Mag-log inAkhirnya sampai di bab ini... dan aku masih deg-degan waktu nulisnya 🥹 Momen di tepi danau ini terasa seperti titik balik — bukan cuma untuk perang yang akan datang, tapi juga buat harapan kecil yang pernah Cailin ucapkan di bab 25 – Perahu Lilin. 🌙 Siapa sangka, harapan sederhana itu akhirnya terkabul… cuma dengan cara yang jauh lebih berat dan indah dari yang dia bayangkan. Funfact dikit: waktu nulis bagian Shangkara bilang “Kau sudah kembali ke hutan, dan aku ikut bersamamu,” aku pengin pembaca inget janji kecil itu — bukti bahwa semesta kadang “mengabulkan” doa dengan caranya sendiri. Kadang tak persis seperti yang kita minta, tapi selalu seperti yang kita butuhkan 💫 Kalian masih inget nggak, apa harapan kalian waktu pertama kali baca Perahu Lilin? Apakah udah terkabul… atau masih menunggu “purnama”-nya sendiri? 🌕
Cailin berlari. Langit di atasnya berwarna merah darah, bulan terbelah dua. Tanah di bawahnya retak, menganga seperti mulut raksasa yang siap menelannya. Dari celah-celah tanah yang retak itu, api hitam menjalar ke segala arah. Suara jeritan dan dentuman logam menggema. Angin panas menyengat wajahnya, membawa bau anyir darah dan abu yang membuatnya mual. Di kejauhan, ia melihat bayangan seorang pria berjubah merah—Shangkara—berdiri di atas reruntuhan istana. Tapi di belakangnya, muncul sosok lain. Wanita bergaun putih dengan rambut putih. Matanya kosong, kulitnya bersinar.“Vermilion ... dan Bulan ...” suara itu menggema dari langit. “Ketika es menyentuh api, dunia akan hancur.”Cailin mencoba berlari ke arah Shangkara, tapi tubuhnya seolah tertahan oleh sesuatu. Tangan-tangan dari bayangan mulai mencengkeram pergelangan kakinya. Ia menjerit. Dan tiba-tiba, tubuhnya terbakar oleh cahaya perak.Dalam sekejap, semua lenyap. Yang tersisa hanyalah suara bisikan pelan. “Cahaya yang menye
Di Istana Vermilion, di ruang kerja pribadinya, Shangkara duduk di hadapan Tetua Lin. Ren berdiri diam di belakang Shangkara, seperti bayangan yang waspada.Di luar, hujan ringan baru saja turun, tapi suasana di dalam ruangan terasa tegang.“Yang mulia harus bertindak cepat,” kata Tetua Lin dengan nada keprihatinan. “Kekacauan di luar semakin membesar. Selebaran-selebaran itu berhasil menanamkan ketakutan di hati rakyat. Mereka percaya bencana alam ini adalah hukuman karena yang mulia menodai takhta dengan darah Bulan.”Shangkara menghela napas berat. “Aku tidak akan tunduk pada fitnah, Tetua Lin.”“Tentu,” balas Tetua Lin. “Tapi rakyat tidak memahami kebenaran. Mereka membutuhkan simbol untuk percaya bahwa keseimbangan akan pulih. Jika ramalan Yin-Yang menakutkan mereka, maka menyampaikan pernikahan resmi dengan keturunan Vermilion murni akan meredakan ketakutan mereka, setidaknya untuk sementara.”Mata Shangkara menyipit tajam. “Kau bicara tentang pernikahan politik?”Tetua Lin tida
Sudah beberapa hari berlalu sejak Mei pertama kali menyalakan dupa beracun itu. Setiap pagi, asap beracun dari dupa itu memenuhi kamarnya, sementara jimat batu hitam perlahan menggerogoti energi spiritual Cailin dari bawah kasur.Pagi ini, cahaya matahari menembus kisi-kisi jendela, memantulkan kilau lembut pada lantai batu.Cailin duduk di tepi ranjangnya, merasa kepalanya lebih berat dari biasanya. Aliran Qi-nya terasa seperti aliran sungai yang tersumbat, masih mengalir, tetapi tersendat-sendat dan tidak lancar. Ia mencoba menarik napas dalam untuk menenangkan diri.Sudah lima hari. Setiap hari rasanya semakin sulit, pikir Cailin. Ia menyalahkan kelelahan dan intensitas pelatihan ditambah dengan perasaannya saat mengobati Daiyu.
Di sepanjang jalan ibu kota bahkan sampai ke pelosok desa, bisik-bisik ketakutan selalu terdengar seperti api menjalar. Seorang petani tua menatap sawahnya yang kering, bergumam, “Ini gara-gara ramalan itu... Vermilion dan Bulan bersatu, dunia tidak seimbang lagi.” Di pasar, seorang ibu menggendong anaknya yang demam, berbisik pada tetangganya, “Dia kemarin melihat cahaya aneh di langit, kata orang itu pertanda bencana.”Di Balai Dewan Agung, udara terasa sangat panas, meskipun cuaca di luar sejuk. Para tetua berdiri, wajah mereka dipenuhi keprihatinan yang dibuat-buat.“Yang mulia,” lapor salah satu pejabat muda dengan suara gemetar, “kekeringan melanda perbatasan Barat, dan wabah misterius merebak di desa pesisir timur! Rakyat mengaitkan semua ini dengan ramalan Yin-Yang! Mereka takut, Yang Mulia! Mereka menuntut jami
Di ruang meditasi Guru Fen, aroma dupa cendana menyelimuti udara. Guru Fen duduk bersila, matanya terpejam. Tiba-tiba, pintu terbuka, dan Shangkara masuk dengan langkah yang jauh lebih mantap dari kemarin.“Guru,” sapa Shangkara, wajahnya tampak segar dan penuh semangat.“Kenapa hari ini Kaisar datang terlambat?” sapa Guru Fen, nadanya santai tapi penuh sindiran. “Aku jadi berpikir ada kegiatan rahasia yang jauh lebih mendesak daripada pemulihan inti Vermilion.”Shangkara hanya tertawa kecil. “Prioritas, Guru. Dan soal inti Qi-ku,” ia mengulurkan tangannya, dan nyala api Vermilion yang kecil tapi terkendali muncul. “Berkat Putri Bulan, aku bisa memanggil kekuatan ku lagi. Inti Qi-ku jauh lebih stabil.”“It
Cahaya pagi yang lembut menyusup melalui celah tirai, menerangi lantai di kamar Kaisar. Shangkara dan Cailin masih berpelukan, diselimuti selimut sutra. Untuk sesaat, waktu terasa berhenti. Cailin menikmati kedamaian, melupakan kekacauan di luar tembok istana.Cailin membuka matanya perlahan, kepalanya bersandar nyaman pada dada Shangkara. Ia bisa merasakan detak jantung pria itu yang kuat dan napasnya yang stabil.Jemari Cailin dengan ringan menelusuri segel di dada Shangkara. Tanda segel itu terasa halus dan hangat. Senyum kecil mengembang di bibirnya.Saat tangannya bergerak, Shangkara bergumam pelan dan matanya terbuka perlahan. Ia melihat Cailin dan senyum lelahnya muncul.“Selamat pagi,” bisik Cailin.“Pagi,” jawa







