Ansel menggendong Emily keluar dari mobil. Dia membawa putrinya itu ke rumah sakit tanpa memberitahu kedua orang tuanya. Saat masuk IGD, perawat langsung menghampiri. “Apa yang terjadi, Pak?” tanya perawat sambil mengarahkan Ansel untuk membawa Emily ke ranjang pesakitan. “Dia tiba-tiba panas tinggi, bahkan mencapai 38 derajat,” jawab Ansel karena sebelumnya sudah mengecek lebih dulu suhu tubuh Emily. Perawat itu terkejut, lantas memanggil dokter jaga. Ansel membaringkan perlahan tubuh Emily di atas ranjang, lantas mengusap lembut kening Emily yang terasa panas karena putrinya itu seperti kesakitan. “Apa keluhannya?” Suara dokter membuat Ansel menoleh, hingga sangat terkejut ketika melihat dokter yang akan memeriksa putrinya. Sashi pun sama terkejutnya ketika melihat Ansel. Wanita itu tentunya mengenal dan tahu dengan jelas, siapa pria yang ada di hadapannya sekarang. “Apa keluhannya?” tanya Sashi mengabaikan keterkejutannya karena berusaha bersikap profesional sebagai seorang
Aruna baru bangun tidur saat sang kakak datang ke rumah untuk melihat Archie setelah shift malam. Dia melihat Sashi yang baru saja meletakkan tas di sofa. “Kamu baru pulang,” ucap Aruna lantas menutup mulut karena menguap. “Iya,” balas Sashi sambil menatap sang adik yang masih berpenampilan acak-acakan. “Run.” Sashi memanggil nama adiknya itu. Aruna menghentikan langkah. Dia menoleh sang kakak yang memanggil. “Ada apa?” tanya Aruna sambil menggaruk kepala hingga rambutnya semakin berantakan. Sashi seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi malah menggelengkan kepala. “Tidak ada,” jawab Sashi, “aku nyari Archie dulu,” ucap Sashi lantas pergi meninggalkan Aruna. Aruna pun mengabaikan sang kakak yang tidak jadi bicara. Dia ke dapur karena ingin mengambil air minum. ** Di rumah sakit. Ansel kini menunggu Emily yang harus dirawat karena kekurangan cairan dengan suhu tubuh masih tinggi. “Bagaimana kondisinya?” tanya Ayana yang akhirnya menemui Ansel. “Masih panas,” jawab Ansel sambil
“Kenapa kamu tidak mau menemui Bumi?” Bintang menatap Aruna yang sedang minum. Aruna menoleh ke Bintang, hingga kemudian menjawab, “Tidak kenapa-napa. Hanya sedang tidak ingin saja.” Aruna mencuci gelas yang baru dipakai. Dia kemudian membalikkan badan untuk menatap ibunya. “Bumi sudah beberapa kali ke sini untuk menemuimu, tapi kamu tidak mau menemuinya. Apa kamu juga ada masalah dengan Bumi?” tanya Bintang. “Tidak ada, Mom.” Aruna tetap tidak memberikan alasannya kenapa tak mau menemui sepupunya itu. “Ya, kalau tidak ada, kenapa tidak mau bertemu? Tentu saja sikapmu ini membuat mommy penasaran.” Bintang menatap Aruna yang tersenyum. “Tidak usah penasaran, Mom. Aku hanya belum siap bertemu teman-teman lama, itu saja. Nanti kalau memang sudah ingin, aku pasti akan main ke tempatnya sekalian menjenguk Paman.” Setelah mengatakan itu, Aruna pun pergi meninggalkan Bintang di dapur sendirian. Dia berjalan menuju kamar, hingga menerima sebuah pesan. [Kamu sudah tidur?] Aruna memba
Enam tahun lalu. “Bisa aku bicara denganmu?” Bumi yang sedang berdebat dengan gadis SMA terkejut saat melihat seorang wanita datang dan langsung ingin bicara dengannya. Dia tidak mengenal wanita itu bahkan melihatnya pun tidak pernah. “Maaf, kamu siapa?” tanya Bumi sambil memperhatikan wanita itu, hingga tatapannya beralih ke perut wanita itu yang sedikit besar. Bumi mulai menerka-nerka, kenapa ada wanita hamil yang mendatanginya. Wanita itu tersenyum tipis mendengar pertanyaan Bumi, hingga meminta pria itu untuk duduk agar bisa bicara dengan tenang. Bumi pun duduk berhadapan dengan wanita itu sambil terus memperhatikan serta mengingat apakah dia pernah bertemu wanita itu sebelumnya. “Maaf, siapa kamu dan kenapa ingin bertemu denganku?” tanya Bumi terlampau penasaran. “Biar aku memperkenalkan diri. Aku Citra, istrinya Ansel,” jawab wanita bernama Citra itu. Bumi sangat terkejut mendengar ucapan wanita itu. Dia langsung tidak senang karena gara-gara wanita itu Ansel meninggal
“Emi sudah menghabiskan makanannya?” tanya Ansel saat berpapasan dengan baby sitter yang ingin keluar kamar. “Sudah, Tuan.” Baby sitter menjawab singkat. Dia sudah berjanji jika tidak akan memberitahu soal kedatangan Aruna ke sana. Ansel mengangguk, lantas masuk ruang inap dan melihat Emily yang duduk sambil memegang ponsel. “Sudah selesai makan?” tanya Ansel sambil berjalan mendekat ke ranjang. Dia melirik piring di atas meja yang sudah kosong. Emily terkejut mendengar suara Ansel. Dia buru-buru menyembunyikan ponsel milik baby sitter yang dipinjamnya. Ansel mengerutkan alis, kenapa Emily buru-buru menyembunyikan ponsel itu. “Emi sedang apa? Kenapa buru-buru menyembunyikan ponselnya?” tanya Ansel curiga. “Tidak ada,” jawab Emily terlihat masih kesal ke ayahnya itu. Ansel tak banyak tanya lagi. Dia tak ingin Emily semakin marah kepadanya jika dia terlalu mendikte. Emily menatap ayahnya, lantas buru-buru mengembalikan ponsel baby sitter yang baru saja masuk. “Papi sudah janji
[Papi mau beliin aku ponsel, jadi aku bisa telepon Kakak Cantik kapan pun.] Aruna tersenyum tipis membaca pesan dari Emily. Dia ingin tak peduli, tapi kenyataannya tidak bisa. Melihat gadis kecil itu sakit, membuatnya mengabaikan amarah yang ditujukan ke Ansel. Ya, dia sadar jika Emily tidak tahu apa pun dengan amarah yang dipendamnya. [Baguslah, tapi Papi tidak tahu kalau kamu minta ponsel karena kakak, kan?] Aruna takut jika Ansel tahu, lantas beranggapan jika dirinya bisa menerima dan memaafkan kesalahan Ansel di masa lalu karena dia mau dekat dengan Emily. [Kakak tenang saja, Papi tidak tahu, kok. Aku sayang Kakak. Aku harus tidur atau tidak akan cepat sembuh.] Aruna tersenyum membaca pesan dari Emily yang dikirim melalui ponsel baby sitter. Dia membalas pesan dari Emily, lantas meletakkan ponsel di meja. Aruna sendiri bingung, kenapa dia harus peduli dengan Emily sedangkan membenci ayah gadis kecil itu. Kenapa dia tidak mengabaikan saja, sedangkan seharusnya dia mampu melak
Aruna akhirnya bekerja di perusahaan ayahnya. Dia sementara menjadi manager bagian pemasaran sesuai dengan pengalaman kerja sebelumnya. Dia sudah bekerja di sana selama satu minggu dan mulai menyesuaikan diri. “Bu, ini konsep yang tim kita buat, minta koreksi jika memang ada yang kurang sesuai,” ucap staff Aruna saat menyerahkan berkas konsep untuk iklan. Aruna menerima berkas itu, lantas membuka untuk melihat isi di dalamnya. “Akan aku cek dulu, kalau memang ada yang butuh direvisi, nanti aku tandai,” ujar Aruna tanpa menatap staff-nya. “Baik, Bu.” Staff itu pun keluar dari ruangan Aruna setelah pamit. Aruna mengecek berkas itu dengan seksama, hingga ponsel yang ada di samping laptop berdering. Dia melihat nama Emily di layar ponsel. “Halo.” Aruna menjawab dari panggilan gadis kecil itu. “Kakak, apa Kakak sibuk?” tanya Emily dari seberang panggilan. “Lumayan,” jawab Aruna, “ada apa?” tanyanya kemudian. “Tidak ada apa-apa, hanya mau bicara saja,” jawab Emily dari seberang pa
“Tadi siang main ke mana? Kenapa Emi pulang terlambat?” tanya Ansel saat menemani Emily sebelum tidur. Emily menatap ayahnya sambil memegang ujung selimut. Dia sedikit menutup wajah ketika mendengar pertanyaan ayahnya itu. “Tidak ke mana-mana, hanya main dulu saat di sekolah,” jawab Emily tak mau jujur karena takut Ansel tahu jika dia sering berkomunikasi dengan Aruna, kemudian Aruna menjauhinya kalau Ansel tahu soal yang mereka lakukan. Ansel memandang putrinya yang bicara sambil menutup setengah wajah, hingga menghela napas kasar. “Baiklah, tapi lain kali lebih baik langsung pulang dan jangan terlalu lama main di sekolah,” ujar Ansel menasihati sambil merapikan selimut Emily. Emily mengangguk-angguk mendengar ucapan Ansel. Ansel mematikan lampu utama. Dia mencium kening Emily, lantas keluar dari kamar putrinya itu. Emily sendiri begitu lega karena Ansel tidak bertanya banyak hal lagi. Ansel keluar dari kamar Emily, lantas menutup pintu sambil membuang napas kasar. Dia diam s