LOGINLembah Naga, gurun pasir, dan Hutan Lumut Merah telah lama menjadi kenangan yang kabur.
Tujuh belas tahun telah berlalu sejak Kael mendaki tangga dari bawah tanah Veridian, meninggalkan masa kecilnya di usia delapan tahun. Waktu telah bergerak, tetapi Darah Emas dan Ranah Grand Master telah mengikatnya pada janji keabadian. Kael kini berusia dua puluh lima tahun kronologis, tetapi Penglihatan sekilas di air yang tergenang menunjukkan wajah seorang pria muda yang terperangkap dalam kematangan awal usia dua puluhan—garis rahang yang tajam, mata yang tenang, tanpa sedikit pun kerutan atau kelelahan waktu. Selama tujuh belas tahun itu, ia hidup dalam bayangan, mengasah Ranah Sage-nya. Kael tidak pernah lagi menggunakan kekuatan penuhnya. Ia menyamar sebagai pengelana, pembuat peta, atau pedagang kecil, menjalankan misi pengawasan di seluruh wilayah, selalu bergerak, selalu mengawasi orang tuanya dari kejauhan tanpa pernah mendekat. Veridian kini hanyalah kenangan yang ia lindungi. Pekerjaan terbarunya membawa Kael ke Aelion, kota besar yang dibangun dari marmer putih dan batu obsidian hitam, kontras tajam dengan Veridian yang kuno dan kusam. Aelion adalah pusat kekuasaan Kerajaan. Kael berdiri di atap gedung tertinggi, menghadap alun-alun utama. Penciuman-nya menangkap udara yang dingin dan steril, berbau logam olahan dan parfum mahal—bau ambisi dan kekuasaan. Pedang Cahaya Perunggu kini tergantung di pinggangnya, sudah lama menjadi perpanjangan tubuhnya yang sempurna. Di sebelahnya berdiri Varthas, yang tampak semakin tua, memantau dari kejauhan melalui ilusi komunikasi. "Kau berhasil, Kael," suara Varthas terdengar halus di telinga Kael (Pendengaran Spiritual). "Ranah Sage-mu sudah matang. Kau mengalahkan konflik tanpa menumpahkan darah. Ini adalah puncak dari Ranah Fana—empat Ranah pertama yang masih terikat pada fisik dan strategi manusia." Kael mengalihkan pandangannya dari hiruk pikuk kota ke Pedang Cahaya Perunggu. "Tapi aku merasakan batas, Varthas. Ada lapisan energi yang menolakku. Aku bisa meramalkan langkah Raja, aku bisa melihat niat Ksatria Elite, tetapi aku tidak bisa menembus Kehendak Tertinggi yang mengatur semuanya." Varthas mengangguk dalam komunikasi spiritual mereka. "Itu adalah Gerbang Transmisi, Kael. Ranah Kelima. Ranah yang hampir tidak pernah disentuh sejak zaman kuno. Ranah yang melampaui Darah Emas dan Api Abadi. Untuk membukanya, kau harus melampaui Ranah Fana—kau harus menghubungkan kehendakmu dengan kosmos, bukan hanya dengan taktik di atas papan catur." Kael merasakan tekanan di dadanya. Kristal ungu ENS di jantungnya berdenyut keras, seolah mencoba mendobrak dinding tak terlihat. Perabaan-nya menangkap energi kosmik yang masif, berputar di atas Aelion seperti pusaran air yang tak terjangkau. Varthas memberi misi terakhirnya. "Untuk membuka Gerbang Transmisi, kau harus melakukan tindakan yang sepenuhnya altruistik, yang tidak terkait dengan misi orang tuamu atau Darah Emasmu. Itu adalah ujian murni dari kehendak yang tercerahkan." "Apa yang harus kulakukan?" tanya Kael. "Ada Lembaga Yatim Piatu kecil di sektor pasar yang kumuh. Mereka diserang oleh Serikat Pedagang karena menolak membayar upeti perlindungan. Konflik kecil. Pergi, lindungi anak-anak itu, dan carilah kehendak murni dalam aksi itu," perintah Varthas. Kael melompat dari atap. Ia bergerak melalui labirin Aelion, menggunakan Ranah Master-nya, tetapi kini gerakannya didikte oleh Ranah Sage—setiap langkah, setiap bayangan, dihitung. Aroma busuk dan kotoran pasar kumuh, berbeda dari aroma mahal di pusat kota, menyambutnya (Penciuman). Saat Kael tiba, ia melihat dua anggota Serikat Pedagang—pria yang kuat dan kotor—menghancurkan papan nama kayu Lembaga Yatim Piatu. Di dekatnya, seorang gadis kecil berusia sekitar lima tahun berdiri sendirian, matanya lebar karena ketakutan. Kael menyadari, inilah anak itu, gadis yang sebatang kara. Kael berhenti di bayangan gang. Dia merasakan niat dua pria itu—bukan membunuh, hanya intimidasi, tetapi gadis kecil itu berdiri sebatang kara, memancarkan keputusasaan murni. Kael menyadari: ini adalah kesempatan ujiannya.Lembah Naga, gurun pasir, dan Hutan Lumut Merah telah lama menjadi kenangan yang kabur. Tujuh belas tahun telah berlalu sejak Kael mendaki tangga dari bawah tanah Veridian, meninggalkan masa kecilnya di usia delapan tahun. Waktu telah bergerak, tetapi Darah Emas dan Ranah Grand Master telah mengikatnya pada janji keabadian. Kael kini berusia dua puluh lima tahun kronologis, tetapi Penglihatan sekilas di air yang tergenang menunjukkan wajah seorang pria muda yang terperangkap dalam kematangan awal usia dua puluhan—garis rahang yang tajam, mata yang tenang, tanpa sedikit pun kerutan atau kelelahan waktu. Selama tujuh belas tahun itu, ia hidup dalam bayangan, mengasah Ranah Sage-nya. Kael tidak pernah lagi menggunakan kekuatan penuhnya. Ia menyamar sebagai pengelana, pembuat peta, atau pedagang kecil, menjalankan misi pengawasan di seluruh wilayah, selalu bergerak, selalu mengawasi orang tuanya dari kejauhan tanpa pernah mendekat. Veridian kini hanyalah kenangan y
Beberapa bulan berlalu di bawah tanah Veridian. Kael, yang kini semakin stabil dalam Ranah Sage yang langka, tidak lagi hanya memetakan gerakan musuh; ia mulai meramalkan gerakan tersebut. Varthas membawa pelatihan taktik ke level tertinggi: Permainan Perang Spiritual. Varthas menciptakan sebuah ruang di ujung terowongan, dindingnya diukir dengan pola-pola rumit. Ruangan itu berfungsi sebagai papan catur raksasa. Bidak yang mereka gunakan adalah gambaran spiritual dari Pasukan Tentara Kerajaan dan Serikat Pedagang—dua faksi yang diam-diam bersaing di Veridian. Varthas memberi Kael skenario: "Kerajaan telah mengetahui adanya jalur penyelundupan di bawah Gerbang Timur. Kerajaan mengirimkan lima unit ksatria elit untuk menutupinya. Serikat Pedagang hanya memiliki tiga unit penjaga, tetapi mereka memiliki kontrol terowongan." Kael harus menggerakkan bidak spiritualnya, menggunakan Perabaan Spiritual untuk merasakan dampak dari setiap gerakan. Setiap gera
Di bawah rumah kecil yang baru mereka tempati, Varthas telah membuka jalan rahasia, sebuah tangga spiral gelap yang memimpin ke jaringan terowongan kuno. Udara di bawah sana dingin dan lembab, berbeda dengan kehangatan kota di atas. Penciuman Kael segera menangkap bau yang asing: campuran lumut tua, tanah basah, dan aroma manis samar dari sisa-sisa sihir yang sudah lama mati—bukti bahwa terowongan ini dulunya adalah tempat Magis. "Kota Veridian dibangun di atas kota tua, dan kota tua dibangun di atas rahasia," jelas Varthas, menyalakan lentera minyak kecil yang cahayanya berkedip, memantul di dinding batu yang basah. "Ranah Sage dimulai di sini, Kael. Kau akan meninggalkan Pedang Besi. Senjatamu sekarang adalah Pedang Cahaya Perunggu, dan yang lebih penting, akalmu." Pedang Cahaya Perunggu terasa ringan dan hampir tidak nyata di tangan Kael. "Ranah Sage," lanjut Varthas, suaranya dipenuhi ketegasan, "adalah tingkatan yang hampir tidak pernah disentuh manusia b
Varthas berdiri di depan Kael di Lembah Naga. Keheningan yang menggantikan raungan kekacauan ENS terasa berat. Kael, berusia delapan tahun, kini berdiri dengan keseimbangan sempurna, Pedang Besi di tangan kanannya. Lengan kirinya kini ditutupi lapisan kristal ungu samar di bawah kulitnya—bekas pemadatan Energi Naga Sisa—lambang Ranah Grand Master yang baru ia capai. "Tiga Ranah pertama telah selesai, Kael," ujar Varthas, suaranya kembali parau, menahan beban usianya. "Kau menguasai Darah Emas, tetapi itu tidak akan cukup di antara manusia. Mereka tidak akan menyerang dengan aura, melainkan dengan tipu daya, intrik, dan perang. Ranah Keempat, Ranah Sage, menantimu. Kau harus menjadi Sword Sage—seorang ahli strategi yang mampu mengalahkan musuh sebelum mereka sempat mengangkat pedang." Varthas mengulurkan tangannya, dan sekejap, aura emas membungkus keduanya. Ini adalah lompatan terakhir. Kael merasakan pusaran energi membalikkan perutnya (Perabaan), diikuti rasa
Varthas dan Kael segera meninggalkan tempat Kael menguasai jalur aura netral, bergerak menuju keheningan mencekik di jurang yang disebut Kawah Penghisap. Jurang itu berbentuk cekungan curam, dindingnya berlapiskan mineral kehitaman yang mengkilap di bawah kabut. Suasananya gelap, sunyi, dan dingin. "Kau telah menolak yang kotor, Kael. Tapi Darah Emas juga harus tahu bagaimana cara menarik yang murni," ujar Varthas, suaranya kini terdengar seperti gemuruh batu yang tergesek, penuh otoritas. "Ranah Grand Master ini berlanjut. Tahap berikutnya menuntutmu untuk menarik Esensi Kuno sambil menolak Racun Spiritual." Rey, yang kini berusia delapan tahun, melompat ke dasar kawah, di atas lumpur tebal yang dingin dan kenyal. Rasa jijik dan kotor terasa saat lumpur merayap naik, memberikan Perabaan yang mengganggu. Varthas menjelaskan bahwa Racun Spiritual di kabut merah itu sangat pekat, tetapi di dalamnya tersembunyi Esensi Kuno. Pedang Besi Kael ditaruh di sampingnya s
Rey, yang kini berusia delapan tahun dan dikenal sebagai Kael selama pelatihan, berdiri di hadapan lingkungan pelatihan barunya. Mereka telah melompat jauh dari Neraka Sunyi Gurun Kematian. Panas yang membakar kulitnya digantikan oleh kelembaban yang mencekik dan dingin. Mereka berada di Hutan Lumut Merah, sebuah belantara tua yang dipagari oleh pepohonan bermetamorfosis, tumbuh di atas bekas medan perang Ranah Kekuatan kuno. Kabut tebal berwarna kelabu susu menggantung rendah, membatasi pandangan hingga hanya beberapa meter. Penciuman Kael segera menangkap aroma apek yang pekat, dominasi bau belerang dingin yang bercampur dengan fermentasi lumut basah—bau kematian spiritual yang mengudara. Udara lembab ini bahkan memiliki Pengecapan yang pahit dan metalik di lidahnya, seolah ia menghirup udara yang berkarat. Varthas berjalan di depan Kael. Jubah kulit serigalanya yang lusuh tampak menyatu dengan warna kelabu hutan. "Kau telah mencapai Ranah Master







