Share

6

KETIKA KAKAK IPAR KEMBALI

Part 6

------oOo-----

Kusambut suamiku dengan suka cita. Banyak sekali uneg-uneg yang ingin aku ungkapkan. Kubawakan tas ranselnya dan kemudian menuju ke kamar bersamanya. Secangkir teh manis aku sajikan bersama pisang goreng hangat kesukaan. Sama persis dengan Emaknya.

"Mandi dulu ya, Mas," ucapku menawarkan. Bau keringat ciri khas menguar menusuk hidung. Namun membuat aku kangen jika lama tak menciumnya, hua ....

"Ini handuknya." Kuserahkan handuk warna hijau khas TNI dengan bahan tebal. Sangat lembut dan nyaman. 

Mas Adam menuju ke kamar mandi.

"W*," panggil Mbak Ghina ketika melihatku keluar dari kamar.

"Ditunggu emak di ruang keluarga," ucapnya. "Eh jangan lupa sama Adam juga, ada yang mau diomongin, penting!"

Baru saja suamiku pulang dan akupun belum sempat rembugan, Mbak Ghina sudah meminta kami berkumpul. Inginku adalah bicara dengan Mas Adam dahulu dan mengkondisikan agar Mas Adam tidak gegebah dan terpengaruh dengan kakaknya. Mas Adam itu terlalu baik, ia tidak pernah memikirkan harta. Baginya harta orang tua adalah bonus, jika masih bisa mencari sendiri, kenapa harus meminta. 

Mas Adam keluar dari kamar mandi. Baru keluar kamar mandi, Mbak Ghina sudah mencegatnya. Aku tidak mendengar apa yang ia ucapkan, tetapi pasti memintanya untuk menemui emak. 

"Mas, tadi Mbak Ghina bilang apa?" tanyaku penasaran. 

"Aku diminta ke ruang keluarga habis ini," ucapnya sambil mengusap rambut cepaknya yang basah. 

"Mas, aku mau bicara."

"Nanti saja, emak sudah menunggu," balasnya. Begitulah. Jika Emak yang meminta, pasti ia akan menurutinya. Bhaktinya sama emak sungguh luar biasa. 

"Bentar, Mas, sebenarnya ini keinginan Mbak Ghina," ucapku. 

"Iya, tapi disuruh emak, kan?"

"Iya, tapi tak bisakah bicara sebentar danganku? Kita diskusi, nggak lama, kok," aku merajuk. Membuat suamiku mengalah, kemudian ia duduk di tepi ranjang. 

"Mas, kemarin Mbak Ghina bicara padaku dan minta agar rumah ini segera dibayari, bagaimana?" 

Mas Adam sedikit kaget. Aku tahu ia kaget karena memang kami sedang tidak ada uang. 

"Untuk apa?" kata suamiku.

"Kataya untuk modal. Nah, jika belum ada, maka jatah warisan tanah atau sawah punya Mbak Ghina mau dipinta dan dijual juga."

Mas Adam membulatkan mata. 

"Jatah tanah yang mana? Bukankah emak belum membagi-bagi warisan?" ungkap suamiku. Ekspresikupun sama ketika mbak Ghina meminta warisan tersebut. 

"Nah itu dia, mas. Mungkin kali ini Mbak Ghina mau membicarakan tentang itu," terangku. 

"Ya udah, ayo kita temui emak. Kalau soal warisan, aku tidak mau. Emak masih hidup, rasanya tidak sopan jika meminta-minta."

Aku dan Mas Adam keluar kamar dan menuju ke ruang keluarga. Sesampainya di sana, emak , Mbak Ghina dan Mas Anton sudah duduk manis sambil menikmati teh manis hangat bikinan Mbak Inem serta snack kering yang ada di dalam toples. 

Kami duduk berlima. 

"Adam, Ghina, kenapa kalian emak kumpulkan di sini? Itu Karena ada yang ingin Emak sampaikan," ungkap Emak. Aku dan Mas Adam saling memandang.

"Adam," panggil Emak. Mas Adam mendongak. 

"Iya, Mak," jawabnya hormat. 

"Dulu Bapakmu sudah membagi rumah ini menjadi dua, nah, katanya kamu yang mau njujuli," ungkap Emak mengingatkan wasiat Bapak mertua dahulu sebelum meninggal dan Mas Adam mengiyakan.

"Iya, Mak, aku masih ingat," jawab Mas Adam.

"Nah, Ghina butuh modal, untuk itu ia minta uang jujulamnya, apakah kamu bisa?" 

Aku dan Mas Adam saling pandang. Jika dadakan seperti ini jelas tidak bisa. Mas Adam baru saja membayar uang kuliah. 

"Maaf, Mak, memang mau dijujuli berapa, ya?" tanya suamiku hati-hati karena ini soal uang. 

"Harga pasaran, owh," sahut Mbak Ghina. Wah, kalau harga pasaran, tanah dan bangunan ini paling murah 500 juta, itupun paling murah, masih bisa naik sampai 700 jutaan. Bukan hanya bangunannya saja yang luas, tanah ini juga sangat lebar. Lalu jika harus membayar 250 juta, uang dari mana? 

"Ehm, Mbak, kalau sekarang-sekarang, kami nggak bisa. Kami nggak ada uang sebanyak ini," ungkap Mas Adam penuh dengan rasa kecewa. Aku tahu, ia kecewa karena tidak mampu memberi yang terbaik kepada kakaknya. 

"Ghina, apakah kamu.butuh banyak? sampai ingin menjual tanahmu?" tanya Emak. 

"Iya, Mak, buat modal usaha. Mas Anton mau bikin warung makan. Ia asli Padang dan mau jualan nasi Padang."

"Tapi tidak harus jual rumah, kan? Berapa, sih, modalnya?" tanya Emak. 

Sepertinya Emak mau memberi modal kepada Mbak Ghina. Begitu-begitu Emak uangnya banyak. Tiap enam bulan sekali beliau menerima uang dari hasil sawah yang digarap oleh para tetangga. Hasil kayu juga ada. Namun begitu, aku tidak pernah memintanya sepeserpun. Pernah Emak mau memberiku uang, tapi ditolak oleh Mas Adam. Bahkan tiap bulan Mas Adam selalu memberinya jatah. Justru Mbak Ghina-lah yang sering meminta. 

"Banyak, Mak, kan untuk beli alat-alatnya," sahut Mas Anton. 

"Bentar, bagaimana kalau aku cicil? Maksudnya kebutuhannya berapa lalu aku cicil potong harga rumah," usul Mas Adam. 

"Boleh," jawab Mbak Ghina. 

"Coba kira-kira berapa modalnya," pinta Mas Adam. Aku sebagai menantu hanya mendengarkan sambil menelaah. Mas Adam mau ngasih berapa kira-kira, di BANK sanja paling ada saldo beberapa juta. 

"Baik, nanti biar aku sama Mas Anton yang akan membuat reng-rengan," jawab Mbak Ghina dibarengi dengan anggukan kepala Mas Anton.

"Siapkan saja 20 juta, Dam," ujar Mas Anton membuat aku dan Mas Adam kaget. 

============

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status