Home / Fantasi / Kaisar Dewa Regera / 5. Kemarahan Sang Naga

Share

5. Kemarahan Sang Naga

Author: Aldho Alfina
last update Last Updated: 2023-11-07 04:06:45

Sangkar api yang sebelumnya dipenuhi oleh kekacaun dan suara bising, kini nampak tenang dan hanya terdengar suara gemuruh dari air terjun magma. Genangan magma mengalir cukup tenang, tanpa adanya riak yang begitu berarti.

Tepat di ujung sangkar, pemuda bermata gelap duduk jegang dan bersandar pada jeruji api. Genangan magma tidak bisa menjangkaunya, seakan ada benteng transparan yang mengitarinya. Walau telah melewati pertarungan panjang semalaman, tidak ada luka sedikitpun di tubuhnya, bahkan kemeja hitamnya masih begitu rapi layaknya orang kantoran.

Saat itulah wanita bergaun api muncul di atas sangkar dan menjentikkan jari lentiknya. Jeruji api memudar, melebur dengan udara terhembus angin lembut saat tubuhnya turun perlahan-lahan.

Karena sandarannya menghilang, pemuda itu berdiri dan menatap kedatangan sang Naga api. Sebelum memijakkan kakinya di atas magma, Rani berkata dengan suara lembut nan tegasnya.

"Jika memperlihatkan kekuatanmu dari awal, dirimu tidak akan berada dalam kekacauan semalam."

Sang pemuda tersenyum tipis sambil meraba dada kirinya sendiri, merasakan belenggu api yang menyelimuti jantungnya dan berkata. "Belenggu ini, terpasang juga pada iblis api yang memasuki portal. Membuat mereka mengamuk di dunia manusia dan ketika tumbal mencukupi, secara otomatis akan melakukan ritual pemanggilan."

Walau tidak ada perubahan ekspresi dari wajah Rani, namun belenggu di jantung sang pemuda perlahan-lahan mengecil, meremas jantungnya.

Sambil mencengkram dadanya dan meringis menahan sakit, ia melanjutkan perkataannya. "Ide yang sangat bagus, namun portal selalu terbuka di alam roh lain ..." suaranya semakin memekik dan mulai berteriak.

"Naga lainnya telah keluar!... Agk!" Ia tidak bisa melanjutkan perkataannya, namun tetap meringis dan tersenyum saat menatap sang Naga api.

Dengan sikap yang begitu tenang dan menunjukkan wibawanya, Rani mulai bertanya. "Sejauh mana yang kau ketahui?"

"Namaku Sin, aku tau segalanya yang terjadi di dunia ini, baik masa depan dan masa lalu!" jawab sang pemuda dengan tegas, lalu kembali berkata.

"Jika ingin segera keluar dari neraka ini, pertemukan aku dengan pemuda yang membawa sepasang pedang kayu," keseriusannya memudar. "Kalau tidak salah, di zaman ini namanya Regera." Ia kembali meringis menahan sakit.

Rani terdiam beberapa saat, namun kemudian melonggarkan belenggu api di jantung Sin.

...

Gunung berapi telah terpangkas, lerengnya yang meleleh telah mengering dan menjadi bebatuan Obsidian. Batu dengan warna hitam legam, namun memiliki kilauan pelangi layaknya tetesan oli di atas air. Altar batu yang berada di tengah kawah tidak berdampak sedikitpun, di sanalah terdapat pelaku penyebab semua itu. Pemuda berjaket hitam yang sedang duduk bersila, ditemani seekor Drake, Naga tanpa sayap seukuran tokek yang sedang mengamati sekitar dari ujung bebatuan. Ia lalu mendekati tuannya sembari berkata.

"Bocah, perasaanku saja atau memang roh api di luar sana jadi lebih sedikit?"

Akara lalu membuka matanya dan menghentakkan kakinya, ia melompat dari posisi duduk hingga terlontar beberapa meter ke atas. Angin segera berhembus di sekitarnya, membuat tubuhnya tetap melayang di udara. Kini matanya dapat menjangkau area yang lebih luas, melihat para roh api yang saling bertarung. Walau ada beberapa kerumunan, namun jumlahnya terlihat begitu kontras dengan sebelumnya.

"Aneh, jumlah mereka tidak sampai sepersepuluhnya." Akara kembali menyapu pandangan, dengan sorot mata merah dari mata naganya yang menyala. Kini ia dapat merasakan energi dari para roh api dengan jelas, bahkan dapat melihat lebih jauh. Pandangannya terhenti saat melihat ke arah hilir sungai magma, menemukan dua titik energi yang berdekatan, namun dengan kobaran energi yang begitu besar. Akan tetapi, kedua energi hilang dalam sekejap.

Ia nampak tidak terkejut, bahkan menutup mata ularnya dan turun secara perlahan-lahan. Di bawah sana, Rani dan Sin telah menunggunya. Akara cukup terkejut, ia mengerutkan alisnya begitu melihat pemuda bermata gelap.

Melihat tatapan kekesalannya, Sin malah tersenyum, hingga akhirnya Akara mendarat tepat di depannya.

Bruak!... Dalam sekejap, pukulan kuat melayang tepat di hidung Sin. Pemuda berkemeja hitam itu terpelanting, tersungkur beberapa meter ke belakang. Tatapan mata Komo juga terlihat kesal, sedangkan Rani malah mengabaikannya, ia berjalan menuju singgasana yang berada tak jauh darinya.

"Oh maaf, aku kira bertemu seorang kenalanku, kau tidak apa-apa?" Akara mendekatinya, namun tidak mengubah raut kekesalan di wajahnya, ia bahkan tersenyum tipis saat melihat darah yang merembes keluar dari hidung Sin.

"Ah tidak apa-apa, hanya segini!" Sin segera bangkit, mengusap darah menggunakan punggung ibu jarinya dan langsung menjulurkan jabat tangan, dengan tangan yang belepotan darah. Ia tersenyum begitu ramah, membuat Akara semakin kesal saat melihatnya.

"Aku Reg …" belum sempat berjabat tangan, tangan Akara sudah diraih dan langsung ditarik mendekat.

"Hei Akara!" bisik Sin tepat di samping telinganya, membuat Akara melotot tajam saat menatap wajahnya. Ia lalu bertanya dengan suara tertahan.

"Bagaimana kau bisa di sini?!"

"Aku hanya mencari hiburanku!" Sin tersenyum lebar dan membalas menatap tajam, lalu mempererat genggaman tangannya.

"Agghhk!" Akara berteriak kesakitan, bukan karena genggaman tangannya, namun energi dalam tubuhnya menyeruak keluar. Energi yang sangat deras dihisap oleh Sin, membuat Komo berteriak.

"Apa yang kau lakukan sialan?!"

Bruak!... Altar dan magma dalam kawah bergetar hebat saat Sin mengayunkan tangan satunya, menahan serangan dari ekor Komo yang seperti gada dengan kristal runcing.

Komo yang selama ini hanya seukuran tokek, sekarang tubuhnya membesar hingga sepanjang 5 meter. Tokek yang cerewet telah menjadi makhluk yang menyeramkan. Walaupun begitu, Sin tidak bergeming sama sekali saat menangkis serangannya.

"Jika ingin tuanmu selamat, diamlah!" Sin berbicara dengan tenang dan tegas, membuat Komo gelagapan dan segera menoleh ke arah samping. Rani sang Naga api masih duduk santai di atas singgasananya, raut wajahnya begitu gembira, seakan melihat pertunjukan yang sangat menarik. Hal itu membuat harapan Komo pupus, ditambah lagi tuannya yang telah lemas hingga bersimpuh di lantai.

"Terima kasih Akara, energimu selalu saja luar biasa!" Sin menepuk pundak Akara dengan lembut, namun membuat pemuda berjaket hitam itu terhuyung.

"Sialan!" Akara mengeratkan giginya, dengan tangan yang gemetaran menahan tubuhnya agar tidak tersungkur.

"Baiklah!" Sin menoleh ke arah Rani dan berkata. "Boleh aku bawa pergi bocah ini?"

"Apa maksudmu?!" Rani berkata dengan tegas, namun malah membuat Sin tersenyum lebar. Energi meluap dari tubuh pemuda itu, bergerak bagaikan asap menuju belakang pundaknya. Berkumpul dan dengan cepat membentuk suatu aura.

Sang Naga api yang sedari awal begitu santai, sekarang malah melotot penuh amarah saat melihat aura di belakang pundak Sin. Aura berbentuk layaknya sebuah galaksi, dengan latar yang gelap, namun dipenuhi gemerlap cahaya berwarna biru dan ungu.

Seketika wujud ular naga muncul di belakang Rani, dengan nyala merah menyala dari aura Naga di bagian atas, menggetarkan area sekitarnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kaisar Dewa Regera   133. Aliansi baru

    Tempat yang abstrak, berlatar belakang cahaya berbagai warna dari awan panas Nebula di kegelapan angkasa, Dewa Penempa membungkukkan badannya di hadapan tiga gumpalan bercahaya. Dengan sopan dan waspada, ia menjelaskan tentang pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi yang memojokkannya. "Jadi, apa maumu?" tanya salah satu leluhur. Sambil sedikit menunduk, Dewa Penempa menjawab dengan lembut. "Mohon maaf, Fraksi Cahaya Ilahi di mata warga sudah bisa dikatakan hancur, bahkan banyak masalah yang terus terjadi. Mungkin sudah seharusnya kepemimpinan Fraksi diganti.""Kondisikan klan Vasto, kami akan segera memanggilmu kembali!" ujar salah satu leluhur, dan Dewa Penempa segera melebur, digantikan dengan seorang pria bermahkota sayap emas. "Ronas memberi salam kepada leluhur!" Ia sedikit menunduk seperti yang dilakukan Dewa Penempa sebelumnya. "Ronas, tiga lentera jiwa tetua Fraksi telah padam, apa yang terjadi?!" Ronas menjawab dengan tenang.

  • Kaisar Dewa Regera   132. Semua siasat

    "Regera, kau telah mengalahkanku!" Luce kembali terkekeh, tapi ia segera tersedak saat bilah pedang kayu mengganjal mulutnya. Sebutir pil melesat begitu saja memasuki tenggorokannya. "Tidak perlu kau sembuhkan lukaku!" seru Luce saat ganjalan di mulutnya terlepas. Namun, ia segera menyadari bahwa itu bukanlah pil penyembuhan. Segel belenggu langsung menyala di jantungnya. Melihat Luce tidak menunjukkan tanda-tanda melawan, sepasang pedang kayu segera melebur di udara. Ia lalu berteleport menuju para Dewa lainnya berada, disusul oleh kilatan cahaya emas yang membawa Luce. Ternyata kegaduhan terjadi. Pria bertanduk ranting menyandera Luwang, padahal tubuhnya telah babak belur penuh luka bakar. Cakar tajam telah melingkar di leher pemuda Sheva bertanduk emas, untung ditahan oleh bilah cakar di lengannya. Tangan lain juga menahan lengan Dilvo satunya. Dewa lain nampak ragu untuk bertindak, dan kedatangan Akara menjadi harapan untuk mereka. Namun,

  • Kaisar Dewa Regera   131. Kekalahan Luce?

    Cukup lama awan panas Nebula memenuhi domain, hingga akhirnya, luapan energi berhenti, bahkan malah kembali ke titik ledakan. Para Dewa hanya bisa menyapu pandangan penuh kebingungan, dan dalam hitungan detik, mereka dapat melihat kegelapan lagi. Awan panas Nebula telah sepenuhnya terhisap. Seketika para Dewa tertegun melihat apa yang menghisap semua itu. Sebuah lubang hitam raksasa, yang terlihat cahaya di pinggirnya dan menggaris, membelahnya. Itu cahaya energi yang terhisap dari kesepuluh esensi surgawi. Daya hisap yang luar biasa yang dapat menelan cahaya, tidak heran jika kesepuluh esensi mulai bergerak. Mereka terhisap, membuat Akara segera melempar dua butir pil ke mulutnya dan menyalakan seluruh auranya. Aura Naga sejati, ranah Jiwa Suci dan aura Alkemis tingkat delapan. Ia langsung melakukan segel tangan. Energi pelindung segera terbentuk di sekitar Esensi surgawi, menjadi sepuluh pilar yang puncaknya mengurung Esensi surgawi. Kesepuluh pilar juga segera saling terhubung d

  • Kaisar Dewa Regera   130. Supernova menelan lara Dewa

    "Sialan kau Dilvo! Berani-beraninya kau mengusik jasad ayahku!" Luwang sangat geram saat melihat tubuh Dewa bertanduk emas setengah sabit, yang tidak lain adalah leluhur Raja Sheva. Di samping leluhur, Sheva bertanduk ranting langsung terkekeh. "Majulah kalian semua!" Dewa Farz segera mendekati Luwang dan dengan tatapan masih tertuju pada lawan mereka, ia lalu berkata. "Kau lawan Dilvo, biar aku yang menahan leluhur Raja Sheva. Tidak perlu memaksakan diri, tahan saja sampai tuan Regera menjalankan rencananya!" Farz lalu menoleh ke arah dua Dewa Fraksi lainnya. "Jika dua Dewa Sheva lainnya tidak bergerak, kalian tidak perlu ikut campur!" "Baik Dewa Farz!"Ketegangan terjadi pada kedua belah pihak, bahkan belum sempat melesat, dimensi di sekitar mereka melebar, seakan ditarik dari kedua sisi. Dalam sekejap, mereka melesat dengan kecepatan cahaya. Memasuki lubang cacing dalam kekosongan. Pertarungan tidak terlihat dari luar, ta

  • Kaisar Dewa Regera   129. Akara vs Luce

    Dalam dimensi yang hampa dan hanya mendapatkan cahaya dari bintang neutron, titik berkumpulnya kesepuluh energi esensi surgawi. Pusaran energi berwarna emas telah menyala di belakang Akara dan di atasnya, ada lingkaran dengan ukuran lebih besar, memiliki pola rumit berwarna hitam. Aura ranah Jiwa Suci, ditambah aura Naga sejati yang menggelegar, memutar pelan hingga dimensi seakan tertarik energinya.Namun, itu tidak sebanding dengan apa yang ada di depannya. Ia bagaikan sebuah titik kecil dibandingkan sosok Naga raksasa yang tubuhnya berselimutkan cahaya. Keempat kaki berototnya melebar, dengan cakar tajam yang mencengkram dimensi. Sayapnya membentang tak terkira, dengan lekukan-lekukan yang tak kalah tajamnya. Lehernya meliuk, menurunkan kepalanya yang garang dengan deretan gigi dan tanduk tajam. Tepat di atas tulang hidungnya, Luce duduk jegang dan bersandar penuh keangkuhan. Melihat kesepuluh Esensi surgawi dan domain yang sangat luas, Dewa

  • Kaisar Dewa Regera   128. Inti Cahaya Primordial

    Sebelum peperangan dengan Dewa klan Sheva, Dewa berpakaian emas mendatangi sebuah tempat yang dipenuhi reruntuhan melayang. Lempengan-lempengan batu beterbangan, tapi tak pernah sekalipun bertabrakan. Di wilayah yang terisolir dari reruntuhan melayang, ada sebuah portal. Bukan pusaran yang gelap, tapi pusaran putih keemasan penuh cahaya yang indah. Begitu memasukinya, ia langsung menyipitkan mata, tersorot oleh cahaya yang lebih terang. Saat mulai bisa beradaptasi, terlihatlah sebuah titik seperti matahari, tapi dengan luapan energi yang sangat dahsyat. "Inti Cahaya Primordial?!" gumamnya cukup terkejut, tapi segera menemukan keberadaan seseorang dalam kekosongan penuh cahaya itu. Pemuda tampan yang sedang bersila, dengan pakaian minim dari cahaya hingga tubuh atletisnya yang bersih terlihat. Namun, di antara keindahan itu, berserakan mayat yang tak terhitung jumlahnya. Aliran energi dari tubuh mereka keluar, menuju ke dalam tubuh Luce. Ia menghisap ene

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status