Ririn mundur beberapa langkah hingga menyentuh tembok. Tatapan matanya tidak berkedip melihat Candra yang menatapnya seolah hendak menelannya bulat-bulat. "Ayolah, Rin. Selama dua tahun ini aku sudah begitu sabar menunggumu untuk bisa kusentuh. Kita ini suami istri, tetapi kenapa aku tidak pernah mendapatkan hakku? Kesabaran seorang lelaki ada batasnya. Aku seorang lelaki normal yang tidak akan sanggup menahan hasrat yang bergejolak ini," kata Candra dengan tatapan memelas. Brak! Pintu terbuka lebar bersamaan dengan masuknya Yani--ibunya Candra. "Apa maksudmu, Ndra?" "Ibu?" Ririn dan Candra berbarengan. "Apa maksudmu tidak pernah menyentuh Ririn? Pernikahan macam apa ini?" tanya Yani dengan nada tinggi. Mau tidak mau Candra bercerita pada ibunya kalau selama menikah dengan Ririn, ia sama sekali tidak pernah merasakan indahnya surga dunia. Ririn selalu menolak saat diajak melakukan hubungan suami istri. Bahkan, selama ini mereka tidak pernah tidur dalam satu ranjang. Candra tidu
"Kita mau memberi kado Ibu apa, Nes?" tanya Mas Ramzi--suamiku. Aku yang sedang mengupas bawang untuk persiapan membuat bumbu kuah bakso hanya mengerutkan dahi mendengar pertanyaannya. "Kado?" Mas Ramzi yang sedang membuat adonan untuk dibuat bakso itu tersenyum. "Maaf, aku lupa memberi tahu kalau ulang tahun ibu akan diadakan minggu depan. Biasanya anak-anak akan datang dan memberi kado, gitu." Aku mendesah pelan. Usia ibu mertua tentu sudah tidak muda lagi, tetapi kenapa masih harus mengadakan acara ulang tahun segala. Mana anak-anak harus memberi kado pula. Merepotkan sekali. Sebenarnya aku paling tidak suka dengan acara seperti ini. Berkumpul bersama keluarga dari Mas Ramzi rasanya tidak menyenangkan. Belum lagi harus mengeluarkan uang untuk membeli kado. Bukannya aku pelit, tetapi keadaanlah yang membuatku harus selalu perhitungan dengan yang namanya pengeluaran. Aku dan Mas Ramzi baru dua bulan menikah dan sekarang baru merintis usaha jualan bakso. Dulu, kami sama-sama di p
Wajah Bu Mila berbinar. Dengan antusias ia membuka kotak kado yang dibungkus kertas bermotif bunga itu. Sebuah jam tangan mewah yang menurut perkiraanku harganya jutaan terpampang nyata di depan mata. "Terima kasih, Sayang," ujarnya seraya menatap Mbak divya. "Ibu suka?" tanya Mbak Divya. Bu Mila mengangguk. Ia mengulurkan tangan dan tidak lama kemudian jam tangan berwarna hitam itu melingkar di pergelangan tangannya. Wanita itu tersenyum lebar. " harganya pasti mahal ya, Vi?""Untuk Ibu yang aku sayang, tidak ada kata mahal," kata Mbak divya. Lalu keduanya berpelukan. Tangan Ibu beralih mengambil kotak kado yang lain yang setelah dibuka ternyata berisi cincin dengan berlian mungil cantik. Itu adalah kado dari Mas Akbar. Raut kebahagiaan tidak dapat disembunyikan di wajahnya. "Terima kasih, ya. Kalian memang anak-anak yang baik." Ibu merentangkan tangan untuk memeluk Mas Akbar dan istrinya. Setelah adegan pelukan antara ibu, anak, dan menantu itu usai, Ibu kembali membuka kado
Jantungku berdegup kencang saat melihat sebuah mobil berhenti di halaman. Tidak lama kemudian kendaraan roda empat berwarna silver itu terbuka persamaan dengan keluarnya sang pemilik yaitu Mas Akbar, Mbak Nirma serta seorang gadis kecil berusia kira-kira 5 tahun yang menggelayut manja di lengan sang ibu.Menyusul di belakangnya sebuah mobil berwarna putih dan itu adalah mobil Mbak Divya bersama keluarga kecilnya. Mereka adalah pasangan yang keluarga yang bahagia dan cukup secara materi. Aku yang sedang mengamatinya dari dalam rumah di balik kaca jendela hanya menghela napas panjang. Di antara kami hanya Mas Ramzi yang belum memiliki mobil. Entah kapan kami bisa memilikinya. Seketika rumah Ibu jadi heboh. Rupanya Bu Mila sudah menunggu kedatangan anak-anaknya itu. Momen seperti memang sudah dinantikan sejak lama. Para anak yang sudah memiliki keluarga masing-masing itu tentu jarang mengunjungi ibunya. "Mas Akbar dan Mbak Mbak Divya sudah datang, ya?" tanya Mas Ramzi. Suamiku itu b
Matahari sudah mulai bergerak ke arah barat. Terdengar deru sepeda motor dari arah depan. Seorang gadis berjilbab merah turun dari kendaraan roda dua berwarna biru itu. "Ibu?" Setelah membuka helm, gadis itu berteriak dan berlari lalu menuburuk ibu mertua yang sudah menghadangnya di depan pintu. Ada rasa yang aneh menjalar di hati kala melihat pertemuan antara ibu dan anak yang begitu mengharukan itu. Aku dan ibu kandungku tidak pernah sampai berpelukan meski sudah lama tidak bertemu. Setelah melepas rasa rindu yang membuncah pada sang ibu, Nella menyalami dan mencium tangan dengan takzim para kakaknya secara bergantian. Denganku juga tidak ketinggalan. Sejak aku tinggal di sini, ini untuk pertama kalinya Nella pulang. Dia duduk di bangku SMA kelas tiga dan tinggal di kost-an. Saat ini jarang pulang karena sedang persiapan ujian kelulusan. Suasana di rumah ibu semakin ramai setelah ada Nella. Gadis itu ternyata juga sangat menyenangkan."Kata Ibu, kamu dan Ramzi jualan bakso, ya?
"Ines dan Ramzi, kalian nggak usah pulang. Tidur saja di sini bareng-bareng," kata Bu Mila. "Iya, Bu. Aku juga kangen tidur sama Mas Akbar." Mas Ramzi mengangguk. What? Tidur bareng dengan para ipar dan juga ibu? Aku menggeleng.Sebelum tidur pasti akan banyak hal yang diceritakan seperti Mbak Ulfa yang selalu menceritakan pengalaman bekerja, hartanya yang melimpah, sering liburan di mana saja, tempat makanan favorit di mana dan aku hanya bisa gigit jari karena nggak ada yang bisa diceritakan. "Kamu kenapa, Nes? Kok mukanya pucat gitu? Nggak suka ya kalau harus tidur bareng kami?" tanya Mbak Divya. Wanita itu seolah tahu kegelisahanku. "Enggak." Aku meringis. "Tetapi kenapa kayak gelisah gitu?" "Dimaklumi aja, Mbak. Pengantin baru mana mau pisah sama suami tercinta," sahut Nella seraya mengedipkan mata. Dari tadi gadis itu terus menempel di lengan sang ibu. Pipiku menghangat, sudah pasti berubah merah. Bukan karena nggak mau pisah dari Mas Ramzi, tetapi minder. Sudah pasti nant
Aku pikir acara ulang tahun Ibu seperti acara ulang tahun pada umumnya yang menggunakan balon, kue ulang tahun lengkap dengan lilin sesuai dengan usia, dan segala printilannya. Akan tetapi ternyata tidak sesuai dengan dugaanku padahal aku sudah berburuk sangka. Membayangkan ibu mertua memakai balon karakter di kepala lalu meniup lilin di atas kue disertai tepuk tangan yang bergemuruh itu adalah sesuatu yang lebay menurutku mengingat ibu bukan anak kecil lagi. Konsep ulang tahun ibu mertua adalah pengajian dengan mengundang semua warga desa baik laki-laki maupun perempuan dan beberapa kerabat dekat serta anak yatim. Untuk makanannya juga pakai jasa catering sehingga tidak ada acara sibuk memasak. Semua terima beres. Ibu juga sudah menyiapkan beberapa amplop berisi uang untuk dibagikan pada anak yatim. Pantas saja hidup Bu Mila selalu damai dan bahagia. Rupanya ini salah satu rahasianya. Sedekah. Acara akan dimulai sebentar lagi. Snack box yang menggunung sudah siap. Para undangan
Aku bukanlah tipe orang yang sedikit-sedikit up date status baik di WA maupun Facebook. Kalau pun membuat status WA hanya untuk mempromosikan bakso yang kujual. Namun tidak dengan kegiatan sehari-hari yang terkadang tidak begitu penting untuk dibagikan. Beda dengan Mbak Ulfa yang rajin membuat status hingga tampilan statusnya layaknya benang jahit saking seringnya update. Mulai dari bangun tidur dalam pelukan suaminya, sarapan pagi dengan susu dan roti, mengantar anak sekolah mengendarai mobil, hingga nanti tidur lagi. Terkadang membuat status di jam 11 malam hanya berupa emoji mata melotot yang menggambarkan dirinya masih terjaga di jam tersebut. Kutatap nanar barisan huruf di layar ponselku yang baru saja dikirim Mbak Ulfa. Dahiku berkerut. Apa maksud kakak kandungku itu? Siapa yang pencitraan? Jika aku membuat status aku bahagia itu memang benar adanya. Bahagia tidak harus dengan memiliki suami dengan jabatan tinggi, naik mobil mewah, memakai tas dan baju branded, jalan-jal