Share

Keputusan

"Apa ini layak disebut tempat tinggal?" Aden memandang ruangan yang kini dimasukinya bersama Helda—nama wanita tadi, yang baginya lebih menyebalkan daripada Emily.

Dari luar rumah seluas lima meter persegi itu tampak baik-baik saja, tetapi dalamnya tampak bobrok. Satu lemari kecil yang kayunya sudah keropos, tempat tidur beralaskan tikar yang koyak di beberapa bagian, tanah becek di sekeliling karena atapnya bocor, belum lagi sarang laba-laba dan debu di mana-mana.

"Tempat lain sudah penuh. Kalau kau tak mau ya sudah tidur di luar sana!" Helda tak peduli. Dia langsung keluar dari rumah itu, kembali ke tempatnya sendiri. Tanpa sepengetahuan Aden, dia terkikik pelan.

Aden jelas lebih memilih untuk tidur di luar. Maka dia pun melangkah. Pikirnya lebih baik dia jalan-jalan sebentar guna melihat seperti apa Perguruan Goya ini. Oh iya, dia baru tahu saat tadi Helda dengan mulutnya yang terus nyerocos tanpa henti mengatakan ini itu padanya.

Sampai akhirnya dia menemukan sebuah padang rumput dan duduk di sana. Oke, Aden memutuskan akan tidur di sini saja.

___

Ginzu, bangunan menjulang tinggi yang terletak di bagian belakang Perguruan Goya merupakan bagian utama. Bangunan itu bisa dikatakan sebagai tempat suci. Di kiri dan kanannya terdapat bangunan yang lebih kecil sebagai tempat tinggal para guru yang mengajar. Dengan alasan, ada peninggalan pusaka dari leluhur di dalam Ginzu yang harus dijaga dengan ketat. Sehingga kalau terjadi apa-apa bisa lebih cepat diatasi.

Edgar melangkah ke bangunan itu. Ketika dia sampai, pintu secara otomatis terbuka. Hawa penekanan kuat menguar. Dia sudah menebak ini akan terjadi. Maka dari itu, Edgar berjalan seperti biasa bahkan ketika para guru menatapnya tajam.

Mereka berdiri bersisian dengan satu pria berambut putih yang berada di tengah. Hanya dia yang memiliki ekspresi tenang, tetapi di dalam hati dia juga bertanya-tanya tak ubahnya seperti yang lain.

"Apa kau tidak lagi mengingat aturan, Tuan Zan?" Zidi, pria berjubah merah itu bertanya. Nadanya memang biasa, namun matanya jelas menyiratkan pandangan sinis.

"Kita tidak boleh membawa masuk seenaknya orang dari luar." perjelas Zidi.

"Jangan gunakan itu sebagai alasan untuk memojokkan Tuan Zan, Tuan Zidi. Aku yakin Tuan Zan tidak lupa." ucap Yilu, wanita yang berdiri di sebelah kanan Zidi.

Zidi yang mendengar kalimat Yilu merasa marah. Bukan karena apa yang dia katakan salah, melainkan tepat menusuk dadanya. Dia mengepalkan tangan erat, menormalkan mimik wajahnya.

"Apa maksudmu, Nona Yi. Kapan aku memojokkan Tuan Zan?" Zidi mengganti pandangan ke sekeliling, "Kalian juga pasti mendengar aku hanya bertanya, bukan?"

Para guru itu saling melempar pandangan, dan mengangguk kecil.

"Apa yang dikatakan Tuan Zidi benar. Sedekat dan sepenting apapun orang itu bagi kita, tetap harus memenuhi syarat." yang bicara Song. Sudah pasti dia akan langsung mendukung ucapan Zidi, keduanya memang berteman dekat.

"Aku jadi ingat keponakanku yang malang. Dia gagal ujian, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya," Thiza ikut bicara, tetapi bukan bermaksud sependapat dengan Zidi. Memang faktanya seperti itu.

"Benar, benar. Semua yang menjadi murid di sini harus masuk secara adil."

Yilu geram. Dia tidak bisa membiarkan Zidi menang debat darinya. Mungkin hanya dia satu-satunya yang tahu bagaimana busuknya Zidi ini. Yilu tidak habis akal, maka dia berbicara lagi.

"Mereka tentu tidak tahu karena aku yang didekatmu jelas-jelas melihat tanganmu yang mengepal." Yilu tertawa dalam hati ketika Zidi langsung melepas kepalan tangannya. Tentu dia tahu kebiasaan Zidi yang satu ini.

Yilu sudah bertahun-tahun mengamati Zidi. Setiap kali Zidi merasa tidak suka terhadap apapun itu, dia selalu mengepalkan tangannya sebagai pengalihan. Sementara wajahnya sebisa mungkin menampilkan raut biasa.

Berbeda dengan mereka yang bisa mengendalikan emosi dengan baik. Zidi ini hanya berpura-pura bersikap biasa dibalik amarah yang terkumpul di dalam hatinya.

Yilu menutup mulutnya menggunakan tangan, memasang raut terkejutnya, "Astaga, padahal aku hanya asal bicara. Tetapi begitu melihat tingkahmu, aku makin yakin perkataanku benar,"

"Nona Yi!" Zidi tidak bisa menahan amarahnya lagi, maka dia melayangkan pukulannya. Belum sempat menyentuh pipi mulus Yilu, tangannya sudah dicekal.

"Kirin! Lepaskan tanganku!"

Kirin tidak bergeming. Dia semakin mengeratkan cekalannya. Menurutnya apa yang dilakukannya tidak salah. Di Ginzu tidak diperbolehkan adanya pertarungan.

"Jangan sombong hanya karena kau baru menjadi guru. Aku tetaplah orang yang harus kau hormati!" Zidi berusaha melepaskan cekalan.

Dua tahun yang lalu, Kirin masihlah seorang murid. Dengan sifatnya yang tegas serta kemampuan yang dimilikinya, dia berhasil menjadi guru di usia yang masih muda.

Kirin lalu melepaskan tangannya, "Tuan Zidi harusnya juga ingat peraturan di dalam Ginzu."

Zidi agak memerah, merasa malu sekaligus marah. Tuan Qi, ketua perguruan memuji sikap Kirin. Dia lalu menyuruh Edgar agar menjelaskan tindakannya, membawa Aden ke dalam perguruan.

Edgar tentu mengatakan semuanya, kecuali pengakuan Aden mengenai kematiannya serta hidup kembali.

"Meski begitu alasanmu belum membuatku membolehkan tindakanmu. Dia orang luar yang tidak tahu apa-apa. Siapa yang tahu bahwa dia merupakan mata-mata yang dikirim perguruan lain?" ucap Tuan Qi setelah berpikir sebentar.

Salah satu guru berkata, "Tuan Qi, bukankah kita bisa melihat apakah orang luar itu layak atau tidak masuk ke perguruan melalui ujian masuk beberapa hari kedepan?"

Kasak-kusuk terdengar. Mereka hampir lupa akan hal itu. Tuan Qi lalu mengangguk menyetujui.

"Suruh dia ikut."

Edgar mengangguk, "Baik."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status