Share

59 - Menunggu

Author: Luna Maji
last update Last Updated: 2025-10-17 09:48:31
Keheningan setelah pertempuran terasa lebih memekakkan daripada suara ledakan itu sendiri. Sisa-sisa kabut hitam telah lenyap, dan hutan di sekitar danau kembali sunyi. Namun, udara masih bergetar oleh gelombang energi Vermilion yang baru saja dilepaskan Shangkara.

“Tuanku ...” bisik Ren, menatap ke langit malam. “Aura anda… seluruh dunia merasakannya.”

Shangkara tidak menunjukkan penyesalan. Ia menatap tangannya yang masih berpendar cahaya yang perlahan meredup, lalu menoleh ke arah Cailin yang menatapnya dengan cemas. Keputusannya sudah bulat.

“Aku tahu,” jawabnya, suaranya tenang namun penuh tekad yang dingin. “Biarkan mereka datang.”

Jauh di utara, di dalam benteng pegunungan Klan Naga Hitam yang dingin, seorang pria tua berjubah sisik naga sedang bermeditasi di depan sebuah bola kristal hitam. Tiba-tiba, bola kristal itu bergetar hebat sebelum retak dan hancur berkeping-keping, melepaskan asap merah samar.

Pria tua itu, Ketua Klan Naga Hitam membuka matanya. Mata hitamny
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    93 - Kalah

    Di tepi danau, kabut hitam telah menyelimuti sekeliling. Bau besi tua dan asap beracun memenuhi udara. Kuil Bulan baru separuh muncul dari dalam danau ketika serangan mendadak Klan Naga Hitam datang.“Formasi bertahan!” teriak Ren, menghunus pedang spiritualnya yang menyala api Vermilion. Ledakan api dari bilahnya memecah kabut di sekeliling mereka.Lian berputar cepat di sampingnya, tangannya membentuk lingkaran—pusaran angin tajam berputar di sekitar medan tempur, menahan sebagian kabut yang mencoba mendekat.Dari balik kabut, sosok-sosok berjubah hitam muncul, mata mereka memancarkan kilatan hijau kelam. “Prajurit Bayangan Vermilion, lindungi Putri Bulan!” seru Ren. Teriakan pertempuran menggema.

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    92 - Jebakan

    Keesokan paginya di dalam ruang meditasi batu yang tenang, Cailin duduk di ranjang batu. Ia terlihat lebih baik. Ramuan tabib istana telah memulihkan tenaga fisiknya, tetapi wajahnya masih pucat dan Qi Bulannya terasa mati. Ia mengenakan jubah untuk perjalanan, ditemani Shangkara, Ren, Guan, dan beberapa Pengawal Bayangan yang siap bergerak. Guru Fen berdiri di sampingnya.“Kita akan segera berangkat,” bisik Shangkara pada Cailin, tangannya erat memegangi lengannya. “Aku akan membawamu terbang, mempercepat perjalanan kita.”Guru Fen mengangguk dari samping, mengamati kondisi mereka berdua.Pintu ruangan terbuka dengan kasar. Lian menerobos masuk, napasnya tersengal-sengal, rambutnya berantakan, dan wajahnya panik.“Akhirnya ... akhirnya kutemukan kalian!” teriaknya, bersandar di pintu untuk menahan tubuhnya yang lelah.“Lian? Ada apa?” tanya Cailin, kekhawatiran terpancar di matanya yang masih lemah.Lian menarik napas dalam. “Daiyu ... dan selir ibu!” katanya terengah. “Mereka kembal

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    91 - Penawar

    Ruang meditasi itu tenang, hanya diterangi cahaya kristal spiritual yang memancarkan semburat biru lembut. Cailin terbaring di atas dipan batu, napasnya masih berat.Tabib istana baru saja pergi setelah memeriksanya dan meninggalkan ramuan. Shangkara duduk di sampingnya, menopang kepala Cailin dengan hati-hati. Guru Fen, Ren, dan Guan berdiri di sekitarnya.“Ramuan ini hanya mengembalikan tenaga fisik,” kata Shangkara, tangannya gemetar saat mencoba menyendokkan ramuan ke bibir Cailin. “Dia membutuhkan energi spiritual.”“Kami sudah menyelidiki, yang mulia,” sela Ren, menaruh wadah tersegel berisi Jimat Batu Hitam dan dupa beracun. “Ini adalah racun spiritual pasif, yang digunakan untuk menguras energi Bulan yang murni secara bertahap. Itu juga sebabnya racun itu tidak

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    90 - Ramalan Racun

    Cailin berlari. Langit di atasnya berwarna merah darah, bulan terbelah dua. Tanah di bawahnya retak, menganga seperti mulut raksasa yang siap menelannya. Dari celah-celah tanah yang retak itu, api hitam menjalar ke segala arah. Suara jeritan dan dentuman logam menggema. Angin panas menyengat wajahnya, membawa bau anyir darah dan abu yang membuatnya mual. Di kejauhan, ia melihat bayangan seorang pria berjubah merah—Shangkara—berdiri di atas reruntuhan istana. Tapi di belakangnya, muncul sosok lain. Wanita bergaun putih dengan rambut putih. Matanya kosong, kulitnya bersinar.“Vermilion ... dan Bulan ...” suara itu menggema dari langit. “Ketika es menyentuh api, dunia akan hancur.”Cailin mencoba berlari ke arah Shangkara, tapi tubuhnya seolah tertahan oleh sesuatu. Tangan-tangan dari bayangan mulai mencengkeram pergelangan kakinya. Ia menjerit. Dan tiba-tiba, tubuhnya terbakar oleh cahaya perak.Dalam sekejap, semua lenyap. Yang tersisa hanyalah suara bisikan pelan. “Cahaya yang menyem

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    89 - Peringatan

    Di Istana Vermilion, di ruang kerja pribadinya, Shangkara duduk di hadapan Tetua Lin. Ren berdiri diam di belakang Shangkara, seperti bayangan yang waspada.Di luar, hujan ringan baru saja turun, tapi suasana di dalam ruangan terasa tegang.“Yang mulia harus bertindak cepat,” kata Tetua Lin dengan nada keprihatinan. “Kekacauan di luar semakin membesar. Selebaran-selebaran itu berhasil menanamkan ketakutan di hati rakyat. Mereka percaya bencana alam ini adalah hukuman karena yang mulia menodai takhta dengan darah Bulan.”Shangkara menghela napas berat. “Aku tidak akan tunduk pada fitnah, Tetua Lin.”“Tentu,” balas Tetua Lin. “Tapi rakyat tidak memahami kebenaran. Mereka membutuhkan simbol untuk percaya bahwa keseimbangan akan pulih. Jika ramalan Yin-Yang menakutkan mereka, maka menyampaikan pernikahan resmi dengan keturunan Vermilion murni akan meredakan ketakutan mereka, setidaknya untuk sementara.”Mata Shangkara menyipit tajam. “Kau bicara tentang pernikahan politik?”Tetua Lin tida

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    88 - Ambruk

    Sudah beberapa hari berlalu sejak Mei pertama kali menyalakan dupa beracun itu. Setiap pagi, asap beracun dari dupa itu memenuhi kamarnya, sementara jimat batu hitam perlahan menggerogoti energi spiritual Cailin dari bawah kasur.Pagi ini, cahaya matahari menembus kisi-kisi jendela, memantulkan kilau lembut pada lantai batu.Cailin duduk di tepi ranjangnya, merasa kepalanya lebih berat dari biasanya. Aliran Qi-nya terasa seperti aliran sungai yang tersumbat, masih mengalir, tetapi tersendat-sendat dan tidak lancar. Ia mencoba menarik napas dalam untuk menenangkan diri.Sudah lima hari. Setiap hari rasanya semakin sulit, pikir Cailin. Ia menyalahkan kelelahan dan intensitas pelatihan ditambah dengan perasaannya saat mengobati Daiyu.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status