Home / Romansa / Kakak Ipar yang Meresahkan / Bab 8 ~ Rapat Direksi

Share

Bab 8 ~ Rapat Direksi

last update Last Updated: 2025-08-02 21:50:06

Bunyi mesin kasir berdenting pelan di antara deru suara pelanggan yang hilir-mudik memesan kopi dan dessert. Aurelyn berdiri di balik meja kasir, senyumnya tak pernah absen, walau dalam hati tubuhnya terasa lelah. Tangannya lincah mencatat pesanan dan menyapa ramah setiap pelanggan.

Hari ini tampak seperti hari-hari biasanya—ramai, sibuk, dan penuh aroma manis dari oven yang baru saja memanggang lava cake cokelat yang lembut.

Namun, sesuatu terasa berbeda.

Aurelyn merasa seperti… diawasi.

Tatapan itu begitu menusuk dari kejauhan. Ia mengangkat kepalanya secara refleks, dan matanya langsung bertemu dengan pria berpakaian jas formal rapi. Wajahnya teduh namun tanpa ekspresi. Rambutnya disisir klimis, dan kacamata berbingkai tipis bertengger di wajahnya dengan sempurna. Tapi bukan penampilannya yang membuat jantung Aurelyn berdebar tak nyaman.

Melainkan sorot matanya.

Tajam. Mengintai. Mengawas.

Aurelyn merasa bulu kuduknya berdiri. Pria itu berdiri di dekat rak majalah kecil, seolah hanya melihat-lihat, tapi tatapannya tak pernah berpaling dari dirinya.

Livia yang dari tadi menyeduh kopi pesanan pelanggan mendekat ke sisi Aurelyn, lalu berbisik lirih.

“Kak… dia datang lagi.”

Aurelyn menoleh cepat. “Siapa?”

“Itu yang pakai jas abu-abu dan kacamata. Yang berdiri kayak patung itu,” gumam Livia dengan nada pelan namun waspada.

Aurelyn mengerutkan dahi. “Aku nggak kenal…”

Livia mengangguk sedikit. “Memang. Tapi dia sering ke sini, Kak. Hampir setiap hari. Selalu duduk di pojok, dekat jendela, tempat yang sama. Dan setiap kali datang, dia selalu… mandangin Kakak.”

Aurelyn menelan ludah. “Serius?”

“Serius. Aku sama Nico udah sering lihat. Tapi Kakak kan sibuk terus, nggak sadar.” Livia melirik pria itu lagi dengan tatapan curiga. “Dia tuh… aneh. Nggak pernah pesan yang aneh-aneh, tapi datangnya rutin. Tatapannya tuh... kayak detektif nyari target. Menyeramkan.”

Aurelyn mencoba tetap tenang, tapi tangannya mulai gemetar sedikit saat meraih struk pelanggan. Ia melirik sekilas lagi ke arah pria itu. Dan benar saja—tatapan itu masih sama. Teguh. Diam. Tak berkedip.

“Ya Tuhan… masalah sama Zephyr aja belum selesai, sekarang muncul lagi sosok misterius,” gumam Aurelyn di dalam hati. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mengendalikan rasa cemas yang perlahan menyusup ke dalam pikirannya.

Dia merasa… terjebak.

Tiba-tiba saja, pria itu melangkah maju. Suara sepatu kulitnya terdengar jelas menjejak lantai kafe yang semula ramai dengan tawa pelanggan. Langkahnya pelan, tapi pasti. Aurelyn merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, seolah tubuhnya memberi sinyal bahaya.

“Espresso,” ucap pria itu. Suaranya dalam, datar, tanpa intonasi.

Aurelyn tersentak pelan, tapi segera menarik napas dan memaksakan senyum ramah seperti biasanya. “Baik, satu espresso. Dine in atau take away, Pak?”

“Dine in,” jawab pria itu singkat, namun matanya tak pernah lepas dari wajah Aurelyn. Tatapannya seperti menyelami lapisan-lapisan pikirannya, mencoba mengupas siapa Aurelyn sebenarnya, bukan hanya barista sekaligus pemilik kafe.

Aurelyn berusaha tak menatap langsung ke matanya. Ia sibuk menekan tombol di mesin kasir sambil berkata, “Totalnya Tujuh puluh lima dollar.”

Pria itu mengeluarkan dompet kulit hitam dari jasnya, menarik satu lembar lima puluh ribu dan menyodorkannya tanpa sepatah kata pun. Jarinya menyentuh tangan Aurelyn tanpa sengaja—atau mungkin sengaja—dan saat itulah, Aurelyn seperti tersengat listrik.

“Terima kasih. Silakan tunggu di meja. Espresso-nya akan segera diantar,” ucap Aurelyn cepat, nyaris gugup.

Pria itu tidak langsung berbalik. Ia masih berdiri di sana, memperhatikan Aurelyn, sebelum akhirnya menoleh perlahan dan berjalan ke arah tempat duduk pojok favoritnya, tepat di samping jendela, menghadap langsung ke meja kasir.

Livia yang sejak tadi memperhatikan dari balik mesin espresso langsung berbisik. “Kak, kamu baik-baik aja?”

Aurelyn menahan napas, lalu mengangguk. “Aku baik. Tapi jujur aja, Liv... tatapan dia bikin aku gak tenang.”

Livia mengintip ke arah pria itu. “Dia kayak... punya niat tersembunyi. Aura-nya tuh beda, Kak. Kalau cowok-cowok biasanya flirting, dia tuh... kayak mengamati.”

Aurelyn mengangguk perlahan. “Aku juga ngerasain itu.”

Tak butuh waktu lama, Nico datang membawakan espresso pesanan pria itu. Namun saat menyerahkan gelasnya, pria itu justru bertanya dengan suara tenang namun menusuk.

“Pemilik kafe ini… dia yang melayani saya tadi, bukan?”

Nico mengangguk. “Iya, benar.”

Pria itu menatap Aurelyn dari kejauhan lagi. “Bagus.”

Itu saja. Lalu dia mulai meminum espressonya perlahan, masih tanpa senyum, tanpa ekspresi.

Aurelyn menelan ludah. Ada sesuatu yang aneh. Pria itu bukan sekadar pelanggan biasa. Dia datang dengan tujuan. Dan Aurelyn bisa merasakannya, intuisi wanitanya berteriak.

Masalah Zephyr belum selesai… dan kini, sepertinya badai lain sedang mengintainya.

“Ada apa denganku, kenapa banyak yang mengamatiku diam-diam,” gumamnya menghela nafas.

***

Cahaya matahari menyusup melalui jendela kaca besar di lantai tertinggi gedung Clovies Group. Ruang rapat luas dengan interior elegan itu kini dipenuhi oleh para jajaran direksi, pemegang saham, dan manajer senior. Semua berpakaian rapi, suasana begitu resmi namun penuh rasa penasaran. Mereka berkumpul untuk satu alasan, yaitu pengumuman penting dari pemilik perusahaan.

Pintu utama terbuka. Zephyr melangkah masuk, berdampingan dengan Aveiro juga ayahnya, Tuan Samuel Clovies, pria paruh baya dengan karisma kuat dan suara yang membawa wibawa dalam setiap kata.

“Selamat pagi semuanya,” suara Samuel menggema tenang namun tegas. Semua perhatian langsung tertuju padanya. “Terima kasih sudah hadir dalam rapat penting ini. Hari ini saya akan memperkenalkan seseorang yang akan memegang tanggung jawab besar di perusahaan ini ke depannya.”

Zephyr berdiri di samping ayahnya, mengenakan setelan jas abu gelap yang menonjolkan postur tingginya. Tatapannya penuh percaya diri, membuat sorot mata tertuju ke arahnya yang tampak misterius.

Dan Aveiro yang juga tak kalah berkharisma berdiri di sisi lain tubuh Ayahnya.

“Perkenalkan, ini adalah putra saya, Zephyr Clovies,” ujar Samuel dengan senyum bangga. “Mulai hari ini, dia akan menempati posisi Direktur Utama Clovies Group.”

Beberapa tamu langsung bertepuk tangan, ada pula yang hanya mengangguk sopan, menyembunyikan keterkejutan mereka. Nama Zephyr memang dikenal, tapi tak banyak yang menyangka pria itu akan langsung menduduki posisi puncak.

Samuel melanjutkan, “Dan untuk posisi CEO, akan dipegang oleh Aveiro, putra kedua saya yang telah lama berkecimpung dalam pengembangan sistem internal dan ekspansi bisnis Clovies. Aveiro akan berfokus pada pengembangan strategi dan teknologi perusahaan, memperkuat fondasi dan arah pertumbuhan kami ke depannya.”

Tepuk tangan kembali terdengar, kali ini lebih meriah. Aveiro melangkah ke depan, menyalami Zephyr dengan profesional. Keduanya bertukar pandang, tapi dalam hati, mereka tahu dinamika ini tidak akan mudah.

Zephyr menatap para petinggi di hadapannya, lalu mengambil alih podium. “Terima kasih atas kepercayaan ini. Saya sadar, memimpin perusahaan sebesar Clovies Group bukanlah tanggung jawab kecil. Tapi saya akan melakukan yang terbaik, dan saya tahu saya tidak sendiri. Bersama CEO baru kita, yang juga adik saya, Aveiro, dan seluruh tim yang solid, saya yakin kita bisa melangkah lebih jauh.”

Suasana ruangan jadi penuh antusiasme dan rasa ingin tahu. Dua putra pendiri Clovies Group kini memegang kendali.

---

Setelah seluruh sesi rapat dan perkenalan resmi berakhir, Zephyr melangkah ke ruangannya yang baru. Ruangan itu luas, bernuansa modern dengan jendela kaca setinggi langit-langit yang menampilkan panorama kota. Sebuah rak buku dengan sentuhan kayu hitam elegan mengisi salah satu sisi ruangan, dan meja kerja besar dari marmer gelap berdiri kokoh di tengahnya.

Zephyr melepas jasnya, menggantungnya di sandaran kursi, lalu duduk perlahan di balik meja. Kursi itu empuk, nyaman—tapi bukan itu yang membuatnya tersenyum. Pikirannya tidak tertuju pada tanggung jawab baru sebagai Direktur Utama, juga bukan pada angka-angka laporan yang menumpuk di layar laptopnya.

Dia menyandarkan punggung, menatap langit kota yang membentang di balik jendela. Sebuah senyum kecil terbit di wajahnya yang maskulin.

"Apa yang sedang dilakukan singa betina itu sekarang?"

Julukan yang ia sematkan untuk Aurelyn, wanita keras kepala yang selalu bisa membuat dadanya naik turun, antara gemas dan kagum. Pagi tadi, wanita itu melotot padanya, menantang dan tajam… lalu beberapa detik kemudian, terlihat canggung saat dia memujinya. Transisi emosi Aurelyn cepat seperti kucing liar yang tak suka disentuh, tapi diam-diam ingin dimanja.

Zephyr menghela napas, lalu tertawa pelan pada dirinya sendiri. “Terkesan koniol, karena dia tunangan Aveiro. Tapi, aku tetap menginginkannya.”

Tangannya meraih pena, memutarnya dengan malas di sela jari. Tapi pikirannya tetap melayang ke wanita itu. Wajah cantik Aurelyn, ekspresi kesal yang selalu lucu menurutnya, dan nada suaranya yang setengah menggertak.

Tanpa sadar, ujung bibirnya terangkat lagi.

“Jangan-jangan dia sedang memasukkan cabai ke adonan dessert-nya lagi,” gumamnya sambil tertawa pelan, mengingat kejutan lava cake pagi tadi.

Ruangan itu sunyi, hanya dihiasi denting jarum jam dan bisikan angin dari AC yang menyala. Tapi dalam benak Zep hyr, semuanya riuh… oleh bayangan satu wanita.

Aurelyn.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kakak Ipar yang Meresahkan   Bab 54

    “Zephyr, bukan anak kandung orang tuaku.” Degh!Aurelyn membeku di tempat.Detik itu, seluruh tubuhnya seperti tertarik ke dalam pusaran sunyi. Suara di restoran yang sebelumnya samar dengan suara iringan musik, denting sendok, dan percakapan pelan, mendadak lenyap. Yang tersisa hanya gema satu kalimat di kepalanya."Zephyr, bukan anak kandung orang tuaku."Perlahan, Aurelyn berbalik. Tatapannya penuh keterkejutan, namun ia berusaha tetap tenang meski dadanya bergemuruh.“Apa maksudmu?” tanyanya tajam. Aveiro meneguk sisa anggurnya sebelum berbicara, seolah membutuhkan keberanian. “Zephyr bukan darah daging ayah dan ibu kami. Dia anak dari Kakak pertama Ayahku, yang dibesarkan oleh orang tuaku saat dia masih kecil. Dia memang dibesarkan di rumah yang sama, dengan nama keluarga yang sama … tapi secara hukum, dia bukan bagian dari garis waris utama.”Aurelyn menyipitkan mata, sulit percaya. “Dan kamu pikir itu penting untuk aku tahu sekarang? Untuk apa, Aveiro? Untuk membuatk

  • Kakak Ipar yang Meresahkan   Bab 53

    “Kamu sudah datang,” ucap Aveiro bangkit dari duduknya saat melihat kedatangan Aurelyn di room private restoran. “Duduklah,” ujar Aveiro masih bersikap ramah dan itu cukup membingungkan Aurelyn. Padahal kemarin, Aveiro marah besar dan seperti ini mengamuk padanya. Tapi hari ini, seakan tidak pernah terjadi apa pun di antara mereka. “Aku bisa sendiri,” tolak Aurelyn saat Aveiro menarikkan kursi untuknya. “Tidak apa-apa, duduklah. Aku sudah biasa melakukan ini untukmu, kan,” ujarnya dengan tenang. Akhirnya, tidak mau berdebat lagi, Aurelyn pun duduk di sana dan Aveiro kembali duduk berhadapan dengan Aurelyn. “Aku sudah memesan steak untukmu, dengan kematangan medium rare, dan anggur kualitas terbaik di sini,” ucap Aveiro.Aurelyn menatap Aveiro beberapa detik, tajam, dan penuh pertanyaan. Wajahnya tenang, tapi dalam hatinya, dia terus bertanya-tanya. Pria di depannya ini adalah orang yang beberapa hari lalu membentaknya, menuduhnya, men

  • Kakak Ipar yang Meresahkan   Bab 52

    Aurelyn yang sedang menikmati kopinya hangatnya pagi itu, dikejutkan oleh dering ponselnya. Dia pun mengambil ponsel itu dan menerima panggilan masuk.“Ya, Mom?” tanya Aurelyn menerima panggilan masuk.“Lyn, besok malam kamu sibuk tidak sayang?” tanya Mommy.“Sepertinya tidak, Mom. Ada apa?” tanya Aurelyn.“Besok lusa ada dinner dengan keluarga Aveiro, seperti yang sudah kami sepakati, kalau kita akan membahas tanggal pernikahan kalian,” ucap Mommy di seberang sana membuat Aurelyn tertegun.Aurelyn membeku sejenak, cangkir kopi yang baru saja akan ia angkat perlahan turun kembali ke meja. Napasnya tertahan di tenggorokan, dan detik demi detik terasa panjang.“Aurelyn? Kamu masih di sana?” suara sang ibu terdengar lagi, lembut tapi penuh harap.Aurelyn mengatur napasnya, berusaha agar suaranya tetap tenang. “Mom … aku pikir kita sudah tidak membahas soal itu lagi.”“Tentu saja kita tetap membahasnya, Sayang.” jawab Mommy tegas tapi tetap hangat. “Kamu sudah bertunangan dengan Aveiro. S

  • Kakak Ipar yang Meresahkan   Bab 51

    “Apa yang kau lakukan di sini, Kak?” tanya Aveiro berjalan masuk ke dalam apartemen Aurelyn. “Kenapa?” tanya Zephyr dengan santainya melipat kedua tangannya di dada. Aveiro menatap ke arah Aurelyn yang masih diam. “Bisa kamu jelaskan semua ini, Aurelyn? Kamu tunanganku dan apa yang kamu lakukan dengan Kakakku di apartemenmu dengan pakaian kalian yang sangat santai. Sejak kapan?” tanya Aveiro menatap Aurelyn dengan tajam dan menyudutkannya. “Jangan menyudutkannya. Akulah yang mendatanginya,” ujar Zephyr berjalan mendekat dan menarik lengan Aurelyn untuk berdiri di belakangnya. “Kamu diam saja, Lyn? Inget, aku tunanganmu!” ujar Aveiro masih sangat terkejut. “Kenapa, Vei? Kamu juga memiliki wanita lain, kan di belakangku,” ujar Aurelyn. “Pertunangan kita juga hanya karena perjodohan." "Tapi, kita pacaran dan sepakat untuk saling membuka hati, Aurelyn!” bentak Aveiro sangat marah. “Jaga nada suaramu, Aveiro!” peringatan

  • Kakak Ipar yang Meresahkan   Bab 50

    “Um ….” Aurelyn membuka matanya perlahan dan dia cukup terkejut saat melihat dada bidang telanjang di hadapan wajahnya. Selain itu, sebuah tangan kekar melingkar di pinggangnya dengan posesif. Dia menekan pelipisnya yang terasa berputar dan nyeri. “Semalam aku mabuk lagi,” batinnya bergerak perlahan. Dia memindahkan tangan kekar Zephyr ke samping badannya dan beranjak bangun. Dia duduk di sisi ranjang dengan helaan napas, sampai dia merasakan sebuah tangan kekar memeluk pinggangnya. “Mau kabur ke mana, hm?” bisik Zephyr mengecup pundak polos Aurelyn dengan lembut. “Aku tidak kabur. Aku hanya ingin pergi ke kamar mandi,” jawab Aurelyn. “Bohong, aku mendengar helaan napasmu yang berat. Ada apa?” bisiknya. “Hm … entahlah. Aku merasa hubunganku semakin tidak jelas. Bertunangan dengan Jefan, tetapi menghabiskan waktu denganmu dan Jefan juga sudah memiliki wanita lain. Menurutmu, apa yang harus aku lakukan?” tanya Aurelyn.Zephyr

  • Kakak Ipar yang Meresahkan   Bab 49

    “Jadi, sekarang kamu sedang patah hati?” tanya Zephyr mengambil duduk di kursi yang ada di samping Aurelyn. Wanita itu melihat ke arah Zephyr dan mendengus kecil sambil meneguk minumannya. “Kamu selalu tau aku di mana. Aku curiga, kamu memasang GPS di tubuhku,” ujar Aurelyn yang saat ini sedang duduk di meja bartender sebuah club malam. Zephyr memesan satu minuman pada bartender sebelum menjawab pertanyaan Aurelyn. Zephyr menerima gelas minumannya dari bartender, lalu mengangkatnya sedikit ke arah Aurelyn, seolah sedang bersulang. Senyumnya tipis nyaris seperti sindiran.“Aku tak perlu memasang GPS. Kamu tidak pandai menyembunyikan jejak,” jawab Zephyr. Aurelyn mendengus pelan, menyender ke kursinya. Rambutnya tergerai sedikit berantakan, pipinya tampak kemerahan entah karena minuman atau lelah.“Kenapa kamu ke sini?” tanyanya, suaranya mulai berat. “Kamu seharusnya ada rapat dengan dewan direksi malam ini, kan?”Zephyr menatapnya sejenak, lalu menyesap minumannya perlahan. “Rapa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status