Share

2

Barang Mbak Ghina menumpuk di teras depan yang memang tempatnya luas. Rumah zaman dahulu dengan style joglo yang etnic dan unik. Untung saja kami ada pembantu sehingga aku tidak terlalu capek untuk merawatnya. 

"Ghina, cepat bereskan." Kembali suara Mbak Ghina menyayat telinga membuatku kesal. "Kamu beresin sama Mbak Mimi saja sana," perintah kakak iparku. Enak saja main suruh-suruh. 

Dari kejauhan terlihat mobil jeep menuju ke rumah ini. Alhamdulillah Mas Adam sudah pulang, biar.Mas Adam yang mengurus kakaknya. 

Usai memarkirkan mobil, Mas Adam langsung menuju ke Mbak Ghina dan menyalaminya. Semenjak kedatangannya tadinoagi, Mas Adam memang belum bertemu dengannya. Mas Adam mengajak kakak.perempuannya untuk duduk di teras. 

"Kok lebih cepat, Mbak," tanya suamiku yang masih berseragam loreng itu. 

"Lha mau ngapain di sana. Masmu itu maunya keluar kerja terus. Namun dia nggak mau pulang ke rumahnya, maunya ke sini," jawab Mbak Ghina sambil memandang ke arah suaminya yang duduk di kursi sebelahnya. 

"Oya, cepet beresin kamarnya, aku mau minta kamar itu," perintah Mbak Ghina memaksa. 

"Janganlah, mbak! Aku keluarin barang-barangnya susah," suamiku menjawab. 

Mas Adam dengan Mbak Ghina sungguh berbeda. Mas Adam meski seorang tentara, tetapi ia tidak judes bahkan sangat ramah. Mungkin karena sudah terjun ke masyarakat dan menangani banyak masalah. 

"Bukankah kamar itu masih menjadi bagaianku, kamu belum membayar bagianku, jadi syah-syah saja aku minta kamar itu," ujar Mbak Ghina. Memang benar bahwa bagian Mbak Ghina belum kai bayarin sebab memang baru beberapa bulan ini rumah itu dibagi. Bapak mertuaku baru setahun meninggal. 

Mas Adam memberiku kode. Aku sudah paham kalau suamiku itu pasti ingin megabulkan permintaan Mbak Ghina. Mas Adam itu selalu begitu, dia tidak ingin ada keributan apa lagi dengan kakak satu-satunya. Namun Mbak Ghina tidak pernah mengerti dan memahami bahkan kadang memanfaatkan. 

"W*, keluarkan barang-barang kita, Mbak Ghina minta kamar kita."

Tuh kan, begitulah Mas Adam, mangalah! sebal! Aku harus membereskan kamar, ribet. Nau mau tidak mau au harus menuruti suami. Semoga dengan menurutinya, rezeki tambah lancar. 

"Baik, Mas," ucapku berat. Aku mengajak Mbak Inem untuk membantuku. Jika pekerjaan mbak Inem di luar dari kebiasaan, maka aku memberi bayaran lebih. Itulah mengapa Mbak Inem betah bekerja denganku. 

Mbak Inem dan Mas Adam mengeluarkan semua barang-barangku dan memindahnya ke kamar sebelah yang ukurannya lebih kecil. Padahal hanya selisih beberapa meter saja, tetapi entahlah, kenapa Mbak Ghina begitu menyukai kamarku itu. 

Alhamdulillah sampai jam sembilan lebih beres-beres selesai. Capek sekali rasanya sampai si kecilku menangis karena aku tinggal beberes. 

"Makasih, ya," ucap Mbak Ghina puas. Kini aku di kamar yang luasnya dua belas meter persegi, beda dengan kamar sebelumnya yang memiliki luas enam belas meter persegi. Memang luas, tetapi karena barang kami banyak, maka terasa sedikit sempit. 

"Mas, laper. Kita keluar, yuk," pintaku pada Mas Adam yag sedang duduk di sofa kamar. 

"Memang Emak nggak masak?" tanya prianyang telah menikahiku lima tahun itu. 

"Nggak tahu, aku nggak ke dapur. Semenjak pagi, aku beres-beres membantu Mbak Ghina. Oya, Mas, aku heran dengan Mas Anton, dia itu gimana, sih, sama sekali nggak bantuin," keluhku.

"Sudahlah, memang begitu sikapnya. Yuk keluar, kita makan di warungnya Pak Jumain," ajak suamiku. Dengan semangat akupunbergegas bangkit. Awan--putraku yang berusia empat tahun aku pakaiakan jaket. Aku segera mengambil jilbab bergo yang tergantung di balik pintu dan keluar bersamaan dengan suamiku tercinta.

"Mau kemana, Dam?" tanya Emak mertuaku yang sedang duduk dengan Mbak Ghina di ruang tamu. 

"Mau keluar, Mak," jawab suamiku. 

"O," balas Emak. "Kalian nggak makan? kok sayurnya utuh."

"Nggak sempat, Mak," sahutku. 

"Ya sudah sana, pergilah," ucap Emak mertua. 

"Dam, titip nasi goreng, ya, dua bungkus," ucap wanita yang sebenarnya tertaut tidak terlalu jauh dengan Mas Adam. Paling dua tahun, tetapi nikah muda. Lulus SMU langsung nikah sehingga kini anaknya sudah SMP. 

"Pedes apa enggak?" balas suamiku. 

"Yang satu pedas, yang satu sedengan."

"Du ...."Mas Adam menghentikan ucapanku.

"Sssttt, baik Mbak," sahut Mas Adam menghentikan ucapanku. Padahal aku ingin meminta uangnya. Nitip tetapi tidak memberi uang sama saja minta. 

Mas Adam mengeluarkan motor king-nya. Motor melaju ke tengah kota yang jaraknya sepuluh menit dari rumah. Rumah emak memang di kampung, tetapi akses jalannya sudah baik. Apa lagi ada Mas Adam yang selaku babinsa di kecamatan kami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status