Sangkar api yang sebelumnya dipenuhi oleh kekacaun dan suara bising, kini nampak tenang dan hanya terdengar suara gemuruh dari air terjun magma. Genangan magma mengalir cukup tenang, tanpa adanya riak yang begitu berarti.
Tepat di ujung sangkar, pemuda bermata gelap duduk jegang dan bersandar pada jeruji api. Genangan magma tidak bisa menjangkaunya, seakan ada benteng transparan yang mengitarinya. Walau telah melewati pertarungan panjang semalaman, tidak ada luka sedikitpun di tubuhnya, bahkan kemeja hitamnya masih begitu rapi layaknya orang kantoran.Saat itulah wanita bergaun api muncul di atas sangkar dan menjentikkan jari lentiknya. Jeruji api memudar, melebur dengan udara terhembus angin lembut saat tubuhnya turun perlahan-lahan.Karena sandarannya menghilang, pemuda itu berdiri dan menatap kedatangan sang Naga api. Sebelum memijakkan kakinya di atas magma, Rani berkata dengan suara lembut nan tegasnya."Jika memperlihatkan kekuatanmu dari awal, dirimu tidak akan berada dalam kekacauan semalam."Sang pemuda tersenyum tipis sambil meraba dada kirinya sendiri, merasakan belenggu api yang menyelimuti jantungnya dan berkata. "Belenggu ini, terpasang juga pada iblis api yang memasuki portal. Membuat mereka mengamuk di dunia manusia dan ketika tumbal mencukupi, secara otomatis akan melakukan ritual pemanggilan."Walau tidak ada perubahan ekspresi dari wajah Rani, namun belenggu di jantung sang pemuda perlahan-lahan mengecil, meremas jantungnya.Sambil mencengkram dadanya dan meringis menahan sakit, ia melanjutkan perkataannya. "Ide yang sangat bagus, namun portal selalu terbuka di alam roh lain ..." suaranya semakin memekik dan mulai berteriak."Naga lainnya telah keluar!... Agk!" Ia tidak bisa melanjutkan perkataannya, namun tetap meringis dan tersenyum saat menatap sang Naga api.Dengan sikap yang begitu tenang dan menunjukkan wibawanya, Rani mulai bertanya. "Sejauh mana yang kau ketahui?""Namaku Sin, aku tau segalanya yang terjadi di dunia ini, baik masa depan dan masa lalu!" jawab sang pemuda dengan tegas, lalu kembali berkata."Jika ingin segera keluar dari neraka ini, pertemukan aku dengan pemuda yang membawa sepasang pedang kayu," keseriusannya memudar. "Kalau tidak salah, di zaman ini namanya Regera." Ia kembali meringis menahan sakit.Rani terdiam beberapa saat, namun kemudian melonggarkan belenggu api di jantung Sin....Gunung berapi telah terpangkas, lerengnya yang meleleh telah mengering dan menjadi bebatuan Obsidian. Batu dengan warna hitam legam, namun memiliki kilauan pelangi layaknya tetesan oli di atas air. Altar batu yang berada di tengah kawah tidak berdampak sedikitpun, di sanalah terdapat pelaku penyebab semua itu. Pemuda berjaket hitam yang sedang duduk bersila, ditemani seekor Drake, Naga tanpa sayap seukuran tokek yang sedang mengamati sekitar dari ujung bebatuan. Ia lalu mendekati tuannya sembari berkata."Bocah, perasaanku saja atau memang roh api di luar sana jadi lebih sedikit?"Akara lalu membuka matanya dan menghentakkan kakinya, ia melompat dari posisi duduk hingga terlontar beberapa meter ke atas. Angin segera berhembus di sekitarnya, membuat tubuhnya tetap melayang di udara. Kini matanya dapat menjangkau area yang lebih luas, melihat para roh api yang saling bertarung. Walau ada beberapa kerumunan, namun jumlahnya terlihat begitu kontras dengan sebelumnya."Aneh, jumlah mereka tidak sampai sepersepuluhnya." Akara kembali menyapu pandangan, dengan sorot mata merah dari mata naganya yang menyala. Kini ia dapat merasakan energi dari para roh api dengan jelas, bahkan dapat melihat lebih jauh. Pandangannya terhenti saat melihat ke arah hilir sungai magma, menemukan dua titik energi yang berdekatan, namun dengan kobaran energi yang begitu besar. Akan tetapi, kedua energi hilang dalam sekejap.Ia nampak tidak terkejut, bahkan menutup mata ularnya dan turun secara perlahan-lahan. Di bawah sana, Rani dan Sin telah menunggunya. Akara cukup terkejut, ia mengerutkan alisnya begitu melihat pemuda bermata gelap.Melihat tatapan kekesalannya, Sin malah tersenyum, hingga akhirnya Akara mendarat tepat di depannya.Bruak!... Dalam sekejap, pukulan kuat melayang tepat di hidung Sin. Pemuda berkemeja hitam itu terpelanting, tersungkur beberapa meter ke belakang. Tatapan mata Komo juga terlihat kesal, sedangkan Rani malah mengabaikannya, ia berjalan menuju singgasana yang berada tak jauh darinya."Oh maaf, aku kira bertemu seorang kenalanku, kau tidak apa-apa?" Akara mendekatinya, namun tidak mengubah raut kekesalan di wajahnya, ia bahkan tersenyum tipis saat melihat darah yang merembes keluar dari hidung Sin."Ah tidak apa-apa, hanya segini!" Sin segera bangkit, mengusap darah menggunakan punggung ibu jarinya dan langsung menjulurkan jabat tangan, dengan tangan yang belepotan darah. Ia tersenyum begitu ramah, membuat Akara semakin kesal saat melihatnya."Aku Reg …" belum sempat berjabat tangan, tangan Akara sudah diraih dan langsung ditarik mendekat."Hei Akara!" bisik Sin tepat di samping telinganya, membuat Akara melotot tajam saat menatap wajahnya. Ia lalu bertanya dengan suara tertahan."Bagaimana kau bisa di sini?!""Aku hanya mencari hiburanku!" Sin tersenyum lebar dan membalas menatap tajam, lalu mempererat genggaman tangannya."Agghhk!" Akara berteriak kesakitan, bukan karena genggaman tangannya, namun energi dalam tubuhnya menyeruak keluar. Energi yang sangat deras dihisap oleh Sin, membuat Komo berteriak."Apa yang kau lakukan sialan?!"Bruak!... Altar dan magma dalam kawah bergetar hebat saat Sin mengayunkan tangan satunya, menahan serangan dari ekor Komo yang seperti gada dengan kristal runcing.Komo yang selama ini hanya seukuran tokek, sekarang tubuhnya membesar hingga sepanjang 5 meter. Tokek yang cerewet telah menjadi makhluk yang menyeramkan. Walaupun begitu, Sin tidak bergeming sama sekali saat menangkis serangannya."Jika ingin tuanmu selamat, diamlah!" Sin berbicara dengan tenang dan tegas, membuat Komo gelagapan dan segera menoleh ke arah samping. Rani sang Naga api masih duduk santai di atas singgasananya, raut wajahnya begitu gembira, seakan melihat pertunjukan yang sangat menarik. Hal itu membuat harapan Komo pupus, ditambah lagi tuannya yang telah lemas hingga bersimpuh di lantai."Terima kasih Akara, energimu selalu saja luar biasa!" Sin menepuk pundak Akara dengan lembut, namun membuat pemuda berjaket hitam itu terhuyung."Sialan!" Akara mengeratkan giginya, dengan tangan yang gemetaran menahan tubuhnya agar tidak tersungkur."Baiklah!" Sin menoleh ke arah Rani dan berkata. "Boleh aku bawa pergi bocah ini?""Apa maksudmu?!" Rani berkata dengan tegas, namun malah membuat Sin tersenyum lebar. Energi meluap dari tubuh pemuda itu, bergerak bagaikan asap menuju belakang pundaknya. Berkumpul dan dengan cepat membentuk suatu aura.Sang Naga api yang sedari awal begitu santai, sekarang malah melotot penuh amarah saat melihat aura di belakang pundak Sin. Aura berbentuk layaknya sebuah galaksi, dengan latar yang gelap, namun dipenuhi gemerlap cahaya berwarna biru dan ungu.Seketika wujud ular naga muncul di belakang Rani, dengan nyala merah menyala dari aura Naga di bagian atas, menggetarkan area sekitarnya.Akara yang sudah sangat lemas, ditambah dengan tekanan dari aura Naga yang begitu besar, membuat dirinya tersungkur memeluk lantai. Komo juga tidak jauh beda kondisinya, bahkan segera mengecil kembali. Akan tetapi, pemuda bernama Sin masih berdiri dengan tenang, ia tak bergeming sama sekali. Melirik Akara yang sudah tak berdaya, ia menyeringai dan menjentikkan jarinya. Sebuah portal muncul di lantai, tepat di bawah tubuh Akara dan menelannya beserta Komo. "Oii! blubp blubp blubp," teriakan Akara terdengar sekilas, disusul suara aneh seperti orang tenggelam.Rani yang masih duduk di singgasana seketika mencengkram erat sandarannya dan mengulurkan tangan lainnya ke depan. Ia mencengkram udara dan berkata."Kembalikan Regera!" Belenggu api di jantung Sin mulai mencengkram, namun … Crang!... Belenggu hancur, sontak membuat Rani berdiri. Naga api di atasnya seketika menyemburkan api, begitu besar bagaikan mesin roket hingga mencapai jauh di bawah gunung. Bisa dipastikan Sin tidak bisa ka
Kekaisaran Gletser AbadiSebuah tata surya dengan 3 planet yang tidak mendapatkan cahaya sedikitpun. Jika tata surya pada umumnya mengorbit pada suatu bintang (Matahari adalah nama sebuah bintang), Gletser Abadi mengelilingi sebuah lubang hitam kecil. Sebuah titik dengan gaya magnet yang sangat luar biasa, membuat ketiga planet tetap pada jalur orbitnya.Planet berwarna putih bersih, namun jika dilihat lebih dekat, itu bukan warna aslinya. Badai salju menyelimuti seluruh permukaan planet, dengan ketinggian ratusan meter dan dengan kecepatan angin ratusan kilometer per jam. Suhu dingin yang sangat ekstrim tanpa adanya cahaya, tidak mungkin ada kehidupan di permukaan planet. Namun jika masuk ke dalam planet yang sepenuhnya berupa gletser berwarna biru, dapat ditemukan sebuah gua raksasa. Pemukiman penduduk berada di sana, bangunan dan seluruh tempat terbuat dari Gletser es. Sama seperti di alam roh air, gletser es di sana bercahaya, menerangi seluruh sisi. Tidak ada tanah, namun tumbuh
Angkasa lepas yang seharusnya sunyi, sekarang begitu bising dengan dentuman keras tanpa henti. Robekan kehampaan seperti layar LCD yang dicakar cakar memenuhi angkasa, akibat kedua makhluk superior yang bertarung dengan sengit. Naga Es dan Ular Naga Angin saling mengejar, mengayunkan cakar, ekor dan sayap, bahkan menyemburkan kristal es dan bilah angin yang tajam. Kedua tubuh asli kedua Naga juga tidak jauh beda, mereka saling menyerang dan melesat ke arah planet Gletser Abadi. Badai salju yang menyelimuti planet telah berhamburan, tertiup menjauh hingga nampak permukaannya. Terlihat bukit-bukit rata yang diselimuti oleh salju, sedangkan pandangan langit di atasnya juga dipenuhi oleh robekan kehampaan. Seakan melukis udara dengan tinta hitam bercorak garis-garis yang tajam. Bagaikan 2 petir yang merambat di udara, keduanya melesat sangat cepat, dengan disusul ledakan saat kedua kilatan itu bertemu. Saat keduanya sibuk melayangkan serangan fisik, kristal es dan tebasan angin terus te
Friss yang sudah melesat dan hampir membelah tebalnya gletser es, tiba-tiba terhenti dan menoleh ke arah kerucut es raksasa yang dibuatnya. Ia terdiam seakan tidak yakin apa yang telah terjadi, benar seperti dugaannya, dinding es mulai retak. Dalam sekejap meledak, hancur berkeping-keping dan ledakan yang berupa amukan angin terus menyebar dengan cepat. Seakan sebuah balon yang terus membesar, menggerus gletser es yang menyelimuti planet, mencacah-cacah es layaknya sebuah agar-agar. …Gemuruh terdengar dari dalam planet, baik para warga yang terluka di pemukiman yang hancur tertimpa bongkahan es, maupun kedua belah pasukan di udara yang masih bertarung langsung mendongakkan kepalanya. Para pasukan berjubah yang sudah kelelahan, kini langsung terbelalak sangat ketakutan dan berteriak. "Tamat! Tamat sudah hidup kita!" Tepat saat itu langit seakan runtuh, menimpa mereka semua dalam sekejap. Angin telah mencacah semuanya.…Amukan angin meluas sangat cepat hingga dalam sekejap sudah me
Komo yang melihatnya langsung geleng-geleng heran dan berkata. "Beruntung kau bocah, waktu itu nona Lina saat bertemu denganmu tidak dalam kondisi prima!"Akara hanya tersenyum bangga, lalu kembali mengamati. Kepala Segoro mencair kembali, namun tubuhnya masih membeku."Kau dingin sekali, padahal sampai mengorbankan jutaan nyawa untuk memanggilku." Ia berkata sambil tersenyum penuh percaya diri. Akan tetapi, hal itu membuat Friss menatap tajam, bahkan seketika terbentuk cakar Naga dari kristal es di kedua tangannya. "Matamu buta?" ucapnya geram membuat Segoro tersenyum kecut dan bertanya. "Apa yang terjadi nona?""Zetes menyerangku, dia jadi budak para makhluk sialan itu!" Friss terlihat begitu geram, bahkan tanpa sadar energinya meluap, membuat serpihan es di sekitarnya jadi terselimuti oleh kristal es baru yang tajam. Melihat hal itu ia langsung menoleh ke arah dunia Gletser Abadi. Dari celah dunia yang terbuka, hawa dingin menyeruak masuk, membekukan pemukiman di pinggiran sana.
Para warga Gletser Abadi tengah sibuk, gotong royong membersihkan bongkahan es yang menimpa tempat tinggalnya. Bukan menggunakan perkakas, namun menggunakan energi mereka sendiri. Bongkahan es tadi dicairkan, lalu kembali membentuk rumah yang juga dari kristal es. Friss, sang Ratu Gletser Abadi mengamati semua itu dari atas balkon istananya. Segoro dan Akara masih berada di sisinya, lalu muncullah seorang pasukan putih yang berlutut di belakangnya. "Yang Mulia!" suara seorang gadis dengan tegas terdengar, membuat mereka menoleh dan berbalik badan. "Aliran energi pada gletser telah menipis, bahkan sudah banyak tanaman yang layu!" lanjutnya melaporkan keadaan. Sang Ratu tidak menjawabnya, lalu menoleh ke arah pemuda berpakaian putih biru dan berkata. "Segoro, bisa membantuku menggeser dunia ini?""Tentu!" seru Segoro, namun segera mengerutkan keningnya. "Tapi maksudnya?""Planet ini telah kehilangan energinya, sekarang sudah lepas dari o
Mereka perlahan-lahan membuka matanya, masih melesat dengan keadaan yang sunyi nan tenang. Tidak ada hambatan apapun di dalam sana selain dinding terowongan yang dipenuhi energi yang terus menggeliat."Jangan lambatkan lajumu." Friss memperingatkan Akara, dan gumpalan jiwa putih itu bertanya. "Kenapa?""Kita akan langsung keluar dari lubang cacing jika melambatkan kecepatan." Ia lalu membuka mata naganya dan menyapu pandangan. "Lalu bagaimana kita tau sudah sampai mana?" Akara kembali bertanya, lalu gadis itu menoleh sembari menutup mata naganya dan berkata. "Mataku dapat melihatnya."Akara langsung menoleh ke samping, sorot cahaya merah keluar saat mata naganya menyala. Ia seketika seakan tersedot keluar, melihat barisan planet dan bintang yang melesat begitu cepat. Seperti mendekatkan tulisan pada koran dan menggesernya dengan cepat, membuatnya pusing dan segera menutup mata naganya kembali. Ia langsung merasa ingin muntah.
Akara dan Friss masih di dalam lubang cacing, mereka masih begitu santai hingga akhirnya menyadari keanehan. Di kejauhan lorong penuh cahaya itu bergejolak, menyempit hingga akhirnya tertutup. Nyala merah dan biru serentak muncul dari mata keduanya."Nebula!" Akara langsung membuat pelindung ruang menyelimuti tubuh kekasihnya yang sedang terbelalak. Dentuman terjadi saat gadis itu melesat jauh lebih cepat, meninggalkan gelombang energi yang membuyarkan dinding lubang cacing. "Ada apa?" Akara ikut mempercepat lajunya."Tidak ada jalan masuk lagi jika kita keluar dari lubang cacing!" Friss begitu panik, namun apa daya. Lubang cacing sudah terpotong oleh Nebula. Bwush!... Mereka keluar dari lubang cacing, menembus pekatnya awan panas Nebula. "Tidak mungkin!" Friss mempercepat lajunya, hingga meninggalkan pusaran yang menggulung Nebula dan retakan kehampaan yang mencakar-cakar angkasa. Mengetahui usahanya gagal untuk masuk kembal