Share

BERBURU ULAR

17 tahun kemudian.

Pada suatu hari yang cerah di Gunung Naga.

Sinar mentari sudah tidak lagi menyengat, tetapi masih terasa cukup hangat di permukaan kulit. Cahayanya menembus hutan pinus di perbatasan perbukitan, menambah keelokan pemandangan di sana.

Di padang rumput yang tak seberapa luas, seorang anak muda berlarian menerobos semak belukar dan kelebatan rumput ilalang. Dia bahkan tidak memedulikan kulit halus kaki-kaki kokohnya yang sesekali tergores oleh duri-duri dari tanaman liar hingga berdarah. Tampaknya, pemuda itu sedang memburu sesuatu.

Anak muda itu berhenti di depan semak perdu yang cukup rimbun. Mata indah dengan iris birunya mengawasi suatu pergerakan kecil pada tumbuhan berumpun berdaun kecil, panjang dan memiliki warna hijau kekuningan.

Mulut pemuda itu lirih bergumam, "Di mana dia? Bukankah tadi dia lari ke sini?"

Suara gemerisik nan samar disertai desisan lembut telah menjatuhkan sepasang mata cantik itu mengalihkan perhatian pada sisi semak yang lain. Seutas benda panjang menjuntai telah membuatnya menoleh dan meneliti. Tidak salah lagi, inilah yang sejak tadi membuatnya harus berlarian hingga kelelahan.

Anak muda itu menyeringai kecil, karena apa yang sedang dia cari telah ditemukan. "Hmm, di sini rupanya!"

Anak muda itu mengulurkan tangannya untuk meraih benda berbentuk panjang dan lunak yang membelit pada batang tumbuhan semak. Rupanya, benda itu bukanlah barang mati yang tidak bisa diam saja saat bahaya mengancamnya.

Benda itu pun dengan gerakan cepat segera menghindarkan diri sang pemburu. Namun, anak lelaki itu juga bukanlah seseorang yang mudah menyerah begitu saja. Dia pun segera menyambar benda misterius tersebut dengan gerakan yang tidak kalah cepat pula.

"Haaaaa! Kena kau!" Pemuda tampan berusia tujuh belas tahun itu pun segera melompat hingga menabrak rumpun semak di mana buruannya bersembunyi.

Dia jatuh bergulingan dih atas padang rumput berhiaskan bunga-bunga liar yang tengah bermekaran. Meskipun dirinya baru saja terjatuh, tetapi tidak ada rintih kesakitan pada raut wajah manisnya.

Sesungging senyum penuh kepuasan mengembang di bibir tipis merah mudanya. Kali ini dia berhasil menggenggam benda panjang bagaikan sulur akar pohon yang meliuk-liuk dan terus memberontak. "Kamu sudah tak bisa melarikan diri lagi, Makhluk Jelek!"

Seekor ular belang hitam bercampur merah terang sekarang berusaha melepaskan diri dengan cara meronta-ronta penuh kemarahan. Binatang berbisa itu telah terjebak dalam genggaman tangan pemuda berwajah tampan nan cantik yang memiliki bola mata biru bercahaya bagaikan warna langit.

Badan hewan melata itu terus menggeliat-geliat, sambil membuka mulutnya lebar-lebar dan memperlihatkan taring runcing serta bersiap untuk mematuk anak yang telah berani menangkapnya.

Pemuda itu justru tertawa-tawa senang. Dia merasa menang melawan binatang yang mulai tak berdaya dalam genggamannya. "Hei, Ular Jelek! Apakah kamu pikir, kamu bisa melawan seorang Jing Ling yang perkasa ini?"

Jing Ling atau Hua Ling dengan perasaan gemas menyentili kepala ular yang memiliki ukuran lebih kecil dari lengannya. "Diamlah dan jangan terus memberontak! Sebentar lagi kamu akan dijadikan sup untuk makan malamku!"

Jing Ling masih terus tertawa-tawa berulang kali dengan suara keras. Hal itu telah mengganggu seseorang lainnya yang sedang asyik membaca sebuah buku tentang ilmu pengobatan. "Sebegitu senangnyakah dia hari ini? Sampai-sampai aku tidak bisa membaca bukuku dengan tenang."

Anak muda lain yang tengah sibuk membaca buku tak jauh dari Jing Ling tampak melihat keadaan hari yang sudah mulai beranjak naik meninggalkan siang hari. Panas terik tidak lagi terasa semenyengat beberapa waktu yang lalu, dan perbekalan makanan serta minuman yang mereka bawa dari rumah pun sudah tak tersisa.

"Hari sudah semakin siang. Bukankah sudah saatnya untuk kembali ke rumah?" Anak lelaki itu pun segera menyimpan buku bacaannya ke balik hanfu lapisan terdalam. Dia bangkit dan bergegas menuju ke tempat di mana Jing Ling sedang mempermainkan ular hasil tangkapannya.

"Ular Cincin Darah yang ke dua puluh tiga!" Mata Jing Ling berbinar saat melihat keranjang bambunya telah terisi dengan puluhan ekor ular belang hitam merah yang sangat berbisa. "Ini artinya aku berhasil mengalahkan Hua Feng dengan perolehan nilai tertingginya!"

"Adik Ling, sudah berapa banyak ular hasil tangkapanmu?" Sebuah suara lelaki muda lainnya mengejutkan Jing Ling yang sedang bermain-main dengan hewan berbisa hasil tangkapannya.

Tentu saja, hal itu membuat sang ular terlepas dan dengan cepat pula segera melarikan diri dari anak yang tengah menyiksanya.

Pemuda yang baru saja datang itu adalah Hua Fei, keponakan satu-satunya dari Hua Yan. Anak berusia dua tahun tidak lebih muda dari Jing Ling ini memiliki bakat alami dalam hal ilmu pengobatan.

Selain berlatih ilmu bela diri, Hua Fei lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca buku-buku tentang berbagai macam tanaman obat, racun dan penawarnya. Maka tidaklah mengherankan, kalau beberapa buah buku akan selalu dibawa ke mana pun dia pergi.

"Kakak Feiiii! Suaramu telah membuatnya lari!" Jing Ling berteriak disertai nada kesal sembari bergerak dengan cepat untuk mengejar buruannya. "Lihatlah! Sekarang dia hilang lagi!"

"Maaf, Adik Ling! Tapi, bukankah keranjangmu sudah penuh? Ayo kita pulang, sebelum bibi memarahi kita berdua!" Hua Fei tanpa diminta mengambil keranjang berisi ular belang hitam merah untuk dibawa pulang. "Biar kubawakan mereka semua untukmu!"

"Tapi, bagaimana dengan ular kedua puluh tigaku?" Jing Ling terlihat sangat kecewa karena tidak berhasil menangkap kembali ularnya yang lepas. Matanya masih menyelidik ke arah larinya sang ular.

"Sudahlaah! Kita harus segera pulang ke rumah sebelum senja." Hua Fei menarik tangan Jing Ling dan menuntunnya sambil bertanya, "Bukankah kita bisa mencarinya lagi besok?"

"Tapi, aku ingin menangkap yang lebih banyak dari ini!" Jing Ling menyahut dan terus menggeliatkan dan menarik lengannya yang berada dalam cengkeraman tangan sang kakak. "Ayo, Kak. Kita berburu lagi! Setelah ular-ular itu kita perihatkan kepada laoshi untuk dinilai, kita akan lebih banyak mengumpulkan empedunya untuk dijual ke toko obat di pusat kota."

"Adik, bukankah ibumu sudah mengatakan pada kita, kalau kita tidak boleh berkeliaran ke Kota Xiangqing," ujar Hua Fei sambil memegangi keranjang yang berisikan dua puluh dua ekor ular berbisa.

"Tapi aku ingin ke sana, Kakak Fei. Aku ingin melihat-lihat toko senjata di sana." Jing Ling terlihat bersemangat membayangkan sebilah pedang yang sudah lama dia impikan.

"Senjata untuk apa lagi. Bukankah kamu sudah punya tombak bermata batu hitam biru itu?" bertanya Hua Fei sambil masih memegangi lengan sang adik.

Jing Ling menepis tangan Hua Fei dengan sedikit kasar. "Memang benar, Kakak Fei. Tapi aku ingin melihat dan memiliki senjata yang lain."

Hua Fei mengerti akan tabiat anak muda satu ini dan dia pun harus berusaha menenangkan supaya Jing Ling tidak bertindak gegabah.

"Baiklah. Kita bisa ke sana suatu hari nanti. Sekarang, sebaiknya kita segera pulang saja. Ayo!" Hua Fei berkata sambil menggendong keranjang bambu milik Jing Ling.

Jing Ling hanya menatap sang kakak dengan perasaan kecewa dan menggerutu dalam hati. "Dia sungguh tidak menyenangkan sama sekali!"

"Adik Ling, apakah kamu tidak tahu kalau melihat pamanku pergi pagi tadi?" bertanya Hua Fei. Dia sengaja mengungkit hal ini karena Jing Ling cukup merepotkan kalau sudah berkeinginan.

"Haaaa? Ayah pergi?" Jing Ling seketika menghentikan pemberontakannya karena merasa terkejut. "Benarkah ayah pergi? Mengapa ayah tidak mengatakan apa pun padaku?"

"Aku juga tidak tahu. Mungkin saja untuk menghindari kita." Perkataan Hua Fei sukses membuat Jing Ling kembali merasa kecewa.

"Ayah sungguh keterlaluan!" Jing Ling kesal dan merasa sangat tidak dipedulikan oleh sang ayah.

"Mungkin itu karena ...."

Hua Fei urung melanjutkan perkataannya saat secara tiba-tiba, Jing Ling telah berlari kencang meninggalkannya seorang diri.

"Adik Ling, tunggu!" Hua Fei mengangkat tangannya, tetapi kembali diturunkan. "Aiyaaa! Dasar anak itu!"

Baru beberapa lama Hua Fei melangkah, tiba-tiba saja terdengar suara jeritan dari arah depan.

"Aaaaaa!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status