Akara yang sudah sangat lemas, ditambah dengan tekanan dari aura Naga yang begitu besar, membuat dirinya tersungkur memeluk lantai. Komo juga tidak jauh beda kondisinya, bahkan segera mengecil kembali. Akan tetapi, pemuda bernama Sin masih berdiri dengan tenang, ia tak bergeming sama sekali.
Melirik Akara yang sudah tak berdaya, ia menyeringai dan menjentikkan jarinya. Sebuah portal muncul di lantai, tepat di bawah tubuh Akara dan menelannya beserta Komo."Oii! blubp blubp blubp," teriakan Akara terdengar sekilas, disusul suara aneh seperti orang tenggelam.Rani yang masih duduk di singgasana seketika mencengkram erat sandarannya dan mengulurkan tangan lainnya ke depan. Ia mencengkram udara dan berkata."Kembalikan Regera!"Belenggu api di jantung Sin mulai mencengkram, namun … Crang!... Belenggu hancur, sontak membuat Rani berdiri. Naga api di atasnya seketika menyemburkan api, begitu besar bagaikan mesin roket hingga mencapai jauh di bawah gunung. Bisa dipastikan Sin tidak bisa kabur dari jangkauannya dan beberapa saat kemudian, semburan api terhenti.Dengan asap putih tipis yang mulai memudar, kawah tercipta di ujung semburan, meletup-letup dengan kobaran api yang sesekali muncul. Akan tetapi, Sin masih tak bergeming di tempat semula, padahal altar di sekitarnya telah meleleh menjadi magma, menyisakan area melingkar di dekatnya."Aku hanya berniat membantu," ucap Sin, namun Rani sudah berada di belakangnya. Mata naganya merah menyala, sembari menjulurkan satu tangan ke depan.Boomb!... Ledakan hebat tepat di depan telapak tangannya, membuat Sin terlempar puluhan meter. Seakan ada lantai transparan di udara, pemuda itu menapakkan kakinya dan tubuhnya mulai berhenti terlempar. Tiba-tiba Sin menoleh ke belakang dengan cepat, lagi-lagi Rani sudah berada di belakangnya. Wanita itu kini melayangkan tendangan ke arah dadanya, Sin terhempas sebelum tendangan mengenainya. Ada sebuah pelindung yang menyelimutinya bagaikan cangkang telur transparan.Sebelum benar-benar berhenti di udara, Sin sudah disambut oleh Ular Naga Api. Semburan api lagi-lagi menyebar, terhalau oleh pelindung. Namun, Rani sudah berteleport kembali, menendang Sin layaknya bola dan menyumbat mulut Ular Naga raksasa. Semburan tidak terhenti, membuat api meleber ke samping dan, Krek!... Pelindung retak, bukan karena semburan api, namun karena gigitan ular naga.Sin menyadarinya, namun seakan tidak peduli dan tetap begitu tenang. Akan tetapi, Rani sudah memasang kuda-kuda. Energi api telah berkumpul menyelimuti tulang keringnya hingga ke bawah.Brakk Crang!... Tendangan sangat kuat dari arah samping kiri, seketika menghancurkan energi pelindung. Tepat sebelum mengenai tubuh sebelah kirinya, Sin menangkisnya dengan tangan kanan. Tubuhnya kembali terlempar jauh dan kali ini ia melambaikan punggung tangannya ke depan.Brak!... Seakan bisa membaca masa depan, punggung tangannya tepat menahan tendangan Rani yang tiba-tiba muncul. Tubuhnya meluncur ke arah ular naga yang juga melesat ke arahnya, namun malah terkekeh. Ia memasang kuda-kuda, namun masih tergelincir di udara.Gleng!... Dentuman kuat terjadi saat ia menghentakkan satu kakinya dan seketika tubuhnya berhenti di udara. Ia langsung melesat menjauh bagaikan sebuah kilat, namun Rani terus mengejarnya. Dentuman terus terjadi setiap kali Sin menahan tendangan sang Ratu api, disusul semburan bola api dari mulut ular naga yang pergerakannya lebih lambat dari keduanya.Saking cepatnya, mereka terlihat bagaikan 2 kilat hijau gelap dan merah menyala, terus bergerak hingga menembus awan merah. Dentuman dari tendangan Rani menyebabkan gelombang energi yang sangat kuat, bahkan menghempaskan awan hingga berlubang. Tidak hanya sekali, namun berkali-kali hingga dengan cepat menyapu lautan awan. Kini langit yang gelap dihiasi cahaya akibat ledakan pertarungan mereka. Sin hanya terus menangkis, tanpa pernah melayangkan serangan sekalipun.Sembari terus menyerang, Rani berkata dengan penuh amarah. "Dengan aura di belakang punggungmu, sudah dipastikan ajalmu di tanganku! Dimulai darimu, akan aku pastikan seluruh kaummu binasa!"Bwush!... Ular naga api muncul dari atas, begitu cepat menghujam ke bawah, mencengkram Sin dengan gigi-gigi tajamnya. Ia tidak bisa berkutik lagi, hanya bisa melebarkan tangannya menahan agar tubuhnya tidak terkoyak. Saat itulah ia dapat melihat aliran energi yang memenuhi langit. Energi api yang mengalir dari segala penjuru, sangat luas hingga menutupi gelapnya langit. Aliran energi yang tidak terlihat ujungnya itu berkumpul, menyelimuti kaki wanita bergaun api yang melayang di udara.Sin yang sebelumnya tenang, kini mulai merasa risau dan berteriak. "Aku hanya ingin membantu kalian! Jika diriku terbunuh di sini, Regera juga tidak akan selamat!"Akan tetapi Rani tidak menghiraukannya. Gelombang energi menyebar dibarengi menghilangnya aliran energi, pertanda pemadatan energi selesai. Gelombang yang bergerak di udara dapat dirasakan oleh Sin, membuatnya terbelalak dan seketika energi di tubuhnya meluap. Jutaan bintang pada aura berbentuk sebuah galaksi di belakang pundaknya jadi semakin terang.Ia menoleh ke bawah sekilas, daratan sudah terlihat cukup dekat dan menoleh ke atas. Rani sudah meluncur sangat cepat ke arahnya."Naga ini perwujudan jiwamu! Jika menyerangnya, tubuhmu juga akan mendapatkan dampaknya!"Rani tidak menggubrisnya, bahkan sudah hampir mencapai ekor ular naga. Saat itulah ia mulai mengayunkan kakinya layaknya seorang atlet sepak takraw.Wush!... Wujud ular naga melebur di udara, energinya yang tersisa terbelah oleh tendangan Rani ke arah Sin yang tinggal beberapa meter menuju daratan. Sayangnya, portal muncul di depan Sin, sesaat sebelum ia terkena tendangan.Glarr!... Tendangannya mengenai tanah bagaikan sebuah ledakan bom atom, tanah di sekitarnya mencuat, namun segera jatuh bahkan terbenam seperti cekungan dalam saat gelombang energi menyebar. Berkilo-kilo meter radius hancurnya, bahkan masih terus bergerak."Sialan!" Rani berteriak sangat kesal, dibarengi kobaran api yang meluap dari tubuhnya.…Setelah dilempar oleh Sin menuju portal, Akara muncul di kedalaman air yang berwarna biru cerah, seakan cahaya bersinar dari segala arah. Tidak tenggelam maupun kesusahan bernapas, ia bahkan tidak basah. Dengan tenang Akara segera menyapu pandangan menyalakan mata ularnya, namun tidak menemukan keberadaan apapun."Energi ruangmu telah kembali?" ucap Komo sembari mengamati tubuhnya yang tidak tersentuh air."Si sialan itu memaksa energiku keluar!" Ia mendongakkan kepalanya dan mata ularnya menyala lebih terang."Permukaan tidak terlihat … atau mungkin tidak ada." Ia kembali menyapu pandangan. "Seluruh sisi terlihat terang, seperti ada cahaya dari segala arah,""Alam air?!" Komo terbelalak, begitu ketakutan hingga gemetaran dan bersembunyi di balik tudung kepala jaket tuannya."Ada apa denganmu?" Akara meraih kepala Komo, namun naga tanpa sayap itu mencengkram kuat jaketnya."Pokoknya jangan sampai bertemu naga air!"Selamat mengikuti perjalanan Akara, semoga dapat terus mengikuti hingga perjalanan berakhir. Jangan sungkan untuk kritik Author, tenang saja saya bukan anti kritik. Kesalahan bukan diri sendiri yang menilai, harus ada orang lain yang menunjukkannya. Kritikan kalian membangun Author agar jadi lebih baik lagi. Kritik dengan bahasa kasar silahkan, asal jangan bawa-bawa keluarga, suku dan agama.
Tempat yang abstrak, berlatar belakang cahaya berbagai warna dari awan panas Nebula di kegelapan angkasa, Dewa Penempa membungkukkan badannya di hadapan tiga gumpalan bercahaya. Dengan sopan dan waspada, ia menjelaskan tentang pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi yang memojokkannya. "Jadi, apa maumu?" tanya salah satu leluhur. Sambil sedikit menunduk, Dewa Penempa menjawab dengan lembut. "Mohon maaf, Fraksi Cahaya Ilahi di mata warga sudah bisa dikatakan hancur, bahkan banyak masalah yang terus terjadi. Mungkin sudah seharusnya kepemimpinan Fraksi diganti.""Kondisikan klan Vasto, kami akan segera memanggilmu kembali!" ujar salah satu leluhur, dan Dewa Penempa segera melebur, digantikan dengan seorang pria bermahkota sayap emas. "Ronas memberi salam kepada leluhur!" Ia sedikit menunduk seperti yang dilakukan Dewa Penempa sebelumnya. "Ronas, tiga lentera jiwa tetua Fraksi telah padam, apa yang terjadi?!" Ronas menjawab dengan tenang.
"Regera, kau telah mengalahkanku!" Luce kembali terkekeh, tapi ia segera tersedak saat bilah pedang kayu mengganjal mulutnya. Sebutir pil melesat begitu saja memasuki tenggorokannya. "Tidak perlu kau sembuhkan lukaku!" seru Luce saat ganjalan di mulutnya terlepas. Namun, ia segera menyadari bahwa itu bukanlah pil penyembuhan. Segel belenggu langsung menyala di jantungnya. Melihat Luce tidak menunjukkan tanda-tanda melawan, sepasang pedang kayu segera melebur di udara. Ia lalu berteleport menuju para Dewa lainnya berada, disusul oleh kilatan cahaya emas yang membawa Luce. Ternyata kegaduhan terjadi. Pria bertanduk ranting menyandera Luwang, padahal tubuhnya telah babak belur penuh luka bakar. Cakar tajam telah melingkar di leher pemuda Sheva bertanduk emas, untung ditahan oleh bilah cakar di lengannya. Tangan lain juga menahan lengan Dilvo satunya. Dewa lain nampak ragu untuk bertindak, dan kedatangan Akara menjadi harapan untuk mereka. Namun,
Cukup lama awan panas Nebula memenuhi domain, hingga akhirnya, luapan energi berhenti, bahkan malah kembali ke titik ledakan. Para Dewa hanya bisa menyapu pandangan penuh kebingungan, dan dalam hitungan detik, mereka dapat melihat kegelapan lagi. Awan panas Nebula telah sepenuhnya terhisap. Seketika para Dewa tertegun melihat apa yang menghisap semua itu. Sebuah lubang hitam raksasa, yang terlihat cahaya di pinggirnya dan menggaris, membelahnya. Itu cahaya energi yang terhisap dari kesepuluh esensi surgawi. Daya hisap yang luar biasa yang dapat menelan cahaya, tidak heran jika kesepuluh esensi mulai bergerak. Mereka terhisap, membuat Akara segera melempar dua butir pil ke mulutnya dan menyalakan seluruh auranya. Aura Naga sejati, ranah Jiwa Suci dan aura Alkemis tingkat delapan. Ia langsung melakukan segel tangan. Energi pelindung segera terbentuk di sekitar Esensi surgawi, menjadi sepuluh pilar yang puncaknya mengurung Esensi surgawi. Kesepuluh pilar juga segera saling terhubung d
"Sialan kau Dilvo! Berani-beraninya kau mengusik jasad ayahku!" Luwang sangat geram saat melihat tubuh Dewa bertanduk emas setengah sabit, yang tidak lain adalah leluhur Raja Sheva. Di samping leluhur, Sheva bertanduk ranting langsung terkekeh. "Majulah kalian semua!" Dewa Farz segera mendekati Luwang dan dengan tatapan masih tertuju pada lawan mereka, ia lalu berkata. "Kau lawan Dilvo, biar aku yang menahan leluhur Raja Sheva. Tidak perlu memaksakan diri, tahan saja sampai tuan Regera menjalankan rencananya!" Farz lalu menoleh ke arah dua Dewa Fraksi lainnya. "Jika dua Dewa Sheva lainnya tidak bergerak, kalian tidak perlu ikut campur!" "Baik Dewa Farz!"Ketegangan terjadi pada kedua belah pihak, bahkan belum sempat melesat, dimensi di sekitar mereka melebar, seakan ditarik dari kedua sisi. Dalam sekejap, mereka melesat dengan kecepatan cahaya. Memasuki lubang cacing dalam kekosongan. Pertarungan tidak terlihat dari luar, ta
Dalam dimensi yang hampa dan hanya mendapatkan cahaya dari bintang neutron, titik berkumpulnya kesepuluh energi esensi surgawi. Pusaran energi berwarna emas telah menyala di belakang Akara dan di atasnya, ada lingkaran dengan ukuran lebih besar, memiliki pola rumit berwarna hitam. Aura ranah Jiwa Suci, ditambah aura Naga sejati yang menggelegar, memutar pelan hingga dimensi seakan tertarik energinya.Namun, itu tidak sebanding dengan apa yang ada di depannya. Ia bagaikan sebuah titik kecil dibandingkan sosok Naga raksasa yang tubuhnya berselimutkan cahaya. Keempat kaki berototnya melebar, dengan cakar tajam yang mencengkram dimensi. Sayapnya membentang tak terkira, dengan lekukan-lekukan yang tak kalah tajamnya. Lehernya meliuk, menurunkan kepalanya yang garang dengan deretan gigi dan tanduk tajam. Tepat di atas tulang hidungnya, Luce duduk jegang dan bersandar penuh keangkuhan. Melihat kesepuluh Esensi surgawi dan domain yang sangat luas, Dewa
Sebelum peperangan dengan Dewa klan Sheva, Dewa berpakaian emas mendatangi sebuah tempat yang dipenuhi reruntuhan melayang. Lempengan-lempengan batu beterbangan, tapi tak pernah sekalipun bertabrakan. Di wilayah yang terisolir dari reruntuhan melayang, ada sebuah portal. Bukan pusaran yang gelap, tapi pusaran putih keemasan penuh cahaya yang indah. Begitu memasukinya, ia langsung menyipitkan mata, tersorot oleh cahaya yang lebih terang. Saat mulai bisa beradaptasi, terlihatlah sebuah titik seperti matahari, tapi dengan luapan energi yang sangat dahsyat. "Inti Cahaya Primordial?!" gumamnya cukup terkejut, tapi segera menemukan keberadaan seseorang dalam kekosongan penuh cahaya itu. Pemuda tampan yang sedang bersila, dengan pakaian minim dari cahaya hingga tubuh atletisnya yang bersih terlihat. Namun, di antara keindahan itu, berserakan mayat yang tak terhitung jumlahnya. Aliran energi dari tubuh mereka keluar, menuju ke dalam tubuh Luce. Ia menghisap ene