Bunyi mesin kasir berdenting pelan di antara deru suara pelanggan yang hilir-mudik memesan kopi dan dessert. Aurelyn berdiri di balik meja kasir, senyumnya tak pernah absen, walau dalam hati tubuhnya terasa lelah. Tangannya lincah mencatat pesanan dan menyapa ramah setiap pelanggan.
Hari ini tampak seperti hari-hari biasanya—ramai, sibuk, dan penuh aroma manis dari oven yang baru saja memanggang lava cake cokelat yang lembut.
Namun, sesuatu terasa berbeda.
Aurelyn merasa seperti… diawasi.
Tatapan itu begitu menusuk dari kejauhan. Ia mengangkat kepalanya secara refleks, dan matanya langsung bertemu dengan pria berpakaian jas formal rapi. Wajahnya teduh namun tanpa ekspresi. Rambutnya disisir klimis, dan kacamata berbingkai tipis bertengger di wajahnya dengan sempurna. Tapi bukan penampilannya yang membuat jantung Aurelyn berdebar tak nyaman.
Melainkan sorot matanya.
Tajam. Mengintai. Mengawas.
Aurelyn merasa bulu kuduknya berdiri. Pria itu berdiri di dekat rak majalah kecil, seolah hanya melihat-lihat, tapi tatapannya tak pernah berpaling dari dirinya.
Livia yang dari tadi menyeduh kopi pesanan pelanggan mendekat ke sisi Aurelyn, lalu berbisik lirih.
“Kak… dia datang lagi.”
Aurelyn menoleh cepat. “Siapa?”
“Itu yang pakai jas abu-abu dan kacamata. Yang berdiri kayak patung itu,” gumam Livia dengan nada pelan namun waspada.
Aurelyn mengerutkan dahi. “Aku nggak kenal…”
Livia mengangguk sedikit. “Memang. Tapi dia sering ke sini, Kak. Hampir setiap hari. Selalu duduk di pojok, dekat jendela, tempat yang sama. Dan setiap kali datang, dia selalu… mandangin Kakak.”
Aurelyn menelan ludah. “Serius?”
“Serius. Aku sama Nico udah sering lihat. Tapi Kakak kan sibuk terus, nggak sadar.” Livia melirik pria itu lagi dengan tatapan curiga. “Dia tuh… aneh. Nggak pernah pesan yang aneh-aneh, tapi datangnya rutin. Tatapannya tuh... kayak detektif nyari target. Menyeramkan.”
Aurelyn mencoba tetap tenang, tapi tangannya mulai gemetar sedikit saat meraih struk pelanggan. Ia melirik sekilas lagi ke arah pria itu. Dan benar saja—tatapan itu masih sama. Teguh. Diam. Tak berkedip.
“Ya Tuhan… masalah sama Zephyr aja belum selesai, sekarang muncul lagi sosok misterius,” gumam Aurelyn di dalam hati. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mengendalikan rasa cemas yang perlahan menyusup ke dalam pikirannya.
Dia merasa… terjebak.
Tiba-tiba saja, pria itu melangkah maju. Suara sepatu kulitnya terdengar jelas menjejak lantai kafe yang semula ramai dengan tawa pelanggan. Langkahnya pelan, tapi pasti. Aurelyn merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, seolah tubuhnya memberi sinyal bahaya.
“Espresso,” ucap pria itu. Suaranya dalam, datar, tanpa intonasi.
Aurelyn tersentak pelan, tapi segera menarik napas dan memaksakan senyum ramah seperti biasanya. “Baik, satu espresso. Dine in atau take away, Pak?”
“Dine in,” jawab pria itu singkat, namun matanya tak pernah lepas dari wajah Aurelyn. Tatapannya seperti menyelami lapisan-lapisan pikirannya, mencoba mengupas siapa Aurelyn sebenarnya, bukan hanya barista sekaligus pemilik kafe.
Aurelyn berusaha tak menatap langsung ke matanya. Ia sibuk menekan tombol di mesin kasir sambil berkata, “Totalnya Tujuh puluh lima dollar.”
Pria itu mengeluarkan dompet kulit hitam dari jasnya, menarik satu lembar lima puluh ribu dan menyodorkannya tanpa sepatah kata pun. Jarinya menyentuh tangan Aurelyn tanpa sengaja—atau mungkin sengaja—dan saat itulah, Aurelyn seperti tersengat listrik.
“Terima kasih. Silakan tunggu di meja. Espresso-nya akan segera diantar,” ucap Aurelyn cepat, nyaris gugup.
Pria itu tidak langsung berbalik. Ia masih berdiri di sana, memperhatikan Aurelyn, sebelum akhirnya menoleh perlahan dan berjalan ke arah tempat duduk pojok favoritnya, tepat di samping jendela, menghadap langsung ke meja kasir.
Livia yang sejak tadi memperhatikan dari balik mesin espresso langsung berbisik. “Kak, kamu baik-baik aja?”
Aurelyn menahan napas, lalu mengangguk. “Aku baik. Tapi jujur aja, Liv... tatapan dia bikin aku gak tenang.”
Livia mengintip ke arah pria itu. “Dia kayak... punya niat tersembunyi. Aura-nya tuh beda, Kak. Kalau cowok-cowok biasanya flirting, dia tuh... kayak mengamati.”
Aurelyn mengangguk perlahan. “Aku juga ngerasain itu.”
Tak butuh waktu lama, Nico datang membawakan espresso pesanan pria itu. Namun saat menyerahkan gelasnya, pria itu justru bertanya dengan suara tenang namun menusuk.
“Pemilik kafe ini… dia yang melayani saya tadi, bukan?”
Nico mengangguk. “Iya, benar.”
Pria itu menatap Aurelyn dari kejauhan lagi. “Bagus.”
Itu saja. Lalu dia mulai meminum espressonya perlahan, masih tanpa senyum, tanpa ekspresi.
Aurelyn menelan ludah. Ada sesuatu yang aneh. Pria itu bukan sekadar pelanggan biasa. Dia datang dengan tujuan. Dan Aurelyn bisa merasakannya, intuisi wanitanya berteriak.
Masalah Zephyr belum selesai… dan kini, sepertinya badai lain sedang mengintainya.
“Ada apa denganku, kenapa banyak yang mengamatiku diam-diam,” gumamnya menghela nafas.
***
Cahaya matahari menyusup melalui jendela kaca besar di lantai tertinggi gedung Clovies Group. Ruang rapat luas dengan interior elegan itu kini dipenuhi oleh para jajaran direksi, pemegang saham, dan manajer senior. Semua berpakaian rapi, suasana begitu resmi namun penuh rasa penasaran. Mereka berkumpul untuk satu alasan, yaitu pengumuman penting dari pemilik perusahaan.
Pintu utama terbuka. Zephyr melangkah masuk, berdampingan dengan Aveiro juga ayahnya, Tuan Samuel Clovies, pria paruh baya dengan karisma kuat dan suara yang membawa wibawa dalam setiap kata.
“Selamat pagi semuanya,” suara Samuel menggema tenang namun tegas. Semua perhatian langsung tertuju padanya. “Terima kasih sudah hadir dalam rapat penting ini. Hari ini saya akan memperkenalkan seseorang yang akan memegang tanggung jawab besar di perusahaan ini ke depannya.”
Zephyr berdiri di samping ayahnya, mengenakan setelan jas abu gelap yang menonjolkan postur tingginya. Tatapannya penuh percaya diri, membuat sorot mata tertuju ke arahnya yang tampak misterius.
Dan Aveiro yang juga tak kalah berkharisma berdiri di sisi lain tubuh Ayahnya.
“Perkenalkan, ini adalah putra saya, Zephyr Clovies,” ujar Samuel dengan senyum bangga. “Mulai hari ini, dia akan menempati posisi Direktur Utama Clovies Group.”
Beberapa tamu langsung bertepuk tangan, ada pula yang hanya mengangguk sopan, menyembunyikan keterkejutan mereka. Nama Zephyr memang dikenal, tapi tak banyak yang menyangka pria itu akan langsung menduduki posisi puncak.
Samuel melanjutkan, “Dan untuk posisi CEO, akan dipegang oleh Aveiro, putra kedua saya yang telah lama berkecimpung dalam pengembangan sistem internal dan ekspansi bisnis Clovies. Aveiro akan berfokus pada pengembangan strategi dan teknologi perusahaan, memperkuat fondasi dan arah pertumbuhan kami ke depannya.”
Tepuk tangan kembali terdengar, kali ini lebih meriah. Aveiro melangkah ke depan, menyalami Zephyr dengan profesional. Keduanya bertukar pandang, tapi dalam hati, mereka tahu dinamika ini tidak akan mudah.
Zephyr menatap para petinggi di hadapannya, lalu mengambil alih podium. “Terima kasih atas kepercayaan ini. Saya sadar, memimpin perusahaan sebesar Clovies Group bukanlah tanggung jawab kecil. Tapi saya akan melakukan yang terbaik, dan saya tahu saya tidak sendiri. Bersama CEO baru kita, yang juga adik saya, Aveiro, dan seluruh tim yang solid, saya yakin kita bisa melangkah lebih jauh.”
Suasana ruangan jadi penuh antusiasme dan rasa ingin tahu. Dua putra pendiri Clovies Group kini memegang kendali.
---
Setelah seluruh sesi rapat dan perkenalan resmi berakhir, Zephyr melangkah ke ruangannya yang baru. Ruangan itu luas, bernuansa modern dengan jendela kaca setinggi langit-langit yang menampilkan panorama kota. Sebuah rak buku dengan sentuhan kayu hitam elegan mengisi salah satu sisi ruangan, dan meja kerja besar dari marmer gelap berdiri kokoh di tengahnya.
Zephyr melepas jasnya, menggantungnya di sandaran kursi, lalu duduk perlahan di balik meja. Kursi itu empuk, nyaman—tapi bukan itu yang membuatnya tersenyum. Pikirannya tidak tertuju pada tanggung jawab baru sebagai Direktur Utama, juga bukan pada angka-angka laporan yang menumpuk di layar laptopnya.
Dia menyandarkan punggung, menatap langit kota yang membentang di balik jendela. Sebuah senyum kecil terbit di wajahnya yang maskulin.
"Apa yang sedang dilakukan singa betina itu sekarang?"
Julukan yang ia sematkan untuk Aurelyn, wanita keras kepala yang selalu bisa membuat dadanya naik turun, antara gemas dan kagum. Pagi tadi, wanita itu melotot padanya, menantang dan tajam… lalu beberapa detik kemudian, terlihat canggung saat dia memujinya. Transisi emosi Aurelyn cepat seperti kucing liar yang tak suka disentuh, tapi diam-diam ingin dimanja.
Zephyr menghela napas, lalu tertawa pelan pada dirinya sendiri. “Terkesan koniol, karena dia tunangan Aveiro. Tapi, aku tetap menginginkannya.”
Tangannya meraih pena, memutarnya dengan malas di sela jari. Tapi pikirannya tetap melayang ke wanita itu. Wajah cantik Aurelyn, ekspresi kesal yang selalu lucu menurutnya, dan nada suaranya yang setengah menggertak.
Tanpa sadar, ujung bibirnya terangkat lagi.
“Jangan-jangan dia sedang memasukkan cabai ke adonan dessert-nya lagi,” gumamnya sambil tertawa pelan, mengingat kejutan lava cake pagi tadi.
Ruangan itu sunyi, hanya dihiasi denting jarum jam dan bisikan angin dari AC yang menyala. Tapi dalam benak Zep hyr, semuanya riuh… oleh bayangan satu wanita.
Aurelyn.
***
Bunyi mesin kasir berdenting pelan di antara deru suara pelanggan yang hilir-mudik memesan kopi dan dessert. Aurelyn berdiri di balik meja kasir, senyumnya tak pernah absen, walau dalam hati tubuhnya terasa lelah. Tangannya lincah mencatat pesanan dan menyapa ramah setiap pelanggan.Hari ini tampak seperti hari-hari biasanya—ramai, sibuk, dan penuh aroma manis dari oven yang baru saja memanggang lava cake cokelat yang lembut.Namun, sesuatu terasa berbeda.Aurelyn merasa seperti… diawasi.Tatapan itu begitu menusuk dari kejauhan. Ia mengangkat kepalanya secara refleks, dan matanya langsung bertemu dengan pria berpakaian jas formal rapi. Wajahnya teduh namun tanpa ekspresi. Rambutnya disisir klimis, dan kacamata berbingkai tipis bertengger di wajahnya dengan sempurna. Tapi bukan penampilannya yang membuat jantung Aurelyn berdebar tak nyaman.Melainkan sorot matanya.Tajam. Mengintai. Mengawas.Aurelyn merasa bulu kuduknya berdiri. Pria itu berdiri di dekat rak majalah kecil, seolah han
“Silakan, pesanan Anda. Langsung keluar dari oven,” ucap Aurelyn sembari meletakkan piring dessert cokelat molten lava yang masih mengepul di hadapan Zephyr, lengkap dengan secangkir americano yang aromanya tajam.“Wah, owner-nya langsung yang menyuguhkan,” komentar Zephyr dengan senyum tipis di bibirnya, sambil menegakkan duduknya.“Tentu saja. Aku adalah owner yang sangat ramah,” balas Aurelyn, senyum merekah tapi tatapan tetap menusuk. “Ditambah tamu hari ini yang pertama datang adalah kakak iparku sendiri. Sudah seharusnya aku melayani dengan spesial.”Zephyr mengangkat alis, bibirnya tersungging. “Agh… kamu mendadak manis. Padahal tadi seperti singa betina minta kawin.”Aurelyn langsung mencibir, menarik nafas dalam-dalam seperti sedang menghitung mundur dari sepuluh agar tidak melemparkan loyang ke kepala pria di depannya.“Kalau bukan karena kamu kakaknya Aveiro, udah kubakar nih kemeja putih kamu,” desisnya sambil berkacak pinggang.Zephyr tertawa pelan, menikmati sekali reaks
Udara pagi membawa aroma kopi yang menggoda dan suara lonceng kecil berdenting saat pintu kaca dibuka.Aurelyn melangkah masuk ke dalam La Vie Sucrée, café kopi dan dessert yang ia bangun dari nol, dan yang kini menjadi kebanggaannya. Interior bergaya vintage-modern itu langsung memberi kesan hangat. Meja-meja kayu natural, lampu gantung temaram, serta aroma manis dari oven yang baru saja mematangkan cinnamon roll menjadi sambutan yang tak tergantikan setiap pagi.“Hai, Kak Lyn!” sapa Livia, salah satu barista muda dengan senyum semangat.“Pagi, Kak!” ujar Nico, pegawai kasir yang sedang sibuk menyusun struk pesanan.“Pagi, kalian berdua. Udah siap tempur, belum?” Aurelyn tersenyum, meletakkan tas tangannya di balik meja kasir.“Selalu siap kalau bosnya rajin bantuin kayak gini,” goda Livia sambil mengedipkan mata.Aurelyn terkekeh. Walau dirinya pemilik café, ia tak pernah segan membantu. Baginya, menyapa pelanggan, meracik kopi, atau sekadar menerima pesanan di kasir, adalah bagian
“Aku bisa gila karena memikirkan pria itu!” keluh Aurelyn berguling di atas ranjang dengan perasaan kacau.Seharian ini, dia tidak keluar dari kamar karena memikirkan perkataan Zephyr kemarin. Bisa-bisanya pria itu ingin jadi selingkuhan dari tunangan adiknya sendiri.Aurelyn menatap langit-langit kamar yang kosong, lalu mengubur wajahnya ke bantal dengan frustrasi. "Kenapa hidupku jadi serumit ini?" gumamnya.Ponsel di atas nakas terus-menerus bergetar. Sudah puluhan pesan masuk dari Aveiro, bahkan dari sahabatnya yang penasaran ke mana Aurelyn menghilang. Tapi semuanya diabaikan.Yang terngiang justru suara Zephyr."Asalkan hanya aku yang boleh mencium dan tidur denganmu.""Aku tidak keberatan jadi yang kedua.""Kamu milikku, Aurelyn.""Aaaargh!!" Aurelyn berguling sekali lagi dan duduk di pinggir ranjang. Rambutnya berantakan, matanya sembab karena kurang tidur, dan pikirannya tak kunjung tenang.“Aku harus keluar dari kekacauan ini. Harus!” tekadnya mulai muncul. Ia bangkit dan be
Aurelyn kini sudah sampai di depan hotel mewah tempat Zephyr menginap. Langkahnya terasa berat, seolah setiap tapak menuju lobi itu membawanya lebih dekat pada kehancuran. Pukul delapan lewat dua puluh menit. Dia tahu, Zephyr pasti sudah menunggunya.Awalnya, dia benar-benar tak ingin datang. Rasa takut, malu, dan marah bercampur jadi satu membuatnya hampir membatalkan niat berkali-kali. Tapi bayang-bayang pesan terakhir dari Zephyr membuat hatinya ciut. Ancaman itu terlalu nyata untuk diabaikan.Aurelyn tak bisa membayangkan jika foto itu sampai tersebar. Bukan hanya dia yang akan hancur, tapi juga keluarganya. Walau, Aveiro sendiri berselingkuh darinya, tapi tidak ada bukti fisik. Berbeda dengannya, Skandal yang menyebut dirinya pernah tidur dengan kakak iparnya? Itu akan jadi bencana yang tak bisa ditebus.Dengan napas bergetar, dia memasuki lift menuju lantai paling atas.“Tenang, Jesse. Kamu harus bisa hadapi ini dan selesaikan dengan cepat,” gumamnya menarik napas dalam-dalam da
“Aurelyn?”Aurelyn sangat terkejut saat dia membuka pintu kamarnya. Zephyr telah menipunya, ternyata yang ada di balik pintu adalah Aveiro.“Ada apa?” tanya Aveiro di sana menyadarkan lamunan Aurelyn.“Um… Bukan apa-apa,” jawab Aurelyn tersenyum manis di sana.“Kapan kamu pulang? Kenapa tidak menghubungimu? Aku mencarimu sejak tadi,” ujar Aveiro menatap Aurelyn dengan intens.Wanita itu berdehem kecil, jantungnya berdebar kencang karena gugup. Dia pikir, yang tadi datang adalah Zephyr. Dan, apa yang dia pikirkan, tidak mungkin Zephyr nekad datang ke rumahnya.“Aurelyn?”panggil Aveiro kembali menyadarkan lamunan Aurelyn di sana. “Ada apa? Apa kamu sakit?”Aurelyn menggeleng cepat, mencoba menguasai dirinya yang kalut. "Nggak, aku cuma... kurang tidur. Makanya agak linglung," kilahnya sambil menghindari tatapan Aveiro.Namun, Aveiro tak langsung percaya. Ia melangkah masuk tanpa diundang, menutup pintu kamar Aurelyn dan berdiri tepat di hadapannya. Tatapannya tajam, seolah membaca isi h