LOGIN“Aurelyn?”
Aurelyn sangat terkejut saat dia membuka pintu kamarnya. Zephyr telah menipunya, ternyata yang ada di balik pintu adalah Aveiro.
“Ada apa?” tanya Aveiro di sana menyadarkan lamunan Aurelyn.
“Um… Bukan apa-apa,” jawab Aurelyn tersenyum manis di sana.
“Kapan kamu pulang? Kenapa tidak menghubungimu? Aku mencarimu sejak tadi,” ujar Aveiro menatap Aurelyn dengan intens.
Wanita itu berdehem kecil, jantungnya berdebar kencang karena gugup. Dia pikir, yang tadi datang adalah Zephyr. Dan, apa yang dia pikirkan, tidak mungkin Zephyr nekad datang ke rumahnya.
“Aurelyn?”panggil Aveiro kembali menyadarkan lamunan Aurelyn di sana. “Ada apa? Apa kamu sakit?”
Aurelyn menggeleng cepat, mencoba menguasai dirinya yang kalut. "Nggak, aku cuma... kurang tidur. Makanya agak linglung," kilahnya sambil menghindari tatapan Aveiro.
Namun, Aveiro tak langsung percaya. Ia melangkah masuk tanpa diundang, menutup pintu kamar Aurelyn dan berdiri tepat di hadapannya. Tatapannya tajam, seolah membaca isi hati wanita itu.
"Aurelyn, ada yang kamu sembunyikan dariku?" tanyanya pelan.
"Apa maksudmu?" Aurelyn mencoba tersenyum, tapi gugup jelas terbaca di wajahnya.
"Entahlah, kamu terlihat beda. Sejak kemarin. Dan sekarang tiba-tiba menghilang, tidak bisa dihubungi..."
Aurelyn mundur satu langkah. "Aku... Aku baik-baik saja, Vei. Aku hanya butuh istirahat. Sepertinya, aku kelelahan,” jawab Aurelyn dengan tenang.
“ Kamu yakin?” tanya Aveiro.
“ Ya, tentu saja. Aku sangat yakin,” jawab Aurelyn tersenyum simpul.
“ Lain kali, jangan menghilang tanpa kabar. Bagaimanapun, kamu tunangan ku dan tanggung jawabku pada orang tuamu kalau kamu kenapa-kenapa. Jadi, balas pesanku,” ucap Aveiro sedikit kesal.
“Ya, baiklah.”
“Kalau begitu istirahatlah. Aku akan kembali, sepertinya Zephyr akan tiba di rumah utama siang ini,” jawab Aveiro.
Mendengar nama Zephyr disebut, seluruh tubuh Aurelyn meremang dan jantungnya berdebar tidak karuan.
“Um… Baiklah, kamu pergilah. Aku hanya butuh istirahat,” jawab Aurelyn.
“Oke.” Aveiro hanya mengelus kepala Aurelyn dengan lembut dan berlalu pergi meninggalkan Aurelyn seorang diri.
Begitu pintu tertutup, Aurelyn langsung mengunci diri dan membalikkan badan, menyandarkan tubuhnya ke pintu sambil menghembuskan napas berat.
“Gawat... aku hampir ketahuan,” gumamnya, menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
Bayangan wajah Zephyr kembali muncul di benaknya, lengkap dengan suara godaan terakhir pria itu di telepon.
"Pikirkan baik-baik, Aurelyn. Karena aku benar-benar akan menagihnya."
Aurelyn mengusap wajahnya kasar. “Pria itu benar-benar menakutkan. Dalam Sekejap sudah bisa mempengaruhiku,”gumamnya.
Ponselnya kembali bergetar.
Aurelyn menatap layar dengan napas tertahan. Sebuah pesan muncul dari nama yang sangat tidak ingin dia lihat:
Zephyr: “Apa kau terkejut? Tenang saja, aku bukan orang yang bertindak terburu-buru. Kita nikmati saja permainan ini, dan jangan harap aku akan membiarkanmu begitu saja, calon adik ipar tersayang.”
“Pria gila!” umpat Aurelyn menghembuskan napas kasar di sana saat membaca pesan dari Zephyr.
Aurelyn melempar ponselnya ke atas kasur, lalu memeluk dirinya sendiri sambil berjalan mondar-mandir di kamar. Jantungnya berdebar kencang, kepalanya penuh dengan kemungkinan buruk yang bisa terjadi kalau rahasia itu terbongkar.
"Tenang, Aurelyn. Dia cuma menggertak. Dia nggak mungkin seberani itu... kan?" katanya mencoba meyakinkan diri, tapi keraguan terpancar jelas di matanya.
Dia menoleh ke arah ponsel di kasur, yang kini kembali bergetar. Satu pesan baru masuk. Dari Zephyr lagi.
Zephyr: “Siapkan dirimu. Aku akan segera menemuimu. Kita perlu bicara... secara pribadi.”
Aurelyn membelalak. Segera? Kapan?
Dia buru-buru meraih ponsel, jari-jarinya gemetar saat hendak mengetik balasan.
“Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Hal yang terjadi kemarin, hanya kecelakaan karena aku mabuk. Tolong, lupakan saja!” itulah pesan yang ditulis Aurelyn.
Namun, sebelum ia sempat menekan tombol kirim, ponselnya kembali bergetar. Notifikasi baru muncul di layar—bukan pesan kali ini, tapi sebuah foto.
Dari Zephyr.
Dengan tangan gemetar, Aurelyn membuka foto itu.
Dan detik berikutnya, wajahnya seketika pucat pasi.
Itu… foto dirinya dan Zephyr. Di kamar hotel. Tertidur di ranjang yang sama. Kepalanya bersandar di dada telanjang pria itu, sementara Zephyr terlihat menatap kamera dengan tatapan tajam dan menyeringai penuh kemenangan.
Aurelyn menutup mulutnya, tubuhnya gemetar hebat.
“Tidak… tidak mungkin… dia—dia menyimpan bukti!?”
“Dasar pria licik!” umpatnya.
Notifikasi pesan masuk lagi.
Zephyr:
"Kalau kamu masih menganggap itu hanya kecelakaan, maka aku akan mengingatkanmu betapa indahnya kecelakaan itu, Aurelyn. Oh, bagaimana kalau foto itu sampai di tangan Aveiro. Apa yang akan terjadi pada adikku, ya? Kasihan sekali dia…”
Aurelyn terduduk di lantai, lemas. Matanya berkaca-kaca.
Ponselnya nyaris terlepas dari genggaman. Jemarinya gemetar, tubuhnya terasa dingin seperti es. Kata-kata Zephyr menusuk pikirannya—tajam dan penuh ancaman tersembunyi.
“Dia nggak main-main... Dia benar-benar gila!” bisik Aurelyn, suaranya nyaris tak terdengar.
Ketakutan menjalari tubuhnya perlahan. Ini bukan lagi sekadar kesalahan satu malam. Ini sudah menjadi permainan berbahaya yang melibatkan harga diri, keluarga, dan masa depan.
Tangannya menutupi wajah, air mata mulai mengalir tanpa bisa ditahan.
Namun, tiba-tiba ponselnya kembali bergetar.
Panggilan masuk: Zephyr
Aurelyn mematung. Layar itu berkedip-kedip seakan menantangnya untuk menjawab. Ia tak sanggup menekan tombol hijau, tapi juga tak bisa memalingkan pandangannya.
“Apa maumu?” tanya Aurelyn dengan nada suara tigggi penuh kekesalan. Yang terdengar hanya tawa renyah di seberang sana.
Tawa itu membuat bulu kuduk Aurelyn meremang. Suaranya tenang, namun mengandung nada manipulatif yang mengintimidasi.
"Aku hanya ingin bicara denganmu, sayang," jawab Zephyr akhirnya, suaranya berat dan santai. "Tapi kamu sepertinya terlalu tegang. Jangan khawatir, aku belum mengirimkan foto itu pada Aveiro… selama kamu tidak membuatku marah."
Aurelyn mengepalkan tangan, berusaha menahan gemetar yang merambat dari ujung jari hingga ke tulang punggungnya.
"Tuan Zephyr, aku benar-benar tidak ingin berurusan denganmu. Anggap saja malam itu tidak pernah terjadi!" bentaknya dengan suara bergetar.
"Lagi-lagi dengan alasan itu?" Zephyr terkekeh pelan. "Sayangnya, aku bukan tipe pria yang bisa melupakan hal menyenangkan semudah itu. Lagipula… kamu juga menikmatinya, bukan?"
"Berhenti bicara seperti itu!" teriak Aurelyn dengan amarah bercampur panik.
Namun Zephyr hanya tertawa lebih keras. "Oke, oke. Aku akan berhenti… kalau kamu bersedia menemuiku malam ini. Sendirian."
Aurelyn membeku. "Apa?! Kamu gila!"
"Aku tahu," jawab Zephyr dengan nada santai. "Dan aku juga tahu, kalau kamu menolakku, foto itu mungkin akan secara tak sengaja, terkirim ke Aveiro. Kamu tentu tidak ingin tunanganmu tau, kan?” tanya Zephyr benar-benar menjebak Aurelyn dalam kesulitan.
“Dasar pria licik!” umpat Aurelyn.
“Ya, tidak hanya kamu yang memujiku seperti itu,” jawabnya dengan tenang membuat Aurelyn mendengus kesal sambil mematikan sambungan telepon.
Tidak ada pilihan lain, haruskah Aurelyn menemui Zephyr nanti malam?
Aurelyn terdiam, tatapannya kosong menembus layar ponsel yang kini telah kembali hening. Nafasnya memburu, otaknya sibuk menimbang berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi.
Kalau dia menolak, Zephyr bisa saja benar-benar mengirimkan foto itu ke Aveiro, dan semua akan hancur. Tunangannya, keluarganya, masa depannya. Tapi kalau dia menurut... apa yang akan dilakukan pria licik itu padanya?
“Tidak… ini gila. Aku harus cari jalan keluar. Aku nggak bisa terus dikendalikan olehnya,” gumam Aurelyn sambil memijat pelipis.
Tapi, sebelum sempat berpikir lebih jauh, satu pesan baru kembali masuk.
Zephyr:
"Pukul delapan. Di tempat biasa. Datang sendiri... atau bersiap kehilangan segalanya."
Aurelyn menatap layar dengan mata membelalak. “Tempat biasa?” gumamnya pelan. Ya Tuhan, tempat itu, tempat semuanya berawal.
Dia menelan ludah.
“Kalau memang aku harus menghadapi iblis itu... aku akan pastikan, aku tidak lagi jadi mangsa,” ucapnya lirih.
Tring…
Zephyr : “Jangan sampai terlambat, Sayang. Aku akan menunggumu.”
Degh!
***
Selama di perjalanan, Aurelyn sesekali menoleh ke arah Zephyr yang fokus menyetir mobil. “Terima kasih sudah nolongin aku,” ucap Aurelyn akhirnya membuka suaranya setelah lama diam. “Kenapa pergi sendirian saat malam hari?” tanya Zephyr. “Apa kamu sedang coba bunuh diri?” walau pertanyaan itu sarkas, tapi Aurelyn tahu kalau Zephyr mengkhawatirkannya.Aurelyn menunduk, jemarinya meremas ujung mantel Zephyr yang kini membungkus tubuhnya. Ia menggigit bibir, menahan isakan yang masih tersisa.“Aku … aku cuma butuh waktu sendiri,” jawabnya pelan. “Aku nggak sangka mereka tiba-tiba muncul.”Zephyr menoleh sekilas dengan sorot mata dingin. “Kamu pikir dunia ini aman untukmu? Semua orang tahu siapa kamu, Aurelyn. Itu artinya, semua orang juga bisa menjadikanmu sasaran.”Aurelyn terdiam, hatinya terasa semakin berat. Kalimat Zephyr terdengar keras, tapi ia tahu, itu adalah bentuk nyata dari kekhawatiran.“Kalau aku terlambat satu menit saja-” Zephyr menghela napas panjang,
Mobil hitam berlapis baja sudah menunggu, mesin meraung pelan. Blade membuka pintu belakang dengan sigap, sementara Marvel memberi isyarat kepada dua kendaraan pengawal lain untuk bersiap mengikuti.Zephyr masuk ke dalam mobil, duduk tegak dengan wajah kelam. Tangannya mengepal di atas lutut, menahan amarah yang membuncah. “Jika ada goresan sedikit saja di tubuh Aurelyn, mereka semua akan kuhancurkan!”Blade duduk di depan, menoleh sekilas lewat kaca spion. “Tuan, kami bisa mendahului mereka dengan jalur alternatif. Tim pengintai sudah melacak posisi mobil yang membuntuti. Mereka melaju pelan, menunggu momen.”“Tidak ada momen untuk mereka. Aku yang akan menentukan akhir dari permainan ini,” sahut Zephyr dingin.Mobil melaju kencang menembus gelapnya malam. Salju berterbangan, lampu-lampu jalan berkelebat cepat.Sementara itu, di dalam mobil Aurelyn, ia duduk sendirian di kursi belakang, menatap keluar jendela. Matanya sayu, bibirnya terkatup rapat. Dia belum menyadari bahaya yang men
“Marvel, apa kamu sudah menyelidiki Varga dan Arwin Holt?” tanya Zephyr yang duduk di kursi kebesarannya. “Ya, Tuan,” jawab Marvel. “Apa hasilnya?” tanya Zephyr. “Saya tidak menemukan identitas itu. Tetapi, ada nama anak buah dari Jordan Valchev yang bernama itu,” jelas Marvel.Zephyr menyipitkan mata, jemarinya mengetuk pelan sandaran kursi kebesarannya. Ada kilatan dingin di tatapannya, menandakan pikirannya sedang berpacu cepat.“Jadi begitu,” gumam Zephyr lirih. “Jordan berusaha menyusup dengan nama samaran.”Marvel menunduk dalam, lalu menambahkan, “Sepertinya nama Varga dan Arwin Holt digunakan sebagai tameng, Tuan. Identitas asli mereka masih tertutup rapat. Namun, ada catatan pergerakan dana yang mengarah ke jaringan milik Valchev. Itu tidak kebetulan.”Zephyr mendengus dingin. “Jordan selalu bermain di balik bayangan. Dia pikir aku tidak akan menyadarinya. William dan Dimitri jelas melakukan ini dengan bantuan dari Jordan. Mereka pikir, aku bodoh
Langkah Zephyr terhenti di ujung pintu menuju atap. Pandangannya membeku saat melihat Aurelyn menangis di pelukan Aveiro. Nafasnya tertahan, seakan ada tangan kasar yang mencekik lehernya. Hatinya terasa diremukkan sekaligus dibakar api cemburu dan sakit.Aurelyn tidak menyadari kehadirannya, begitu juga Aveiro. Hanya bayangan tubuh Zephyr yang samar tertimpa cahaya lampu atap."Jadi ini, yang sebenarnya?" batin Zephyr. Matanya memerah, bukan hanya karena dingin salju, tapi karena luka yang merambat begitu cepat di dalam dadanya.“Aku mencintai Aveiro.” Kata-kata Aurelyn kembali muncul di kepalanya, seperti pisau yang menghunus langsung ke jantungnya.Ia mengepalkan tangan begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. “Aurelyn ….” gumamnya lirih. “Padahal aku sudah menunggumu selama ini. Perasaanku tidak pernah berubah padamu, wanita yang memberikan coklat hangat, memberikan kehangatan padaku yang sedang kebingungan dan hilang arah,” batin Zephyr.“Kenapa? Tidak bisakah kamu mencintai
“Kenapa kamu membawaku ke sini, Aveiro?” tanya Aurelyn saat mereka berada di atap gedung perusahaan Clark yang sangat tinggi. Langit malam dengan udara dingin dan hujan salju yang jatuh ke tanah. “Ada yang ingin aku bicarakan padamu, Aurelyn,” ucap Aveiro menatap ke arah Aurelyn di depannya. “Apa?” tanya Aurelyn memandang Aveiro di depannya dengan intens. “Aku tidak bisa melanjutkan rencana perjanjian kita, Aurelyn.” Deg. Aurelyn jelas terkejut mendengar hal itu dari Aveiro. Wanita itu menghela napasnya pelan. “Apa alasannya?” “Aku sudah katakan, aku tidak suka rencana ini. Kamu terus saling serang dengan Zephyr. Mau sampai kapan ini akan terjadi, Rel?” tanya Aveiro. “Apa kamu tidak bisa mengabaikan hal itu?” tanya Aurelyn menatap Aveiro dengan tajam. “Tidak bisa!” jawabnya dengan tegas. “Aku tahu kamu mencintainya, Aurelyn. Kita sudah kenal sangat lama, kita berteman bahkan satu sekolah dan kuliah. Aku sa
“So, dia kan wanita yang kamu sukai, Leo? Tunangan adik sepupumu?” tanya Clarissa menoleh ke arah Zephyr.Clarissa menatapnya dengan tatapan penuh kepuasan, seakan menemukan kelemahan terbesar yang bisa ia gunakan kapan saja. Nada suaranya terdengar ringan, namun penuh dengan racun yang terbungkus manis.Zephyr menoleh perlahan, menatap Clarissa dengan sorot mata dingin yang membuat senyumnya sedikit menegang. “Jangan bicara sembarangan,” ucapnya datar, meski nada suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.Clarissa tersenyum samar, tidak gentar sedikit pun. “Kenapa? Aku hanya menebak, kok. Tapi melihat caramu menatapnya tadi ah, rasanya aku tidak perlu menebak terlalu jauh.” Ia tertawa kecil, lalu kembali merapatkan dirinya ke lengan Zephyr, seolah menegaskan bahwa dialah yang kini ada di sisi pria itu.Zephyr berhenti melangkah, rahangnya mengeras. “Clarissa,” suaranya rendah, penuh peringatan, “jangan pernah singgung hal itu lagi.”Untuk pertama kalinya, ekspresi Clarissa sedikit







