“Kalau kamu menuntut nafkah yang dulu kamu berikan supaya dikembalikan lagi, maka seharusnya kamu juga bisa mengembalikan mahkota Naya.”Andika mengepalkan tangan. Ingin sekali dia menjawab, “Heh, bego ya? Keperawanan yang sudah jebol, mana bisa bisa dibalikin lagi!”Enggan menyia-nyiakan kesempatan ini, Nayara balas merangkul pinggang pria itu.“Beb, bisa usir mereka dari kedai ini nggak?”Pria itu menatap Nayara dari balik maskernya.“Tentu saja, Sayang.”“Aku mau makan dengan tenang, tapi dari tadi mereka bikin selera makan aku jadi hilang.”Pria bermasker itu mengangguk, lalu menatap Andika dan Lika yang masih bersikap pongah.“Pak, tolong usir mereka berdua!” perintah pria itu tegas.“Heh, kami ini juga bayar ya?” protes Lika tidak terima.“Main usir saja, memangnya ini kedai punya bapakmu?” timpal Andika.“Aduh Mas, Mbak, tolong kasihani dagangan kami! Kami ini sedang cari rejeki, kalau mau ribut silakan pindah saja ....”“Mereka yang sejak awal bikin keributan kan?
Andika terperanjat ketika Lika menyodorkan ponselnya yang sedang memutar sebuah video keributan yang terjadi di kedai bubur ayam tadi. “Kita dihujat, Yang!” ratap Lika. “Masa di situ pada komen kalau aku tukang nyinyir, sirik sama Naya yang sudah nggak jomlo lagi?” Andika urung menonton video itu sampai habis, harga dirinya tercoreng sudah! “Kurang ajar Naya, masa kita jadi viral kayak begini sih?” “Memang dasar gila itu mantan istri kamu, dia pasti sirik sama kita!” hujat Lika sampai terengah-engah. “Padahal harusnya dia puas karena sudah berhasil makan uang nafkah yang kamu kasih selama ini kan?” “Namanya juga istri yang kurang bersyukur dia itu, makanya aku cari yang lain!” “Terus gimana ini urusannya? Kalau sampai teman-teman nongkrong kita tahu, apalagi teman-teman kerja ... mau taruh di mana muka aku yang cantik ini, Yang?” Andika ikut pusing memikirkannya. “Tenang saja, Yang. Aku akan paksa Naya untuk menghapus video itu, enak saja dia mempermalukan kita di depan umum d
“Kalau bukan kamu yang posting, terus siapa?” “Mana aku tahu?” Andika berdecak. “Kembalikan nafkah aku kalau begitu!” Nayara melepas sepatu hak tingginya, lalu bersiap melemparnya ke wajah Andika. “Pergi dari sini, atau aku lempar muka kamu pakai sepatu!” ancam Nayara dengan wajah bengis. “Laki-laki kok nggak punya harga diri sedikit sih?” “Apa kamu bilang?” “Nggak punya harga diri, kenapa? Nggak terima?” Tangan Andika terkepal. Belum juga dia menanggapi, sudah ada seorang satpam yang mendatangi mereka. “Ada apa ini? Pagi-pagi sudah ribut ....” “Itu Pak, pegawai kantor sebelah yang duluan nyari gara-gara!” Nayara langsung mengadu. “Usir saja Pak, tolong ....” “Urusan kita belum selesai ya, Nay?” ancam Andika. “Kamu kalau bukan pegawai sini, jangan bikin onar.” Satpam itu menegur Andika baik-baik. “Apalagi kalau ada masalah pribadi, sebaiknya diselesaikan di luar.” Andika yang masih ingin meluapkan amarahnya kepada Nayara, mau tak mau harus berbalik dengan tangan kosong. “
“Mengundurkan diri?” “Iya, sejak Pak Ryan keluar tuh rasanya aku jadi malas kerja.” “Tapi kan sekarang sudah ada Pak Elkan, Nay.”“Iya aku tahu, tapi aku juga kayaknya nggak sreg kerja sama dia.” “Lho, kenapa sih? Cakep begitu, bikin betah dlihatin lama-lama ... aduh!” Kalisa meringis ketika Nayara menjitak kepalanya pelan. “Kita di sini tuh kerja, bukan buat melihat kegantengan orang.” “Iya tahu, tapi aneh kamu. Seharusnya asyik-asyik saja kerja sama Pak Elkan, bisa cuci mata sekalian kerja.” Nayara tersenyum kecut. “Asyik, asyik ... Kamu belum pernah kena marah kan sama dia? Aku nih, berkali-kali kena semprot! Disuruh sana-sini, dilempar ke mana saja kayak bola ... Capek, Bu!” Kalisa berpikir sebentar. “Iya juga ya, sejak kerja sama Pak Elkan tuh kamu jadi jarang ada di ruangan ini.” “Ya itu karena aku disuruh macam-macam sama atasan baru kita itu,” sungut Nayara geram. “Disuruh macam-macam? Ih wow!” Nayara langsung menepuk keningnya, menyesal dengan pemilihan kata yang k
Dengan langkah gontai, Nayara melenggang pergi ke kamar mandi untuk mengguyur sekujur tubuhnya dengan air supaya kantuknya hilang. “Pak Elkan serius nggak sih mau ajak aku pergi?” pikir Nayara selagi dia membasuh kulitnya menggunakan sabun aroma buah. “Sejauh ini sih dia nggak pernah bercanda ....” Selesai mandi, Nayara mengenakan pakaian sehari-hari dan memutuskan untuk keluar dari apartemen. Seorang pria yang mengenakan pakaian resmi itu tengah berdiri dengan dikelilingi beberapa orang ketika Nayara muncul. “Kok, pada kumpul di sini ...? Kayak mau menggerebek seseorang?” Wajah Elkan yang tampak masam enggan menanggapi pertanyaan Nayara. “Mbak, katanya bapak ini atasan kamu di kantor?” “Iya betul, kenapa Pak?” “Dari tadi nungguin kamu, Mbak. Mondar-mandir tidak jelas, kami niatnya cuma waspada saja ....” “Oh, tidak apa-apa kok. Betul, bapak ini adalah atasan saya di kantor. Terima kasih sudah curiga, Pak.” Elkan menyipitkan matanya mendengar ucapan Nayara yang tengah terseny
“Namanya Elkan, puas?” Lika tersenyum centil. “Oh, Elkan. Kamu hebat deh, punya kakak sepupu kayak dia. Nggak rugi aku jadi kekasih kamu ....” “Apa hubungannya sih?” Andika melajukan mobilnya dengan hati kesal, tapi dia juga tidak bisa menyalahkan Elkan yang tiba-tiba muncul begitu saja di hadapan mereka. “Ya jelas ada hubungannya! Aku lihat sekilas tadi dia kayak orang kantoran juga, mirip kita. Namanya relasi itu penting, apalagi kalau masih ada hubungan kekerabatan sama kita.” “Maksud kamu? Aku nggak ngerti.” Lika memutar bola matanya dengan malas. “Misalnya suatu saat nanti kita mau punya bisnis, kita kan bisa dengan mudah mempromosikan produknya karena punya banyak relasi, salah satunya Elkan.” “Aku tetap tidak paham, kenapa harus Elkan.” “Aku kan bilang salah satunya, jadi bukan Cuma Elkan saja. Aduh, kamu kok punya kakak sepupu kayak dia malah nggak bisa memanfaatkan sih?” Andika mengangkat bahu, dia masih tidak mengerti sehebat apa Elkan di matanya. “Dia pegawai biasa
“Biar saja tinggi, masa kalah sama cita-cita?” Nayara memegang keningnya. Semoga aku tidak gila punya atasan kayak begini lama-lama .... “Barang-barang kamu taruh di belakang,” perintah Elkan ketika dia dan Nayara masuk mobil. “Di sana nanti kamu cukup diam dan senyum, jangan bicara hal yang tidak kamu tahu atau yang tidak perlu. Paham?” “Siap laksanakan, Pak.” “Kata-katanya juga di-rem kalau kamu terpaksa bicara ....” “Iya, iya, cerewet.” “Heh!” “Iya, maaf Pak!” Dengan perasaan dongkol, Elkan menyalakan mesin mobilnya dan melaju pergi menuju lokasi pertemuan. “Bapak tadi nunggu lama di luar?” “Menurut kamu?” “Ya mana mungkin, pasti Bapak tidur di mana dulu.” Elkan menghela napas. “Tidak sepenuhnya salah sih, tapi saya tidak tidur.” “Terus ngapain?” “Kamu ngapain tanya-tanya?” Nayara memalingkan wajahnya dengan malas. Menyesal dia sudah mencoba berbaik hati dengan mengajak ngobrol Elkan, tapi dasar atasannya saja yang tidak tahu adat. Setibanya di salah satu hotel, Na
Keduanya sama-sama saling pandang untuk memastikan bahwa apa yang mereka lihat bukanlah tipuan halusinasi. “Kamu ngapain di sini, Nay? Dandanan kamu, ya ampun!” Nayara menatap sengit ke arah mantan suaminya. “Bukan urusan kamu.” Andika mengumpat dalam hati. Sial banget sih, kenapa dia jadi berubah cantik begini? Mana gayanya jadi jual mahal sama aku, cih sombong amat. Sementara itu Nayara sebenarnya tahu jika Andika sedang fokus memandangnya, tapi dia sengaja pura-pura tidak peduli. “Nay?” panggil Andika ragu-ragu, langkahnya maju mundur untuk pergi dari hadapan sang mantan istri. “Kamu ... kok bisa ada di acara ini?” Nayara tentu tidak mau repot-repot menjawabnya, masih ingat dalam pikiran bagaimana Andika mengusir dan meludah di dekat kakinya dengan sangat hina. Jujur, Nayara sakit hati dengan perlakuan Andika. Belum lagi tuduhan sebagai istri yang tidak setia terus dia tanamkan ke telinga orang-orang yang mau mendengar, dia tidak akan pernah bisa memaafkan mantan suaminya it