Mentari sudah mulai muncul. Bukit kesesatan telah bersih dari kabut kebingungan. Udara yang tadinya kotor, sekarang sudah bersih. Setelah bangun dari meditasi, Zera menghampiri Tifany yang masih terbaring.
"Bagaimana kondisimu sekarang?" Tanya Zera. "Sudah mendingan daripada tadi malam." jawab Tifany. "Di mana penyihir yang menyelamatkan kita?" tambahnya. "Dia di pintu goa, berjaga semalaman..." belum selesai Zera berkata, Isaac datang menghampirinya. "Apa kalian sudah bangun? Kalau sudah, mari kita makan sambil bercerita." ajak Isaac sambil menyuguhkan daging panggang yang telah ia tangkap. "Terima kasih, sangat tidak sopan kalau menolak ajakan orang yang telah menolong kami," sahut Tifany dan Zera. Mereka bertiga pun makan bersama sambil bertukar cerita. "Tuan, kalau boleh tahu ke mana tujuan, Tuan?" Zera pun mulai bertanya sambil melahap hidangan daging bakar yang ada di tangannya. "Sebelum kujawab pertanyaanmu, mengapa kalian berdua bisa berakhir di bukit ini? Padahal bukit ini terdapat banyak penghalang dan formasi yang sangat mengerikan." Isaac bertanya kembali. "Aku ingin pergi ke Pulau Terapung dan harus melewati bukit ini. Sedangkan dia ingin datang ke sini untuk mengambil mantelnya yang telah dicuri oleh si Ryu." Jawab Zera. "Apa ini mantel punyamu?" Isaac mengeluarkan sebuah baju dari cincin penyimpanannya. "Bagaimana bisa mantel keluarga kami di tanganmu?" Tifany langsung berdiri dan ingin memakai busurnya. "Tenang duku nona muda. Biar aku jelaskan kenapa mantelmu ini ada padaku." Jawab Isaac. "Ya, dengarkan dulu jawabannya. Jika ia berniat jahat, maka sedari tadi malam kita tidak akan bisa hidup." Zera membujuknya. "Baiklah tuan. Jika begitu, bisakah tuan jelaskan, kenapa mantelku bisa berada di tanganmu?" Tegas Tifany. "Apa kamu tahu, nama bukit ini?" Isaac kembali bertanya. "Jangan banyak omong kosong lagi, langsung saja ke intinya," Tukas Tifany. "Tapi sebelum itu, ambillah dulu mantelmu ini. Jika mantel ini sangat penting bagimu." Isaac menyerahkan mantel itu kepada Tifany tanpa mempedulikan tingkahnya itu. Tifany pun mengambil mantelnya itu sambil mengatakan, "Terima kasih." Isaac pun hanya menganggukkan kepalanya. "Jadi, bagaimana ceritanya mantel keluarga kami sampai di tanganmu, Tuan?" Kembali Tifany bertanya. Sementara itu Zera hanya mendengar saja. "Sama dengan pertanyaanku tadi, apa kamu tahu nama bukit ini?" Isaac kembali bertanya. "Sudah jelas nama bukit ini adalah bukit kesesatan,bukan?" Timpal Tifany. "Tidak, nama bukit kesesatan itu, hanya baru-baru ini saja. Palingan sekitar 6 tahunan. Karena adanya kabut, lebih tepatnya karena adanya formasi kabut kebingungan, formasi iblis tingkat 6 yang membuat bukit ini menjadi suram." Jelas Isaac. "Tidak hanya itu saja. Sebelumnya bukit ini sangat indah banyak memancarkan mana dan aura murni. Sehingga hewan buas yang mirip monster kita lihat sekarang ini, dulunya adalah hewan spritual yang menuntun para pendaki pengambil tumbuhan herba." Isaac menjelaskan lebih lanjut. "Jadi, apa nama bukit ini dahulunya, dan siapa yang membuatnya berubah menjadi seperti sekarang ini? " Zera mulai bertanya, yang mana ia tadinya hanya pendengar. "Nama bukit ini dahulunya adalah Bukit Kesaksian. Sebuah bukit yang mengeluarkan aroma semua kehidupan. Dan tempat mencari tanaman herba bagi para penduduk desa yang berada di kaki bukit. Dan sebagai salah satu mata pencaharian bagi penduduk setempat." Isaac menjelaskan. "Namun, kehidupan itu hanya bertahan sebentar. Setelah Enes dan 3 jenderalnya menyerang Kerajaan Maqdis. Dan menetapkan bukit ini menjadi medan perang. Jika bukan karena si Naga Emas dan Dewi Pedang Air, maka desa di balik bukit ini pun akan sama seperti desa desa di bawah kaki bukit ini. Dan berhasil memukul mundur mereka kembali. Namun, Kaijin si Iblis formasi menanamkan formasi bintang 6 sebelum mereka kembali ke kerajaannya. Dan menjatuhkan mantel sihir lautan ini tanpa sepengetahuannya." Isaac menambahkan penjelasannya. Mendengar cerita Isaac, Zera pun teringat akan paman dan bibinya yang mana mereka pergi dari Gunung Dwargo 6 tahun lalu. Dan Tempest kembali menjemputnya kemudian membawa Zera pergi untuk mengambil Kotak Cahaya. Dan berpisah kembali di Hutan Kematian. "Jadi, apakah Tuan yang memungutnya?" Tanya Zera. "Ya, aku mengambilnya tidak lama ini. Karena aku tahu bahwa mantel ini bukan mantel biasa." Jawab Isaac. "Anu.. Terima kasih banyak, Tuan. Maaf saya salah paham, dan bersikap lancang kepada Tuan." Tifany menundukkan kepalanya dengan perasaan malu dan bersalah. "Tidak apa-apa, aku paham bagaimana perasaan dan reaksimu." Isaac kembali menenangkan suasana. "Dan tak usah memanggilku memakai kata Tuan, karena aku kurang nyaman dengan panggilan itu. Panggil saja aku kakak atau gimana gitu. Sebab umurku tidak berbeda jauh dari kalian, baru 20 tahunan." "Baiklah kalau begitu, aku panggil Kak Isaac, bagaimana?" Tanya Tifany. Dan Zera pun cuma menganggukkan kepalanya dengan ucapan Tifany. "Ok, boleh juga. Karena sekarang kabut sudah hilang dan formasinya rusak. Maka bukit ini sudah bisa kembali seperti semula, walaupun butuh beberapa waktu. Karena tujuan kita sama, ingin pergi ke Pulau Terapung, bagaimana kalau kita Barangan?" Ajak Isaac. "Bagus juga, lagian kita mempunyai arah tujuan yang sama. Bagaimana denganmu Tifany? Karena tujuanmu untuk mencari mantel ini telah tercapai, apa kamu ingin kembali ke lautan atau ikut dengan kami ke Pulau Terapung? Tanya Zera? "Aku akan ikut denganmu Zera, lagian aku sudah mempunyai tujuan yang baru." Jawab Tifany. "Tapi sebelum itu istirahatlah dahulu, Pulihkan luka dan staminamu. Setelah tiga hari, baru kita berangkat." Isaac memberi masukan. "Baiklah, kami di bawah pengawasanmu Kak Isaac." Mereka menjawab serentak. Lalu mereka tinggal di Bukit Kesaksian selama tiga hari. Selama itu, Zera memulihkan stamina dan energinya. Di malam hari, ia bermeditasi, sedangkan di waktu pagi ia pergi berburu hewan dan tanaman herba. Dan di siang hari ia berlatih tanding dengan Isaac. Begitulah kegiatannya selama tiga hari. Karena ia mengetahui bahwa ia masih lemah dan kurang pengalaman dalam menghadapi sihir dan menghancurkan formasi. Maka dari itu ia sering berlatih tanding dengan Isaac yang merupakan seorang penyihir bintang dan juga ahli dalam formasi sihir. Untuk melengkapi kekurangannya terhadap sihir dan formasi, ia pun mulai mempelajari sihir combat. Sebuah sihir yang bisa digunakan untuk pertarungan jarak dekat. Jika pengguna aura mempelajari sihir yang merupakan jalur mana, maka hal ini bisa dikatakan langka. Kebetulan juga dengan metode aura yang dipelajari Zera, maka mempelajari sihir serta menggunakannya bukan hal yang mustahil. Sebab tak ada yang mustahil di dunia ini, karena sebuah kekurangan akan menjadi sebuah keistimewaan yang gemilang. Dengan mengetahui fakta ini, Isaac meluangkan waktunya untuk melatih Zera dalam penguatan sihir combat yang dilapisi dengan aura selama tiga hari. Selepas dari waktu itu, mereka pun memulai perjalanan untuk mencapai Pulau Terapung.¤Di atas phoenix yang terbang dengan santai, Zera melihat semua pemandangan yang berada di bawah. Nampaklah semuanya telah hancur yang diakibatkan oleh peperangan yang berkepanjangan antara iblis dan semua ras yang berada di benua ini. Hingga akhirnya perang itupun telah usai, yang dimenangkan oleh mereka yang berusaha untuk menjaga keseimbangan. Adapun peperangan ini, walaupun dimenangkan oleh mereka yang menjaga keseimbangan, namun juga menjadi kerugian tersendiri bagi semua ras. Karena telah banyak memakan korban dari pihak yang menang. Bukit kesaksian telah hancur, begitu juga dengan Desa Kutau dan Kota Panja. Bahkan, perang ini memakan korban jiwa sebanyak 50 juta jiwa. Raja dan dua jenderal kerajaan Maqdis pun menjadi korban dari perang ini. Sehingga raja baru pun langsung dinobatkan dalam perang yang sedang berlangsung. Adapun dari tiga kerajaan yang lain, semua jenderalnya telah mati pula dalam perang ini. Sedangkan dari pihak Elves pun tidak luput dari korban perang ini. K
Enes merasa bingung dengan apa yang terjadi. Dan dia hanya bisa mengingat hal-hal yang lama. Vrey telah selesai mengobati Enes dan Ryu. Ketika dalam kebingungan itu, terjadi kembali getaran yang kuat dari tanah. Enes merasakan dua energi yang sedang bertarung dari jauh. Enes berusaha untuk berdiri dan mencari sumber dari energi yang ia rasakan. "Jangan buat gerakan yang sia-sia, Enes. Jika tidak pedangku akan memutuskan kepalamu." Kata Azzura sambil meletakkan pedang di leher Enes. "Bocah, kamu hanya perlu diam di sini." Kata Vatsal sambil membuat kurungan barier kepada Enes dan mengunci gerakannya dengan sihir naga. Terpaksa Enes pun harus diam dan duduk sambil merasakan pertarungan dari dua energi dahsyat, yang selama ini belum pernah ia rasakan. * Di Hutan Kematian Gunung Cimuri. Zera dan Razor bertarung dengan semua yang mereka miliki. Pergerakan laju pertempuran menjadi semakin mencekam. Tampaklah Zera, telah terluka dan berdarah, begitu juga keadaan yang telah diterima
Zera berusaha menghindari serangan Razor yang berat itu. Ia pun berusaha menyerang balik. Namun, serangannya tidak memberikan efek yang kuat bagi lawannya. "Apa hanya segini kekuatanmu? Sungguh mengecewakan." Kata Razor sambil berdecak. "Lanjutkan saja seranganmu itu. Kamu tidak perlu mengkhawatirkanku." Balas Zera. "Siapa yang mengkhawatirkan dirimu." Kata Razor sambil melakukan serangan. "Lingkaran Cincin Pedang Iblis Kegelapan." Terbentuklah lingkaran hitam pekat yang berisi ratusan pedang mengarah dengan sangat cepat kepada Zera. "Pedang Tak Berperasaan Tujuh Matahari." Zera pun menangkis serangan yang berisi ratusan pedang yang mengarah kepadanya. Ketika serangan itu beradu, bergoncanglah tanah, dan nampak terbelah langit serta mengeluarkan energi kejut yang besar. Sehingga tempat bentrokan itu berubah menjadi lubang besar, karena kedua serangan itu. "Langkah Angin," Zera pun melesat melaju untuk menebas Razor. "Teknik Pedang Ganda, Tebasan Badai Taring Petir." Ia pun membe
Zera dan Enes masih berdiri tegak dan saling bertarung habis-habisan. Mereka saling merasakan dan mencoba memahami diri lawannya dari beradu tinju dan pedang. Sementara itu, teman-teman Zera masih melawan para iblis yang berada di bawah komando Enes. "Melihatmu yang mahir menggunakan pedang, maka akan tidak sopan jika aku tidak melakukan hal yang sama." Kata Enes sambil mengeluarkan Blackmoon dari ruang penyimpanannya. "Kesopanan itu hanya milik mereka yang tidak menjual jiwanya untuk sebuah kekuatan." Timpal Zera sambil menguatkan pegangannya pada Levin. "Perkataanmu masih sama saja dengan pertama. Kamu harus bersyukur karena aku menggunakan pedang ini untuk membunuhmu. Karena sudah lama sekali aku tidak memakainya." Kata Enes sambil memperlihatkan Blackmoon kepada Zera. "Dulu ayahmu juga sering beradu pedang denganku. Dia biasanya memakai pedang ganda yang bermana Bluelight dan Windlight. Tapi, kematian terlalu cepat menghampirinya." Kata Enes sambil memasang muka yang mengejek.
Serangan mereka berdua saling beradu, sehingga membuat langit seolah-olah terbelah dua disebabkan bentrokan kekuatan mereka. Zera menghadapi Enes dengan kekuatan yang sepadan dengannya. Zera sama sekali tidak takut tentang apa yang terjadi di depannya. Dia sudah siap secara mental maupun kekuatan melawan Enes Sang Kaisar Iblis Kegelapan. Begitu juga dengan Enes, ia sudah siap bertarung habis-habisan untuk melenyapkan halangan yang berdiri di depannya. Entah apa yang terjadi dengan mereka berdua, setelah serangan pertama yang mereka lancarkan, mereka berdua diam sejenak tanpa bergerak sedikit pun. Seperti merasakan dan menghayati serangan pertama tadi. Setelah beberapa saat mereka pun memulai pertarungan kembali. Bentrokan serangan mereka membuat langit menggelegar, dan petir pun saling menyambar. "Aku akui kamu cukup hebat, bocah. Tetapi, itu saja tidak akan bisa mengalahkanku." Kata Enes. "Sama halnya denganmu, seranganmu itu hanya membuat gatal." Jawab Zera sambil mengorek kuping
Enes begitu terkejut sampai tidak sadar bahwa serangannya ditepis dengan mudahnya. "Siapa kamu!? Beraninya menghalangiku." Tanya Enes. "Bukankah kita telah pernah bertemu, Bulan Gelap?" Jawab Zera dengan sebuah pertanyaan. Pertanyaan itupun membuat Enes semakin penasaran. "Hanya beberapa orang yang mengetahui julukanku yang dulu." Kata Enes sambil mengingat semua hal yang telah pernah dia lalui. "Tidak perlu kamu mengingat hal yang sudah lama dilupakan. Karena hal itu tidak akan menjadi kebaikan bagimu, begitu juga denganku. Pertanyaanku sekarang, maukah kamu kembali seperti dulu lagi, Enes?" Tanya Zera. "Kembali seperti dulu? Omong kosong apa yang kamu katakan. Kembali seperti dulu? Sungguh arogan, seperti kamu tahu tentangku. Jawab pertanyaanku, siapa kamu sebenarnya? Kenapa kamu mengetahui julukanku? Jika tidak kamu jawab, maka kematianlah yang akan kamu dapati." Kata Enes dengan sangat marah. "Baik aku jawab ataupun tidak, kamu berencana akan membunuh semua orang yang