로그인“Silakan, pesanan Anda. Langsung keluar dari oven,” ucap Aurelyn sembari meletakkan piring dessert cokelat molten lava yang masih mengepul di hadapan Zephyr, lengkap dengan secangkir americano yang aromanya tajam.
“Wah, owner-nya langsung yang menyuguhkan,” komentar Zephyr dengan senyum tipis di bibirnya, sambil menegakkan duduknya.
“Tentu saja. Aku adalah owner yang sangat ramah,” balas Aurelyn, senyum merekah tapi tatapan tetap menusuk. “Ditambah tamu hari ini yang pertama datang adalah kakak iparku sendiri. Sudah seharusnya aku melayani dengan spesial.”
Zephyr mengangkat alis, bibirnya tersungging. “Agh… kamu mendadak manis. Padahal tadi seperti singa betina minta kawin.”
Aurelyn langsung mencibir, menarik nafas dalam-dalam seperti sedang menghitung mundur dari sepuluh agar tidak melemparkan loyang ke kepala pria di depannya.
“Kalau bukan karena kamu kakaknya Aveiro, udah kubakar nih kemeja putih kamu,” desisnya sambil berkacak pinggang.
Zephyr tertawa pelan, menikmati sekali reaksinya.
Aurelyn melirik ke arah dapur, lalu berbisik tajam. “Aku tidak mau para karyawanku curiga dan menggosipkan kita berdua. Mereka tahu, aku ini tunangannya Aveiro.”
Suasana seketika mengeras, seperti ada awan badai yang menggantung di antara mereka. Aurelyn hendak berbalik, tapi tangan Zephyr tiba-tiba menahan pergelangan tangannya.
“L-Zephyr?!” serunya nyaris tercekat, suara tertahan karena panik.
“Duduklah,” ucap Zephyr tenang. “Temani aku makan. Aku tidak suka makan sendiri.”
Aurelyn menatap pria itu, matanya membulat. “Maaf, tapi aku sibuk. Dan lagi, kamu datang sendiri ke sini, jadi makan sendirian saja.”
“Keramahanmu hanya berlaku dalam dua menit, ya?” balas Zephyr sambil menggigit sudut senyum.
“Keramahan cuma berlaku buat pelanggan normal. Kamu? Kamu kayak glitch di sistem kepribadianku,” ketus Aurelyn, menarik tangannya dan melangkah cepat ke arah dapur. Tapi detak jantungnya belum juga tenang.
Zephyr menatap punggung Aurelyn yang menjauh sambil tersenyum simpul.
“Sungguh singa betina yang menggemaskan,” gumam Zephyr tersenyum simpul.
Pria itu mulai meneguk pelan americanonya dan rasanya benar-benar luar biasa enak, apalagi aromanya yang khas. Zephyr baru pertama kali mencoba kopi yang membuatnya terasa lebih segar.
Dari balik pintu dapur, Livia mengintip, berbisik penuh antusias pada Nico. “Kak, Kak! Mereka tadi ngobrolnya pakai kode keras banget. Kayak di sinetron jam sembilan.”
Nico mengangkat alis. “Kayak… gimana tuh?”
Livia meniru nada Aurelyn dengan dramatis, “Aku tunangannya Aveiro!” lalu menirukan suara Zephyr, “Aku gak suka makan sendiri~” dengan gaya sinetron lama.
Nico menepuk jidat. “Lagi-lagi… kamu kebanyakan nonton drama!”
“Kak, aku tuh serius! Itu cowok pasti punya masa lalu dengan Kak Aurelyn. Dan kayaknya... pedes!”
“Kayak lava cake-nya?”
“Lebih kayak hidupku, Kak. Terlalu pedas untuk dijalani,” kekeh Livia.
“Hah? Kok pedes?” tanya Nico kebingungan dan Livia hanya menjawab dengan mengedikkan kedua bahunya.
Aurelyn berdiri di balik konter, kedua tangannya bersilang di dada. Tatapannya tajam mengamati Zephyr yang tenang menyendok lavanya. Uap panas mengepul dari tengah dessert, cokelat kental mengalir lembut seperti lava dari gunung berapi. Tapi bukan itu yang membuatnya cemas—melainkan fakta bahwa Zephyr masih terlihat sangat biasa saja.
“Tunggu, kok dia biasa aja. Apa gak terasa pedas?” batin Aurelyn memperhatikan ekspresi Zephyr yang mencoba lavanya. “Apa mungkin dia kebal dengan pedas? Padahal aku masukan bubuk chili yang banyak ke adonannya.”
Padahal, Aurelyn tadi sengaja menaburkan dua sendok teh bubuk cabai rawit ke dalam adonan lava cake-nya.
Dua. Sendok. Teh.
Itu seharusnya cukup untuk membuat siapapun terbatuk, menangis, atau setidaknya membara dari dalam.
“Tunggu… kok dia biasa aja?” batin Aurelyn, matanya menyipit curiga.
Zephyr mengangkat suapan pertamanya ke mulut, lalu perlahan mengunyah. Tatapannya tetap tenang, bahkan nyaris menikmati. Bibirnya tidak mengerucut, tidak berkedut, tidak berkeringat, tidak ada reaksi normal seperti manusia pada umumnya saat terserang pedas tingkat dewa.
"Apa dia… robot?" gumam Aurelyn lirih.
“Hmm,” Zephyr bersenandung kecil sambil mengangguk. “Menarik. Ada sensasi spicy-nya, ya. Eksperimen baru?”
Aurelyn terbelalak.
Apa?! Dia malah suka?!
“Eh… iya,” jawabnya cepat, hampir refleks. “Itu… varian baru. Dessert lava api neraka.”
Zephyr menyeringai. “Nama yang bagus. Cocok untuk wanita sepertimu.”
“Wanita sepertiku?” Aurelyn mengangkat satu alisnya.
“Yang suka menyiksa orang lain tanpa ampun,” jawab Zephyr tenang.
Aurelyn hampir melempar sendok ke wajah pria itu kalau saja tidak ada pelanggan yang baru masuk dan membunyikan lonceng pintu café.
Dari arah dapur, Livia menyembul lagi sambil membawa nampan berisi latte art. Tapi dia tidak melewatkan percakapan tadi.
“Dessert lava api neraka? Kak Aurelyn makin niat membuat pria itu sengsara,” bisik Livia dengan mata berbinar kagum.
“Awas kena karma, tuh,” sahut Nico, walau senyum geli tak bisa disembunyikannya.
Aurelyn menghela napas panjang, lalu berjalan menghampiri meja Zephyr dengan senyum dipaksakan.
“Kamu datang jauh-jauh ke café ini hanya untuk… menyiksa lidahmu?” tanyanya datar.
Zephyr menyentuh gelas americano-nya, menyeruput perlahan. “Aku datang ke sini untuk satu alasan.”
Aurelyn menyilangkan tangan. “Dan itu adalah…?”
Zephyr mendongak, menatap Aurelyn dalam-dalam. Tatapannya seperti pisau yang perlahan menembus pertahanan gadis itu. “Untuk melihatmu.”
Aurelyn terdiam. Nafasnya tertahan.
“Berhenti berkata omong kosong.”
Dia berbalik dan mulai melangkah menjauh, tapi suara Zephyr kembali menghentikannya.
“Omong kosong?” ucap pria itu tenang. “Padahal aku mengatakan hal yang jujur.”
Langkah Aurelyn terhenti.
Cafe yang semula terasa hangat dan riuh, kini terasa dingin. Sunyi. Hening. Seolah semua suara meredam hanya demi memberi ruang pada pertanyaan itu.
Aurelyn menolehkan kepalanya ke arah Zephyr. “Kalau begitu, sekarang sudah selesai melihatku?” tanya Aurelyn.
Zephyr melihat jam tangan di pergelangan tangannya. “Ya, kurasa begitu. Karena aku harus segera ke kantor. Ini hari pertama aku bekerja dan menduduki posisi Direktur utama,” jawab Zephyr.
Aurelyn menatap Zephyr dengan alis terangkat. “Direktur utama? Sejak kapan?”
Zephyr berdiri, merapikan jasnya dengan elegan. “Sejak Dewan Pemilik memutuskan bahwa direktur lama perlu diganti… dengan seseorang yang lebih berapi-api.”
“Berapi-api karena makan lava cake?” sindir Aurelyn dengan senyum sinis.
Zephyr terkekeh pelan. “Itu bonusnya.”
“Padahal kantor dan tempat ini sangat berlawanan. Kamu begitu banyak waktu luang untuk mampir,” sindir Aurelyn.
“Ya, seperti yang aku katakan tadi. Aku butuh melihat wanitaku terlebih dulu,” ucap Zephyr sedikit berbisik saat melewati tubuh Aurelyn yang merinding seketika.
Zephyr berlalu pergi dari sana tanpa kata lagi, meninggalkan Aurelyn yang masih mematung di tempatnya.
“Dia benar-benar pria gila!” batin Aurelyn hanya bisa menghela napasnya di sana.
***
Zephyr turun dari mobil hitam yang membawanya dari café tadi pagi. Udara pagi di depan gedung pusat perusahaan Clovis Group terasa sedikit lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya perasaannya saja.
Begitu langkah kakinya menyentuh marmer halaman lobi, tatapannya langsung tertumbuk pada sosok Aveiro yang berdiri tegak, mengenakan jas biru tua dan dasi abu-abu. Di sisi Aveiro, berdiri seorang pria paruh baya dengan sorot mata yang tajam dan penuh wibawa, dan itu adalah Ayah mereka. Di belakangnya, berbaris para karyawan dan beberapa di antaranya adalah manajer senior dan asisten pribadi direksi yang semua tampak berbaris rapi menyambut kedatangan Zephyr.
“Direktur Zephyr sudah datang,” bisik salah satu staf wanita yang berdiri di dekat pintu, matanya berbinar kagum melihat pria itu melangkah mendekat.
Zephyr menarik napas dalam-dalam sebelum tersenyum tipis dan menghampiri mereka. Langkahnya tenang, dan hanya menunjukkan ekspresi dingin.
“Maaf… aku terlambat,” ucapnya sambil menyentuh sedikit ujung jasnya sebagai bentuk sopan santun. Matanya menatap ayah dan Aveiro bergantian. “Aku... cukup gugup datang di hari pertama.” dustanya.
Ayahnya mengangkat alis, ekspresi wajahnya tetap hangat. “Zephyr yang Ayah kenal tak pernah gugup,” komentarnya singkat.
Aveiro menyilangkan tangan di depan dada, matanya menyipit menilai. “Gugup? itu adalah pernyataan terkonyol yang pernah kudengar.”
Zephyr hanya tersenyum samar, “ya, anggap saja begitu,” jawabnya penuh teka teki membuat Aveiro memutar bola matanya.
Lalu, Zephyr mengangguk kecil pada semua orang, dan berjalan bersama Ayah dan Aveiro menuju lift eksekutif dengan langkah tenang.
***
Selama di perjalanan, Aurelyn sesekali menoleh ke arah Zephyr yang fokus menyetir mobil. “Terima kasih sudah nolongin aku,” ucap Aurelyn akhirnya membuka suaranya setelah lama diam. “Kenapa pergi sendirian saat malam hari?” tanya Zephyr. “Apa kamu sedang coba bunuh diri?” walau pertanyaan itu sarkas, tapi Aurelyn tahu kalau Zephyr mengkhawatirkannya.Aurelyn menunduk, jemarinya meremas ujung mantel Zephyr yang kini membungkus tubuhnya. Ia menggigit bibir, menahan isakan yang masih tersisa.“Aku … aku cuma butuh waktu sendiri,” jawabnya pelan. “Aku nggak sangka mereka tiba-tiba muncul.”Zephyr menoleh sekilas dengan sorot mata dingin. “Kamu pikir dunia ini aman untukmu? Semua orang tahu siapa kamu, Aurelyn. Itu artinya, semua orang juga bisa menjadikanmu sasaran.”Aurelyn terdiam, hatinya terasa semakin berat. Kalimat Zephyr terdengar keras, tapi ia tahu, itu adalah bentuk nyata dari kekhawatiran.“Kalau aku terlambat satu menit saja-” Zephyr menghela napas panjang,
Mobil hitam berlapis baja sudah menunggu, mesin meraung pelan. Blade membuka pintu belakang dengan sigap, sementara Marvel memberi isyarat kepada dua kendaraan pengawal lain untuk bersiap mengikuti.Zephyr masuk ke dalam mobil, duduk tegak dengan wajah kelam. Tangannya mengepal di atas lutut, menahan amarah yang membuncah. “Jika ada goresan sedikit saja di tubuh Aurelyn, mereka semua akan kuhancurkan!”Blade duduk di depan, menoleh sekilas lewat kaca spion. “Tuan, kami bisa mendahului mereka dengan jalur alternatif. Tim pengintai sudah melacak posisi mobil yang membuntuti. Mereka melaju pelan, menunggu momen.”“Tidak ada momen untuk mereka. Aku yang akan menentukan akhir dari permainan ini,” sahut Zephyr dingin.Mobil melaju kencang menembus gelapnya malam. Salju berterbangan, lampu-lampu jalan berkelebat cepat.Sementara itu, di dalam mobil Aurelyn, ia duduk sendirian di kursi belakang, menatap keluar jendela. Matanya sayu, bibirnya terkatup rapat. Dia belum menyadari bahaya yang men
“Marvel, apa kamu sudah menyelidiki Varga dan Arwin Holt?” tanya Zephyr yang duduk di kursi kebesarannya. “Ya, Tuan,” jawab Marvel. “Apa hasilnya?” tanya Zephyr. “Saya tidak menemukan identitas itu. Tetapi, ada nama anak buah dari Jordan Valchev yang bernama itu,” jelas Marvel.Zephyr menyipitkan mata, jemarinya mengetuk pelan sandaran kursi kebesarannya. Ada kilatan dingin di tatapannya, menandakan pikirannya sedang berpacu cepat.“Jadi begitu,” gumam Zephyr lirih. “Jordan berusaha menyusup dengan nama samaran.”Marvel menunduk dalam, lalu menambahkan, “Sepertinya nama Varga dan Arwin Holt digunakan sebagai tameng, Tuan. Identitas asli mereka masih tertutup rapat. Namun, ada catatan pergerakan dana yang mengarah ke jaringan milik Valchev. Itu tidak kebetulan.”Zephyr mendengus dingin. “Jordan selalu bermain di balik bayangan. Dia pikir aku tidak akan menyadarinya. William dan Dimitri jelas melakukan ini dengan bantuan dari Jordan. Mereka pikir, aku bodoh
Langkah Zephyr terhenti di ujung pintu menuju atap. Pandangannya membeku saat melihat Aurelyn menangis di pelukan Aveiro. Nafasnya tertahan, seakan ada tangan kasar yang mencekik lehernya. Hatinya terasa diremukkan sekaligus dibakar api cemburu dan sakit.Aurelyn tidak menyadari kehadirannya, begitu juga Aveiro. Hanya bayangan tubuh Zephyr yang samar tertimpa cahaya lampu atap."Jadi ini, yang sebenarnya?" batin Zephyr. Matanya memerah, bukan hanya karena dingin salju, tapi karena luka yang merambat begitu cepat di dalam dadanya.“Aku mencintai Aveiro.” Kata-kata Aurelyn kembali muncul di kepalanya, seperti pisau yang menghunus langsung ke jantungnya.Ia mengepalkan tangan begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. “Aurelyn ….” gumamnya lirih. “Padahal aku sudah menunggumu selama ini. Perasaanku tidak pernah berubah padamu, wanita yang memberikan coklat hangat, memberikan kehangatan padaku yang sedang kebingungan dan hilang arah,” batin Zephyr.“Kenapa? Tidak bisakah kamu mencintai
“Kenapa kamu membawaku ke sini, Aveiro?” tanya Aurelyn saat mereka berada di atap gedung perusahaan Clark yang sangat tinggi. Langit malam dengan udara dingin dan hujan salju yang jatuh ke tanah. “Ada yang ingin aku bicarakan padamu, Aurelyn,” ucap Aveiro menatap ke arah Aurelyn di depannya. “Apa?” tanya Aurelyn memandang Aveiro di depannya dengan intens. “Aku tidak bisa melanjutkan rencana perjanjian kita, Aurelyn.” Deg. Aurelyn jelas terkejut mendengar hal itu dari Aveiro. Wanita itu menghela napasnya pelan. “Apa alasannya?” “Aku sudah katakan, aku tidak suka rencana ini. Kamu terus saling serang dengan Zephyr. Mau sampai kapan ini akan terjadi, Rel?” tanya Aveiro. “Apa kamu tidak bisa mengabaikan hal itu?” tanya Aurelyn menatap Aveiro dengan tajam. “Tidak bisa!” jawabnya dengan tegas. “Aku tahu kamu mencintainya, Aurelyn. Kita sudah kenal sangat lama, kita berteman bahkan satu sekolah dan kuliah. Aku sa
“So, dia kan wanita yang kamu sukai, Leo? Tunangan adik sepupumu?” tanya Clarissa menoleh ke arah Zephyr.Clarissa menatapnya dengan tatapan penuh kepuasan, seakan menemukan kelemahan terbesar yang bisa ia gunakan kapan saja. Nada suaranya terdengar ringan, namun penuh dengan racun yang terbungkus manis.Zephyr menoleh perlahan, menatap Clarissa dengan sorot mata dingin yang membuat senyumnya sedikit menegang. “Jangan bicara sembarangan,” ucapnya datar, meski nada suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.Clarissa tersenyum samar, tidak gentar sedikit pun. “Kenapa? Aku hanya menebak, kok. Tapi melihat caramu menatapnya tadi ah, rasanya aku tidak perlu menebak terlalu jauh.” Ia tertawa kecil, lalu kembali merapatkan dirinya ke lengan Zephyr, seolah menegaskan bahwa dialah yang kini ada di sisi pria itu.Zephyr berhenti melangkah, rahangnya mengeras. “Clarissa,” suaranya rendah, penuh peringatan, “jangan pernah singgung hal itu lagi.”Untuk pertama kalinya, ekspresi Clarissa sedikit







