LOGIN“Ya Tuhan, aku pasti sudah gila!” Aurelyn yang sudah masuk ke kamar hotelnya menjambak rambutnya sendiri dengan perasaan frustasi. “Ini semua karena ulah Aveiro!”
Dia mendaratkan bolongnya di atas ranjang dengan perasaan kacau. Bisa-bisanya dia tidur bersama calon Kakak iparnya yang baru saja kembali dari luar negeri. Pria asing, yang baru dia temui tadi malam.
“Gila, Aurelyn! Aku harus bagaimana sekarang? Kalau misalkan dia ingat kejadian semalam. Aku gimana?” Aurelyn benar-benar frustasi dan tidak bisa berpikir jernih.
“Bodoh! Kenapa aku harus mabuk dan masuk ke kamarnya. Kenapa aku malah mengira dia Aveiro?”
Aurelyn menggigit bibirnya, matanya memandang langit-langit kamar hotel dengan nanar. Detak jantungnya masih belum stabil sejak dia terbangun dan menyadari kesalahannya. Pria itu, calon kakak iparnya bisa saja mengingat semuanya. Lalu bagaimana jika dia menceritakan ini pada Aveiro? Atau lebih buruk lagi, bagaimana jika pria itu justru menuntut tanggung jawab darinya?
"Aku harus keluar dari sini sebelum dia bangun dan menyadari semuanya," gumam Jesslyn panik. “Sebisa mungkin aku harus menjauh dan menghindari!”
Dengan cepat, Jesslyn membereskan pakaiannya ke dalam koper, dia pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Dia harus keluar dengan tenang, dan bersikap seakan semuanya tidak pernah terjadi.
“Oke, aku harus pergi sekarang!” ucap wanita itu setelah bersiap dan menderek koper meninggalkan kamarnya.
Namun, saat dia baru saja menutup pintu kamarnya, seseorang mengagetkannya.
“Berniat kabur?” ucapan itu berhasil membuat Aurelyn tertegun, tubuhnya menegang seketika. Dia menelan ludah sebelum perlahan menoleh.
Pria itu sudah berdiri dengan bersandar ke dinding tak jauh dari pintu kamarnya. Kedua tangannya dilipat di dada dan dia tampak lebih segar, seperti baru selesai mandi.
“Ubur-ubur ikan lele. Sial! Gagal kabur, Le!” batin Aurelyn mengutuk dirinya yang terlalu lama membuang waktu sampai ketauan.
Wanita itu berdehem kecil sambil berbalik ke arah pria yang masih menatapnya dengan intens dan ekspresinya sulit ditebak. Tatapan matanya mengunci Aurelyn di tempat, membuat napasnya tercekat.
"Sial! Di saat seperti ini dia terlihat begitu tampan!" batin Aurelyn, menghela napasnya. Tapi, gadis itu segera menghilangkan kegugupannya dan berusaha bersikap biasa saja.
“Selamat pagi, Kak Zephyr,” sapa Aurelyn yang berpura-pura polos. “Kakak datang untuk mencari Aveiro, ya? Sayang sekali, Aveiro gak ada di sini. Dia…“ Aurelyn berpikir cukup lama. “Dia sudah pulang duluan. Ya, dia sudah pulang,” jawabnya berusaha tersenyum walau gugup.
“Ka… kalau gitu, aku juga pamit, Kak. Aku harus segera pergi karena ada kegiatan,” pamitnya.
Zephyr tetap bersandar di dinding, tidak bergerak sedikit pun. Bibirnya melengkung tipis, entah senyum mengejek atau hanya ekspresi santai. Tatapan matanya tajam, seolah menelanjangi kebohongan Aurelyn.
"Aveiro sudah pulang duluan?" Zephyr mengulang perkataan Aurelyn dengan nada datar, lalu melirik koper di tangannya. "Dan kau juga kebetulan harus pergi di pagi buta seperti ini?"
Aurelyn menelan ludah, mencoba mempertahankan senyumannya. "Iya, kebetulan banget! Aku ada urusan mendadak."
Zephyr mengangkat alis, lalu mendorong punggungnya dari dinding dan melangkah mendekat. Aurelyn spontan mundur, tapi pintu di belakangnya menghalangi.
"Kau yakin bukan karena kejadian tadi malam?"
Dada Aurelyn semakin sesak. "Ke-kejadian apa?" tanyanya, berpura-pura bingung.
Zephyr tersenyum kecil, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan hingga jarak mereka semakin dekat. Aurelyn bisa mencium aroma segar dari tubuh pria itu, yang baru saja mandi.
"Kau mabuk," kata Zephyr, suaranya rendah tapi jelas. "Lalu kau masuk ke kamarku dan..."
"Cukup!" Aurelyn buru-buru menutup telinganya dengan kedua tangan, wajahnya merah padam. "Aku tidak mau mendengar!"
Zephyr terkekeh pelan. "Jadi kau ingat?"
Aurelyn mendengus, menurunkan tangannya dengan kesal. "Tentu tidak! Aku bahkan tidak ingat apa pun, jadi aku tidak akan ambil pusing. Dan kakak juga jangan mengada-ada!"
Zephyr memperhatikan ekspresi Aurelyn dengan seksama, lalu mengangkat bahu santai. "Baiklah, kalau kau tidak ingat, aku juga tidak akan memaksamu mengingat."
Aurelyn mengerutkan kening, sedikit bingung dengan sikap pria itu.
"Serius?" tanyanya curiga.
Zephyr tersenyum miring. "Serius."
Untuk sesaat, Aurelyn merasa lega. Tapi kemudian, pria itu menambahkan sesuatu yang membuat jantungnya kembali berdegup kencang.
"Tapi kalau suatu hari kau ingin tahu apa yang terjadi semalam... Aku bersedia menceritakannya dengan detail. Dan aku juga akan menagih pertanggungjawabanmu. "
Aurelyn membelalakkan mata, jantungnya hampir melompat keluar. "Me-menagih pertanggungjawaban?" suaranya terdengar gemetar, tapi dia berusaha keras untuk tetap terlihat tenang.
Zephyr menyandarkan satu tangan ke dinding, tepat di samping wajah Aurelyn, membuat gadis itu terjebak di antara pintu dan tubuhnya. "Tentu saja," ujarnya santai, tapi ada nada penuh makna di balik suaranya. "Kau pikir aku tipe pria yang membiarkan sesuatu seperti ini berlalu begitu saja?"
Aurelyn meneguk ludah. "Tapi aku kan nggak ingat! Bagaimana bisa aku bertanggung jawab atas sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak tahu?"
Zephyr menatapnya lebih dalam, seolah menunggu sesuatu. Tapi saat Aurelyn tetap menghindari kontak mata, pria itu tersenyum tipis. "Baiklah, kalau begitu aku kasih waktu."
"Waktu?" Aurelyn mengerutkan kening.
"Waktu untuk mengingat."
Aurelyn semakin panik. "Dan kalau aku tidak ingat?"
Zephyr menepuk pelan dagunya seolah berpikir, lalu menjawab dengan santai, "Maka aku yang akan mengingatkanmu... dengan caraku sendiri." Pria itu menunjukkan seringainya.
Seketika wajah Aurelyn memanas. "Jangan macam-macam!" desisnya sebelum mendorong tubuh Zephyr dan buru-buru menyeret kopernya pergi.
Sementara itu, Zephyr hanya terkekeh pelan, matanya masih menatap punggung Aurelyn yang semakin menjauh.
"Menarik," gumamnya, senyum di wajahnya semakin lebar. "Aku ingin tahu, sampai kapan kau bisa lari dariku, calon adik ipar?"
***
“Nyebelin! Huhu… “ Aurelyn meninggalkan kopernya begitu saja saat dia sampai di kamarnya dan menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang empuk miliknya.
“Aku benar-benar sudah gila. Kenapa aku harus berurusan dengan pria itu,” gumamnya meruntuki dirinya sendiri.
Aurelyn memeluk bantal erat-erat, mengubur wajahnya di sana sambil merintih frustasi. "Kenapa harus dia?! Dari sekian banyak pria di dunia ini, kenapa harus calon kakak iparku sendiri?! Huhuhu..."
Dia berguling ke sana kemari di atas ranjang, kepalanya penuh dengan wajah Zephyr dan senyum jahilnya tadi. "Dan yang lebih parah, kenapa aku malah sempat berpikir dia tampan?!" Aurelyn langsung menampar pipinya sendiri. "Sadar, Aurelyn! Sadar! Ini bencana besar!"
Dia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. "Oke, oke. Aku harus melupakan semuanya. Aku harus bersikap seolah tidak terjadi apa-apa."
Namun, bayangan Zephyr yang berkata "Maka aku yang akan mengingatkanmu... dengan caraku sendiri." kembali terngiang di kepalanya.
Aurelyn langsung bangkit duduk. "Astaga! Jangan bilang dia benar-benar akan mengingatkanku dengan cara yang sama?!"
Dia buru-buru meraih ponselnya dan membuka aplikasi chat, berniat menghubungi Aveiro. "Aku harus tahu seberapa berbahayanya pria itu!"
Tapi sebelum dia sempat mengetik pesan, layar ponselnya tiba-tiba menyala dengan panggilan masuk dari nomor tak dikenal.
Aurelyn menyipitkan mata curiga sebelum akhirnya mengangkatnya. "Halo?"
Suara berat yang sudah terlalu akrab di telinganya terdengar dari seberang.
"Pikirkan baik-baik, Aurelyn. Karena aku benar-benar akan menagihnya."
Aurelyn langsung menjauhkan ponsel dari telinganya dan menatapnya dengan horor.
Aurelyn menelan ludah, jari-jarinya gemetar saat menggenggam ponsel. "Ka-kak Zephyr?" suaranya bergetar.
Di seberang, tawa rendah pria itu terdengar, membuat bulu kuduk Aurelyn meremang.
"Kau pikir bisa menghindar dariku begitu saja?" suaranya terdengar santai, tapi ada sesuatu di balik nada itu yang membuat Aurelyn semakin waspada.
"Aku... aku tidak tahu apa yang kakak bicarakan," Aurelyn mencoba mengelak, meski jelas terdengar gugup.
"Benarkah?" Zephyr terdengar seperti sedang tersenyum. "Baiklah, kalau begitu..."
Aurelyn menunggu kelanjutan kata-katanya, tapi yang terdengar justru suara ketukan di pintu kamarnya.
Tok. Tok. Tok.
Aurelyn terlonjak, jantungnya seolah berhenti berdetak. Perlahan, dia menoleh ke pintu yang tertutup rapat.
Suara Zephyr kembali terdengar di telepon, kali ini lebih rendah dan menggoda.
"Kenapa tidak membukakan pintu, Aurelyn?"
Degh!
Selama di perjalanan, Aurelyn sesekali menoleh ke arah Zephyr yang fokus menyetir mobil. “Terima kasih sudah nolongin aku,” ucap Aurelyn akhirnya membuka suaranya setelah lama diam. “Kenapa pergi sendirian saat malam hari?” tanya Zephyr. “Apa kamu sedang coba bunuh diri?” walau pertanyaan itu sarkas, tapi Aurelyn tahu kalau Zephyr mengkhawatirkannya.Aurelyn menunduk, jemarinya meremas ujung mantel Zephyr yang kini membungkus tubuhnya. Ia menggigit bibir, menahan isakan yang masih tersisa.“Aku … aku cuma butuh waktu sendiri,” jawabnya pelan. “Aku nggak sangka mereka tiba-tiba muncul.”Zephyr menoleh sekilas dengan sorot mata dingin. “Kamu pikir dunia ini aman untukmu? Semua orang tahu siapa kamu, Aurelyn. Itu artinya, semua orang juga bisa menjadikanmu sasaran.”Aurelyn terdiam, hatinya terasa semakin berat. Kalimat Zephyr terdengar keras, tapi ia tahu, itu adalah bentuk nyata dari kekhawatiran.“Kalau aku terlambat satu menit saja-” Zephyr menghela napas panjang,
Mobil hitam berlapis baja sudah menunggu, mesin meraung pelan. Blade membuka pintu belakang dengan sigap, sementara Marvel memberi isyarat kepada dua kendaraan pengawal lain untuk bersiap mengikuti.Zephyr masuk ke dalam mobil, duduk tegak dengan wajah kelam. Tangannya mengepal di atas lutut, menahan amarah yang membuncah. “Jika ada goresan sedikit saja di tubuh Aurelyn, mereka semua akan kuhancurkan!”Blade duduk di depan, menoleh sekilas lewat kaca spion. “Tuan, kami bisa mendahului mereka dengan jalur alternatif. Tim pengintai sudah melacak posisi mobil yang membuntuti. Mereka melaju pelan, menunggu momen.”“Tidak ada momen untuk mereka. Aku yang akan menentukan akhir dari permainan ini,” sahut Zephyr dingin.Mobil melaju kencang menembus gelapnya malam. Salju berterbangan, lampu-lampu jalan berkelebat cepat.Sementara itu, di dalam mobil Aurelyn, ia duduk sendirian di kursi belakang, menatap keluar jendela. Matanya sayu, bibirnya terkatup rapat. Dia belum menyadari bahaya yang men
“Marvel, apa kamu sudah menyelidiki Varga dan Arwin Holt?” tanya Zephyr yang duduk di kursi kebesarannya. “Ya, Tuan,” jawab Marvel. “Apa hasilnya?” tanya Zephyr. “Saya tidak menemukan identitas itu. Tetapi, ada nama anak buah dari Jordan Valchev yang bernama itu,” jelas Marvel.Zephyr menyipitkan mata, jemarinya mengetuk pelan sandaran kursi kebesarannya. Ada kilatan dingin di tatapannya, menandakan pikirannya sedang berpacu cepat.“Jadi begitu,” gumam Zephyr lirih. “Jordan berusaha menyusup dengan nama samaran.”Marvel menunduk dalam, lalu menambahkan, “Sepertinya nama Varga dan Arwin Holt digunakan sebagai tameng, Tuan. Identitas asli mereka masih tertutup rapat. Namun, ada catatan pergerakan dana yang mengarah ke jaringan milik Valchev. Itu tidak kebetulan.”Zephyr mendengus dingin. “Jordan selalu bermain di balik bayangan. Dia pikir aku tidak akan menyadarinya. William dan Dimitri jelas melakukan ini dengan bantuan dari Jordan. Mereka pikir, aku bodoh
Langkah Zephyr terhenti di ujung pintu menuju atap. Pandangannya membeku saat melihat Aurelyn menangis di pelukan Aveiro. Nafasnya tertahan, seakan ada tangan kasar yang mencekik lehernya. Hatinya terasa diremukkan sekaligus dibakar api cemburu dan sakit.Aurelyn tidak menyadari kehadirannya, begitu juga Aveiro. Hanya bayangan tubuh Zephyr yang samar tertimpa cahaya lampu atap."Jadi ini, yang sebenarnya?" batin Zephyr. Matanya memerah, bukan hanya karena dingin salju, tapi karena luka yang merambat begitu cepat di dalam dadanya.“Aku mencintai Aveiro.” Kata-kata Aurelyn kembali muncul di kepalanya, seperti pisau yang menghunus langsung ke jantungnya.Ia mengepalkan tangan begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. “Aurelyn ….” gumamnya lirih. “Padahal aku sudah menunggumu selama ini. Perasaanku tidak pernah berubah padamu, wanita yang memberikan coklat hangat, memberikan kehangatan padaku yang sedang kebingungan dan hilang arah,” batin Zephyr.“Kenapa? Tidak bisakah kamu mencintai
“Kenapa kamu membawaku ke sini, Aveiro?” tanya Aurelyn saat mereka berada di atap gedung perusahaan Clark yang sangat tinggi. Langit malam dengan udara dingin dan hujan salju yang jatuh ke tanah. “Ada yang ingin aku bicarakan padamu, Aurelyn,” ucap Aveiro menatap ke arah Aurelyn di depannya. “Apa?” tanya Aurelyn memandang Aveiro di depannya dengan intens. “Aku tidak bisa melanjutkan rencana perjanjian kita, Aurelyn.” Deg. Aurelyn jelas terkejut mendengar hal itu dari Aveiro. Wanita itu menghela napasnya pelan. “Apa alasannya?” “Aku sudah katakan, aku tidak suka rencana ini. Kamu terus saling serang dengan Zephyr. Mau sampai kapan ini akan terjadi, Rel?” tanya Aveiro. “Apa kamu tidak bisa mengabaikan hal itu?” tanya Aurelyn menatap Aveiro dengan tajam. “Tidak bisa!” jawabnya dengan tegas. “Aku tahu kamu mencintainya, Aurelyn. Kita sudah kenal sangat lama, kita berteman bahkan satu sekolah dan kuliah. Aku sa
“So, dia kan wanita yang kamu sukai, Leo? Tunangan adik sepupumu?” tanya Clarissa menoleh ke arah Zephyr.Clarissa menatapnya dengan tatapan penuh kepuasan, seakan menemukan kelemahan terbesar yang bisa ia gunakan kapan saja. Nada suaranya terdengar ringan, namun penuh dengan racun yang terbungkus manis.Zephyr menoleh perlahan, menatap Clarissa dengan sorot mata dingin yang membuat senyumnya sedikit menegang. “Jangan bicara sembarangan,” ucapnya datar, meski nada suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.Clarissa tersenyum samar, tidak gentar sedikit pun. “Kenapa? Aku hanya menebak, kok. Tapi melihat caramu menatapnya tadi ah, rasanya aku tidak perlu menebak terlalu jauh.” Ia tertawa kecil, lalu kembali merapatkan dirinya ke lengan Zephyr, seolah menegaskan bahwa dialah yang kini ada di sisi pria itu.Zephyr berhenti melangkah, rahangnya mengeras. “Clarissa,” suaranya rendah, penuh peringatan, “jangan pernah singgung hal itu lagi.”Untuk pertama kalinya, ekspresi Clarissa sedikit







