Share

3

"Mas, bagaimana jika kita pindah ke rumah dinas saja? usulku saat makan di lesehan rumah makan Pak Jumain. 

"Untuk apa? rumah segede itu tidak ada yang merawat," jawab Mas Adam sambil menyesap tulang ayam lunak yang penuh dengan sambel tomat.

"Sekarang sudah ada Mbak Ghina, biar dia yang menjaganya," sambil menyuapi putraku yang sepertinya sangat lapar karena sedari pagi aku lupa menyuapinya. 

"Hawa Humaira, kewajiban menjaga ibu adalah anak laki-laki, Mbak Ghina itu bertanggung jawab terhadap keluarganya." 

Gubrak, ucapan Mas Adam memang benar. Masya Allah, jika suamiku seperti itu, aku menjadi lega.

"Baik, Mas."

Usai makan, kami ke warung nasi goreng titipan M ak Ghina yang tak jauh dari situ.  

"Mas, Mbak Ghina nggak ngasih uang?" tanyaku. Mas Adam menggeleng. 

"Nanti sampai rumah juga dikasih, kok." Aku tidak percaya, Mbak Ghina tidak akan memberikannya. 

Setelah selesai nasi goreng diterima, kami menuju ke warung martabak. Setiap kami keluar, Mas Adam selalu membeli martabak untuk Emak. Emak memang suka dengan martabak manis teluk bayur dan kami sudah langganan. Kali ini Mas Adam beli dua karena ada Mbak Ghina dan suami serta Anggi--anaknya mbak Ghina. 

Tepat pukul sepuluh lebih sedikit, kami pulang. Sesampainya di rumah, mereka belum pada tidur. Sepertinya sedang mengobrol. 

"Mbak, totalnya dua puluh empat ribu," ujarku sembari memberikan bungkusan nasi goreng ke Mbak Ghina. 

"Owh iya,makasih, ya," jawabnya tanpa memberikan uang ganti. Aku juga mengambil piring untuk meletakkan martabak yang kami beli dan disajikan. Karena sudah larut dan Awan--putraku sudah mengantuk, akupun pamit untuk istirahat. Tak lama, Mas Adam menyusulku. 

.

.

Keesokan harinya, jam empat aku sudah bangun. Baju kotor sudah aku kumpulkan semua dan siap kucuci. Mbak Inem tugasnya meyapu halaman, menyapu lantai, mengepelnya, juga membantuku memasak. Rumah sebesar ini, tak mungkin aku melakukannya sendiri. Bisa-bisa seharian hanya untuk nyapu doang. 

Aku mulai menggiling pakaian. Baru diputar satu putaran, Mbak Ghina datang. 

"W*, nitip." Mbak Ghina meletakkan beberapa potong pakaian miliknya, milik suaminya dan juga milik Anggun-putrinya.

"Mbak, nanti aja gantian."

"Lama, biasanya habis Subuh aku nyuci, karena ada kamu, jadinya tertunda. Nanti aku mau pergi sama Mas Anton, mau nyari sekolah buat Anggun. Astaghfirullah, aku hanya mengelus dasa. Jika tadi belum aku giling, mungkin aku persilakan duluan untuk mencuci. 

Kali ini tidak apa-apa, besok, maaf! 

Akhirnya kucuci pakaian milik keluarga Mbak Ghina. Sementara Mbak Inem mempersiapkan sarapan. Saat menggiling pakaian, aku mandi dan bersiap untuk sholat. Mas Adam bersiap ke Masjid bersama Awan. 

Jam enam pagi, kami berkumpul di ruang makan. Pakaian sudah aku cuci bersih semua tinggal menjemur. Mbak Ghina, Mas Anton dan Anggi sudah siap di meja makan. Kami makan bersama. 

"Kamu mau kemana, Ghina?" taya Emak.

"Mau nyari sekolahan buat Anggun, Mak, sama mau cari-cari bisnis yang cocok. Masak kita mau kayak gini terus." Emak menganggukkan kepalanya.

"Adam, barangkali kamu ada info lowongan kerja, coba carikan buat Anton," ucap Emak.

"Iya, Dam, coba carikan. Kayaknya di sini banyak pabrik," Anton menyahut. 

"Oke, nanti aku coba keliling. Njenengan pengalaman apa, Mas?" tanya suamiku yang sudah rapi dengan pakaian dinasnya. Meski sudah jarang latihan, Mas Adam masih terlihat gagah dan tampan. Perutnya juga tidak buncit seperti teman-temannya. 

"Pengalaman pengawas."

"Ooo, lalu kenapa keluar?" cecar Mas Adam sembari menyesap teh manis. 

"Sudah, jangan banyak tanya! kalau mau nyariin ya nyari aja." Mbak Ghina sewot. Padahal Mas Adam tidak salah. Mas Anton menjadi serba salah. Sebenarnya ada apa, sih. Aslinya aku penasaran, kenapa mereka tiba-tiba pulang kampung mendadak padahal pekerjaan Mas Anton sudah lumayan. 

Sudah jam setengah tujuh, waktunya Mas Adam berangkat. Mas Adam bangkit dan menyalami Emak, lalu salaman denganku. 

"Dam, aku nebeng," pinta Mbak Ghina lembut. 

"Owh, ayok," balas Mas Adam. "Dam, anterin aku keliling bisa? tolong, dong."

Mbak Ghina ini bagaimana, sih. Mas Adam, kan dinas. Ngantor, bagaimana bisa nganterin mereka keliling. Lalu motor Mbak Ghina kemana? bukankah dulu punya, kenapa tidak dibawa? Ah, sungguh teka-teki. 

"Nanti aku absen dulu di kantor dan aku anterin," jawab Mas Adam."

Duh, kurang baik apa coba suamiku ini. 

"Makasih," jawab kakak iparku. Mbak Ghina dan Mas Anton naik ke mobil jeep milik kami dan Mas Anton menjalankan mobilnya. 

--------------

Duh, teka-teki apa, sih, yang ada di Mbak Ghina dan Mas Anton? simak terus, ya, kisahnya. 

Salam sayang dariku Lestari Zulkarnain.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status