“Apa salahnya menikah tanpa cinta? Bahkan dulu mama dan Papa pun menikah tanpa cinta, nyatanya kami bisa dan hidup bahagia sampai sekarang. Tolong pikirkan dengan baik masalah ini, Ans.” Ansel terkejut hingga bangun dari tidurnya. Dia bermimpi yang seperti sangat buruk, hingga saat terbangun yang diingatnya hanya kalimat yang pernah dilontarkan sang mama. “Sial!” gerutunya sambil mengusap wajah dengan kasar. Ansel duduk sambil menetralkan detak jantungnya. Dia diam mengingat kejadian di masa lalu, hingga akhirnya memilih turun dari ranjang. Ansel pergi ke balkon kamar. Dia berdiri di sana, meski embusan angin malam yang menerpa begitu dingin hingga menusuk kulit. Ansel memejamkan kelopak mata sejenak, hingga mengingat kalimat yang pernah dilontarkannya ke Aruna. “Aku tidak membuat lelucon, Runa. Aku serius mengatakan ini semua. Citra membutuhkanku. Dia sedang hamil dan aku akan menikahinya minggu depan.” Ansel langsung menarik napas panjang lantas mengembuskan kasar setelah meng
“Sial! Kenapa harus kempes di sini?” Bumi mengguyar kasar rambut ke belakang saat melihat ban mobilnya kempes. Dia menengok ke kanan dan kiri, tapi tidak ada tambal ban yang dekat dengan tempatnya berhenti sekarang. Saat Bumi hendak menghubungi bengkel, ada mobil yang berhenti tepat di depan mobilnya, membuat pria itu langsung mengamati mobil yang baru berhenti itu. “Mogok?” tanya Ansel yang memang kebetulan lewat jalan itu. “Bukan, aku sedang mau piknik,” balas Bumi sarkas karena Ansel malah bertanya padahal jelas-jelas dirinya sedang kebingungan. Ansel mencebik mendengar ucapan Bumi, hingga baru menyadari jika ban mobil sahabatnya itu kempes. “Punya ban serep?” tanya Ansel dengan kedua tangan berkacak pinggang, tapi tatapannya tertuju ke ban mobil yang kempes. “Kalau ada serep, aku tidak akan bingung,” jawab Bumi. Ansel melirik Bumi yang berdiri di sampingnya. Sahabatnya itu sepertinya masih menaruh rasa kesal karena kejadian enam tahun lalu. “Ada dongkrak?” tanya Ansel lag
“Aku turut berduka istrimu meninggal,” ucap Bumi lantas menenggak minuman yang ada di gelas. “Terlambat,” balas Ansel yang kemudian juga menenggak minumannya. “Kamu berkata seperti itu untuk meledekku, hm?" Ansel menoleh Bumi yang masih menenggak minuman alkohol yang mereka pesan. Mereka pergi ke klub malam dan memboking ruang pribadi agar bisa minum berdua. Bumi menghela napas kasar mendengar ucapan Ansel, lantas menoleh temannya itu. “Bukan meledek. Aku benar-benar turut berduka saat tahu kalau dia ternyata meninggal setelah melahirkan,” ujar Bumi bersungguh-sungguh. Ansel pun tak menganggap serius ucapan Bumi. Dia kembali menenggak alkohol, padahal baru siang tadi dilarang dokter karena kondisi kesehatan. “Aruna kembali, kamu pun sudah bertemu dengannya. Apa kamu tidak berniat memperbaiki hubungan kalian lagi?” tanya Bumi sambil memandang cairan coklat yang ada di gelas, lantas menoleh Ansel yang diam. “Kamu duda, bebas tanpa ikatan. Kenapa tidak mencoba menjalin hubungan ka
“Sudah bangun?” Ansel terkejut saat ada yang mengajaknya bicara, padahal baru saja terbangun di tempat yang entah belum diketahuinya. Dia merasa kepalanya pusing, bahkan pandangannya pun masih kabur hingga dia harus memulihkan seluruh kesadarannya. “Ini minum.” Ternyata Bumi yang ada di kamar itu. Dia mengulurkan segelas jus lemon untuk Ansel. Ansel menatap Bumi yang berdiri sambil mengulurkan segelas jus lemon. Dia pun menerima jus yang diberikan Bumi meski matanya masih susah untuk terbuka. “Terima kasih,” ucap Ansel lantas meminum jus itu. Bumi masih berdiri sambil memperhatikan Ansel minum, hingga setelah Ansel selesai minum, dia baru kembali bicara. “Semalam kamu mabuk berat sampai tak sadar. Aku mau mengantarmu pulang, tapi bingung cara menghadapi orang tuamu, jadi aku terpaksa mengajakmu ke sini. Lagian orang tuamu tidak akan menghukummu karena tidak pulang semalaman, kan?” Jelas di kalimat Bumi mengandung nada ledekan. Ansel hanya mencebik mendengar ucapan Bumi. Dia pun
“Ada apa, Ans?” tanya Bumi sambil membersihkan tangan. Bumi melihat Ansel yang panik setelah menerima panggilan. Dia pun memilih mendekat ke sahabatnya itu. “Emi hilang dari sekolah. Pengasuhnya dan guru juga bingung, aku harus ke sana untuk memastikan apa yang terjadi,” jawab Ansel yang terlihat tenang meski raut wajahnya seperti panik. Bumi melihat Ansel yang seperti bingung, dia pun mencoba untuk ikut membantu. “Biar aku antar kamu ke sekolah dan mencari putrimu. Jangan sampai kamu mengemudikan mobil dalam kondisi panik,” ujar Bumi. Ansel menatap Bumi yang dengan tulus ingin membantunya. Dia pun menganggukkan kepala setuju menerima tawaran Bumi. Mereka pun pergi ke sekolah Emily bersama. Di sana baby sitter dan guru sedang berada di ruang keamanan untuk mengecek Cctv sekolah. “Bagaimana bisa Emi hilang?” tanya Ansel begitu menemui guru dan baby sitter Emily. Semua yang ada di sana terkejut mendengar suara Ansel. Hingga guru Emily langsung mencoba menjelaskan. “Tadi Emi bil
Ansel memperhatikan Bumi yang sedang menghubungi Aruna, hingga akhirnya sahabatnya itu selesai bicara. “Runa bilang semalam putrimu memang menghubunginya, tapi karena Runa sudah tidur, jadi dia tidak menanggapinya,” ujar Bumi menjelaskan setelah bicara dengan Aruna. Ansel pun diam mendengar ucapan Bumi. Dia lantas kembali memperhatikan jalan, berharap bisa menemukan Emily segera. “Putrimu sangat menyukai Runa?” tanya Bumi lantas menoleh sekilas ke Ansel. “Mungkin karena Runa terlalu baik hingga Emi nyaman bersamanya,” jawab Ansel tanpa menoleh Bumi. Bumi kembali menoleh Ansel, lantas fokus lagi ke jalanan yang mereka lewati. “Aku tidak berusaha membujuk Runa untuk mau menemui Emi yang selalu menanyakannya. Bukan tidak ingin, tapi aku menjaga perasaan Runa sendiri. Bagaimana kalau dia menganggap jika aku hanya ingin memanfaatkannya sedangkan aku ini sangat buruk di matanya,” ucap Ansel tak terduga sama sekali. Bumi langsung menoleh mendengar ucapan Ansel yang terkesan terbuka tap
Ansel dan Bumi berjalan cepat keluar dari lift. Aruna menghubungi mereka jika Emily ada di kantor Aruna, membuat dua pria itu langsung pergi ke sana. Bumi dan Ansel masuk ruang kerja Aruna, hingga melihat Aruna yang sedang menyelimuti Emily. “Runa.” Bumi memanggil Aruna, sedangkan Ansel hanya diam memandang tanpa berani menyapa. Aruna menoleh ke Bumi, hingga melihat Ansel yang berdiri di samping Bumi. Dia menatap sejenak ke Ansel, hingga kemudian langsung mengalihkan pandangan ke Bumi. “Dia baru saja tidur karena kelelahan,” ucap Aruna lantas menjauh dari sofa. Ansel mendekat ke sofa untuk melihat Emily. Dia pun merasa sedih dan bersalah, meski berusaha bersikap biasa. Aruna pun memilih mundur menghampiri Bumi untuk memberikan ruang ke Ansel. Ansel berlutut di samping sofa sambil memandang Emily. Dia benar-benar merasa bersalah karena membuat Emily sampai kabur dari sekolah. “Di mana kamu menemukannya?” tanya Bumi saat Aruna berdiri di sampingnya. “Dia jalan kaki ke sini. Tad
[Bagaimana kondisi Emi ….] [Dia baik-baik saja?] [Apa kata dokter?] “Ish ….” Aruna menghapus berkali-kali pesan yang diketiknya. Dia bingung apakah harus menanyakan kabar Emily atau tidak. “Jika tidak kutanyakan, aku penasaran bagaimana kondisinya. Jika aku tanyakan, apakah Ans akan besar kepala?” Aruna galau sendiri. Dia bimbang harus bersikap bagaimana. Dia sampai tidak sadar jika Bumi mengiriminya pesan sejak tadi karena sibuk mengetik dan menghapus berulang kali. Hingga di saat Aruna sibuk menghapus dan mengetik pesan berulang kali, terdengar suara ketukan pintu dari luar. “Masuk!” perintah Aruna mempersilakan. Siska terlihat diambang pintu yang baru saja terbuka. Dia hanya berdiri di sana dengan satu tangan masih memegang gagang pintu. “Ada apa?” tanya Aruna keheranan karena Siska tak langsung masuk. “Ada kiriman makanan, Bu.” Aruna mengerutkan alis mendengar ucapan Siska. “Kiriman makanan? Dari siapa?” tanya Aruna keheranan. “Ibu lihat saja,” jawab Siska lantas meno