Cahaya mentari menembus celah-celah jendela kamar. Kubuka gorden jendela. Wangi mawar semerbak menyambut pagi. Semilir angin membelai wajah seketika. Wajah yang mungkin begitu sembab karena menangis semalaman.
Ya, karena kami memang beda jurusan. Aku memilih jurusan ilmu pendidikan dan keguruan sedangkan dia memilih jurusan managemen bisnis.
Acara pernikahan itu sudah selesai. Para tamu mulai keluar dari rumah ini. Sesederhana itu, sekedar ijab qabul tanpa resepsi. Benarkah Maya, gadis 21 tahun itu rela pernikahannya tanpa resepsi? Benarkah dia ikhlas pernikahannya digelar sesederhana itu? Bahkan tanpa mengundang teman-teman sebayanya satu pun? Apakah dia sengaja menyembunyikan status pernikahannya dari kawan-kawannya? Malu karena hanya menjadi istri kedua? Sehingga menerima begitu saja saran Mas Gilang untuk melangsungkan pernikahannya dengan sangat sederhana? Mungkin saja begitu. Terserah, aku tak ingin ikut campur soal itu. "Mas ... nanti kita tinggal di mana? Mas sudah nyiapin rumah kan buat aku?" Pertanyaan gadis itu sok manja dan mendayu-dayu membuatku ingin muntah saja. Seganjen itukah dia? "Mas, sudah siapin rumah baru kan buat aku?," tanyanya lagi. Heh! Rumah baru katanya? Duit darimana, Non. Bahkan untuk memberi nafkah bulanan buatmu saja nanti kerepotan. Aku tersenyum kecut. Makanya sebelum mengambil keputu
Pov : Gilang Ada tiga mobil yang masuk bengkel minta diservis. Alhamdulillah, meskipun minggu ini belum banyak customer yang datang tapi aku yakin bulan-bulan selanjutnya pelanggan akan bertambah. Yang paling penting sekarang adalah memberikan pelayanan semaksimal mungkin agar mereka tak kecewa. Hampir delapan bulan berlalu, memang belum ada hasil signifikan dari usaha bengkel ini. Jangankan balik modal atau bisa untuk tabungan. Bahkan hasilnya baru cukup untuk membayar gaji para karyawan.Tapi tak apa, aku harus bersyukur. Berapapun hasilnya yang penting halal. Sebenarnya, ada rasa bersalah di dalam dada karena tak bisa memberikan nafkah yang layak untuk istriku, Lina. Namun apa boleh buat, aku sudah berusaha maksimal hanya saja baru segitu rizki yang Dia kirimkan. Bersyukur aku memiliki istri sepertinya, dia tak pernah menuntut macam-macam, selalu mendukungku sepenuh hati di saat aku terpuruk dan jatuh, bahkan rela menyisihkan sebagian gajinya untuk jatah bulanan ibuku, yang seh
Pov Gilang (2) Sejak permintaan serius ibu kemarin aku makin nggak tenang. Aku takut Lina tahu keinginan ibu saat ini. Tiap kali dia mendekat, aku selalu berusaha menghindar. Aku takut keceplosan bicara jika berada di sampingnya. Karena tiap kali banyak pikiran, kadang ucapan dan emosiku tak terkontrol. Berulang kali dia tanya kenapa? Aku hanya menjawabnya asal. Capek lah, pusing lah atau ngantuk. Hanya itu alasanku, makin membuat gurat kebingungan di wajahnya yang ayu. Meski akhir-akhir ini aku sedikit cuek, tapi dia tak pernah kesal ataupun marah bahkan senyum manis itu masih terus terukir di kedua sudut bibirnya. Lina ... Betapa beruntungnya aku memilikimu. Kamu yang dulu begitu banyak disukai para lelaki. Kamu yang bahkan rela menolak Adam-- laki-laki yang dijodohkan ibumu itu, hanya demiku. Padahal dari segi wajah dan finansial, mungkin dia jauh lebih di atasku. Tak pernah menyangka bahwa akulah pemenangnya. Aku yang saat itu masih kuliah semester akhir, dengan polos
Suasana sekolah kembali lengang. Murid-murid sudah pulang. Namun, aku begitu enggan beranjak dari kursi kelas empat ini. Masih duduk termangu, memikirkan rumah tanggaku.Hari ini, jadwal Mas Gilang pulang. Entah ekspresi apa dan bagaimana nanti yang akan kutunjukkan. Bingung. Meskipun jalan ini, aku yang memilihnya sendiri, namun jujur saja aku belum sepenuhnya bisa menerima dan memahami. Tapi ... Jika aku terus merasa tersakiti, bukankah aku justru lebih berdosa? Memaksakan sesuatu yang tak mampu kuterima? Mataku kembali berkaca-kaca mengingat semuanya. Kudengar derap langkah ke luar dari ruang guru. Mungkin beberapa guru mulai meninggalkan sekolah. "Aku kasihan lihat Bu Lina. Sejak suaminya menikah lagi, dia terlihat berbeda. Sering melamun sendirian di kelas saat anak-anak pulang. Kadang juga duduk aja di mushola sampai sekolah sepi." Kudengar suara Bu Ika membicarakanku. Kuhela napas sesak."Lagian siapa suruh mau dimadu? Bu Lina sendiri yang memilih, kan? Kalau saya jadi di
Langit begitu gelap. Suara guruh terdengar riuh, sesekali menggelegar. Rintik hujan pun mulai datang mengguyur. Perlahan membasahi bumi. Aroma tanah yang khas ketika hujan mulai mengusik Indra penciuman. Aku menyukai itu. Merindukan damai dan tenangnya di tengah semilir angin yang sesekali menerpa wajah.Kumainkan gemericik air yang turun dari langit dengan telapak tangan. Membiarkannya terpercik ke lengan dan baju yang kukenakan. Tak lupa menengadahkan tangan ke atas, menangkap air yang mulai deras mengguyur lalu membasuhkannya ke wajah. Sejuk dan dingin yang terasa berbeda. Lagi-lagi aku menyukainya. Cukup lama aku di sini. Terdiam di sebuah gazebo taman belakang, ditemani secangkir teh hangat dan mi telur favoritku. Tak kupedulikan Mas Gilang yang sedari tadi duduk di bangku teras, menatapku. Tiba-tiba Maya datang membawakan nampan berisi dua cangkir dan camilan. Mungkin teh atau kopi. Entahlah. Lalu, muncul ibu dari belakang. Bicara, entah apa. Aku pura-pura tak melihat. Menikma
Alarm handphone berbunyi tepat di samping kepala. Kukucek mata perlahan lalu mematikan alarm yang begitu berisik di telinga. Setelahnya menata selimut dan bantal kemudian bergegas keluar kamar. Kulihat Mas Gilang tidur di sofa tanpa bantal dan selimut. Entah mengapa, aku sebenarnya nggak tega melihatnya seperti itu. Tapi ... rasa sebal dan cemburu itu masih saja merajai otakku.Aku masih setengah menerima, setengah menolak pernikahan keduanya! Kadang kuberpikir, apakah Mas Gilang sudah tak mencintaiku lagi? Apakah aku sudah tak semenarik dulu? Apakah keturunan itu hanya sebagai alibi karena kebosanannya padaku? Apakah aku pernah membuatnya kecewa, hingga dia sengaja membalasnya dengan mengirimkaku seorang adik madu? Kuhembuskan napas kasar. Aku bergeming. Memandang wajah Mas Gilang yang begitu nyenyak terlelap. Dia terlihat tenang dan damai, meski gurat beban masih tampak jelas di wajah tampannya. Aku tak tahu kenapa dia bisa setenang itu. Padahal biasanya dia tak bisa terlelap ta
Adzan Subuh berkumandang. Mas Gilang, mengenakan koko dan sarungnya, bersiap untuk ke masjid. Aku beranjak masuk kamar mandi, mengguyur tubuh dengan air yang dingin. Perlahan, kurasakan kesegarannya. Hatipun terasa lebih tenang saat berada di bawah guyuran shower. Selesai membersihkan badan dan mengenakan daster kesayangan, aku mematut diri sebentar di depan kaca. Mengamati wajahku yang mungkin mulai menua. Kuhela napas panjang lalu mengambil mukena di lemari. Tak ada tempat berbagi selain DIA Sang Pembolak-balik hati. Gegas kujalankan salat subuh dan berdoa agar bisa lebih ikhlas menjalani takdirNya. Usai menjalankan kewajiban, aku keluar kamar. Hening. Tak ada suara apapun di rumah ini selain denting jam dan gesekan kakiku dengan lantai saat melangkah. Ibu dan Maya sepertinya belum juga terjaga. Kubiarkan sesukanya. Aku tak peduli dengan apapun yang mereka lakukan. Kuseduh dua cangkir teh dan memanggang roti dengan selai kacang kesukaanku, sedangkan Mas Gilang lebih senang dengan
Kulihat Mas Gilang keluar kamar. Dia sudah cukup rapi dengan memakai kaos kerah berwarna putih polos dan celana levis panjang hitam ditambah jam tangan silver di pergelangan tangan kirinya. Laki-laki itu menyugar rambutnya pelan, lalu melangkah perlahan menghampiriku."Lin, aku mau ke rumah Mas Vino dulu sebelum ke bengkel. Kemarin dia nggak masuk kerja. Istrinya melahirkan katanya. Ini mau kasih sedikit 'uang shampoo'. Sekalian tanya soal kontrakan buat Maya," pamit Mas Gilang padaku. Aku yang masih sibuk memakaikan bros ke hijab. "Aku nggak ikut ke rumah Mas Vino nggak apa-apa, kan, Mas?" tanyaku padanya. Menghentikan aktivitasku sejenak. Kutatap wajah tampan Mas Gilang sesaat lalu kembali mematut di depan cermin, membenarkan hijabku yang masih sedikit berantakan."Nggak apa-apa. Lagipula kamu sudah mau berangkat juga, kan?" Tak membalas sepatah katapun, aku hanya mengangguk sembari tersenyum tipis.Hari ini ada test harian untuk anak kelas lima, jadi aku sengaja berangkat agak pa