nanti kepalaku sudah tak sepening ini. 

*** 

Aku masih mematut di depan cermin hias di kamar, dengan seragam mengajar dan tas kulit di tangan.

"Buka pintunya, Lin. Ibu mau bicara," ucap ibu dari balik pintu. 

 

Mau ngapain dia sepagi ini? Malas sekali aku ribut pagi-pagi buta seperti ini. Terpaksa kubuka pintu karena ketukannya tak juga berhenti sedari tadi. 

 

"Ada apa, Bu?," tanyaku datar. Melangkah menuju kulkas mencari selai kacang dan roti tawar untuk sarapan. 

 

"Semalaman kamu tidur, emang nggak capek, Lin? Sampai bikin sarapan saja nggak mau," ucap ibu, menarik kursi di depanku dan mendudukinya.

 

Dahiku mengerut. Apa maksudnya? 

 

"Kamu nggak masak buat ibu?" 

 

"Oohh, ibu lapar?," tanyaku singkat, masih sibuk mengoles selai di atas sepotong roti.

 

"Kamu kira ibu robot yang nggak punya nafsu lapar ataupun haus?" Ucapan ibu meninggi. Aku hanya melirik sekilas. 

 

"Aku kira seperti itu, Bu. Karena ibu juga nggak punya hati," jawabku sekenanya. 

 

"Makin kurang ajar kamu ya, Lin. Lihat saja nanti, kalau Gilang sudah bahagia dengan Maya, kamu pasti akan diceraikan."

Hampir saja tersedak mendengar ucapan ibu, beruntung aku bisa menahannya. 

"Cerai?"

 

"Iya. Kenapa? Kamu takut diceraikan anak ibu yang pinter dan ganteng itu?"

 

Aku tersenyum kecut mendengarnya. Ibu bersandar di kursi sambil melipat dada. Sok lebih berkuasa rupanya.

 

"Tolong jaga ucapan ibu, sebelum aku berubah pikiran. Kalaupun aku nanti tak kuat, aku yang akan minta cerai. Silakan ibu dan menantu kesayangan ibu itu bertepuk tangan menyaksikan."

 

Tak kuhiraukan wajahnya yang mendadak berubah. Kaget. Mungkin dia tak pernah menyangka aku akan berkata demikian padanya. Kuteguk air putih di gelas dan merapikan tempat makan.

 

"Ada banyak sayuran di kulkas, kalau ibu lapar, ibu bisa memasaknya sendiri."

 

Kumasukkan kembali sisa roti tawar dan selai ke dalam kulkas. Tanpa perlu berpamitan, aku melangkah ke luar rumah. Kukeluarkan motor maticku ke teras. 

 

"Oh ya, Bu." Aku melongok ibu yang masih terus mengomel. Dia menoleh cepat.  

 

"Mulai sekarang, aku stop jatah bulanan ibu. Silakan ibu minta jatah bulanan sama menantu kesayangan ibu itu."

 

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status