Siang itu Aruna meninggalkan perusahaan setelah jam makan siang. Dia ingin pergi ke sekolah Emily sesuai dengan janjinya ke gadis kecil itu. Aruna sudah sampai di sekolah Emily. Dia memarkirkan mobil di dalam area sekolah, lantas turun karena sebentar lagi Emily selesai dengan sekolahnya. Hingga saat baru saja menutup pintu, Aruna terkejut mendengar suara seseorang. “Kenapa kamu di sini? Apa ada anak yang harus kamu jemput?” Aruna membalikkan badan, hingga sangat terkejut melihat Ansel di sana. Aruna pun terlihat gelagapan karena tak menyangka jika akan bertemu pria itu di sana. “Bisa kita bicara sebentar?” tanya Ansel saat melihat Aruna yang panik. Aruna memberanikan diri menatap pria itu. Sikap dan cara bicara Ansel sekarang ini, jelas mengingatkannya akan masa lalu di mana pria itu tak pernah sekalipun membentak atau bicara keras kepadanya. Pria yang dikenal lemah lembut dalam bertutur kata, tapi sayangnya semua sikap baiknya dipatahkan oleh keputusan pria itu menikahi wanit
Bumi sedang membersihkan meja setelah pelanggan pergi. Saat sedang membawa piring dan gelas ke belakang, lonceng di tengah pintu berbunyi, membuatnya langsung menoleh. “Selamat, da ….” Bumi menjeda ucapannya ketika melihat siapa yang baru saja masuk. Aruna menatap sepupunya itu, lantas masuk begitu saja menggandeng Emily. Bumi bengong melihat Aruna datang bersama anak kecil, hingga melihat Ansel yang ikut masuk. Ansel memandang Bumi yang sedang menatap ke arah dirinya datang. Dia diam sejenak karena selama 6 tahun ini memang tak pernah menemui Bumi sama sekali. Bumi benar-benar bingung, kenapa Aruna datang bersama Ansel dan anak kecil, hingga pikirannya menebak, apakah Aruna kembali menjalin hubungan dengan Ansel. “Bum, aku mau pesan.” Suara Aruna membuat Bumi tersadar dari lamunan. Dia meletakkan nampan berisi piring dan gelas di meja, lantas mendekat ke Aruna. Bumi mendekat dan siap mencatat apa yang hendak dipesan adik sepupunya itu. Aruna memesan tiga menu makanan, dua un
“Papi marah?” tanya Emily saat mobil ayahnya itu masuk halaman rumah. Sejak tadi Ansel hanya diam, membuat Emily takut kalau ayahnya itu marah sebab dia menemui dan berhubungan dengan Aruna. Ansel menoleh Aruna yang duduk di sampingnya, hingga kemudian menjawab, “Hanya sedikit kesal.” Emily langsung menundukkan kepala mendengar jawaban Ansel. “Aku tidak bermaksud nakal,” ucap Emily sambil menatap jemari mungilnya. Ansel menoleh sekilas ke Emily yang menunduk. Dia kemudian berkata, “Kamu sudah berani berbohong ke papi. Kamu tahu papi tidak suka hal itu.” Emily hanya diam mendengar ucapan Ansel. Baby sitter pun hanya bisa diam di kursi belakang karena tak punya wewenang membela Emily. “Sebelum papi tahu dari orang lain, apa ada hal lain yang kamu sembunyikan dari papi?” tanya Ansel karena tak suka jika putrinya berbohong. Emily memberanikan diri menoleh Ansel, hingga kemudian menjawab, “Aku tidak bohong lagi. Aku hanya ingin bisa sering bertemu Kakak Cantik, tapi Kakak Cantik ti
Ansel mengemudikan mobil keluar dari perusahaan. Dia terlihat mengetukkan jari di stir mobil berulang kali, menunjukkan jika sekarang dalam kondisi gelisah. Mobil Ansel membelah jalanan kota, tapi dia tidak pergi mengarah ke rumah, melainkan pergi ke arah perusahaan Aruna. Dia ingin menemui Aruna karena ada banyak hal yang hendak dibicarakan dengan Aruna karena tadi belum selesai bicara. “Maaf, apa Bu Aruna sudah pulang?” tanya Ansel saat menemui security perusahaan keluarga Aruna. Dia sudah mencari informasi soal di mana Aruna bekerja, hingga tahu jika mantan kekasihnya itu kini bekerja di perusahaan keluarga. “Bu Aruna? Belum, sepertinya beliau lembur,” jawab satpam. Ansel pun berpikir sejenak, lantas berkata, “Apa saya boleh menunggu, ada hal yang ingin saya bahas dengan beliau.” Satpam itu mengizinkan. Ansel pun menunggu di lobi sampai Aruna muncul. Dia menunggu dari pukul lima, hingga akhirnya setelah setengah jam menunggu, Ansel melihat Aruna yang baru saja keluar dari li
“Boleh daddy ikut duduk?” Aruna terkejut mendengar suara ayahnya. Dia menoleh dan melihat pria itu berdiri di ambang pintu. Aruna tersenyum melihat ayahnya itu. Dia menepuk kursi sampingnya agar sang daddy duduk di sana. Langit pun mendekat lantas duduk di samping Aruna. Dia memandang putrinya yang terlihat tenang. “Daddy lihat beberapa hari ini kamu agak murung. Apa karena anak kecil itu?” tanya Langit. Aruna sudah menceritakan soal siapa gadis kecil yang menemuinya. Meski awalnya Langit syok bahkan kesal, tapi melihat Aruna yang biasa saja, membuatnya memaklumi keputusan Aruna yang tak bisa mengabaikan gadis kecil itu. “Tidak ada yang murung, Dad.” Aruna menoleh Langit sambil mengulas senyum. “Sejak kecil, daddy yang lebih sering menghadapi segala tingkahmu ketimbang mommymu, apa kamu masih mau berbohong kalau sedang tak baik-baik saja?” Langit menatap Aruna sambil mengusap rambut putrinya itu. Aruna terkejut mendengar ucapan Langit. Dia pun tersenyum masam sambil memalingkan
“Apa klien serius ingin mengajak bertemu di sini?” tanya Aruna keheranan melihat alamat tempat dirinya harus menemui klien. “Saya juga bingung, Bu. Tapi memang sekretarisnya tadi bilang jika ingin menemui Ibu di sana. Katanya sekalian di sana ada perlu,” jawab staff Aruna. Aruna diam membaca alamat yang tertulis. Dia hanya berpikir kenapa harus bertemu klien di tempat seperti itu. “Mereka klien penting, Bu. Manager yang lama biasanya menuruti segala keinginannya, termasuk tempat bertemu,” ujar staff itu saat melihat Aruna hanya diam. “Baiklah, nanti biar aku atur,” ucap Aruna pada akhirnya. Staff itu pun pamit dari ruangan Aruna, meninggalkan managernya itu sendirian di ruangan itu. Aruna pun melihat nomor kontak sekretaris klien perusahaan. Dia lantas mencoba menghubungi untuk bernegosiasi. “Halo, saya Aruna manager pemasaran di Magnifique. Saya ingin mengonfirmasi soal tempat pertemuan utusan perusahaan kami dengan perusahaan Anda bekerja. Bisakah kita mengubah tempat pertemu
“Kamu tahu, sebagai klien tentunya aku menginginkan pelayanan yang baik dari mitraku. Ya, termasuk sikap baik,” ujar pria itu saat melihat raut wajah Aruna yang berubah. Aruna lagi-lagi hanya bisa tersenyum tipis mendengar ucapan pria itu. “Maaf, bukan saya tidak sopan atau ingin bersikap buruk. Jika memang hanya untuk sekadar minum, baik akan saya turuti asal Anda tidak memasukkan dalam hati sikap saya sebelumnya,” ucap Aruna berusaha untuk tetap tenang dan bersikap profesional. Pria itu tersenyum, lantas membalas, “Aku suka sikapmu yang bertanggung jawab.” “Berikan berkasnya agar aku bisa menandatanganinya, tapi berjanjilah untuk tetap menghargaiku dengan memakan atau meminum apa yang sudah aku sediakan,” ujar pria itu lagi sambil mengulurkan tangan ke Aruna. Meski merasa aneh dengan sikap pria yang memaksakan kehendak itu, tapi karena Aruna sedang dalam posisi menjadi seorang manager yang bertanggungjawab, membuatnya akhirnya mengiakan saja permintaan pria itu. Dia pun memberi
“Kupatahkan tanganmu kalau berani menyentuhnya!” Pria yang hendak menarik rambut Aruna memekik kesakitan karena pergelangan tangannya dipelintir kuat. “Lepas! Lepas!” pekik pria itu kesakitan. Tangannya akhirnya terlepas, pria itu memegangi pergelangan tangan yang terasa sangat sakit. Aruna menatap pria yang ada di hadapannya, pria yang tak pernah diinginkan hadir di hadapannya. Ansel masih menatap tajam ke pria yang berani berniat menyakiti Aruna. Dia lantas menurunkan pandangan hingga saling tatap dengan mantan kekasihnya itu. Ansel baru saja datang di klub itu karena ingin menemui temannya, tapi siapa sangka dia harus melihat Aruna yang sedang diganggu dua pria. “Pergi!” Suara Ansel tak terlalu keras tapi terdengar penuh penekanan. Dua pria itu langsung kabur karena tak ingin terlibat masalah. Ansel terus memfokuskan tatapan ke dua pria tadi. Dia tak akan membiarkan dua pria itu menyerang balik jika dia lengah. “Terima kasih karena sudah membantu kami,” ucap staff Aruna s