Share

Dimulai

Selama tiga hari ini Aden menghabiskan waktunya berkeliling Perguruan Goya bersama Helda. Aden baru tahu kalau ternyata Helda itu seumuran dengannya. Itupun karena saat melakukan pendaftaran penerimaan murid baru dengan Edgar, ada alat yang bisa mengetahui fisik seseorang. Dan umur juga termasuk di dalamnya.

Jadi sekarang sudah jelas kalau usia Aden lima belas tahun.

Namun karena tingginya yang hanya sebatas telinga Helda, membuat wanita itu menganggap Aden lebih muda darinya. Tak jarang Helda sering memukul kepala Aden, yang pastinya dibalas kembali oleh Aden. Dari sekian banyak tingkah Helda, yang paling dibenci Aden adalah muka duanya yang muncul ketika ada Edgar.

Helda terpaksa, ah tidak lebih tepatnya dia mengatakan secara tegas bahwa dia menyukai Edgar dan ingin dekat dengannya. Tetapi berhubung Edgar tidak terlalu suka jika berdekatan dengan wanita, Helda hanya bisa memberi perhatian dengan cara sering menyapa Edgar.

Aneh memang. Terlebih lagi ternyata Helda juga tahu kalau Edgar lebih cocok menjadi kakek buyutnya, namun tetap saja dia menyukai Edgar. Katanya usia tidak masalah yang penting wajahnya.

Meski sikap Helda buruk di mata Aden, dia salah satu murid yang lumayan hebat. Jadi Edgar meminta agar Helda bersedia mengajari hal-hal dasar tentang bela diri kepada Aden. Helda tidak keberatan, itu tandanya Edgar lebih percaya dengannya dan menaruh harapan padanya.

"Terlalu percaya diri. Karena kau sering menguntit Edgar maka dia memberimu tugas agar bisa menjauh darinya," ujar Aden yang entah keberapa kalinya mendapat pukulan Helda.

Oke kembali ke situasi sekarang. Keduanya berada di halaman rumah Helda. Jangan tanya bagaimana kondisinya. Jelas bisa dikatakan sangat layak dihuni. Murid-murid di sini memang menghuni rumah yang telah disediakan. Tiap satu rumah diisi dua sampai tiga orang.

"Sudah kubilang jangan memukul kepalaku! Kau bisa membuat otakku yang berguna ini bergeser dari tempatnya!" Aden balas memukul Helda.

Helda lebih dulu menghindar. Dia tidak ingin kepalanya kembali nyut-nyutan karena Aden tidak main-main memukulnya.

"Gerakanmu terlalu lembek. Maka dari itu aku mengingatkanmu." dengus Helda, jelas itu hanya alasan. "Aku tidak ingin Tuan Zan malu karena muridnya yang bebal bahkan setelah kuajari,"

Aden mendecih. Dia memang tidak serius saat Helda menyuruhnya melakukan kuda-kuda. Mengapa? Yang pertama, karena dia sudah sangat bisa. Aden ini pintar bertarung. Nah yang kedua, karena dia baru saja bangun. Mana sekarang masih pagi buta lagi. Oh ayolah Aden masih sangat mengantuk.

"Kau pria kan? Cepat lakukan dengan benar. Pagi ini kau harus tes!" omel Helda duduk di kursi depan yang terbuat dari bambu sambil memakan camilannya.

Ya, jadi hari ini acara penerimaan murid yang ditunggu Aden. Dia mendaratkan pantatnya di samping Helda. Menggeser kaki Helda yang selonjoran, "Ujiannya kan pukul delapan."

"Tidak apa-apa, untuk pemanasan," ucap Helda sambil mengunyah makanan.

Dan begitulah pagi yang dilewati Aden bersama Helda. Aden yang kesal memutuskan mandi dan makan. Perutnya kan juga butuh diisi. Dia mencomot makanan Helda.

"Jangan banyak-banyak," nyinyir Helda, yang tidak dipedulikan Aden.

Setelah menghabiskan tiga jam untuk tiduran dan melakukan adu omongan yang tidak berguna, keduanya menuju ke tempat ujian diselenggarakan. Di sepanjang jalan banyak orang-orang dari luar datang dengan tujuan yang sama.

Maklumlah, kan Perguruan Goya ini merupakan satu dari lima perguruan besar. Jadi desa yang ada di sekitar pada berbondong-bondong kemari. Ada yang benar-benar ingin menjadi murid di sini, dan ada juga yang hanya sekadar melihat-lihat. Intinya untuk satu hari ini Perguruan Goya dibuka bebas untuk umum.

Eits, namun untuk masuk pun juga harus diperiksa. Kan tidak lucu kalau waktu seperti ini dimanfaatkan musuh untuk menyerang.

"Nah sampai deh," ucap Helda.

Lokasi ujian tidak jauh dari Ginzu, yang berupa lapang tidak berumput. Hanya ada beberapa pohon yang mengelilingi lapang tersebut

Di sana sudah tersedia panggung kecil yang di atasnya ada meja panjang dan kursi untuk juri. Berjarak sekitar sepuluh meter, ada lingkaran yang terbuat dari batu dengan motif ukiran.

Kebanyakan dari pendatang merupakan pria, dan sibuk membicarakan mengenai kelebihan mereka satu sama lain. Yakin jika tahun ini berhasil menjadi murid.

Ya siapa yang tidak ingin coba. Berawal menjadi murid, lalu lulus mendapat gelar kesatria. Di masyarakat mereka terpandang memiliki kedudukan, dihormati. Terlebih lagi jika diadakan upacara pengangkatan yang dilakukan langsung oleh raja.

"Tuan muda, tolong berhenti!"

Seorang anak laki-laki berlari gesit di antara para pendatang. Dua orang pria dewasa di belakangnya berusaha mengejarnya.

"Sudah kukatakan aku hanya ingin melihat-lihat, jadi jangan kejar aku!" teriaknya.

Orang-orang yang merasa terganggu memakinya, namun anak itu cuek saja. Tetap berlari sambil sesekali melihat ke arah dua bawahannya. Sampai akhirnya dia berhenti. Bukan karena kemauannya sendiri, melainkan dia menabrak orang.

"Bocah sialan! Apa kau lupa tidak memasang matamu?!" Aden murka. Ya, dialah yang ditabrak.

Helda membantu Aden berdiri, lalu membantu anak itu juga. Anak itu menepuk pakaiannya yang kotor karena tanah. Mengabaikan Aden yang menatapnya sengit.

"Hei, bocah! Kutanya apa matamu tidak kau ...."

"Jangan memanggilku bocah. Kita seumuran, tahu!"

Aden menarik napasnya, menghembuskannya pelan. Baik, dia tidak peduli soal usia lagi.

Dua orang tadi berhasil menyusul, meminta maaf atas kelakuan anak yang bernama Jin itu. Jin hendak memanfaatkan kesempatan ini untuk kabur lagi, jika saja kerahnya tidak tiba-tiba ditarik oleh wanita bertampang galak di belakangnya.

"Mau ke mana lagi kau?" tanyanya tersenyum tipis, matanya seolah berkata akan merebus si Jin begitu salah mengucapkan kata.

"Ehm, kak. Bisa lepaskan dulu tanganmu?" Jin agak ketakutan, menangkupkan kedua tangannya.

Sin, kakak Jin meminta maaf kembali pada Aden. "Maaf, adikku ini memang terlalu dimanjakan jadi tidak tahu bagaimana bertingkah sopan pada orang lain."

Sin mengeluarkan kantung, mengambil beberapa koin perunggu dan menyerahkannya pada Aden. "Kuharap kau mau memaafkannya."

"Tidak perlu." Aden menolak pemberian itu. Baginya asal Jin minta maaf sudah cukup. Namun kalaupun menyuruh Jin melakukannya, tidak mungkin. Anak itu pasti tidak akan mau.

Seolah tahu yang ada dalam pikiran Aden, Sin lalu menekan punggung Jin sehingga posturnya kini setengah membungkuk.

Sin sekali lagi mengucap maaf. Aden mengiyakan. Sin melirik Helda sebentar. Tanpa sepengetahuan Aden, Sin memberikan koin pada Helda dan berpesan agar digunakan ketika Aden membutuhkan.

Helda mengangguk, namun dalam hati dia akan memakai uang itu sendiri. Kan jelas-jelas tadi Aden tidak mau, bukan?

Keempat orang itu pamit pergi. Tepat setelahnya, suara gong pertanda ujian dimulai terdengar.

Helda menepuk pundak Aden, "Kalau kau gagal aku yang malu. Jadi pastikan kau lolos,"

Aden tak menjawab, dia menyingkirkan tangan Helda lalu menatap beberapa orang yang duduk di bangku juri. Salah satunya Edgar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status