로그인Aurelyn kini sudah sampai di depan hotel mewah tempat Zephyr menginap. Langkahnya terasa berat, seolah setiap tapak menuju lobi itu membawanya lebih dekat pada kehancuran. Pukul delapan lewat dua puluh menit. Dia tahu, Zephyr pasti sudah menunggunya.
Awalnya, dia benar-benar tak ingin datang. Rasa takut, malu, dan marah bercampur jadi satu membuatnya hampir membatalkan niat berkali-kali. Tapi bayang-bayang pesan terakhir dari Zephyr membuat hatinya ciut. Ancaman itu terlalu nyata untuk diabaikan.
Aurelyn tak bisa membayangkan jika foto itu sampai tersebar. Bukan hanya dia yang akan hancur, tapi juga keluarganya. Walau, Aveiro sendiri berselingkuh darinya, tapi tidak ada bukti fisik. Berbeda dengannya, Skandal yang menyebut dirinya pernah tidur dengan kakak iparnya? Itu akan jadi bencana yang tak bisa ditebus.
Dengan napas bergetar, dia memasuki lift menuju lantai paling atas.
“Tenang, Jesse. Kamu harus bisa hadapi ini dan selesaikan dengan cepat,” gumamnya menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Dia lakukan berulang kali.
Ting!
Pintu lift terbuka di lantai yang dituju, dengan langkah berat, dia membawa langkahnya keluar dari lift dan berjalan menuju kamar di mana Zephyr berada.
Sesampainya di depan pintu kamar, wanita itu kembali gugup dan ragu. Apa tindakannya ini salah atau benar.
“Yakin, Jesse. Kamu bisa!” batinnya memberi semangat. Akhirnya, dia pun memberanikan diri untuk mengetuk pintu di depannya dengan ragu.
Tok! Tok! Tok!
Tak butuh waktu lama, pintu terbuka perlahan, dan Zephyr berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja longgar dan celana santai, senyum miring terukir di wajahnya.
"Terlambat 20 menit, Hm..?” ucapnya sambil melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. ”Tapi, aku maklum. Kamu pasti sibuk bergulat dengan hati nuranimu." lanjutnya dengan ekspresi mengejek.
“Apa kita akan mengobrol seperti ini?” tanya Aurelyn dengan nada sinis.
“Silakan masuk. Bukannya kemarin kamu tidak ragu untuk masuk ke kamarku?” godanya membuat Aurelyn mendengus kesal sekaligus malu.
Zephyr menutup pintu setelah Aurelyn masuk. Wanita itu masih berdiri kaku di tempatnya dengan keadaan canggung.
“Eh?” Aurelyn terkejut saat Zephyr dengan kurang ajarnya memeluk tubuh Aurelyn dari belakang. “Apa-apaan kamu? Kamu sudah gila!” dengan cepat Aurelyn melepaskan diri dan berbalik ke arah Zephyr dengan sorot mata tajam penuh amarah.
“Aku, gila?” Zephyr malah terkekeh di sana sambil melipat kedua tangannya di dada. “Aku hanya merindukan Wanita ku.”
“Aku bukan wanitamu, ataupun milikmu!” ucapnya dengan tajam.
“Benarkah? Bukankah aku yang pertama untukmu dan kamu melarangku untuk berpaling darimu.” Zephyr berjalan mendekati Aurelyn yang penuh siaga. Menyadari Zephyr bergerak semakin dekat, Aurelyn pun bergerak mundur sampai akhirnya Zephyr menangkap lengan Aurelyn supaya wanita itu tidak terus menghindar. “Aku sudah memberi tanda pada tubuhmu. Dan kini, kamu milikku, wanita ku!” ucapnya penuh penekanan.
“Sebenarnya, apa yang kamu inginkan, Tuan Zephyr. Kejadian kemarin, jelas adalah kesalahan karena aku sedang mabuk,” ucap Aurelyn.
“Tapi, kamu mengingat semuanya, bukan? Kamu bahkan menikmatinya,” ujar Zephyr. “Kesalahan? Baiklah kalau kamu menyebut itu sebagai sebuah kesalahan. Bukankah itu adalah kesalahan terindah? Dan aku, sangat menyukainya.” Seringai terukir di bibir Zephyr yang seksi. Sorot matanya yang tajam berhasil membuat Aurelyn berdebar kencang dan sangat gugup, entar karena rasa takut atau terintimidasi, yang jelas, dia merasa sangat gugup.
Aurelyn menepis lengan Zephyr yang masih mencengkeram pergelangannya.
"Aku tidak datang ke sini untuk mendengarkan ocehanmu," katanya tajam. "Aku datang karena aku tidak ingin kamu menghancurkan hidupku... atau hidup adikmu."
Zephyr mendongak, ekspresinya berubah menjadi sedikit serius. Namun, senyuman itu tetap tak hilang sepenuhnya.
"Aku tidak berniat menghancurkan apa pun," katanya tenang. "Aku hanya... ingin memastikan bahwa kamu tidak pura-pura lupa pada malam yang luar biasa itu. Karena bagiku, itu lebih dari sekadar 'kesalahan akibat mabuk'."
Aurelyn memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan dirinya. Hatinya seperti diperas. Dia merasa jijik pada dirinya sendiri karena ada bagian dari dirinya yang masih mengingat dengan sangat jelas bagaimana rasanya malam itu—dan betapa dia tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa tubuhnya memang merespons sentuhan Zephyr. Tapi itu bukan cinta. Itu bukan keinginan. Itu jebakan. Jerat yang kini mencekik lehernya perlahan.
"Zephyr..." Aurelyn membuka mata, menatap pria itu lurus-lurus. "Aku tidak mencintaimu. Aku akan menikah dengan Aveiro. Hubungan kita… apapun yang kamu pikir pernah ada, tidak nyata!"
"Ah, tapi sayangnya..." Zephyr menyentuh dadanya, pura-pura terluka, "bagiku, itu sangat nyata. Dan kamu tahu apa yang lebih menyakitkan? Kamu bisa menghapus semuanya dengan satu kata tidak nyata, sementara aku... masih mencium aroma rambutmu dari bantalku pagi ini."
Aurelyn menahan napas, tubuhnya menegang.
"Kamu gila!" gumamnya.
Zephyr tersenyum kecil, lalu melangkah ke meja kecil di samping ranjang dan mengambil ponselnya. Ia mengangkat layar, memutar layar ke arah Aurelyn, memperlihatkan file yang ia simpan dengan nama: Aurelyn - Malam Itu.
“Tidak!” Aurelyn langsung maju dan berusaha merebut ponsel itu, tapi Zephyr lebih cepat mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Aku tidak akan mengirimnya… kalau kamu tetap jadi milikku."
Aurelyn terdiam. Dadanya naik-turun, napasnya tidak teratur.
“Kamu… kamu mau menyanderaku seumur hidup?” tanyanya dengan suara bergetar.
"Kalau itu satu-satunya cara agar kamu tetap bersamaku, maka iya." Zephyr menatapnya lurus. "Kamu bisa membenciku. Kamu bisa memukulku, menamparku, memaki aku setiap hari. Tapi kamu akan tetap jadi milikku, Aurelyn. Aku tidak akan melepaskanmu."
Aurelyn memundurkan diri pelan-pelan. Tangannya mengepal di sisi tubuh. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa seperti boneka yang dikendalikan oleh tali-tali tak terlihat, oleh rasa bersalah, rasa takut… dan ancaman.
“Dan kenapa kamu sangat takut? Bukankah Aveiro juga mengkhianatimu? Bahkan di pesta yang ada tunangannya sendiri, dia berani mencium wanita lain. Kenapa kamu tidak melakukan hal yang sama? Menjadikanku sebagai selingkuhanmu. Aku tidak keberatan untuk jadi yang kedua,” ucap Zephyr dengan santai sambil membelai rambut Aurelyn dengan lembut. “Asalkan, hanya aku yang boleh mencium dan tidur denganmu. Aku melarang keras, pria lain menyentuhmu!” ucapnya penuh penekanan dan sorot mata tajam yang mengintimidasi.
Aurelyn menepis tangan Zephyr yang menyentuh rambutnya, kali ini dengan lebih keras.
“Kamu benar-benar sakit jiwa,” desisnya dengan nada rendah namun penuh amarah. “Kalau kamu berpikir aku akan menjadikanmu selingkuhanku, kamu salah besar. Aku bukan milik siapa pun—termasuk kamu!”
Zephyr mendekat, tapi Aurelyn tidak lagi mundur. Dia berdiri tegak, meskipun lututnya terasa lemas dan jantungnya berdegup kencang.
“Aku mungkin sudah melakukan kesalahan besar saat itu, tapi bukan berarti aku akan membiarkan kamu mengendalikanku seumur hidup,” lanjut Aurelyn, matanya menatap tajam. “Aku menyesal, bukan karena malam itu terjadi, tapi karena aku mempercayaimu. Aku kira kamu masih punya sisi manusia, ternyata kamu cuma predator!”
Zephyr menghela napas pelan. Tatapannya yang awalnya tajam kini berubah gelap, hampir seperti bayangan yang menyelimuti wajahnya.
“Lalu, kamu mau apa sekarang? Pergi? Melapor ke polisi? Silakan. Tapi kamu tahu risiko kalau foto dan video itu tersebar. Kamu tahu apa yang akan terjadi dengan reputasi keluargamu, dan Aveiro...” ia tersenyum tipis, penuh jebakan, “dia akan hancur. Bukan hanya sebagai tunanganmu, tapi juga sebagai pria yang dikhianati oleh kakaknya sendiri.”
Kata-katanya seperti cambuk bagi Aurelyn. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa ingin berteriak.
Tapi, di balik ketakutannya, keberanian mulai muncul. Ia sadar, selama ini, Zephyr terus memberi ancaman karena tahu Aurelyn takut. Tapi, kalau ia terus bertahan dalam ketakutan, ia akan selamanya jadi boneka dalam permainan pria itu.
“Aku akan pergi malam ini. Tapi bukan karena aku setuju. Aku butuh waktu… untuk berpikir. Dengar, Tuan Zephyr…” Aurelyn menatapnya lurus, penuh ketegasan yang belum pernah muncul sebelumnya, “Kamu tidak bisa mengendalikan dengan ancamanmu!”
Ia berbalik, melangkah cepat menuju pintu. Zephyr tidak mengejarnya. Ia hanya diam, membiarkan pintu tertutup di belakang Aurelyn dengan dentuman pelan… dan sebuah senyum kecil yang penuh teka-teki mengembang di wajahnya.
“Ini jadi semakin menarik. Ah, sial! Aku semakin menginginkannya,” gumam Zephyr dengan seringainya.
Pria itu mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.
“Carikan aku informasi tentang keseharian Jesslyn Edgar, semua aktivitasnya setiap hari, siapa temannya, hobinya secara detail.”
Setelah itu, dia memutuskan samb ungan telepon.
“Kamu akan jadi milikku, Aurelyn… “
***
Selama di perjalanan, Aurelyn sesekali menoleh ke arah Zephyr yang fokus menyetir mobil. “Terima kasih sudah nolongin aku,” ucap Aurelyn akhirnya membuka suaranya setelah lama diam. “Kenapa pergi sendirian saat malam hari?” tanya Zephyr. “Apa kamu sedang coba bunuh diri?” walau pertanyaan itu sarkas, tapi Aurelyn tahu kalau Zephyr mengkhawatirkannya.Aurelyn menunduk, jemarinya meremas ujung mantel Zephyr yang kini membungkus tubuhnya. Ia menggigit bibir, menahan isakan yang masih tersisa.“Aku … aku cuma butuh waktu sendiri,” jawabnya pelan. “Aku nggak sangka mereka tiba-tiba muncul.”Zephyr menoleh sekilas dengan sorot mata dingin. “Kamu pikir dunia ini aman untukmu? Semua orang tahu siapa kamu, Aurelyn. Itu artinya, semua orang juga bisa menjadikanmu sasaran.”Aurelyn terdiam, hatinya terasa semakin berat. Kalimat Zephyr terdengar keras, tapi ia tahu, itu adalah bentuk nyata dari kekhawatiran.“Kalau aku terlambat satu menit saja-” Zephyr menghela napas panjang,
Mobil hitam berlapis baja sudah menunggu, mesin meraung pelan. Blade membuka pintu belakang dengan sigap, sementara Marvel memberi isyarat kepada dua kendaraan pengawal lain untuk bersiap mengikuti.Zephyr masuk ke dalam mobil, duduk tegak dengan wajah kelam. Tangannya mengepal di atas lutut, menahan amarah yang membuncah. “Jika ada goresan sedikit saja di tubuh Aurelyn, mereka semua akan kuhancurkan!”Blade duduk di depan, menoleh sekilas lewat kaca spion. “Tuan, kami bisa mendahului mereka dengan jalur alternatif. Tim pengintai sudah melacak posisi mobil yang membuntuti. Mereka melaju pelan, menunggu momen.”“Tidak ada momen untuk mereka. Aku yang akan menentukan akhir dari permainan ini,” sahut Zephyr dingin.Mobil melaju kencang menembus gelapnya malam. Salju berterbangan, lampu-lampu jalan berkelebat cepat.Sementara itu, di dalam mobil Aurelyn, ia duduk sendirian di kursi belakang, menatap keluar jendela. Matanya sayu, bibirnya terkatup rapat. Dia belum menyadari bahaya yang men
“Marvel, apa kamu sudah menyelidiki Varga dan Arwin Holt?” tanya Zephyr yang duduk di kursi kebesarannya. “Ya, Tuan,” jawab Marvel. “Apa hasilnya?” tanya Zephyr. “Saya tidak menemukan identitas itu. Tetapi, ada nama anak buah dari Jordan Valchev yang bernama itu,” jelas Marvel.Zephyr menyipitkan mata, jemarinya mengetuk pelan sandaran kursi kebesarannya. Ada kilatan dingin di tatapannya, menandakan pikirannya sedang berpacu cepat.“Jadi begitu,” gumam Zephyr lirih. “Jordan berusaha menyusup dengan nama samaran.”Marvel menunduk dalam, lalu menambahkan, “Sepertinya nama Varga dan Arwin Holt digunakan sebagai tameng, Tuan. Identitas asli mereka masih tertutup rapat. Namun, ada catatan pergerakan dana yang mengarah ke jaringan milik Valchev. Itu tidak kebetulan.”Zephyr mendengus dingin. “Jordan selalu bermain di balik bayangan. Dia pikir aku tidak akan menyadarinya. William dan Dimitri jelas melakukan ini dengan bantuan dari Jordan. Mereka pikir, aku bodoh
Langkah Zephyr terhenti di ujung pintu menuju atap. Pandangannya membeku saat melihat Aurelyn menangis di pelukan Aveiro. Nafasnya tertahan, seakan ada tangan kasar yang mencekik lehernya. Hatinya terasa diremukkan sekaligus dibakar api cemburu dan sakit.Aurelyn tidak menyadari kehadirannya, begitu juga Aveiro. Hanya bayangan tubuh Zephyr yang samar tertimpa cahaya lampu atap."Jadi ini, yang sebenarnya?" batin Zephyr. Matanya memerah, bukan hanya karena dingin salju, tapi karena luka yang merambat begitu cepat di dalam dadanya.“Aku mencintai Aveiro.” Kata-kata Aurelyn kembali muncul di kepalanya, seperti pisau yang menghunus langsung ke jantungnya.Ia mengepalkan tangan begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. “Aurelyn ….” gumamnya lirih. “Padahal aku sudah menunggumu selama ini. Perasaanku tidak pernah berubah padamu, wanita yang memberikan coklat hangat, memberikan kehangatan padaku yang sedang kebingungan dan hilang arah,” batin Zephyr.“Kenapa? Tidak bisakah kamu mencintai
“Kenapa kamu membawaku ke sini, Aveiro?” tanya Aurelyn saat mereka berada di atap gedung perusahaan Clark yang sangat tinggi. Langit malam dengan udara dingin dan hujan salju yang jatuh ke tanah. “Ada yang ingin aku bicarakan padamu, Aurelyn,” ucap Aveiro menatap ke arah Aurelyn di depannya. “Apa?” tanya Aurelyn memandang Aveiro di depannya dengan intens. “Aku tidak bisa melanjutkan rencana perjanjian kita, Aurelyn.” Deg. Aurelyn jelas terkejut mendengar hal itu dari Aveiro. Wanita itu menghela napasnya pelan. “Apa alasannya?” “Aku sudah katakan, aku tidak suka rencana ini. Kamu terus saling serang dengan Zephyr. Mau sampai kapan ini akan terjadi, Rel?” tanya Aveiro. “Apa kamu tidak bisa mengabaikan hal itu?” tanya Aurelyn menatap Aveiro dengan tajam. “Tidak bisa!” jawabnya dengan tegas. “Aku tahu kamu mencintainya, Aurelyn. Kita sudah kenal sangat lama, kita berteman bahkan satu sekolah dan kuliah. Aku sa
“So, dia kan wanita yang kamu sukai, Leo? Tunangan adik sepupumu?” tanya Clarissa menoleh ke arah Zephyr.Clarissa menatapnya dengan tatapan penuh kepuasan, seakan menemukan kelemahan terbesar yang bisa ia gunakan kapan saja. Nada suaranya terdengar ringan, namun penuh dengan racun yang terbungkus manis.Zephyr menoleh perlahan, menatap Clarissa dengan sorot mata dingin yang membuat senyumnya sedikit menegang. “Jangan bicara sembarangan,” ucapnya datar, meski nada suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.Clarissa tersenyum samar, tidak gentar sedikit pun. “Kenapa? Aku hanya menebak, kok. Tapi melihat caramu menatapnya tadi ah, rasanya aku tidak perlu menebak terlalu jauh.” Ia tertawa kecil, lalu kembali merapatkan dirinya ke lengan Zephyr, seolah menegaskan bahwa dialah yang kini ada di sisi pria itu.Zephyr berhenti melangkah, rahangnya mengeras. “Clarissa,” suaranya rendah, penuh peringatan, “jangan pernah singgung hal itu lagi.”Untuk pertama kalinya, ekspresi Clarissa sedikit







