Share

Bab 5

Cahaya mentari menembus celah-celah jendela kamar. Kubuka gorden jendela. Wangi mawar semerbak menyambut pagi. Semilir angin membelai wajah seketika. Wajah yang mungkin begitu sembab karena menangis semalaman. 

Hah! Harusnya memang aku tak terlalu sesedih itu. Bukankah aku sendiri yang memilih jalan ini? Lantas kenapa aku merasa tersakiti karena pilihanku sendiri?! Bodoh! 

 

Kuremas kasar lengan piyama. Pagi yang biasanya begitu kunanti dan kunikmati. Namun tidak untuk pagi ini. Pagiku kini terasa begitu berbeda. Tak kulihat senyumnya saat membuka mata. Tak kudengar dengkur lirihnya ataupun lengan kekarnya yang melingkar di perutku saat kubuka jendela. 

 

Pagi ini, mungkin adalah pagi yang tak akan pernah kulupakan sepanjang hidupku. Karena akan menjadi saksi pernikahan kedua suamiku. Di sini. 

 

Di rumah peninggalan ibuku. Rumah bertingkat dua yang menyimpan banyak kenangan. Kenanganku bersama orang tuaku, sekaligus kenangan indah dan romantis bersamanya. Seandainya ibu masih ada, aku yakin dia tak akan pernah rela rumahnya dijadikan tempat ijab qabul menantunya-- dengan istri barunya.

 

Dia tak akan pernah ridho, menantu satu-satunya harus membagi cinta untuk anak kesayangannya dan istri keduanya. Mungkin, mulai detik ini aku memang harus terbiasa, untuk menerima jika dia akan sering telat pulang atau bahkan tak pulang seharian.

 

Aku harus belajar dan terbiasa, jika dia tak memberiku kabar berjam-jam atau berhari-hari karena sibuk dengan istri barunya. Aku harus bisa menata hati, jika dia memberikan panggilan sayang atau cinta pada orang lain. Selain aku!

 

Dia ...

 

Sebentar lagi, tak akan menjadi milikku sendiri. Cinta dan waktunya jelas akan terbagi. Membayangkan semua itu, ada nyeri di dalam hati. Namun, waktu tak akan pernah bisa kembali. Semua sudah ada di depan mata. Siap tidak siap, aku harus bisa menghadapi semuanya.  

 

Mencoba untuk ikhlas rasanya memang belum bisa. Tak semudah itu, apalagi aku awam soal agama. Bahkan memiliki adik madu, tak pernah terbesit sedikit pun di benakku. Semua ini serba mendadak dan terburu-buru. Bagaimana mungkin aku bisa ikhlas secepat itu?

 

Segera kuguyur badanku di bawah shower, sejenak kurasakan ketenangan. Kupakai gamis dusty pink yang dia belikan tiga bulan yang lalu dari sebuah toko onlen sebagai hadiah karena aku selalu membuatnya bahagia, katanya. 

 

Kata-kata yang kini terdengar begitu tabu dan semu!

 

Di luar kamar, terdengar kehebohan mereka mempersiapkan segala sesuatu. Seolah menganggap aku tak pernah ada. Apalagi ibu, sejak semalam dia tak ada niat sedikitpun untuk sekedar bertegur sapa atau menanyakan keadaanku. 

 

Tak mengapa. Kita lihat saja. Aku pasti akan melakukan sesuatu. Tak akan terus-terusan mengalah dan diam saja diperlakukan semena-mena apalagi di rumahku sendiri. Aku akan membalas mereka dengan caraku. Mereka harus tahu, aku tak lagi sepolos dulu!

 

"Lin, kamu sudah siap-siap, kan?" Suara Mas Gilang kembali hadir di balik pintu. Entah sudah berapa kali dia memanggil namaku. 

 

"Lina ... semua sudah menunggu, termasuk pak penghulu." 

 

Mendengar kata penghulu rasanya otakku kembali kacau. Kutepuk pipiku berkali-kali. Ini nyata bukan sekedar halusinasi atau pun mimpi.

 

Sebelas tahun lalu, dengan wajah berseri-seri dan hati berbunga-bunga kulirik Mas Gilang yang masih saja komat-kamit menghafalkan ijab itu. Seolah tak percaya diri, bahwa dia mampu melafalkan deretan kata itu hanya dengan sekali hafalan. 

 

Siapa yang tak kenal Mas Gilang? Dia termasuk mahasiswa berprestasi di kampus. Kuliah gratis karena mendapat beasiswa bahkan beberapa kali ditawari beasiswa S2 ke luar negeri, namun ditolak. Memilih lanjut di kampus dalam negeri sambil berwirausaha.   

 

Mas Gilang, laki-laki rupawan dan pintar yang digandrungi  banyak gadis di kampus. Namun entah mengapa justru dia memilihku, aku yang hanya beberapa kali bertemu dengannya secara tidak sengaja di perpustakaan. 

Ya, karena kami memang beda jurusan. Aku memilih jurusan ilmu pendidikan dan keguruan sedangkan  dia memilih jurusan managemen bisnis.  

Pertemuan dan perkenalan yang tak disengaja itu akhirnya menyatukan kami. Awalnya ibu menolak keputusanku karena ibu sudah menjodohkanku dengan Mas Adam-- anak tante Deby tetangga sebelah, yang kini bekerja di Korea. Tapi pada akhirnya ibu setuju, karena kebahagiaanku adalah kebahagiaannya juga, begitu katanya. 

 

Banyak sekali yang patah hati mendengar kabar pernikahanku waktu itu. Termasuk Dewi, sahabat kecil Mas Gilang di kampungnya. Namun aku yakin, jika kini mereka tahu pada akhirnya aku dimadu, mereka semua akan sujud syukur. Berterimakasih karena tak berjodoh dengan si tampan yang mereka idamkan dulu. 

 

Begitulah, karena tak ada seorang pun wanita yang benar-benar ikhlas dimadu, bukan? Pasti ada rasa sakit, perih dan sesak yang hadir menghampiri dan mengusik relung hati. Kecuali mereka yang memang tak lagi mementingkan kesenangan duniawi, jauh lebih fokus dengan ketenangan akhirat nanti. 

 

"Lina ... maafkan aku." 

 

Lagi-lagi kudengar kalimat itu dari bibirnya. Membuyarkan segala kenangan masa lalu yang baru saja hadir di pelupuk mata. 

 

"Ayo Lin, kita ke ruang tengah sama-sama," ucap Mas Gilang lagi. 

 

Kuusap tetesan air mata dengan telunjuk. Aku nggak boleh lemah di hadapan mereka. Bukankah ini semua aku yang memilih? Apapun yang terjadi nantinya, aku harus siap.

 

Kubuka pintu kamar, Mas Gilang berdiri di hadapanku dengan celana panjang, kemeja biru salur dengan jas hitamnya. Siapa yang memilihkan stelannya ini? Dia sendirikah atau ... 

 

"Ibu yang memilih dan menyiapkannya" ucapnya pelan, seolah bisa membaca apa yang ada di pikiranku. 

 

Biasanya aku yang selalu menyiapkan bajunya, namun entah kenapa hari ini aku malas. Sejak semalam, aku tak keluar kamar. Lagi-lagi karena tak ingin mendengar ceramah ibu yang tak terlalu penting itu. 

 

Mas Gilang menggamit lenganku menuju ruang tengah. Ruangan yang biasa kami pakai untuk bersantai ria sambil menikmati film bersama, kini sudah dipenuhi cukup banyak orang yang tak kukenal. 

 

Mereka duduk lesehan menghadap ke depan. Penghulu dan seorang laki-laki yang mungkin wali adik maduku pun, sudah hadir di sana. Kini mereka menatapku yang masih berdiri mematung di ujung ruangan dengan perasaan tak tentu. 

 

"Sudah bisa kita mulai sekarang?"

 

Pertanyaan penghulu sepertinya tertuju padaku, membuat banyak pasang mata menoleh ke belakang untuk menatapku. 

 

*** 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tutik Yunia
Lina, kamu yang goblok. Mertua kayak tai dilawan aja. Apalagi mertua dan suamimu miskin usir saja dari rumah itu. kalau mau nikah lagi cari rumah buat istri keduanya. nggak tahu malu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status