PoV UlfaAku mengibaskan ujung baju yang basah terkena cipratan air saat menyiram tanaman hias kesayangan ibu mertuaku yang bernama Yulia itu. Kubiarkan Zanna asyik nonton youtube di ponsel sementara aku melanjutkan pekerjaan yang tiada habisnya ini. Entah apa jadinya jika di dunia ini tidak tercipta alat super canggih yang kini beralih tugas menjadi layaknya baby sitter itu. Anak semata wayangku itu bisa menghabiskan waktu hingga berjam-jam sehari hanya untuk memegang ponsel. Dan aku merasa sangat diuntungkan karena semua pekerjaan mulai dari memasak, mencuci, menyapu mengepel, hingga melakukan tugas khusus dari Bu Yulia ini bisa selesai. "Jangan sampai lupa menyiram bunga-bunga ini, Ul," kata Bu Yulia seraya menunjuk tanaman yang entah apa namanya, yang jelas tanaman itu memiliki bunga yang sebentar lagi mekar. Aku hanya memutar bola mata malas dan mengendikkan bahu. Dia yang punya hobi mengoleksi tanaman hias kenapa aku yang harus repot. Setiap pulang dari bepergian, Bu Yulia
Hatiku mencelos melihat Ines bersama suaminya yang duduk di samping ibu yang sedang terlelap itu. Kebahagiaan jelas terlihat di raut wajahnya. Aku cemburu. "Mas Ramzi?" ucapku lirih. "Mas?" Ines menoleh. "Dia ini adik iparmu, Mbak. Kenapa kamu panggil Mas?" Aku menggigit bibir bawah. Panggilanku pada Ramzi dengan menyebut Mas tadi terjadi spontan. Aku pernah menjadi bagian dari hidupnya dan kini harus melihatnya dengan status sebagai adik ipar. Akan tetapi bukan Ulfa namanya jika tidak bisa menguasai diri. "Memangnya kenapa kalau aku memanggil Mas kepada suamimu?""Nggak apa-apa, Mbak. Panggil nama aja kayaknya lebih pas," kata Ines. "Dengarkan aku, ya, Nes. Kamu pikir Mas itu hanya untuk panggilan seorang istri kepada suaminya gitu? Dangkal banget pemikiranmu, Nes. Asal kamu tahu aku biasa memanggil Mas pada orang yang tidak kukenal. Yah, anggap saja aku tidak kenal dengan suamimu itu," ucapku lancar dan tanpa hambatan seperti jalan tol. Emosi yang sudah bersemayam dalam dada
PoV InesKami berjalan beriringan keluar dari ruang rawat inap. Awalnya aku ingin menginap menemani ibu, tetapi setelah melihat sikap Mbak Ulfa yang belum berubah membuatku harus mengurungkan niat. Samar aku merasakan isakan tangis yang tertahan. "Ibu kenapa menangis?" Aku menoleh dan mendapati pipi wanita yang sangat kusayangi itu sudah basah. Aku mengusap tangannya. "Ini pasti karena Mbak Ulfa, ya. Maafkan kakakku, ya, Bu,"Tanganku mengepal menahan amarah. Mbak Ulfa sudah membuat ibu mertuaku yang baik ini meneteskan air mata. Bu Mila pasti sudah sejak dari masih berada di dalam menahan air mata agar tidak tumpah dan begitu keluar ruangan baru bisa menangis sepuasnya. "Ibu kasihan padamu, Nes. Punya kakak kok judes seperti itu dan ucapannya itu, lho, pedasnya mengalahkan cabai setan. Sepertinya kalian tidak pernah akur, ya?" tanya ibu seraya mengusap pipinya yang basah. Aku hanya meringis. "Ibu tidak bisa membayangkan bagaimana dulu kalian berada dalam satu atap. Pasti ka
Kumandang azan Subuh dari musala rumah sakit membuatku terjaga. Kuangkat kepala perlahan lalu menggosok mata. Leherku sedikit pegal karena aku tidur dengan posisi duduk dan kepala telungkup di tepi ranjang. Mataku pedih sebab semalam harus menahan kantuk hingga larut. Kulihat Mas Ramzi juga tidur dengan posisi yang sama. Tangan kami terulur dan saling bertaut di atas tubuh ibu. Di hadapanku, ibu terbaring lemah. Ia tampak layu seperti tanaman kekurangan air. Kulihat tangannya bergerak perlahan lalu membelai rambutku. Hatiku menghangat seketika.Akhirnya impianku tercapai. Aku bisa sedekat ini dengan ibu meski harus menunggu ibu sakit. Semoga ini menjadi awal yang baik dan semoga setelah ini Ibu bisa mencurahkan kasih sayangnya padaku seperti yang ia berikan pada Mbak Ulfa. Semoga wanita yang di bawah kakinya terdapat surgaku itu tidak membenciku lagi. Aku tersenyum sendiri saat membayangkan betapa bahagia dipeluk dan dicium ibu dengan penuh kasih sayang. Anganku seakan melayang te
PoV InesDalam diam aku menangis dan hanya mengintip dari balik pintu kamar saat ibu makan dengan lahap ketika disuapi Mbak Ulfa. "Ibu harus makan yang banyak agar cepat sembuh," kata Mbak Ulfa seraya mendekatkan sendok berisi makanan ke mulut ibu yang langsung disambut ibu dengan membuka mulutnya lebar-lebar lalu mengunyah sambil tersenyum manis. Jujur, dari lubuk hati yang paling dalam, aku juga ingin melihat senyum ibu yang tulus itu untukku. Usai menyuapi ibu, wanita yang memakai kaus oblong ketat sehingga memperlihatkan lekuk tubuhnya itu mengambil obat dan segelas air putih untuk ibu. "Aku ingin merawat ibu sampai sembuh dan Mas Romi juga sudah memberi izin.""Ibu memang tidak salah memilih menantu. Romi itu tampan, kaya, dan pengertian. Kamu memang wanita paling beruntung di dunia," kata ibu dengan wajah berbinar. "Iya, Bu. Pokoknya aku tidak akan pulang sebelum ibu benar-benar sehat dan kembali ke rumah. Aku mana bisa tenang meninggalkan ibu dalam keadaan sakit seperti in
Flash back 20 tahun yang laluRasa capek dan pegal yang mendera hilang seketika berganti dengan senyum cerah saat makanan yang sedang kumasak sudah matang. Sup sayur brokoli campur sosis dengan tambahan bumbu kaldu jamur begitu harum menusuk indra penciumanku. Saatnya untuk menyuapi Ulfa, anakku satu-satunya itu pasti suka dengan masakanku hari ini. Dengan semangat empat lima, aku menggoreng naget ayam untuk lauk sambil sesekali mengawasi Ulfa kecil yang sedang bermain sendiri di ruang tengah. Biarlah ruangan yang didominasi warna putih itu berantakan bak kapal pecah asalkan aku bisa mengerjakan pekerjaan tanpa direcoki olehnya. "Waktunya makan, Sayang." Aku mendekati Ulfa dengan membawa sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauk. Bocah berusia sembilan belas bulan itu tersenyum melihat kedatanganku. Tangannya yang gemuk seperti roti pisang itu bergerak-gerak ke atas sambil cengengesan memperlihatkan giginya yang baru tumbuh enam buah itu sehingga terlihat menggemaskan. Meski ti
Tubuhku merosot di lantai. Aku bersandar di pintu, kulipat kedua tangan yang berada di atas lutut dan kugunakan untuk menyembunyikan wajahku. Cerita ibu membuat jiwaku terguncang. Dadaku terasa sesak hingga aku kesulitan bernapas. Samar kudengar suara isakan tangis dari dalam. Ibu, izinkan aku memelukmu untuk mengurangi beban berat ini. Aku tidak bisa membayangkan betapa menderitanya ibu selama dua puluh dua tahun ini. Aku mungkin tidak akan kuat menjalaninya. Aku memejamkan mata menikmati bulir panas di pipi. Arul? Nenek Hasma? Nama itu berkelebat di kepala. Apakah ini ada hubungannya dengan kebaikan wanita itu selama ini? Aku memandang kalung yang melingkar di leherku. Perhiasan emas seberat 10 gram ini adalah hadiah dari Nenek Hasma saat aku menikah dan tentu saja ia berpesan padaku agar tidak memberi tahu ibu jika ia telah memberi hadiah barang yang cukup berharga. "Apakah ini tidak berlebihan, Nek?" tanyaku waktu itu. Tanganku gemetar saat menerima kalung yang masih berada
"Jadi, kamu sudah tahu? Apakah Murni telah menceritakan semuanya?" tanya nenek Hasma dengan tatapan menyelidik. Seorang wanita muda muncul dengan membawa nampan yang di atasnya terdapat gelas berisi minuman teh yang masih mengepulkan asap dan satu toples camilan. Seiring bertambahnya usia, Nenek Hasma tidak bisa melakukan semua pekerjaan rumah sendiri sehingga ia butuh seorang asisten rumah tangga sekaligus menemaninya. "Jadi benar, Nenek tahu tentang keluargaku?" Aku balik bertanya.Wanita berusia lanjut itu menghela napas perlahan seakan mencoba meredam kalut yang bergumul di dalam hati. Ia meraih bantal kecil berwarna biru, berharap benda itu bisa memberinya sedikit rasa tenang.Waktu seolah berhenti berjalan. Aku gelisah menunggu penjelasan darinya. Jantungku berdegup kencang, bahkan aku merasa Mas Ramzi dan Nenek Hasma bisa mendengar suara jantungku yang bertalu-talu ini. "Ibuku bilang Ayah Ahsan bukan ayah kandungku dan ayahku yang sebenarnya bernama Arul. Aku penasaran apa