Share

Chapter 6

Author: Els Arrow
last update Last Updated: 2024-06-19 18:48:49

"Kurang ajar banget Raka, untung putriku nggak jadi nikah sama dia. Aku mau pernikahannya dibatalkan saja!" ketus Toni saat baru saja masuk kamar.

Ucapannya tidak mendapat sahutan dari sang istri, Mella masih asik mencium uang-uang barunya.

"Kamu dengar aku ngomong nggak, sih?!" sentaknya yang mulai kesal.

Pikirannya sangat lelah sejak kemarin, dari masalah Nadia dan sekarang ditambah masalah Raka.

"Ya, Mas, aku dengar. Sudah ... nggak usah dipikirin lagi, yang penting sekarang kita dapat ganti rugi," sahut Mella.

Toni menggeram emosi dan membawa langkah lebar menuju ranjang, tangannya menghempaskan gepokan uang-uang itu dengan kasar. Mella hanya mampu menatap nanar ke lantai, dia hendak mengambil, tetapi Toni menarik lengannya.

"Jangan mikirin uang terus, Mel. Nadia itu pergi sejak kemarin dan sekarang belum ketemu, kamu nggak khawatir sama keadaannya?!" Pria paruh baya itu berteriak tepat di depan wajah istrinya.

Hal itu jelas saja membuat Mella semakin membenci Nadia. 'Anak itu ada atau tidak tetap saja membuatku kesal. Semoga dia nggak selamat di luar sana,' batinnya.

"Aku khawatir, Mas. Tapi 'kan sudah ada polisi yang mencari, kita tinggal tunggu kabarnya saja. Kalau kamu marah-marah, nanti yang ada tensimu semakin naik. Aku nggak mau kamu jatuh sakit. Lagi pula sekarang tugas kita membereskan barang-barang yang akan digunakan pesta, kita kembalikan semuanya ke tempat sewa," jelas Mella, dia memang sangat pintar mencari alasan.

Toni hanya menghela napas lirih, rasanya dia sudah tidak ada tenaga. "Aku rindu putriku."

"Iya aku tahu, Mas. Tapi sekarang kita harus membereskan semua barang di rumah ini dan meminta maaf kepada semua orang yang sudah direpotkan. Baru nanti kita bantu polisi untuk mencari Nadia. Kalau kita cari sekarang, dan meninggalkan rumah dalam keadaan berantakan, pikiran akan semakin kalut," ujar Mella.

Dia turut mendudukkan diri di samping suaminya, tangannya mengelus lembut lengan kekar itu. Sejurus kemudian Toni mangut-mangut seraya kembali menghela napas kasar.

"Ya, kamu benar. Aku akan telepon wedding organizer-nya."

Wanita paruh baya itu menyeringai tipis, dia lekas beranjak mengambil uang-uangnya yang terhambur di lantai.

'Biar saja Nadia nggak balik, biar semua warisan jatuh ke tanganku dan Tania,' batinnya.

Di sisi lain, Tania menghampiri suaminya yang duduk di teras sambil membawa sepiring brownies coklat. Wanita itu duduk di samping Darren sambil memandang lurus ke depan.

"Kasihan sekali, ya, Pak Anton dan Bu Anita, pasti mereka bingung memikirkan anaknya. Ditambah malu karena pesta pernikahan ini gagal," katanya.

"Kenapa harus malu? Kalau gagal menikah seperti ini seharusnya bersyukur, artinya Tuhan menyelamatkan Nadia dari orang yang salah. Malah kalau sampai mereka menikah itu berbahaya, mau jadi apa adikmu menikah sama tukang selingkuh," balas Darren tanpa menoleh sedikitpun ke arah sang istri.

"Tapi tetap saja menjadi gunjingan orang-orang, Mas. Yang jadi korban, ya, orang tua kita," ujar Tania.

Darren diam dan tidak minat menimpali, istrinya itu memang tidak pernah membela Nadia. Sejak dulu dia tahu kalau Tania selalu memusuhi dan mengambil barang-barang milik adik tirinya, bahkan sering mengadu domba antara Nadia dan sang ayah.

"Raka itu masih muda, dia tampan dan punya pekerjaan mapan. Semoga dia segera mendapatkan pengganti Nadia, kasihan sekali cowok itu. Dia sampai pergi dari rumah karena nggak kuat menanggung malu atas kelakuan Nadia yang minggat." Tania kembali membuka suara yang sontak membuat Darren menoleh dengan pandangan remeh.

"Ngapain kamu belain Raka? Padahal belum tentu Raka pergi dari rumah dengan alasan itu, bisa saja dia pergi menemui selingkuhannya dan mereka kawin lari," sahut Darren.

Pria itu menaikkan sebelah alisnya, menatap Tania yang mulai menunjukkan raut kebingungan.

"Kamu jangan nuduh yang nggak-nggak kalau nggak tahu yang sebenarnya, Mas. Kita nggak tahu apa yang dirasakan Raka di sana," kata Tania, nadanya mulai terdengar gemetar.

"Nah, itu kamu bilang kita nggak tahu 'kan? Lalu kenapa tadi kamu langsung mengambil asumsi? Padahal jelas-jelas kita di sini nggak ngerti apa-apa."

"Ka-kamu kok malah nyalahin aku, sih, Mas?! Kita jadi bertengkar karena masalah mereka."

Darren terkekeh melihat istrinya yang sudah mati kutu. "Kamu duluan yang membela Raka, Tan. Padahal jelas-jelas kamu sedang depan suamimu."

Wanita itu gelagapan mendengarnya, dalam hati dia merutuki bibirnya yang tidak dapat direm.

Mungkin karena perasaan nyaman sehingga dia tidak rela Raka disalahkan. Selama enam bulan Raka juga menyumbang untuk hidup mewahnya, hingga tanpa sadar dia membela pria lain di hadapan sang suami.

"Aku nggak bela siapa-siapa, Mas. Mereka berdua itu sudah aku anggap layaknya adik, aku sama-sama kasihan, kok, sama keduanya."

Darren hanya mengangguk seolah percaya dengan jawaban Tania, padahal di dalam hatinya tengah tergelak atas kebodohan yang telah istrinya itu lakukan.

'Aku tahu kelemahan kamu, Tan. Dipancing sedikit saja sudah cerita ke mana-mana,' batin Darren.

"Eum ... kita ke dokter, yuk, Mas. Aku mau periksa kandungan," ucap Tania yang berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Iya, kamu siap-siap dulu. Aku tunggu di sini," jawab Darren.

Tania mengangguk antusias, wajahnya benar-benar bahagia.

Wanita itu memang mendambakan anak sebagai penguat rumah tangganya. Ah, bukan. Lebih tepatnya sebagai jaminan atas warisan milik keluarga Darren.

Darren yang kini sudah sendirian di teras pun langsung meraih ponsel dan mengirim pesan kepada Nadia.

Siang ini adik iparnya itu sudah mulai bekerja di butik, dia perlu menanyakan apakah Nadia betah atau tidak. Kalau tidak maka dia bisa mencarikan tempat kerja lain.

[Aku nyaman kerja di sini Kak. Pak Renaldy baik, teman-temanku yang lain juga baik sama aku.] tulis Nadia yang tanpa sadar mengundang senyum di bibir Darren.

"Syukurlah," gumam pria itu.

Ibu jarinya kembali mengutak-atik layar ponsel, sudut bibirnya kini tertarik ke atas menyeringai penuh arti saat matanya menatap foto Raka dan Tania berpelukan di sebuah restoran.

"Bodoh! Tania nggak tahu siapa suaminya sebenarnya," gumam Darren.

Tidak perlu waktu lama, Darren mengunggah foto itu ke media sosial menggunakan akun palsu miliknya. Tentunya akun yang berbeda beri akun yang mengunggah video syur kemarin. Dia yakin siapapun tidak akan bisa membongkar pemilik akun itu adalah dirinya.

Darren kembali memasukkan ponsel dengan senyum sumringah, tangannya mengambil cangkir kopi dan menyesap cairan hitam pekat itu dalam-dalam.

'Tinggal tunggu beberapa detik, aku yakin Tania akan lebih syok dari penggalan video kemarin,' katanya dalam hati.

Tebakan Darren memang benar. Tania yang berniat mengupdate status di media sosial pun urung saat melihat sebuah foto tiba-tiba lewat di berandanya.

Bola matanya hampir keluar lantaran begitu terkejut melihat foto Raka yang tengah memeluknya, beruntung foto itu hanya menampakkan dirinya dari belakang, tetapi wajah Raka terlihat begitu jelas.

"Astaga! Foto ini ... aku sudah pernah menghapusnya, tapi kenapa bisa bocor?! Apa jangan-jangan ada seseorang yang tidak menyukai Raka dan mengambil ponselnya? Foto ini 'kan juga ada di ponselnya Raka. Oh Tuhan ... gawat kalau sampai Mas Darren mengenali tubuhku!" pekiknya dengan suara tertahan.

Tangannya menggenggam erat ponsel canggih itu sambil berpikir keras bagaimana caranya menghentikan foto-fotonya semakin banyak tersebar.

"Apa aku sewa hacker saja, ya? Atau aku chat langsung akun ini? Ah, bagaimana ini?! Nomor Raka masih nggak aktif dan aku bingung harus berbuat apa," gumam Tania yang semakin panik.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kakak Ipar Rasa Pacar    Extra Part - Ending

    Hari-hari berlalu begitu cepat, berganti minggu dan bulan. Kehidupan Darren dan Nadia dipenuhi dengan kebahagiaan. Mereka menikmati setiap momen bersama, membangun bisnis bersama, dan merencanakan masa depan mereka. Suatu pagi, Nadia terbangun dengan perasaan yang berbeda. Perutnya terasa sedikit mual, dan dia merasa lebih sensitif terhadap bau. Dia langsung menuju kamar mandi dan mengambil test pack yang sudah dia beli beberapa hari sebelumnya. Dengan tangan gemetar, Nadia melakukan tes. Dia menahan napas, jantungnya berdebar kencang. Beberapa saat kemudian, hasil tes muncul. Dua garis merah terang muncul di layar test pack. Nadia terdiam, matanya berkaca-kaca. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. Dia tak percaya, dia hamil. Dia akan menjadi seorang ibu. Wanita cantik itu langsung berlari keluar dari kamar mandi dan menuju kamar tidur. Darren masih tertidur pulas di ranjang. Nadia duduk di tepi ranjang, matanya menatap Darren dengan penuh kasih sayang. "Kak," bisik Nadi

  • Kakak Ipar Rasa Pacar    Extra Part

    Minggu-minggu berlalu begitu cepat. Nadia sudah beberapa kali kontrol ke dokter untuk memeriksa kondisi tulang pahanya setelah operasi pelepasan pen. Dokter mengatakan bahwa tulang pahanya sudah pulih dengan baik dan dia sudah bisa beraktivitas seperti biasa."Kak, aku sudah bisa jalan normal lagi, lho!" seru Nadia, matanya berbinar gembira.Darren tersenyum, matanya memancarkan kebahagiaan. "Aku senang mendengarnya, Sayang," jawabnya. "Kamu sudah bisa kembali ke butik."Nadia mengangguk, matanya berbinar-binar. "Aku sudah tidak sabar untuk kembali bekerja," katanya. "Aku ingin membantu kamu mengembangkan butik."Darren mencium kening Nadia dengan lembut. "Aku tahu kamu bisa, Nad," kata Darren. "Kamu akan jadi desainer yang berbakat."Nadia kembali bekerja di butik milik Darren. Dia sangat antusias dalam berbagai hal, mulai dari mendesain baju, memilih bahan, hingga melayani pelanggan. Kehadiran Nadia di butik membuat suasana di sana semakin hidup dan ceria."Kak, aku punya

  • Kakak Ipar Rasa Pacar    Chapter 165

    Malam itu, udara dingin menusuk tulang. Darren dan Nadia berjalan beriringan menuju kediaman Rudi, om Darren yang terkenal kejam. Nadia melangkah dengan hati-hati, tulang pahanya masih terasa nyeri setelah operasi pelepasan pen."Kamu yakin mau ke sini?" tanya Darren, sedikit ragu."Iya, sekadar berbela sungkawa sebentar."Sesampainya di depan rumah Rudi, mereka mendengar suara teriakan yang nyaring. Suara itu berasal dari dalam rumah, terdengar seperti jeritan orang kesakitan. Nadia mengernyit, jantungnya berdebar kencang."Itu suara Om Rudi," bisik Darren.Mereka mengintip dari balik jendela. Di dalam, Rudi tampak seperti orang gila, berteriak-teriak histeris. "Mama ... Ma! Kembalilah padaku, Ma. Aku mohon jangan tinggalkan Papa ...!" teriaknya histeris, memeluk foto mendiang istrinya.Nadia merasa iba melihat Rudi yang terpuruk. "Kasian, dia kayak orang kehilangan akal," gumamnya.Darren hanya diam, matanya menatap Rudi dengan dingin. "Karma," gumamnya pelan, "Karma atas semua keja

  • Kakak Ipar Rasa Pacar    Chapter 164

    Beberapa jam berlalu. Nadia terbangun dari tidurnya, tubuhnya masih terasa lemas akibat pengaruh obat bius. Matanya perlahan terbuka, dan pandangannya langsung tertuju pada Darren yang duduk di samping ranjang, wajahnya tampak lesu. Nadia berusaha bangkit, tetapi rasa sakit yang menusuk di perutnya membuatnya kembali terbaring."Kak ...," lirih Nadia, suaranya serak dan bergetar.Darren langsung mendekat, memegang tangan Nadia dengan lembut. "Sayang, kamu udah bangun? Kamu masih sakit?"Nadia menggeleng lemah. "Sudah nggak terlalu."Darren tidak menjawab, hanya mengelus lembut rambut istrinya. Membuat Nadia berpikir macam-macam, tak biasanya suaminya murung."Kak, apa semua baik-baik saja? Ada masalah, sampai kamu murung begitu?" tanya Nadia, sambil tangannya perlahan menekan perut meredam rasa nyeri.Darren menarik napas dalam-dalam. "Iya, Sayang. Maaf membuatmu khawatir.""Ada apa?"Darren sebenarnya belum ingin cerita, tetapi Nadia sudah terlanjur curiga. "Kakek meninggal be

  • Kakak Ipar Rasa Pacar    Chapter 163

    Darren melangkah gontai memasuki ruangan rumah sakit tempat Nadia dirawat. Ia berharap bisa menemukan sedikit ketenangan di sini, setelah melakukan tindakan brutal terhadap Rahayu. Sayangnya, saat ia melihat wajah Nadia yang pucat dan terbaring lemah, rasa bersalah kembali menyergapnya."Sayang," lirih Darren, tangannya meraih tangan Nadia yang dingin. "Maafkan aku. Aku nggak bisa mencegah Tante Rahayu mengirimkan pesan itu, sehingga membuat pikiranmu terganggu."Namun, sebelum Darren bisa melanjutkan kata-katanya, bodyguard-nya, datang menghampiri. Wajahnya tampak muram, matanya berkaca-kaca."Tuan, ada kabar buruk," ucap Ryan, suaranya bergetar menahan tangis. "I-ini menyangkut Tuan Besar.""Apa?" tanya Darren, jantungnya berdebar kencang."Tuan Besar telah meninggal dunia, Dokter mengabarkan dua puluh menit yang lalu, dan saat ini jenazahnya masih ada di ICU karena menunggu Tuan," ucap Ryan, suaranya tercekat.Darren terpaku di tempat, matanya membelalak tak percaya. Ia tak

  • Kakak Ipar Rasa Pacar    Chapter 162

    Darren melangkah tegap menuju kantornya, meninggalkan kekacauan di Atmajaya. Ia tak peduli dengan perusahaan yang kini terancam bangkrut, tak peduli dengan kekhawatiran staf-staf Atmajaya tadi, dan tak peduli dengan nasib Rudi. Ia memasuki ruangannya, sebuah ruangan mewah dengan pemandangan kota dari jendela besar. Namun, kemewahan itu tak lagi berarti apa-apa baginya. Ia duduk di kursi empuk, membuka laptop, dan mulai mengetik.Darren mengirim email kepada para investor Atmajaya, memerintahkan mereka untuk segera menarik investasi dari perusahaan milik omnya. Ia tahu, dengan kekuasaannya, para investor pasti lebih berpihak padanya.[Saya harap Anda semua sudah membaca berita terkini tentang Atmajaya. Saya sarankan Anda untuk segera menarik investasi Anda dari perusahaan ini. Atmajaya sudah tidak layak untuk Anda investasikan.] tulis Darren dalam emailnya.Ia menekan tombol "kirim" dengan penuh amarah. Ia tahu, dengan email itu, ia telah menghancurkan Atmajaya. Namun, ia tak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status