Matahari telah tenggelam sepenuhnya di dalam cakrawala, namun masih menyisakan cahaya semburat merah yang mewarnai langit. Pantulannya cukup untuk memperlihatkan genangan darah yang sudah mulai mengering di tanah yang hancur. Daratan lapang yang cukup luas sudah tak karuan, mayat para prajurit berserakan dengan kondisi yang mengenaskan. Berbagai senjata tajam masih setia menemani pemiliknya, menjadi saksi bisu kengerian peperangan yang sebelumnya terjadi.
Di antara lautan mayat, terlihat beberapa pergerakan. Bermodalkan obor untuk penerangan, mereka menarik pakaian dari salah satu mayat prajurit. Kain yang sudah berlumuran darah itu ia kepalkan di tangan, lalu mencelupkannya pada genangan darah di sekitarnya. Bagaikan kuas untuk melukis, ia menggunakan tanah layaknya kanvas. Simbol yang rumit terlukis satu persatu, berjejer di pinggir garis yang membentuk lingkaran sempurna.Kini giliran yang lainnya, ia berdiri di samping simbol, melakukan beberapa segel tangan dan memulai ritual. Tanpa disadari, sang Bayu telah berhembus kencang, menghantarkan aroma besi yang anyir dari genangan darah. Deretan awan perlahan-lahan merapat, menutup cahaya kemerahan yang sudah memudar.Sorot cahaya terakhir telah tertutup sempurna, disusul hembusan angin yang memadamkan obor hingga sepenuhnya gelap gulita. Akan tetapi, kilauan cahaya muncul, bergerak mengalir pada lukisan darah. Senyum penuh harapan merekah pada sekelompok orang itu. Ritual mereka berhasil.Krek!... Kehampaan retak bagaikan sebuah layar kaca, tepat di atas tempat ritual. Sesaat kemudian melebar, membentuk sebuah portal yang cukup lebar. Malam yang dingin nan gelap kini jadi begitu hangat dan terang. Bukan dari cahaya dari ritual, namun dari sosok berselimut api yang keluar dari portal. Itu iblis api!Portal kembali menutup dan secara serentak, seluruh jasad melayang. Bagaikan ditarik medan magnet yang kuat, seluruh jasad melesat menuju iblis api berada.Bruak!... Begitu renyah suara tulang yang saling menghantam. Ratusan mayat itu memadat, hingga akhirnya menjadi satu tubuh. Hembusan angin tipis berhembus ketika makhluk itu terlahir kembali. Tubuhnya tidak berbeda dengan manusia pada umumnya, namun hawa mengerikan menyelimutinya."Berhasil!" Mereka bersorak gembira ketika melihat makhluk panggilannya, lalu pria yang memulai ritual berkata."Persembahan telah diberikan, turuti perintah kami dan balaskan den..."Wosh!... Api membakar tubuhnya, membuat sorakan gembira seketika berubah menjadi pekikan ketakutan. Teriakan kesakitan hanya beberapa saat terdengar sebelum akhirnya api padam, menyisakan abu yang langsung disapu oleh angin. Melihat terror di depannya, mereka seketika gemetaran, bahkan ada yang jatuh terduduk."Bagaimana bisa kau melanggar kontrak?!" teriak salah satu pria sambil berusaha membuat segel tangan walau gemetaran."Segel lemah tidak bisa menghadangku!" Ia mengibaskan tangannya, lingkaran ritual yang sebelumnya menyala, hancur bagaikan kepingan kaca. Melihat para manusia yang terbelalak penuh ketakutan, ia langsung menyeringai, disusul suara teriakan memilukan yang mengisi keheningan malam.***Alam roh apiDi antara sangkar api, terdapat sebuah portal, namun para roh api menjauhi lokasi itu. Sebab, sang Naga api telah berdiri di depannya. Wanita yang mengenakan gaun bagaikan kobaran api, mengamati portal yang perlahan menutup sembari berkata."Mengamuklah." Ia lalu berbalik badan, membuat para roh api menyingkir, membukakan jalan untuknya. Namun ia terhenti, menyapu pandangan ke arah para iblis api di dalam sangkar.Ctak!... Ia menjentikkan jarinya, seketika sangkar dengan jeruji api melebur, namun terbentuk sangkar yang jauh lebih besar, mengurung seluruh ngarai. Tubuh wanita itu melayang, naik perlahan-lahan di udara sembari berkata."Hanya salah satu dari kalian yang akan berkesempatan melayaniku!"Seketika puluhan iblis api melesat, menerjang kerumunan roh api yang langsung berlarian. Roh api yang sebenarnya cukup kuat menjadi begitu rapuh di hadapan mereka. Potongan tubuh mereka yang berupa gumpalan api langsung terhisap, bergabung pada iblis api yang membunuhnya. Kanibalisme, yang lemah hanya akan menjadi sumber kekuatan bagi yang lebih kuat. Rani telah melayang cukup tinggi hingga melewati jeruji api. Ia tidak menunjukkan ekspresi apapun saat melihat adegan saling bunuh di bawah sana, hingga akhirnya tatapannya terhenti di salah satu sudut.Pemuda yang masih duduk jegang di antara kekacauan, ia langsung menyadari bahwa dirinya sedang diamati. Senyum menyeringai terukir pada wajah pemuda bermata unik itu, yang kemudian melompat hingga berposisi berdiri. Secara acak dia mengibaskan tangannya ke samping, menangkap kepala salah satu roh api. Layaknya sebuah vacum, makhluk bertubuh gumpalan api itu dengan cepat terhisap masuk ke dalam tangannya. Membuat pemuda itu menghela napas panjang sembari energi mengalir deras di tubuhnya.Jwesh!... Satu hentakan kaki membuatnya melesat, meninggalkan bekas pijakan yang hancur dan debu yang berserakan di udara. Ia meraih para roh api hingga bagaikan kumpulan lidi dalam genggamannya. Hasil buruannya itu dengan cepat terhisap, berubah menjadi energi dalam tubuhnya, membuatnya semakin kuat dan kembali melesat dengan kedua tangan melebar."Pada akhirnya menunjukkan kekuatanmu juga," gumam sang Naga api dengan mata yang bergerak begitu cepat, mengikuti pergerakan pemuda di bawah sana.Tiba-tiba ada sorot cahaya bagaikan cahaya mentari yang baru muncul, membuat Rani menoleh dengan perlahan. Cahaya yang berasal dari hulu sungai magma, tepatnya pada gunung berapi di kejauhan sana. Dari puncaknya, api membumbung tinggi, membelah kegelapan langit. Terdengar pula suara gemuruh dari gelombang energi yang mendekat dengan cepat, hingga beberapa saat kemudian membentur sangkar raksasa.Suara ledakan yang mengiringi menyebabkan getaran hebat, membuat bebatuan pada tebing berjatuhan. Tidak sedikit pula roh api yang terhantam bebatuan. Dalam kondisi itu, hanya sedikit yang tidak begitu terdampak, bahkan si pemuda dan sang Naga api tidak bergeming sama sekali."Tunggu aku Akara ...." Pemuda itu menyeringai saat melihat sumber cahaya, lalu menyapu pandangan, mencari keberadaan sang Naga api yang ternyata sudah pergi....Pilar api berangsur-angsur mengecil, meninggalkan robekan kehampaan di langit, menganga, memperlihatkan kegelapan dalam kehampaan. Puncak gunung berapi sudah tiada lagi, bagaikan ujung corong plastik yang telah meleleh dan menyisakan pangkalnya. Ajaibnya, altar di tengah kawah yang menjadi penopang sumber api malah baik-baik saja. Api belum sepenuhnya padam, masih tersisa kobaran api hitam yang menerbangkan Akara. Pemuda berjaket hitam itu masih dalam posisi bersila.Api hitam dan energi yang mengamuk di sekelilingnya menjadi stabil, membentuk layaknya cangkang telur yang menyelimutinya. Kini aura Naga terbentuk di atasnya, aura berwarna merah darah seperti milik Ratu Api, namun hanya ada satu lingkaran saja. Tidak berselang lama, retakan terjadi pada cangkang telur, namun juga membuat aura naga retak. Retakan yang tiba-tiba menyebar sangat cepat, hingga akhirnya. Crang!... Hancur sepenuhnya bagaikan pecahan kaca yang berjatuhan. Akan tetapi, aura Naga terbentuk kembali. Tidak hanya satu lingkaran, namun muncul satu lapisan lagi di luarnya.Aura merah yang indah nan megah itu pudar, saat pemiliknya membuka mata dan turun secara perlahan. Rani, sang Naga api telah menyambutnya di bawah sana, ia lalu berkata dengan cukup serius."Aura itu tidak seharusnya dimiliki oleh manusia sepertimu,"Akara hanya tersenyum, lalu memalingkan wajahnya dan bergumam. "Karena aku memang anakmu ...."Tempat yang abstrak, berlatar belakang cahaya berbagai warna dari awan panas Nebula di kegelapan angkasa, Dewa Penempa membungkukkan badannya di hadapan tiga gumpalan bercahaya. Dengan sopan dan waspada, ia menjelaskan tentang pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi yang memojokkannya. "Jadi, apa maumu?" tanya salah satu leluhur. Sambil sedikit menunduk, Dewa Penempa menjawab dengan lembut. "Mohon maaf, Fraksi Cahaya Ilahi di mata warga sudah bisa dikatakan hancur, bahkan banyak masalah yang terus terjadi. Mungkin sudah seharusnya kepemimpinan Fraksi diganti.""Kondisikan klan Vasto, kami akan segera memanggilmu kembali!" ujar salah satu leluhur, dan Dewa Penempa segera melebur, digantikan dengan seorang pria bermahkota sayap emas. "Ronas memberi salam kepada leluhur!" Ia sedikit menunduk seperti yang dilakukan Dewa Penempa sebelumnya. "Ronas, tiga lentera jiwa tetua Fraksi telah padam, apa yang terjadi?!" Ronas menjawab dengan tenang.
"Regera, kau telah mengalahkanku!" Luce kembali terkekeh, tapi ia segera tersedak saat bilah pedang kayu mengganjal mulutnya. Sebutir pil melesat begitu saja memasuki tenggorokannya. "Tidak perlu kau sembuhkan lukaku!" seru Luce saat ganjalan di mulutnya terlepas. Namun, ia segera menyadari bahwa itu bukanlah pil penyembuhan. Segel belenggu langsung menyala di jantungnya. Melihat Luce tidak menunjukkan tanda-tanda melawan, sepasang pedang kayu segera melebur di udara. Ia lalu berteleport menuju para Dewa lainnya berada, disusul oleh kilatan cahaya emas yang membawa Luce. Ternyata kegaduhan terjadi. Pria bertanduk ranting menyandera Luwang, padahal tubuhnya telah babak belur penuh luka bakar. Cakar tajam telah melingkar di leher pemuda Sheva bertanduk emas, untung ditahan oleh bilah cakar di lengannya. Tangan lain juga menahan lengan Dilvo satunya. Dewa lain nampak ragu untuk bertindak, dan kedatangan Akara menjadi harapan untuk mereka. Namun,
Cukup lama awan panas Nebula memenuhi domain, hingga akhirnya, luapan energi berhenti, bahkan malah kembali ke titik ledakan. Para Dewa hanya bisa menyapu pandangan penuh kebingungan, dan dalam hitungan detik, mereka dapat melihat kegelapan lagi. Awan panas Nebula telah sepenuhnya terhisap. Seketika para Dewa tertegun melihat apa yang menghisap semua itu. Sebuah lubang hitam raksasa, yang terlihat cahaya di pinggirnya dan menggaris, membelahnya. Itu cahaya energi yang terhisap dari kesepuluh esensi surgawi. Daya hisap yang luar biasa yang dapat menelan cahaya, tidak heran jika kesepuluh esensi mulai bergerak. Mereka terhisap, membuat Akara segera melempar dua butir pil ke mulutnya dan menyalakan seluruh auranya. Aura Naga sejati, ranah Jiwa Suci dan aura Alkemis tingkat delapan. Ia langsung melakukan segel tangan. Energi pelindung segera terbentuk di sekitar Esensi surgawi, menjadi sepuluh pilar yang puncaknya mengurung Esensi surgawi. Kesepuluh pilar juga segera saling terhubung d
"Sialan kau Dilvo! Berani-beraninya kau mengusik jasad ayahku!" Luwang sangat geram saat melihat tubuh Dewa bertanduk emas setengah sabit, yang tidak lain adalah leluhur Raja Sheva. Di samping leluhur, Sheva bertanduk ranting langsung terkekeh. "Majulah kalian semua!" Dewa Farz segera mendekati Luwang dan dengan tatapan masih tertuju pada lawan mereka, ia lalu berkata. "Kau lawan Dilvo, biar aku yang menahan leluhur Raja Sheva. Tidak perlu memaksakan diri, tahan saja sampai tuan Regera menjalankan rencananya!" Farz lalu menoleh ke arah dua Dewa Fraksi lainnya. "Jika dua Dewa Sheva lainnya tidak bergerak, kalian tidak perlu ikut campur!" "Baik Dewa Farz!"Ketegangan terjadi pada kedua belah pihak, bahkan belum sempat melesat, dimensi di sekitar mereka melebar, seakan ditarik dari kedua sisi. Dalam sekejap, mereka melesat dengan kecepatan cahaya. Memasuki lubang cacing dalam kekosongan. Pertarungan tidak terlihat dari luar, ta
Dalam dimensi yang hampa dan hanya mendapatkan cahaya dari bintang neutron, titik berkumpulnya kesepuluh energi esensi surgawi. Pusaran energi berwarna emas telah menyala di belakang Akara dan di atasnya, ada lingkaran dengan ukuran lebih besar, memiliki pola rumit berwarna hitam. Aura ranah Jiwa Suci, ditambah aura Naga sejati yang menggelegar, memutar pelan hingga dimensi seakan tertarik energinya.Namun, itu tidak sebanding dengan apa yang ada di depannya. Ia bagaikan sebuah titik kecil dibandingkan sosok Naga raksasa yang tubuhnya berselimutkan cahaya. Keempat kaki berototnya melebar, dengan cakar tajam yang mencengkram dimensi. Sayapnya membentang tak terkira, dengan lekukan-lekukan yang tak kalah tajamnya. Lehernya meliuk, menurunkan kepalanya yang garang dengan deretan gigi dan tanduk tajam. Tepat di atas tulang hidungnya, Luce duduk jegang dan bersandar penuh keangkuhan. Melihat kesepuluh Esensi surgawi dan domain yang sangat luas, Dewa
Sebelum peperangan dengan Dewa klan Sheva, Dewa berpakaian emas mendatangi sebuah tempat yang dipenuhi reruntuhan melayang. Lempengan-lempengan batu beterbangan, tapi tak pernah sekalipun bertabrakan. Di wilayah yang terisolir dari reruntuhan melayang, ada sebuah portal. Bukan pusaran yang gelap, tapi pusaran putih keemasan penuh cahaya yang indah. Begitu memasukinya, ia langsung menyipitkan mata, tersorot oleh cahaya yang lebih terang. Saat mulai bisa beradaptasi, terlihatlah sebuah titik seperti matahari, tapi dengan luapan energi yang sangat dahsyat. "Inti Cahaya Primordial?!" gumamnya cukup terkejut, tapi segera menemukan keberadaan seseorang dalam kekosongan penuh cahaya itu. Pemuda tampan yang sedang bersila, dengan pakaian minim dari cahaya hingga tubuh atletisnya yang bersih terlihat. Namun, di antara keindahan itu, berserakan mayat yang tak terhitung jumlahnya. Aliran energi dari tubuh mereka keluar, menuju ke dalam tubuh Luce. Ia menghisap ene