“Kamu kenapa, Yang?” “Ruang rapat sudah kosong belum?” “Aku nggak tahu, masih tutup rapat dari tadi.” Andika menarik napas panjang, wajahnya terlihat tertekan. “Kenapa sih? Kok bisa Elkan sampai datang ke sini?” “Aku juga nggak tahu, mana mantan istri aku juga ikut-ikutan datang ke sini lagi ....” “Itu dia yang nggak habis aku pikir, sok penting banget dia datang-datang ke kantor kita. Apa jangan-jangan dia punya niat jahat?” Andika menatap Lika dengan bingung. “Niat jahat apa, Yang?” “Iya siapa tahu lihat jahat buat menghancurkan nama baik perusahaan, mau membalas dendam sama kamu karena nggak terima sama perceraian kalian?” tebak Lika sok tahu. “Bisa jadi kan, Yang? Aku sering kok lihat di tayangan berita televisi, mantan istri yang menyimpan dendam karena nggak terima diceraikan ....” “Itu sih Kamu kebanyakan nonton sinetron sama berita kriminal,” celetuk Andika. “Lho siapa tahu, kan? Aku lihat sendiri gimana judesnya mantan istri kamu itu sama kita, tapi belakan
Sampai jam kerja berakhir, Elkan belum juga kembali ke kantor. Namun, Nayara merasa tidak memiliki kewajiban untuk menunggu kedatangan atasannya itu sehingga dia memilih untuk pulang bersama rekan-rekannya. “Heh Nay, sini kamu!” Suara Andika terdengar membahana di tengah riuhnya para pegawai yang memenuhi halaman. Nayara terlonjak kaget karena suara teriakan Andika. “Mau apa lagi dia datang ke sini?” tanya Kalisa heran. “Kamu samperin nggak, Nay?” “Itu tadi dia manggil nama aku, kan? Jangan-jangan dia mau ngajak ribut sama aku, Lis!” Sebelum Kalisa menjawab, Andika sudah keburu datang mendekat. “Mau ngapain kamu?” tanya Nayara dengan wajah waspada. “Mau ngapain? Tentu saja mau bikin perhitungan sama kamu!” “Aku nggak ada urusan apa-apa ya sama kamu ....” “Alah, mulut kamu ember!” gertak Andika, suaranya sukses mengalihkan perhatian para pegawai yang lewat di dekat mereka. “Sudah, jangan diladeni!” bisik Kalisa sembari menarik tangan Nayara supaya lanjut berjalan.
“Kamu saya pecat!” Wajah Andika yang sudah pucat mendadak jadi semakin pucat ketika mendengar vonis sang bos. “Tapi, Pak ... saya tidak melakukan kejahatan yang ....” “Mengambil pungutan liar, kamu pikir bukan kejahatan, hah?” Andika menundukkan wajahnya. “Tapi ... saya tidak korupsi, Pak ...” Bobi menatap murka ke arah Andika. “Saya juga sudah lama bekerja di kantor ini, setidaknya saya sedikit berjasa ... Tolonglah Pak, jangan pecat saya ....” Bobi mengembuskan napas panjang. “Kamu beruntung, Pak Alvi masih mempertimbangkan status kekerabatan kalian.” Andika menarik napas lega. “... tapi jabatan kamu akan diturunkan.” “Apa, Pak? Diturunkan?” “Ya, kamu tidak lagi jadi sekretaris saya mulai minggu depan.” Andika menggeleng lemah. Turun jabatan, kira-kira dia akan berganti jabatan menjadi apa? “Sisa hari ini bisa kamu pakai untuk membereskan barang-barang kamu. Minggu depan, kamu ganti seragam ....” “Pakai seragam, Pak?” sela Andika buru-buru. “Jadi offic
“Aku harus bertemu Pak Mantyo, ada hal penting nih!” Andika buru-buru pergi meninggalkan Lika sebelum kekasihnya itu tahu apa yang terjadi. *** “Aman, Nay.” “Yakin si mantan rese itu nggak lagi nungguin aku?” Kalisa menyipitkan matanya sampai tinggal segaris. “Nggak ada kok, aman. Penampakan mantan kamu dijamin musnah, Nay.” “Syukurlah,” sahut Nayara lega, dia dan Kalisa memang sejak tadi memantau gedung kantor mereka dari warung depan sembari menikmati segelas teh hangat dan pisang goreng. “Aku heran, kenapa ya Andika sampai marah-marah kayak orang gila?” Kalisa bertanya-tanya sembari berjalan menuju kantor. “Kamu sudah berbuat salah apa sih sama dia?” Nayara menggeleng cepat-cepat. “Sejak bercerai itu, aku sama Andika sudah nggak ada urusan apa-apa lagi, Lis. Kecuali ....” Kalisa menunggu kelanjutan ucapan Nayara dengan ekspresi tidak sabar. “Kecuali apa?” “Kecuali soal nafkah yang minta dibalikin.” “Sudah kamu kasih?” “Enggak, ya kali aku kembalikan nafkah y
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Raras menggendong bayi Slavia yang tertidur pulas dengan sangat hati-hati sementara Ardan yang mengantar mereka menggunakan mobilnya. Beberapa tahun kemudian ....Slavia yang sadar betul akan kesibukannya, berusaha melakukan apa saja untuk menunjang pendidikan putri semata wayangnya yang bernama Lunara. Dia tidak ingin menelantarkan putrinya selama dia bekerja, karena itu Slavia memasukkannya ke sekolah penuh waktu.Ardan kadang-kadang membantu dengan menjemput Lunara di sekolah jika Slavia belum bisa meninggalkan pekerjaannya.“Dan, sori akhir-akhir ini aku harus merepotkan kamu.” Slavia buru-buru menyambutnya saat Ardan menurunkan lunara dari mobil. “Aku harus mengikuti beberapa seminar penting ...”“Aku ngerti kok, Vi.” Ardan menganggukkan kepalanya seraya mengusap puncak kepala Lunara.“Aku sangat berterima kasih,” kata Slavia sungguh-sungguh dengan wajah lelah. “Lun, ayo bilang apa sama Om Ardan?”“Makasih Om,” ucap Lunara sambil mendongak men
Lunara sudah masuk ke dalam taksi dan Slavia masih berbincang sebentar dengan Ardan yang berdiri menunggu mereka."Bukan hak aku buat memberi tahu anak itu segalanya," komentar Ardan. "Justru aku yang salut sama kamu, karena kamu bisa mendidik Luna tanpa perlu mengenalkan kebencian terhadap ayah yang meninggalkannya."Slavia menganggukkan kepalanya."Aku cuma mau Luna jadi anak baik," ujar slavia. "Saat aku nggak bisa menghadirkan sosok ayah untuknya, maka aku juga nggak mau menghadirkan sedikitpun kebencian di hati Luna."Ardan tersenyum mendengarnya."Pulanglah, kamu kelihatan capek." Dia berkata sambil membuka pintu taksinya agar Slavia segera masuk.Begitu taksi yang membawa Lunara dan slavia berlalu, Ardan berbalik untuk kembali ke dalam kantor yang dirintis olehnya bersama Raras dan Slavia."Kamu perhatian sekali ya, sama via dan anaknya?" komentar raras yang sudah berdiri di depan pintu ruangannya saat Ardan lewat. "Aku lihat semua perlakuan kamu dari ruanganku tadi."Ardan men
Rio berjalan pelan menuju kantor bimbel tempat putranya akan mengikuti tambahan pelajaran."Bimbingan akan dimulai minggu depan, Pak. Jadi silakan antar jemput Nico sesuai jadwal," kata pengurus bimbel sambil menyerahkan satu lembar kertas kepada Rio. "Para pengajar di sini akan berusaha untuk membuat Niko dan murid lainnya betah untuk belajar.""Baiklah, saya akan antar anak saya ke sini minggu depan," timpal Rio seraya mengangguk singkat, setelah itu dia mengajak Nico untuk pergi meninggalkan bimbel.Ponsel Rio tak hentinya berdering sampai Rio masuk ke mobilnya."Halo?""Yo, ada masalah besar." Gunadi langsung melapor begitu Rio menjawab panggilannya."Masalah apa?" tanya Rio sambil memutar kemudi mobilnya."Aku sudah berusaha cari-cari Via ke manapun," jawab Gunadi dengan nada lesu. "Tapi karena sangat minimnya informasi yang kamu kasih ke aku, jelas aja keberadaan Via nggak akan bisa terlacak."Rio berusaha tetap menyetir dengan fokus sementara pikirannya memproses informasi yang
Slavia memegang keningnya. "Kamu pasti bohong kan, Ras? Masa Ardan bilang begitu sama kamu?""Nggak secara langsung sih," elak Raras."Nah, terus? Jangan sok tahu deh kamu, Ras. Bikin aku malu saja, nanti dikira aku janda gatal lagi ....""Siapa yang berani bilang kamu kayak begini, aku sumpal mulutnya pakai kain pel!" Raras berkata menggebu-gebu. "Enak saja, nggak semua janda begitu, Vi. Tergantung orangnya, kamu kan alim."Slavia menahan tawa mendengar ucapan Raras."Kalau aku baik, nggak mungkin aku diceraikan begitu saja sama Pak Rio."Raras mendadak memukul keningnya, seolah mengingat sesuatu hal.Soal Luna, apa kamu nggak mau kasih tahu Pak Rio?""Ah, itu ...."Slavia tertegun mendengar pertanyaan Raras."Membesarkan seorang anak sendirian itu nggak mudah lho, Vi. Setidaknya kalau kamu cerita, Pak Rio wajib untuk ikut bertanggung jawab soal nafkah Luna."Slavia menghela napas panjang. "Entahlah, Ras. Untuk saat ini aku nggak yakin, rasa sakit hatiku masih terlalu dalam dan belum