Share

"Ujian masuk"

Keesokan harinya.

Aden terbangun merasakan hangat serta silau matahari yang mengenai netranya. Rasanya dia baru saja memejamkan mata, namun sudah harus bangun. Bukannya dia tidak bisa tidur karena tidak mendapat alas berupa kasur yang empuk. Dia sudah pernah hampir tiga hari tiga malam harus berada di hutan karena menghindari jebakan musuh. Dan tentunya dia juga tidak terlalu mempermasalahkan tidur hanya beralaskan rumput.

Saat masih mengumpulkan nyawa, dia mendengar suara di sampingnya.

"Matahari terlihat indah kan dari sini?"

Suara lembut itu mengalun di telinga Aden, terasa nyaman.

Aden menoleh, terpana. Jujur saja dari sekian wanita yang pernah ditemuinya, baru kali ini dia melihat wanita yang benar-benar cantik alami.

Wanita itu menoleh ke arahnya dengan senyum yang terlukis di bibir semerah cerinya. "Aku sering kesini disaat ingin menyendiri. Orang-orang mungkin menganggap hidupku sangatlah sempurna, tetapi mereka salah. Hanya aku yang tahu bagaimana rasanya menjadi diriku. Terkadang aku ingin terlahir sebagai orang biasa sehingga bebas melakukan apapun yang kuinginkan."

Aden jadi teringat masa lalunya. Dulu dia juga seperti itu.

"Maaf aku banyak bicara. Bagaimana denganmu? Apa yang membawamu kemari?"

"Ah, aku ...."

"Hei!"

Keduanya menoleh, Helda datang ngos-ngosan.

Dia membungkuk sambil memegangi kedua lututnya, "Kau benar-benar tidur di sini?"

Melihat Aden yang tak kunjung menjawab, Helda bicara lagi, "Maaf aku kemarin tidak memaksamu tinggal sementara denganku."

Ada yang salah! Mengapa Helda tiba-tiba sok baik begini dengannya? Aden baru tahu jawabannya begitu Edgar muncul. Dengan muka duanya, Helda menyalahkan dirinya sendiri seperti yang dia bilang barusan.

"Apa-apaan, nyatanya kau sendiri yang menunjukkan tempat tidak layak itu untukku. Jelas saja aku tidur di sini!" ungkap Aden menggebu-gebu.

Entahlah Aden tidak tahu apa yang dipikirkan Edgar saat ini, karena pria itu tampak biasa saja. Dia lalu mengajak Aden. Katanya sih ada yang ingin dibicarakan.

Aden lalu tersenyum pada wanita cantik tadi, mengatakan dia harus pergi. Sementara dengan Helda, Aden hanya menatap sinis. Ingatkan dia harus memberi pelajaran pada Helda.

Suasana pagi ini cukup ramai, banyak anak-anak seusia Aden memulai aktivitasnya yang tak lain adalah belajar di perguruan ini. Mereka yang melihat Edgar menyapa sambil menunduk sebentar, Edgar menanggapinya dengan senyum tipis.

"Kau orang yang sangat dihormati, Ed." ucap Aden.

Edgar menoleh padanya. Edgar menggaruk pipinya. "Apa begitu?"

Aden mengangguk. Dilihat dari segi mana pun juga sudah jelas.

"Hmm. Kau sendiri apa cukup nyaman tinggal di sini?" Edgar bertanya di sela murid yang lewat.

Oh ya jelas tidak. Semalam saja dia tidur di luar ditemani nyamuk yang terus berdengung di telinga dan terkadang akan menusuk kulitnya untuk menyesap darah. "Tanpa kuberi tahu, kau pasti sudah tahu."

Edgar tertawa kecil.

"Apa yang kau tertawakan?" Aden bersungut-sungut.

Edgar yang melihatnya gemas. Ah, dia jadi ingin memiliki anak. "Ingin menjadi anak angkatku, Aden?"

Mata Aden membola, "Usia kita mungkin hanya berjarak tujuh tahun, Ed. Jadi tidak mungkin bagimu untuk menjadikanku anak angkatmu."

"Usia bukan masalah. Lagipula usia kita sebenarnya berjarak seratus tiga puluh tahun." Edgar menghitung dengan jarinya.

Aden melongo, serasa bisa menjatuhkan rahangnya saking lebarnya.

"Tidak mungkin!" bantahnya. Jelas siapa yang akan percaya jika Edgar sudah setua itu. Wajahnya saja masih muda, seperti berusia dua puluhan.

"Ya sudah kalau kau tidak percaya."

"Hmm. Jadi apa sebenarnya yang ingin kau katakan?" Aden yakin Edgar berbasa-basi tadi.

Edgar menghentikan langkahnya, menatap Aden. Dia membatin, Aden ini anak yang peka. "Ingat aku sudah menjadi gurumu?"

Aden mengiyakan. Edgar belum berbicara lagi, hingga mereka tiba di depan bangunan tinggi yang dilihat Aden semalam.

Dari dekat dia bisa melihat Ginzu yang berdiri kokoh, mengeluarkan hawa yang tampak berbeda dari semua tempat yang ada di perguruan ini. Sedikit lebih kental dengan suasana mencekam?

"Bisa dibilang, guru yang melatih murid-murid tinggal di sana." Edgar menunjuk bangunan di samping Ginzu.

Oh, pantas saja kemarin Edgar tidak mengajaknya tidur di tempatnya. Bangunan itu rupanya dikhususkan untuk para guru.

"Ada beberapa dari mereka yang kurang setuju dengan keputusanku,"

Jangan bilang Edgar bermaksud mencabut kata-katanya, lalu menendangnya keluar sehingga dia hanya akan menjadi gelandangan. Oh, tidak. Wajah tampannya terlalu disayangkan kalau begini akhirnya.

"Tetapi, untung saja kau kemari di waktu yang tepat karena acara itu akan segera dilaksanakan."

Aden menghembuskan napas lega. Tidak berselang lama, dia menaikkan alisnya sebelah, "Acara apa?"

"Ujian masuk untuk penerimaan murid,"

Oh, jadi begitu. Aden tidak terlalu khawatir sih. Palingan juga mereka harus menunjukkan kemampuan bertarung. Asal lawannya bermain dengan tangan kosong, Aden yakin dia tidak akan mudah untuk dikalahkan.

Ingat bukan, kehidupan Aden dulunya seperti apa?

"Tidak perlu khawatir, Ed. Aku pasti bisa melewatinya. Ngomong-ngomong acaranya kapan?"

"Tiga hari kemudian,"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status